PEMERINTAH [TIDAK] BUTA PADA MISI DIPLOMASI BUDAYA
Baca Juga
Ada yang menarik ketika siang ini tidak sengaja
membaca tulisan dari salah satu mahasiswa di Yogyakarta yang mencurahkan keluh
kesahnya dalam memperjuangkan seni budaya. Dalam kasusnya, dia sedang
berusaha untuk mendapatkan dukungan dana guna pergi ke Eropa menghadiri
undangan pentas budaya, dan mereka berencana mementaskan beberapa seni budaya
dari beberapa daerah di Indonesia. Membaca tulisan itu, sejenak saya flashback terhadap
kenangan 2 tahun yang lalu. Ya, kenangan pahit manisnya perjuangan mengenalkan
dan melestarikan seni budaya Indonesia. Bukan di negeri orang, tapi di negeri
sendiri.
Waktu itu tepatnya bulan Agustus tahun 2011, saya
diminta oleh Ketua Sanggar Nusantara IKPMD Indonesia-Yogyakarta (Sanur) untuk
menjadi penghubung ke Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi DIY guna mengutarakan niat
rekan-rekan mahasiswa dan pelajar se-Indonesia di DIY yang tergabung dalam tim
Sanur untuk bisa pentas di Jakarta. Ide ini awalnya adalah sebuah gagasan yang
dilontarkan oleh Kepala Kantor Perwakilan Propinsi DIY (Kaperda) di Jakarta
yang waktu itu sedang menghadiri salah satu acara IKPMD Indonesia di
Yogyakarta. Menangkap adanya peluang itu, rekan-rekan di Sanur kemudian
menghubungi saya untuk kemudian dihubungkan dengan Kepala Dinas Kebudayaan
Propinsi DIY. Kepala Dinas menyambut baik gagasan ini, yang kemudian saat itu
juga langsung menghubungkan kami dengan Kepala Kantor Perwakilan Daerah
Propinsi DIY di Jakarta. Waktu itu saya hanya diberitahu bahwa kami diminta
untuk berkirim surat resmi melalui fax serta berkoordinasi langsung dengan
staff khusus beliau di Jakarta.
Pasca dari Kantor Dinas Kebudayaan DIY, saya kemudian
intensif melakukan pembicaraan dengan pihak Kaperda hingga akhirnya diperoleh
tanggal dan waktu pementasan. Kami memiliki waktu 4 bulan untuk persiapan
segala sesuatunya. Pihak Kaperda bisa membantu untuk memfasilitasi acara yang
akan dilangsungkan di TMII Jakarta dan akan dihadiri oleh semua Kepala Kantor
Perwakilan Daerah se-Indonesia di Jakarta. Selain itu Kaperda juga siap
memfasilitasi untuk penginapan serta konsumsi selama di Jakarta. Kaperda tidak
bisa memfasilitasi semuanya, dikarenakan kami pentas akhir tahun, kondisi
keuangan sudah hampir tutup buku. Oleh karena itu, diluar fasilitas diatas,
kami harus mencari sendiri.
Untuk masalah transportasi, awalnya saya meminjam bus
dari Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) Propinsi DIY. Saya pun mendapatkan acc langsung
dari Kepala BPO. Namun H-3 sebelum keberangkatan, Kepala Bagian memberitahu
bahwa bus BPO tidak layak jalan ke luar kota karena remnya blong, belum uji
KIR, serta kendaraan yang baru selesai di custom. Bagai disambar petir,
saya dan Ketua mendadak pucat, karena waktu yang tersisa tinggal 3 hari lagi.
Saya kemudian berbagi tugas dengan Ketua untuk mencari pinjaman bus di beberapa
instansi. Saya menghubungi ke Pangkalan TNI AL di DIY, dan menyatakan bahwa
kendaraannya tidak layak untuk ke Jakarta. Selain itu berbahaya karena
kendaraannya yang siaga adalah kendaraan khusus angkutan perang sehingga rawan
untuk dibawa ke luar kota. Lalu saya pergi ke Brimob DIY, namun belum juga
kesana, saya diberitahu bahwa bus Brimod tidak bisa keluar. Laporan dari Ketua
pun sama, dia gagal mendapatkan pinjaman kendaraan bus Satpol PP DIY, serta bus
DPRD Prop DIY. Hari berikutnya ditengah waktu yang semakin mepet, saya
mencoba melobi ke Kepala Stasiun Lempuyangan guna mendapatkan bantuan tiket
kereta. Apalacur, beliau bersedia membantu namun sayangnya tiket yang tersisa
hanya tinggal 10, sedangkan kami membawa lebih dari 30 orang dalam tim. Lagi-lagi
kami harus tertekan dengan waktu H-2 sebelum keberangkatan namun belum
mendapatkan kepastian bagaimana kami harus ke Jakarta. Opsi membatalkan
pementasan pun menyeruak, namun saya coba kekeuh bagaimanapun caranya
untuk bisa berangkat ke Jakarta karena persiapan di Jakarta sudah mencapai 90%
serta undangan yang sudah tersebar ke semua Kepala Kantor Perwakilan Daerah
se-Indonesia di Jakarta, serta Ketua-Ketua IKPM se-Indonesia di Jakarta.
