MARTABAK DAN IDEALISME

Baca Juga

Beberapa bulan yang lalu, saya ditugaskan oleh kampus untuk membawa belasan perguruan tinggi di Taiwan untuk melaksanakan pameran pendidikan tinggi di Jogja, Surabaya, dan Malang. Kegiatan ini rutin dilaksanakan setiap tahunnya sebagai upaya mengenalkan pendidikan tinggi Taiwan ke masyarakat Indonesia. Dari beberapa kota penyelenggaraan, Surabaya adalah kota yang pasti dikunjungi setiap ada gelaran kegiatan ini, karena selain kantor Taiwan Education Center Indonesia di Surabaya (TECSID) berada, juga Surabaya merupakan salah satu kota asal mayoritas mahasiswa Indonesia di Taiwan. Tapi kita tidak akan berbicara soal ini. Mungkin lain waktu.


Ilustrasi : Sarjana dan Pengangguran (Gambar : Gary Varvel / www.garyvarvel.com)

Saat di Jogja, saya iseng membuka aplikasi grab food. Saat itu sudah larut malam. Saya mencoba menscroll makanan apa saja yang masih tersedia jam segitu di Jogja. Mata saya lantas tertuju pada sebuah brand makanan yang tidak asing bagi saya. Sesaat kemudian pikiran saya melayang membawa ke memori saat masih tinggal di Jogja 7 tahun yang lalu.


***


Namanya mas Aam. Saya mengenalnya karena ia satu fakultas dengan saya,/namun berbeda jurusan dan angkatan. Istrinya (waktu itu masih pacarnya) kebetulan beberapa kali jadi pengawas UTS dan UAS di tingkat fakultas bersama saya dan teman-teman lainnya. Selain itu, mas Aam ini cukup dikenal karena ia salah satu lulusan terbaik dan orangnya pekerja keras.


Suatu ketika, istrinya itu membawakan bingkisan untuk kami nikmati di kantor di sela-sela mengawas ujian mahasiswa. Bingkisan tersebut ternyata adalah martabak. Kami semua tanpa aba-aba langsung berebut menikmati martabak tersebut. Bagi saya yang memang penyuka martabak sejak kecil, martabak ini cukup enak dan toping/isiannya banyak. Setelah dua kotak martabak amblas oleh kami, barulah si mbaknya membuka pembicaraan.


“Bagaimana rasa martabaknya?”

“Enak, empuk dan banyak isiannya. Kamu beli dimana?”

“Ini yang masih percobaan sebenarnya. Mas Aam mau jualan martabak. Kalau ada kritik atau saran, kami welcome sekali”

“Kritiknya cuma satu, bawanya kurang banyak”


Seketika seiisi ruangan berubah menjadi riuh dengan tertawaan para pengawas ini. Dan keriuhan ini segera mereda dengan bunyi bel yang menandakan kami harus kembali ke kelas untuk mengawasi ujian para mahasiswa.


***


Suatu sore, saya menyempatkan mampir ke jualannya mas Aam yang kebetulan juga tidak terlalu jauh dari kos saya. Sembari membuatkan pesanan saya, dia banyak bercerita tentang berbagai hal. Salah satunya soal mengapa ia mau membuka usaha martabak ini, padahal ia adalah lulusan terbaik di jurusannya. Ia bercerita juga bahwa ia sebenarnya sudah ditawari untuk sekolah magister dan diberikan beasiswa. Namun ia menolaknya. Ia ingin mewujudkan impiannya menjadi seorang pengusaha. Baginya, memiliki usaha martabak ini adalah idealisme yang telah lama ia jaga dan ingin wujudkan. Ia tidak mau larut dalam euforia sarjana yang berlomba-lomba melamar kerja di berbagai perusahaan, atau bagi yang mampu bersekolah lagi. Menurutnya salah satu tugas yang sebenarnya diemban oleh para sarjana adalah membantu menciptakan lapangan kerja, bukan malah menjadi pencari kerja. Dia berseloroh bahwa karena idealismenya dia ini, dia dicemooh oleh teman-teman seangkatannya.


Moso lulusan terbaik dagang martabak. Malu dong sama ijazah”


Itu satu dari sekian banyak cemoohan teman-temnannya tatkala tahu bahwa dia membuka usaha martabak. Ia sendiri tidak menghiraukannya. Baginya mewujudkan idealismenya ini jauh lebih penting dibanding menghiraukan celotehan-celotehan orang lain yang tidak tahu apa-apa tentang dirinya tersebut.


Selama beberapa bulan, saya perhatikan ia selalu bongkar pasang menu. Mulai dari martabak biasa hingga martabak hijau / pandan. Belum lagi ia berusaha membuat strategi marketing dengan menggunakan kupon dimana setiap beli martabak akan dapat 1 kupon. Setelah mendapat 10 kupon, bisa ditukarkan dengan martabak rasa apa saja.


***


Waktu pun berlalu, selepas menyelesaikan studi S1, saya meninggalkan Jogja. Sebenarnya setahun berikutnya saya sempat berkunjung ke Jogja, namun tidak sempat mampir ke warungnya mas Aam. Tapi saya sempat melintas di salah satu kedainya yang ternyata sudah punya beberapa cabang.


Tahun lalu saat saya berada di Jogja, saya akhirnya bisa kembali menikmati martabak mas Aam tersebut. Di aplikasi Grab Food, kedai miliknya menawarkan banyak ragam makanan lainnya. Ia ternyata berhasil melebarkan usahanya hingga memiliki banyak cabang di Jogja. Ia juga berhasil meramu jenis-jenis makanan yang sebenarnya sudah familiar menjadi lebih istimewa.


Mas Aam adalah satu contoh seorang sarjana yang tidak mau begitu saja bergantung pada ijazahnya. Ia menganggap bahwa proses ia kuliah adalah proses membangun idealisme untuk mencari solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat, yang salah satu terbesarnya adalah minimnya lapangan kerja dan meroketnya pengangguran.


Ia menganggap bahwa ijazah hanyalah bukti bahwa ia telah menyelesaikan pendidikan. Namun yang terpenting baginya setelah lulus kuliah adalah bagaimana ia bisa mewujudkan idealismenya dan membangun karya yang itu bisa memberikan dampak bagi masyarakat. Saat ini, ia sendiri telah merekrut banyak anak-anak muda lulusan SMA yang tidak bisa lanjut kuliah, untuk bekerja menjadi karyawan di cabang-cabang kedai martabaknya. Ini adalah bukti bahwa ia berhasil membantu mencarikan solusi untuk permasalahan minimnya lapangan kerja.


Menjadi pengusaha makanan atau jajanan pasar bukanlah aib bagi seorang sarjana atau yang bergelar lebih tinggi. Selama pekerjaan itu tidak merugikan orang lain (terlebih apalagi bisa ikut membantu orang lain), maka teruskan saja. Tinggi rendahnya seseorang itu bukan dilihat dari pekerjaannya, tapi seberapa besar manfaat yang ia bisa berikan untuk orang di sekitarnya” 
-Abi Naya-


*Tulisan ini seharusnya muncul tahun lalu, namun baru bisa sekarang saya publikasikan

Share:

0 comments