POLITIK LABEL ATAU LABELISASI POLITIK

Baca Juga

Pagi ini, saat mengantar istri saya ke Kantor, tiba-tiba dia berceletuk kepada saya tentang hal yang tak pernah diduga sebelumnya. Dia berceletuk setelah melihat sebuah baliho pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

“Mas, kok ini orang bersosialisasi untuk menjadi calon kepala daerah rada gimana gitu ya”, celetuknya.
“Gimana apanya nduk?” Aku balik bertanya.
“Kok orang mau nyalon kepala daerah, pakaiannya nggak seragam ya? Ada yang memakai pakaian adat, adat yang resmi, ada juga yang memakai koko. Padahal kan biasanya memakai jas semua atau cukup memakai baju resmi gitu”, pungkasnya.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Percakapan diatas benar-benar diluar dugaan saya. Selama saya kenal istri saya, dia termasuk orang yang cukup acuh tak acuh dalam persoalan politik. Maklumlah, dia merupakan akademisi yang berkecimpung di dunia sains murni, sehingga fenomena-fenomena seperti ini cukup asing baginya. Namun lain soal bagi alumni Ilmu Politik yang melihat ini sebagai sebuah trik usang dunia demokrasi.

Dalam proses komunikasi politik, kandidat yang akan maju selalu menggunakan segala cara untuk mencuri perhatian massa. Bisa menggunakan pendekatan politik, sosial, budaya, maupun pendekatan-pendekatan lainnya. Tak jarang bahkan ada yang sampai merubah “identitas” agar si kandidat bisa mendekati masyarakat. Salah satu yang cukup jamak dilakukan adalah melalui pendekatan sosial budaya.

Pendekatan ini biasanya menggunakan frasa “Putra Daerah” sebagai labelnya. Entahlah, namun kalau dicari pemaknaan literal dari frasa ini, maka sulit untuk ditemukan. Namun kalau di dasarkan pada landasan hukum pemerintahaan daerah melalui UU No. 22/1999 dan yang terbaru UU No. 32/2004. Pengertian putra daerah dapat dibuat beraneka ragam. Namun, demi kepentingan demokrasi dan integrasi bangsa, pengertian putra daerah harus bermuatan ciri-ciri sebagai berikut:
1.    Mengenal daerahnya dengan baik
2.    Mampu berbahasa daerah
3.    Mempunyai visi dan misi yang jelas untuk membangun daerah
4.    Dikenal oleh masyarakat daerah
Sedangkan dalam pemahaman awam masyarakat, putra daerah adalah orang / warga yang merupakan keturunan dari suku yang berdiam di suatu daerah. Jika mengambil pemaknaan ini, maka justru akan menimbulkan silang konsepsi sebagai putra daerah itu sendiri. Mengapa? Karena tidak ada putusan resmi ataupun justifikasi resmi dari pemerintah tentang suku-suku apa yang merupakan suku asli di daerah tersebut.

Sebagai contoh suku Jawa. Suku jawa ini [mungkin] suku yang penyebarannya cukup merata di hampir semua daerah di Indonesia. Baik karena proses transmigrasi maupun sebab lainnya. Perpindahan ini sendiri sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak zaman kolonial. Kita ambil contoh Bengkulu misalkan. Di Bengkulu, proses perpindahan suku Jawa itu sendiri sudah dimulai sebelum Propinsi Bengkulu itu sendiri berdiri. Walaupun mereka secara genetik merupakan keturunan suku Jawa, namun untuk di Bengkulu mereka justru lebih dulu mendiami wilayah-wilayah yang notabene sebelumnya tidak ada masyarakatnya. Apakah yang demikian itu kemudian kita kesampingkan sebagai putra daerah?


Ditilik dari referensi akademis, ada teori yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington tentang pemaknaan putra daerah itu sendiri. Dalam teorinya, Huntington menyatakan ada 4 jenis dari definisi putra daerah, yakni pertama, putra daerah geanologis atau biologis, yaitu seseorang yang dilahirkan dari daerah tersebut. Kategori ini dibagi menjadi, yakni seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut yang salah satu atau kedua orang tuanya berasal dari daerah tersebut dan mereka yang tidak lahir di daerah tersebut tapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah tersebut.

Kedua, yakni putra daerah politik, yaitu putra daerah genealogis yang memiliki kaitan politik dengan daerah tersebut, contohnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari daerah tertentu yang sebelumnya tidak memiliki kiprah politik dan ekonomi pada daerah tersebut atau anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) pusat yang oleh partainya di tempatkan sebagai kandidat dari daerah yang memiliki kaitan genealogis dengannya.

