SUKSES ITU ADALAH SOAL MENTAL

Baca Juga

Bagi seorang pengajar, adalah sebuah kebanggan melihat mantan anak didiknya meraih kesuksesan. Apalagi jika mampu melebihi apa yang dimiliki oleh si pengajar.

Apa indikator sukses itu? Tentu jawabannya relatif, bahkan bisa jadi subjektif. Ada yang menganggap jika anak didiknya mampu bekerja di pemerintahan atau perusahaan-perusahaan besar, maka itu artinya si mantan anak didiknya telah meraih kesuksesan. Tapi lain orang lain cara pandangnya. Bagi saya, [mantan] mahasiswa yang saya anggap sukses adalah mereka yang mampu berdikari secara ekonomi, apapun pekerjaannya. Bisa dengan bekerja kepada orang lain, maupun berwirausaha mandiri. Kuncinya adalah mampu berdikari. Tak penting apa jenis pekerjaannya, yang penting halal dan mampu menghidupi keluarganya.

***

Sore ini saya mengajak #SarahAisha untuk main-main ke sebuah taman di ujung kota kami. Lokasinya berada persimpangan di jalur utama menuju pelabuhan kapal satu-satunya di propinsi kami.

Suasana Wahana Permainan di RTH (Foto : Koleksi Pribadi)

Taman ini sebenarnya adalah ruang terbuka hijau yang juga difungsikan sebagai ruang ketiga [meminjam istilahnya Pak Anies Baswedan] untuk masyarakat bersosialisasi. Oleh pemerintah desa setempat, tempat ini disulap dengan menghadirkan berbagai wahana hiburan anak-anak yang di satu sisi malah memberikan pemasukan terhadap kas desa.

#SarahAisha memilih bermain di sebuah wahana yang cukup komplit. Untuk bermain di 2 permainan sepuasnya, biaya 20 ribu rupiah untuk dua orang cukuplah terjangkau. Apalagi pulangnya masih diberikan "oleh-oleh" berupa balon. Tentu harga ini sangat terjangkau bagi masyarakat kalangan menengah kebawah. Apalagi tidak ada batas waktu bermain. Pokoknya sampai anaknya bosan.

Saat menemani bermain, saya iseng bertanya ke mbak-mbak yang jaga.

"Mbak, ini wahana bermainnya punya mbak sendiri?"

"Bukan pak, saya hanya kerja saja disini. Yang punya tadi barusan saja pulang pas sebelum bapak sampai"

"Nama wahananya kayak punya teman saya"

"Siapa namanya pak"

" Si A"

"Iya pak, memang dia yang punya. Itu teman bapak?"

"Dia dulu mahasiswa saya. Anaknya agak pendiam, tapi cerdas. Dia juga penerima beasiswa beprestasi dari pemerintah"

Dan ternyata memang benar dugaan saya, wahana ini adalah milik salah satu mantan mahasiswa saya dulu. Ia dulu bekerja di sebuah perusahaan nasional. Lalu ia resign dan mendirikan usaha sendiri berupa wahana bermain anak-anak.

"Mbak, kalau usaha beginian, sehari bisa dapat berapa?" Saya iseng bertanya soal pendapatan harian

"Kalau paling ramai, kami pernah dapat 5 juta dalam sehari. Itu pas lebaran. Kalau hari-hari biasa, sekitar 1 - 1,5 juta"

"Paling sepi pernah dapat berapa?"

"Kami pernah tidak dapat uang sama sekali karena hujan sejak kami baru buka"

"Untuk pengeluarannya berapa mbak perbulannya?"

"Sewa tempat 200 ribu per lapak. Ini kami 3 lapak, jadi 600 ribu. Kemudian sewa tempat penitipan barang, 300 ribu. Listrik dan lain-lain sekitar 200 ribu. Gaji 3 orang pegawai sekitar 5 jutaan"

"Berarti keuntungan bersih yang bisa diambil sekitar 7 jutaan lebih ya mbak perbulan?"

"Iya pak. Itu dengan kondisi normal. Dengan kondisi lebaran, bisa lebih dari itu"

Di luar dugaan ternyata penghasilan dari wahana permainan anak-anak ini. Kesannya murahan dan biasa saja, tapi ternyata penghasilannya jauh diatas gaji seorang PNS golongan 4A.

Saya kembali memperhatikan anak-anak yang sedang tertawa riang bermain di wahana ini. Saya mulai menyadari bahwa selain penghasilan berupa uang, pemilik wahana ini juga mendapat penghasilan berupa "kebaikan horizontal" karena membantu ratusan [bahkan mungkin ribuan] para orangtua yang ingin memberikan hiburan untuk anaknya dengan biaya terjangkau.

Mungkin bagi sebagian anak muda dengan gelar strata satu, mereka gengsi jika membuka usaha semacam ini. Kesannya kurang "wah". Seorang sarjana, dengan bekal ijazahnya pasti menginginkan bekerja di sebuah perusahaan, memakai pakaian rapih, dengan ID card tergantung di leher, dan sepatu necis. Tapi nyatanya, lowongan pekerjaan semacam itu sangat terbatas bagi mereka yang baru lulus, apalagi masih S1. Alhasil, mereka yang masih mengedepankan gengsi, akan merasakan sendiri akibat dari tingginya gengsi mereka tersebut.

Bagi saya, si A ini adalah contoh sarjana yang sangat sukses. Saya tidak malu menceritakan kepada siapapun soal sosoknya. Bahkan saya sangat bangga. Ia mau berdikari dengan tangan dan kakinya sendiri, bertanggungjawab sebagai seorang kepala keluarga menafkahi anak dan istrinya, dan bahkan mampu membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain yang saya sendiri belum mampu untuk melakukannya hingga saat ini.

Di perjalanan pulang, saya menceritakan soal sosok si A ini kepada istri saya. Dan saya katakan bahwa kapan-kapan saya mau mengundangnya ke kelas saya untuk berbagi cerita soal berwirausaha. Mungkin jika di forum-forum lain, untuk mengisi sesi berbagi cerita soal kewirausahaan, pemilik acara lebih senang mengundang tokoh-tokoh terkenal, maupun pengusaha-pengusaha dari Jakarta karena akan menjadikan acaranya terkesan lebih mentereng, maka untuk kelas saya, justru saya lebih senang mengundang narasumber yang bidang usahanya sangat dekat dengan kehidupan para mahasiswa sehari-hari, sehingga diharapkan perspektif mereka akan menjadi lebih luas, menjadikan mahasiswa lebih bijak dalam melihat masa depan, bahwa berwirausaha itu tidak perlu yang muluk-muluk sampai membicarakan menjadi start up.

Bagi saya ide usaha yang bagus adalah yang dilaksanakan, bukan sekedar di diskusikan

Share:

0 komentar