RUU HIP ; PERLUKAH?

Baca Juga

Beberapa waktu yang lalu, publik digegerkan dengan RUU HIP yang disahkan masuk kedalam Prolegnas DPR RI. Masuknya sebuah RUU kedalam prolegnas sebenarnya hal biasa, namun konten dari RUU ini menjadi pemicu kegaduhan ditengah konsentrasi publik yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid 19. Walaupun kini RUU tersebut ditarik kembali dan diganti dengan nama lain, namun kita harus tetap waspada dengan isinya. Publik berhak tahu dan mengkritisinya, mengingat konsentrasi kita sedang terpecah. Namun pertanyaan mendasarnya, masih perlukah RUU ini dilanjutkan pembahasannya (walau dengan nama lain)? Dimana letak unsur mendesak dari perlunya RUU ini dibahas dan disahkan? Tulisan pendek ini mencoba mengelaborasi beberapa hal untuk menjawab pertanyaan diatas secara singkat.

PANCASILA DAN KESALAHAN KONSEPSI

Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang mestinya jadi acuan dalam setiap regulasi atau undang-undang. Adanya RUU HIP ini sebenarnya malah mendegradasi Pancasila menjadi kebawah dalam tata aturan hukum kita. Ketika ia diturunkan menjadi sebuah UU, menjadi tidak tepat karena Pancasila jadi dimaknai ulang untuk bisa menjadi UU dan juga ditempatkan seakan-akan di bawah.

 

Ilustrasi (Gambar :  Sindonews)
Ilustrasi (Gambar :  Sindonews)

Pancasila adalah nilai. Jika ia dibuat menjadi UU, maka justru merubahnya menjadi yang dinilai. Logikanya adalah jika Pancasila adalah nilai, maka seluruh turunannya (UU) harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Maka jika Pancasila justru dibuat menjadi UU, maka ini sama saja seperti menilai Pancasila dengan Pancasila. Hal ini akan mengacaukan logika ketatanegaran kita.

WACANA DAN NORMA

Pancasila dengan kelima silanya adalah norma. Norma Pancasila ini lantas menjadi norma-norma hukum dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Pancasila sebagai norma diabadikan dalam preambul UUD 45.

Adanya frasa Trisila dan Ekasila, justru membuktikan bahwa penyusun RUU ini gagal memahami sejarah. Soekarno hanya sekali menyebut Trisila dan Ekasila dalam pidatonya. Jika kita pahami pidatonya secara utuh, maka kita akan mendapati bahwa Trisila dan Ekasila hanyalah sebuah wacana. Ini berbeda dengan Pancasila yang justru menjadi norma.

Pancasila yang kita miliki saat ini adalah Pancasila hasil dari proses panjang perdebatan para founding fathers kita tentang dasar negara. Dimulai dari 1 Juni 1945 hingga disahkan 18 Agustus 1945. Dan dalam pengesahannya, Pancasila adalah tetap 5 dasar / norma seperti yang kita kenal saat ini. Wacana Ekasila dan Trisila tidak ada disebutkan dalam putusan tersebut. Oleh karena itu, adanya kedua frasa ini dalam RUU HIP membuktikan bahwa penyusun RUU ini gagal memahami sejarah.

MASALAH KITA ADALAH IMPLEMENTASI PANCASILA

Yang sesungguhnya terjadi di Indonesia saat ini bukanlah menjadikan Pancasila sebagai sebuah UU, melainkan bagaimana mengimplementasikan Pancasila dan segenap nilai-nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua lapisan masyarakat, mulai dari rakyat hingga pejabat sudah seyogianya menjadikan Pancasila sebagai spirit dalam mengelola negara ini.

Namun pada kenyataanya, harapan ini masih jauh. Kita bisa melihatnya dari banyaknya UU yang dibatalkan oleh MK karena saling bertentangan dan bahkan bertolak belakang dengan UUD 45 sebagai tata aturan hukum yang menginstitusionalisasi Pancasila. Muhammadiyah sendiri melalui gerakan jihad konstitusionalnya bahkan sudah banyak berhasil mengajukan Judicial Review ke MK dan dikabulkan. JR yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini semata-mata diajukan karena Muhammadiyah menemukan ada ketidaksesuaian konten UU yang disahkan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Keberhasilan Muhammadiyah dalam men-JR kan banyak UU ini membuktikan bahwa masih banyak produk legislasi kita yang jauh dari implementasi nilai-nilai Pancasila. Dan ini baru satu contoh letak dimana persoalan Pancasila di negeri ini. Masih banyak persoalan lain dari Pancasila yang lebih urgen dibanding menjadikannya sebagai UU seperti perilaku elit negeri yang banyak mempertontonkan 'dagelan' politik yang jauh dari nilai-nilai Pancasila.

LANTAS APA URGENSI RUU HIP INI?

Satu-satunya alasan yang bisa diterima dari keberadaan RUU ini adalah institusionalisasi lembaga BPIP yang dibentuk presiden sejak tahun 2018. Namun, walaupun bisa dirasionalisasi, keberadaan RUU ini sebenarnya tidak mendesak. Keberadaan BPIP sendiri sudah dikuatkan dengan Perpres. Memang lazimnya, sebuah lembaga negara dilahirkan sebagai bentuk turunan dari sebuah UU, dan BPIP menjadi anomali sebenarnya karena BPIP bukan sebuah lembaga adhoc. Usaha mengembalikan kelaziman kelahiran BPIP sebagai lembaga negara melalui RUU ini makin menjadi sebuah anomali, karena konten RUU yang diajukan justru sangat tidak operasional. Walaupun penting, namun sangat tidak mendesak ditengah kondisi pandemi seperti saat ini. Toh nyatanya BPIP hingga saat ini belum menampakkan hasil kerja yang signifikan, justru pimpinannya malah sering membuat pernyataan blunder di media.

***

Dari poin-poin diatas, maka sudah jelas tidak ada alasan untuk tidak mencabut RUU dalam prolegnas DPR RI. Jikapun ini dirubah namanya menjadi RUU BPIP agar bisa disesuaikan dengan tujuannya untuk melegalkan lembaga BPIP, kita masih harus tetap kritisi kontennya, karena nyatanya isinya bertentangan dengan judul besar RUU itu sendiri.

*Tulisan ini telah terbit di Majalah At-Tanwir milik Muhammadiyah Pakistan, edisi perdana, Juli 2020

Share:

0 komentar