Ketiga, yakni putra daerah ekonomi, yaitu putra daerah genealogis yang karena kapasitas ekonominya kemudian memiliki kaitan dengan daerah asalnya melalui kegiatan investasi atau jaringan bisnis di daerah asalnya. Putra daerah ini terlintas hanya memiliki kepentingan pragmatis dengan daerah asalnya. Mereka menggunakan daerah hanya sebagai basis pemenuhan kepentingan politik dan ekonomi mereka sendiri. Namun sebaliknya daerah itu pun sedikit banyak memperoleh keuntungan politik dan ekonomi dari mereka.

Keempat, yakni putra daerah sosiologis, yaitu mereka yang bukan saja memiliki keterkaitan genealogis dengan daerah tersebut tetapi juga hidup, tumbuh, dan besar serta berinteraksi dengan masyarakat daerah tersebut. Mereka menjadi bagian sosiologis dari daerah tersebut.

Dari definisi-definisi di atas, jelaslah bahwa putra daerah tidak dapat didefenisikan secara sempit. Putra daerah tidak hanya dapat di artikan sebagai orang yang merupakan penduduk asli dari suatu daerah atau merupakan suku dari suatu daerah tersebut. Selain itu, dalam suatu daerah tidak mungkin hanya terdapat satu macam suku atau pun ras tapi terdiri dari berbagai macam suku dari berbagai daerah yang datang dan menetap di daerah tersebut.

Kembali ke bahasan utama, label putra daerah selalu menjadi jargon apabila dalam satu pencalonan terdapat kandidat yang tidak berasal dari daerah tersebut. Yang dielu-elukan adalah putra daerah akan bisa [dipastikan] mampu membangun daerah tersebut, karena ibaratnya ketika dia memimpin adalah seperti membangun rumahnya sendiri. Sampai disini, logika yang seperti itu patut kita pertanyakan kembali? Bagaimana si kandidat [maupun tim kampanyenya] bisa sampai membuat sebuah hipotesa konklusi seperti itu?

Seandainya hipotesa itu dibuat dengan asumsi bahwa asal daerah [suku] seseorang berkaitan erat dengan visi pembangunan kedepan, maka sudah sewajarnya think tank [Baca : Konsultan Politik] tim kampanye si kandidat tersebut harus diganti. Yang saat ini perlu dipahami adalah mindset pembangunan seorang pemimpin daerah itu harus berdasarkan kebutuhan masyarakat. Bukan pada siapa yang mendukung calon tersebut. Seseorang yang sudah terpilih dalam suatu proses pemilihan, maka dia bukan lagi dilihat sebagai figur individu / kelompok tertentu, melainkan milik keseluruhan masyarakat yang ada di daerah tersebut. Kebijakannya pun tidak serta merta didasarkan pada prinsip primordialisme yang lebih mengutamakan basis massa primordial si pemimpin tersebut.

Isu tentang putra daerah memang selalu sexy untuk diperbincangkan dan didiskusikan dalam hajatan demokrasi. Ini dikarenakan isu tersebut bersentuhan langsung dengan psikologis masyarakat dan keyakinannya. Namun yang perlu diingat bahwa label putra daerah tidak menjamin dan belum tentu akan berbuat yang terbaik ketika dia memimpin. Bisa jadi justru orang yang bukan dilahirkan dan tidak ada garis keturunan dengan masyarakat di daerah yang dia pimpin, justru akan berbuat yang lebih baik. Ini juga bukan kemudian menjustifikasi bahwa kandidat yang berlabel putra daerah tidak baik. Bukan seperti itu. Tulisan saya ini hanya mencoba mengingatkan bahwa untuk memilih pemimpin, jangan dilihat dari daerah dan suku mana dia berasal. Lihatlah pengalaman, platform, visi-misi, dan program dari si kandidat tersebut. Toh, siapapun yang memimpin itu tidak jadi soal, asal perut kita kenyang, kehidupan kita aman, punya pekerjaan serta bisa hidup dengan tenang. Bukankah itu yang diharapkan masyarakat dari pemimpin yang akan memimpin mereka di masa yang akan datang, iya kan?

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
REFERENSI PUSTAKA
Dr. J. Koloh, 2007, mencari bentuk otonomi daerah, Jakarta, PT Rineke Cipta

Share:

4 komentar

  1. Yupppzzz....tepat skaliii......

    BalasHapus
  2. yang penting rakyat tenang, nyaman, sejahtera.
    https://aksarasenandika.wordpress.com/2015/08/25/kita-dan-beda/

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baldatun Thayyibatun Warrabun Ghofur

      Hapus