PENDIDIKAN [NYA] MANUSIA

Baca Juga

Sesaat setelah turun dari lift selepas mengajar mahasiswa, ada yang memanggilku dari kejauhan. Ia memberikan lambaian tangan mengajakku duduk di deretan bangku yang cukup usang.

"Mas, boleh minta saran tidak?"
"Saran apa ya? Kalau memang bisa, inshaAllah dengan senang hati"
"Begini mas, saya itu sedang ada masalah dengan dosen pembimbingku. Ia marah karena aku terlambat mengumpulkan revisi tulisan. Ia menganggap aku tidak mampu bekerja mengikuti iramanya. Apa yang harus aku lakukan? Semester ini aku mengambil mata kuliahnya. Aku khawatir ia akan benci dengan diriku."
"Kamu sudah jelaskan dengan sebenarnya penyebab kamu tidak bisa mengumpulkan revisi tulisanmu sesuai dengan jadwal beliau?"
"Sudah mas, tapi beliaunya tetap merasa bahwa aku tidak bisa mengikuti irama kerjanya. Ia menawarkan untuk menggantinya dengan dosen lain. Aku takut mas"
"Loh, kenapa harus takut?"
"Aku takut untuk dibanding-bandingkan dengan mahasiswanya yang lain, padahal kan mas tahu bagaimana bedanya kesibukanku dengan yang lain. Aku tidak mau dibanding-bandingkan mas di kelas"

***

Percakapan diatas menggugah saya untuk mengingat kembali masa-masa perenungan memilih bidang pekerjaan yang akan digeluti. Saat itu, menjadi pengajar adalah satu dari sekian banyak pilihan. Dan saat menjadi pengajar, maka seluruh hidupmu adalah tentang menjadikan manusia merdeka seutuhnya.

Menjadi pengajar adalah bukan pilihan yang ringan, bukan pula berat. Semua kembali pada niat awal menjadi pengajar. Namun satu hal yang perlu dipahami bagi setiap orang yang akan menjadi pengajar adalah bahwa setiap manusia itu dilahirkan sempurna, cerdas, pintar dengan kemampuan masing-masing. Tidak ada manusia di dunia ini yang sama. Masing-masing memiliki kecerdasannya yang tidak bisa disamakan maupun di-generalisir dengan lainnya. Bahkan untuk anak kembar identik sekalipun.
 
Ilustrasi (Sumber : Imguur.com)
Setiap manusia diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tak ada yang namanya produk gagal, karena jika kita menganggap ada produk gagal, secara tidak langsung artinya menganggap Tuhan lalai dalam menciptakan makhluk-Nya. Padahal Tuhan adalah sebaik-baiknya Pencipta dan sebaik-baiknya pengatur hidup serta takdir dari makhluk ciptaan-Nya.

Sebagai contoh, dalam masyarakat kita, anak yang terlahir dengan down syndrome, masih dianggap sebagai anak cacat yang tidak bisa melakukan apa-apa. Ia adalah beban keluarga di masa sekarang hingga di masa mendatang. Alhasil, banyak keluarga yang akhirnya "membuang" anak tersebut ke panti asuhan, panti sosial, penitipan anak, bahkan jalanan. Padahal dibalik "ketidaksempurnaannya", Tuhan sebenarnya menitipkan banyak hal yang itu justru tidak dimiliki oleh anak yang terlahir normal. Sebagai contoh Zhou Zhou. Ia tumbuh sebagai anak dengan IQ di angka 30. Namun dibalik "rendahnya" angka IQ, ia justru menyimpan potensi gemilang. Kini ia menjadi salah satu konduktor musik yang disegani didunia. Dan itu baru satu cerita, ada banyak cerita lain tentang mutiara-mutiara putih yang karena tertutup lumpur, dilupakan dan dibuang oleh manusia.

Lalu apa kaitannya dengan cerita epilogue tulisan ini?

Ketika menjadi pengajar, kita tidak bisa men-sama ratakan kecerdasan, kepintaran, dan kemampuan peserta didik kita. Setiap anak memiliki faktor penentu yang berbeda-beda. Misal ada satu anak yang kalau tes matematika selalu mendapatkan nilai 100. Sedangkan ada anak lain yang justru selalu mendapatkan nilai 30 jika mengikuti tes yang sama. Bisa jadi si anak dengan nilai 100 tadi memiliki lingkungan yang kondusif untuk belajar, memiliki dukungan buku yang memadai, dan mendapatkan dorongan moril dari orang sekitarnya. Namun itu tidak terjadi pada si anak dengan nilai 30. Dalam istilah gaulnya, Vice Versa.

