DEBAT CAPRES ; PANGGUNG PSEUDO-DEMOKRASI?

Baca Juga

Perhelatan debat calon presiden (capres) sering kali dianggap sebagai salah satu puncak dari perayaan demokrasi, di mana rakyat dapat menyaksikan langsung para calon yang berkompetisi untuk memimpin negara, menyampaikan visi, misi, dan argumen mereka. Namun, apakah nyatanya debat ini benar-benar mewakili esensi demokrasi atau hanya sekedar pertunjukan yang menyisakan tanya tentang pretensi demokrasi yang sebenarnya?

Ilustrasi (Gambar : Kompas.com)

Pseudo-demokrasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah sistem yang memiliki tampak luar demokratis namun dalam prakteknya terdapat kekurangan serius dalam hal keterwakilan, transparansi, dan proses demokratis yang substantif. Pertanyaannya, apakah debat capres saat ini telah terjebak dalam pseudo-demokrasi?

1. Hanya Sebuah Pertunjukan?

Debat capres sering kali dirancang sedemikian rupa sehingga lebih mirip dengan sebuah acara hiburan daripada forum serius untuk membedah visi dan kebijakan. Panggung yang mewah, format yang ketat, serta segmen yang lebih mirip pertarungan karakter daripada diskusi substansi kebijakan, semua menciptakan suasana yang lebih teatrikal daripada edukatif.

Penonton yang hadir atau menonton dari rumah dihadapkan pada sekuel narasi yang seputar siapa yang memiliki one-liner terbaik, siapa yang tampak lebih karismatik, atau siapa yang dapat menghindari kegaduhan. Perlombaan ini menjauhkan kita dari masalah nyata yang dihadapi negara: ekonomi, ketidaksetaraan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

2. Keterwakilan yang Terbatas

Debat capres cenderung membicarakan topik-topik yang telah dijadwalkan dan terkontrol, sering kali menghindari isu-isu penting yang mungkin kurang menguntungkan bagi para kandidat namun sangat relevan bagi masyarakat. Pemilihan pertanyaan yang diatur oleh panel atau tim debat kerap kali tidak mencerminkan urgensi dan kompleksitas masalah yang dirasakan oleh rakyat.

Lebih lanjut, kandidat yang diizinkan ikut serta dalam debat terkadang hanya mereka yang memiliki sumber daya dan dukungan politik yang signifikan, sementara suara-suara alternatif dan minoritas bertahan di pinggir. Hal ini menciptakan ilusi keterwakilan, namun pada kenyataannya hanya mengokohkan status quo politik.

3. Debat yang Tidak Mendalam

Karena formatnya yang sering kali mengutamakan waktu yang singkat untuk setiap pertanyaan dan respons, debat tidak memungkinkan eksplorasi topik dengan mendalam. Kompleksitas isu-isu kebijakan menjadi reduksi karena keterbatasan waktu dan kebutuhan untuk memberikan jawaban yang cetar dan mudah dicerna.

Ini menciptakan masalah serius karena warga negara menerima potongan informasi tanpa konteks yang lebih luas, tanpa nuansa kebijakan, dan tanpa pemahaman tentang dampak jangka panjang dari keputusan politik yang dijelaskan secara dangkal.

4. Efek Ekokamara dan Penghakiman Instan

Debat capres terkadang menjadi resonansi bagi pendukung yang sudah yakin akan pilihannya. Mereka menghadiri atau menonton debat bukan untuk informasi atau pertimbangan baru, melainkan untuk mendapatkan konfirmasi bias yang sudah ada. Ekokamara ini mendorong polarisasi opini dan menghambat dialog substantif antar pendukung dari kandidat yang berbeda.

Di sisi lain, media sosial dan platform digital berperan sebagai palagan bagi penghakiman instan. Satu kesalahan ucapan, satu momen yang tidak nyaman, dapat menjadi sorotan dan meme yang mengaburkan isu-isu penting yang seharusnya menjadi fokus perbincangan.

5. Apakah Ada Harapan?

Membalikkan tren dari debat yang adalah pseudo-demokrasi bukanlah tugas yang mustahil. Kuncinya adalah dalam membangun format dan aturan debat yang lebih mengutamakan substansi daripada gaya. Waktu respons harus cukup panjang untuk memberikan kesempatan kepada kandidat menyampaikan pikiran dan kebijakan mereka secara rinci.

Harus ada ruang untuk dialog sebenarnya antarkandidat, memungkinkan mereka untuk menantang satu sama lain secara langsung atas fakta dan angka, bukan sekedar perang kata. Dan penting untuk melebarkan partisipasi melampaui mereka yang sudah berkuasa, memberi kesempatan kepada suara-suara baru untuk didengar.

Selain itu, pers dan moderator harus mengambil peran aktif dalam mengecek fakta secara real time, menantang klaim yang tidak akurat, dan mendorong transparansi dalam debat. Dan tentu saja, kebutuhan untuk pendidikan kewarganegaraan yang kuat agar masyarakat lebih siap untuk berpartisipasi dalam proses demokratis, termasuk penyaksian debat capres dengan mata kritisi.

***

Debat capres memiliki potensi untuk menjadi sebuah sarana demokrasi yang kuat, memberi wawasan langsung ke dalam pikiran dan rencana para individu yang paling ingin memimpin negara kita. Namun, agar tidak menjadi pseudo-demokrasi, kita harus melampaui pertunjukan dan teatrikalitas, dan bergerak menuju substansi, kejelasan, dan keterbukaan.

Kita perlu debat yang memungkinkan rakyat menggali lebih dalam, memahami lebih jelas, dan memilih lebih bijak. Debat haruslah menjadi cermin dari visi demokrasi kita: inklusif, mendalam, dan nyata. Saat para kandidat berdiri di panggung, kita berhak melihat lebih dari sekedar pertunjukan. Kita berhak melihat inti dari demokrasi beraksi – diskusi terbuka, debat yang jujur, dan pilihan yang didasarkan pada informasi, bukan impresi. Hanya dengan cara itu, kita dapat memastikan bahwa debat capres kita adalah manifestasi nyata dari kehendak rakyat, bukan semata penyajian ilusi demokratis yang dangkal.

Share:

0 komentar