H-1 sebelum keberangkatan saya mendapatkan bantuan
biaya dari kantong pribadi salah satu Kepala Bagian di BPO. Beliau yang selalu
mendukung kami, namun kali ini tidak bisa banyak membantu karena memang kondisi
yang tidak terprediksi sebelumnya. Waktu itu ketua pun akhirnya mendapatkan Bus
Kota (seperti KOPAJA) yang berani untuk membawa 30 orang dalam 1 bus ke
Jakarta. Saya dan pak Ketua mau tidak mau harus menggunakan uang pribadi untuk
menutupi pembayaran bus yang mencapai hampir 4 juta lebih.
Sebelumnya kami pun harus di dera dengan masalah
internal, dimana tim Sanur menganggap kami tidak peduli dengan persiapan
mereka. Mereka berdalih bahwa mengapa selama ini BPH tidak memperhatikan
mereka, membantu untuk konsumsi, serta datang menengok mereka. Kami punya
alasan tersendiri mengapa kami begitu, yang pertama karena kami sedang
diribetkan dengan urusan transportasi yang tidak kunjung pasti, kemudian kami
tidak memiliki kas untuk membantu pembiayaan konsumsi selama mereka latihan
berhari-hari (bahkan kami pun tidak pernah meminta sepeserpun dari uang kas
untuk sekedar uang bensin kami berdua guna pergi kesana-kemari). Permasalahan
selesai dengan keputusan bahwa kami akan membantu biaya konsumsi mereka selama
latihan (waktu itu kami akhirnya meminjam tabungan pribadi ketua yang
seyogyanya akan digunakan untuk berbisnis).
Permasalahan berikutnya yang muncul adalah
ketidaklengkapan seragam tari daerah yang dimiliki. Berbekal mandat sebagai
Sekjen, saya melobi rekan-rekan Ketua-Ketua IKPM se-Indonesia di Yogyakarta
guna bisa meminjam pakaian mereka. Lebih lanjut, segala perlengkapan lain
seperti tanda pengenal dan masalah perizinan bisa kami selesaikan dalam kurun
waktu H-12 jam sebelum keberangkatan. What a crazy time at that time
Sebenarnya saya juga mendapatkan kesempatan untuk bisa
pentas di Kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, pada hari seninnya, namun
karena kondisi rekan-rekan yang sudah terlalu lelah serta ketiadaan anggaran
tambahan, saya pun membatalkan agenda tersebut.
***
Dari kisah diatas serta melihat kisah yang ditampilkan
oleh saudari Nizam, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik.
- Pemerintah tidak pernah menutup mata perihal pelestarian seni budaya Indonesia. Kalaupun kemudian dalam kasus Nizam, dia tidak mendapatkan balasan atau respon dari pemerintah, itu bukan karena pemerintah tidak peduli. Mungkin bisa saja waktu yang terlalu mepet, kemudian ketiadaan anggaran mengingat ini baru awal tahun sehingga APBD/APBN belum bisa dicairkan hingga kuartal pertama. Bisa jadi mungkin pemerintah sudah memiliki prioritas lain dalam hal misi diplomasi budaya ke Eropa
- Pengajuan anggaran untuk hal-hal seperti ini, mutlak harus dibicarakan setahun sebelum pementasan. Kita tahu bahwa saat ini melalui SE Mendagri, bantuan-bantuan sosial yang selama ini banyak disasar oleh organisasi mahasiswa maupun masyarakat, sudah ditiadakan mengingat rawan penyimpangan. Sehingga mau tidak mau, kalau kita menginginkan adanya bantuan dari pemerintah, kita membicarakannya ketika RAPBD/RAPBN sedang dibahas, bukan ketika sudah diputuskan.
- Sebagai mahasiswa, terkadang jiwa nasionalisme kita terlampau tinggi hingga membutakan realitas yang ada. Memang benar bahwa sebagai generasi muda kita memiliki tanggungjawab mengenalkan serta melestarikan seni budaya bangsa agar tidak tergerus oleh budaya asing yang semakin masif menggempur Indonesia. Namun kita juga harus sadar bahwa, tidak selamanya niat baik kita bisa disalurkan melalui hal-hal yang bersifat seremonial dan monumental. Kita juga harus tau seberapa tinggi kemampuan kita untuk melaksanakan acara tersebut.
- Berbicara mengenai diplomasi budaya, kita bisa belajar banyak dari misi diplomasi budaya yang dibawa oleh teman-teman dari HI UPN Veteran Yogyakarta. Mereka berhasil menembus Eropa guna mengenalkan seni budaya bangsa. Satu hal yang perlu digaris bawahi dari usaha mereka adalah keberhasilan mereka menembus Eropa bukan semata-mata karena usaha instan dan mudah. Mereka butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan MoU dengan KBRI di Ceko hingga akhirnya bisa mendapatkan dukungan penuh. Selain itu, beberapa pementas adalah rekan saya sendiri yang mereka pun bercerita bahwa untuk pementasan ini mereka harus menjalani beberapa kali seleksi serta latihan yang memakan waktu kurang lebih 6-8 bulan.
- Jangan pernah putus asa untuk melestarikan seni budaya bangsa walau tidak ada dukungan materi dari pemerintah, yakinlah bahwa apa yang saat ini tengah dijalankan semata-mata sebagai wujud bhakti nyata kita agar seni budaya bangsa tetap lestari hingga anak cucu nanti. Jangan sampai kemudian kita belajar seni budaya kita sendiri kepada bangsa lain (lihat kasus wayang dan alat musik jawa)
***
*Tulisan ini adalah sebagai respon dari tulisan
saudari Nizam di kompasiana (lihat tulisannya disini)
** Berikut adalah beberapa photo saat kami menggelar pementasan seni budaya di Jakarta
Tags:
Sospol
0 comments