TIDAK BERPENDIDIKAN ATAU TIDAK BERIJAZAH?

Baca Juga

"Beda orang berpendidikan dan tidak berpendidikan itu tidak hanya sekedar dari status jenjang pendidikan, tapi juga punya sopan santun di semua aspek kehidupannya. Sehingga dia tau cara berperilaku dan berbicara" -Ki Hadjar Dewantara-
Beberapa hari ini di jagad sosial media cukup ramai dengan topik perbincangan mengenai Ibu Menteri Kelautan dan Perikanan RI di Kabinet Kerja. Pembicaraannya bukan mengarah pada kebijakan apa yang sudah diambil, maupun tinjauan apakah program kerjanya pro rakyat atau tidak, melainkan latar belakang pendidikan dari Ibu Menteri. Bu Susi, beliau biasa dipanggil, merupakan menteri yang cukup nyentrik dan berhasil "mencuri" perhatian publik dari mulai diumumkan sebagai menteri hingga saat ini. Sebelum berkiprah di birokrasi, beliau adalah pengusaha ikan di Pangandaran serta merupakan pemiliki maskapai Susi Air yang merupakan jenis maskapai yang melayani penerbangan perintis. Tapi tulisan ini tidak akan membahas tentang itu. Saya mencoba membahas mengenai apa yang selama ini diributkan oleh publik dunia maya.

Di sosial media, apapun bisa terjadi dan apapun bisa menjadi topik perbincangan. Termasuk adalah perilaku maupun latar belakang dari seseorang. Seperti yang banyak diberitakan di media, Ibu Menteri Susi adalah satu-satunya menteri dalam kabinet Kerja Jokowi-JK yang tidak memiliki ijazah sarjana. Bahkan untuk ijazah SMA pun beliau tidak memilikinya. Hanya memiliki ijazah SMP. Namun publik terlanjur salah kaprah dalam menjustifikasi beliau sebagai orang yang tidak berpendidikan. Padahal secara tata bahasa, sangat berbeda antara orang yang tidak berpendidikan dengan orang yang tidak berijazah. Orang yang berijazah belum tentu merupakan orang yang berpendidikan.

Lalu dimana letak perbedaannya?
Orang disebut sebagai orang yang berpendidikan apabila perilakunya, sopan santunya, tata kramanya, eweuh pekewuhnya menunjukkan bahwa ia adalah orang yang pernah belajar tentang pendidikan, mengerti bagaimana hidup dan kehidupan seharusnya berjalan, serta memaknai apa itu keluhuran budi pekerti. Untuk bisa disebut sebagai orang yang berpendidikan, orang tidak memerlukan ijazah maupun gelar akademik. Lebih daripada itu, penerapan maknawi dari pendidikan pada perilaku dan perbuatan menjadi sebuah parameter penilaian mengenai apa dan siapa diri kita sesungguhnya.

Pendidikan adalah tentang bagaimana seseorang berkehidupan. Pendidikan bukan indoktrinasi, sebatas memberitahukan “Ini loh (gagasanku) yang (paling) benar!”. Pendidikan adalah membuka mind/pikiran, menstimulasi, membangkitkan, mendukung pencarian kebenaran. Pendidikan adalah mengembangkan pikiran dengan memperhatikan ragam gagasan (diri/orang lain). Pendidikan itu, menghargai perbedaan pandang.

Education is about learning, not teaching. Pendidikan adalah tentang pembelajaran, bukan pengajaran. Jika pendidikan adalah pembelajaran, maka itu adalah proses yang berkembang.

Lalu bagaimana dengan orang berijazah?
Orang yang berijazah adalah orang yang mendapatkan sertifikat, ijazah, piagam maupun sejenisnya yang menjelaskan bahwa ia telah lulus pada sebuah jenjang akademik. Namun orang yang berijazah belum tentu adalah ia yang berpendidikan, karena mungkin perilakunya justru tidak menunjukkan bahwa ia adalah orang yang pernah mengenyam dan menerima pendidikan. Sekali lagi, perilaku dan perbuatanlah yang kemudian menjadi parameter apakah seseorang bisa dikatakan berpendidikan atau sekedar berijazah.

Kita mengenal orang-orang seperti Adam Malik, M.H. Ainun Nadjib, Ajip Rosyidi, Purdi Eka Chandra, Andrie Wongso, maupun yang lainnya. Adakah mereka berijazah? Mereka memang orang-orang hebat dizamannya yang tidak pernah mendapatkan kertas bukti gelar akademik untuk keilmuannya. Tentu, untuk mendapatkan ijazah di zaman mereka, tidak semudah seperti saat ini. Mereka harus berjibaku dengan rezim maupun kondisi geografis serta ekonomi. Namun apa yang telah mereka capai dan apa yang telah mereka lakukan, jauh melebihi orang-orang yang berijazah dizamannya. Mereka mendapatkan ilmu kehidupan dari apa yang merasakan dan mereka lihat di sekelilingnya. Mereka adalah orang-orang yang diberikan karomah dari Tuhan bisa belajar secara otodidak.

Disini saya tidak menekankan bahwa sekolah dan jenjang pendidikan formal menjadi tidak penting. Bukan, bukan itu. Justru saya mewanti-wanti diri saya sendiri untuk terus bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin agar bisa belajar untuk menerapakan apa-bagaimana-dan untuk apa pendidikan itu ada. Kita mungkin bukan manusia istimewa seperti mereka, yang mendapatkan seberkas sinar Tuhan. Kita adalah manusia biasa yang justru harus tetap berusaha agar bisa menjadi orang yang bisa berperilaku sebagai orang yang berpendidikan. Anekdot ringan yang mungkin bisa ditulis adalah "mereka saja yang tidak berijazah bisa melakukan banyak hal untuk agama, bangsa, negara, dan masyarakatnya dengan ke-pendidikan yang mereka miliki, apalagi kita yang saat ini sudah sangat mudah untuk bisa mengenyam pendidikan hingga jenjang tertinggi"

Ki Hajar Dewantara pernah berujar ketika mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta, tujuan dari adanya pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia itu adalah sebuah proses untuk membuat atau menjadikan manusia itu sebagaimana keadaan, kedudukan manusia itu yang semestinya. Memanusiawikan manusia itu berarti “pengangkatan manusia ke taraf insani.". Dalam arti yang lebih luas, pendidikan bukan hanya untuk menyelesaikan atau menjawab persoalan yang sifatnya sangat teknis dan kekinian semata. Melainkan lebih jauh dari itu, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya memanusiakan manusia untuk membangun peradaban yang unggul. 

Lalu, dari apa yang sudah dipaparkan diatas, serta dari apa yang sudah dipublikasikan di media mengenai apa saja yang sudah dilakukan oleh Bu Susi, masihkah kita menyebutnya sebagai orang yang tidak berpendidikan? Tanyakan pada nurani dan nalar pribadi masing-masing.

Bengkulu, 1 November 2014

dR.

*Gambar dari sini

Share:

0 komentar