Padahal, bisa jadi mereka sebenarnya memiliki modal kemampuan yang sama ketika sama-sama menjadi "start up" di kelas matematika tersebut. Namun karena satu dan lain hal, kedua anak tersebut memiliki nilai yang berbeda dalam tes matematika. Tapi bisa jadi si anak dengan nilai 30 tadi justru akan mendapat nilai 100 di pelajaran yang lain. Siapa tahu.

"Tidak Ada Siswa Yang Bodoh. Semuanya Cerdas Dan Pintar Dalam Bidangnya Masing-Masing"

Kalimat diatas sengaja saya buat kapital, sebagai penegasan dari apa yang saya dapatkan saat ngaji dengan Bapak Munif Chatib saat karantina Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar. Pak Munif, begitu biasa beliau dipanggil, menularkan semangat bahwa semangat dan pola pikir yang harus terbangun pertama kali dalam diri seorang pengajar adalah menjadikan manusia seutuhnya manusia. Ia harus dijadikan manusia dengan cara manusia pula. Tidak menyamaratakan. Dalam aktifitas kelas, memberikan nilai pada hasil karya siswa adalah sebuah keharusan. Namun jangan menjadikan nilai-nilai tersebut dalam makna mutlak yang menyamaratakan nilai lain dibaliknya. Misal ada 2 anak yang sama-sama mengerjakan tugas. Lalu saat dikumpulkan, guru tersebut memberi nilai 90 dan 80. Padahal si A memiliki 9 jawaban benar dan si B memiliki 3 jawaban benar. Lalu mengapa keduanya memiliki nilai yang hampir sama?

Ternyata si A adalah siswa seperti kebanyakan kita yang mampu mengerjakan soal tersebut dalam hitungan menit. Namun si B adalah anak Disleksia. Mengerjakan 3 soal dengan jawaban benar adalah sebuah kemajuan bagi dirinya. Mungkin di tes pertamanya, justru tidak ada jawabannya yang benar. Sehingga jawabannya benar 3 adalah sebuah kemajuan bagi anak tersebut. Disinilah letak perbedaannya. Nilai 90 bagi si A adalah apresiasi atas keberhasilannya menjawab soal sesuai dengan kaidah ilmu pengetahuan. Dan nilai 80 bagi si B adalah apresiasi atas usahanya untuk melampaui batasan yang ia miliki agar ia terus maju dan berkembang. Inilah salah satu gambaran "Nilainya Manusia". Ada makna tersirat dalam angka yang diberikan.

Pengajar yang memiliki pemahaman seperti ini, tentu tidak ada bosan saat ia masuk kelas. Jika ada sebagian pengajar yang saat masuk kelas, justru melihat siswa sebagai tumpukan batu, hanya satu yang emas, maka rugilah waktu dan pengetahuannya dalam menjadi pengajar. Andai saja pengajar tersebut memiliki keyakinan bahwa setiap manusia itu diciptakan dengan kelebihannya masing-masing, maka saat masuk kelas ia akan melihat taburan zamrud yang siap untuk dipoles agar berkilau. Inilah yang dirindukan oleh setiap siswa sebagai "Gurunya Manusia".

Terlepas dari setiap kekurangan yang mungkin saja dimiliki oleh setiap peserta didik, maka sudah seharusnya dilihat sebagai celah jalan yang harus diperbaiki. Celah tersebut bukan lantas di cemoohi, atau dimarahi, melainkan diperbaiki, ditutup dan ditambal agar jalan si peserta didik tetap lurus dan baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

Ki Hadjar Dewantara, puluhan tahun lalu sebelum ada kampus-kampus berdiri, sebelum ada guru-guru besar Pendidikan, sudah menegaskan bahwa hakikat pendidikan dan pengajaran adalah memanusiakan manusia. Pendidikan dan pengajaran idealnya memerdekakan manusia secara lahiriah dan batiniah agar selalu relevan untuk segala jaman. Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah. Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri.

Dari apa yang dijabarkan oleh Ki Hadjar tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa pendidikan dan pengajaran bukanlah bertujuan untuk membentuk manusia yang seragam, membentuk manusia yang sama. Melainkan membentuk manusia agar menjadi manusia seutuhnya dengan bentuk dan rupa yang sesuai dengan dirinya. Menyamaratakan manusia dalam proses pendidikan adalah seperti meminta Ikan, Gajah, dan Kera untuk bisa memanjat pohon pisang.


Lalu, apakah pendidikan kita sudah mengarah pada "Pendidikannya Manusia"? Mari kita renungi dan lihat kembali apa yang terjadi pada lingkungan sekitar kita. Menjadi seorang pengajar harus siap untuk menjadi pejuang. Pejuang yang berjuang untuk memerdekakan bangsanya sekali lagi dari pola pikir pendidikan lama menjadi pola pikir pendidikan baru yang membentuk manusia merdeka seutuhnya.

Share:

0 komentar