EUPHORIA UNDANG-UNDANG DESA : PELUANG ATAU ANCAMAN?
Baca Juga
Akhir tahun 2013 ditandai dengan berbagai kejadian
yang mengesankan. Tak terkecuali di gedung DPR (baca : Senayan). Bisa jadi, ini
adalah hari termanis bagi proses pembangunan Indonesia. RUU Desa yang selama
beberapa tahun mangkrak pembahasannya, akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang.
Ini merupakan tonggak baru bagi sebuah negara dengan sistem pembangunan bottom-up,
yang sebelumnya pembangunan menganut sistem up-bottom.
Di zaman orde baru, sistem pembangunan sangat
tersentralisasi, dimana daerah hanya bisa menerima apa yang pusat putuskan.
Namun, pasca reformasi, paradigma ini nampaknya mulai dirubah. Pemerintah sadar
bahwa sentralisasi hanya menciptakan pembangunan semu semata, tidak menyentuh
pada akar permasalahan. Desentralisasi menjadi sebuah paradigma baru dalam
pembangunan Indonesia saat ini. Untuk mengefektifkan sistem pembangunan ini,
senayan meloloskan UU Desa sebagai payung hukum membangun Indonesia dari bawah.
Ada beberapa hal yang menarik tentang UU Desa ini,
dilihat dari isi, prosesnya, serta efek sosial politiknya kedepan. Saya tidak
akan membahas secara mendalam mengenai isi perpasal dari Undang-Undang ini.
Tulisan ini coba berbicara dari sudut pandang dampak sosial yang mungkin
terjadi. Saya bukanlah ahli sarjana pemerintahan atau tata negara, pun saya
juga bukan seorang ahli hukum. Kaitannya dengan UU Desa, saya berusaha
menempatkan diri sebagai masyarakat yang tinggal di pelosok pedesaan yang dalam
UU ini dijadikan sebagai objek utamanya. Saya akan coba memaparkan
masalah-masalahnya terlebih dahulu sebelum kemudian mencoba menawarkan apa yang
sekiranya bisa dijadikan solusi akan permasalahan yang ada.
Salah satu klausul yang ada di UU Desa adalah tentang
adanya dana 10 % dari APBN dan APBD bagi setiap desa. Ini menjadi menarik
karena jika ditotal maka setiap desa akan memperoleh dana sekitar 1 milyar
rupiah. Angka yang cukup besar, dilihat dari anggaran yang selama ini
dikucurkan untuk setiap desa dari pemerintah. Perlu diingat bahwa jumlah desa
yang ada di Indonesia adalah 81.253 desa / kelurahan (data terbaru dari
Kemendagri). Persoalannya bukan pada jumlah desanya, namun lebih pada bagaimana
pengelolaan anggaran tersebut. Selama ini di desa-desa, pengelolaan anggaran
selalu diserahkan kepada Kepala Kampung atau Ketua Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Kampung (LPMK). Anggaran ini rawan untuk kemudian diselewengkan,
mengingat besarnya anggaran yang diberikan. Fenomena yang terjadi di tingkat
bawah adalah kebiasaan bagi-bagi jatah. Salah satu penyebab mengapa adanya
bagi-bagi jatah ini adalah karena kecilnya gaji yang diterima oleh perangkat
desa. Sehingga dengan adanya anggaran ini, maka boleh jadi ini adalah aji
mumpung bagi perangkat-perangkat desa. Namun itu bisa kemudian kita
siasati dengan pengawasan.
Pengawasan di tingkat desa dilakukan oleh Badan
Permusyawaran Desa (BPD). Lembaga ini merupakan perwujudan perwakilan dari
masyarakat di tingkat desa. Namun lagi-lagi BPD di berbagai daerah mengalami
stagnanisasi lembaga. BPD hanya menjadi lembaga formalitas tanpa memiliki
progress yang menggembirakan. Alasan klasik yang selalu muncul ketika
ditanyakan mengapa BPD tidak bergerak adalah ketidaktahuan anggota mengenai
mekanisme kerja serta pembagian kerja di BPD itu sendiri. Apabila kemudian BPD
tidak dicarikan solusinya, maka proses pengawasan akan mati serta potensi
terjadinya penyelewengan anggaran pembangunan yang diamanatkan oleh UU Desa
akan semakin besar. Itu adalah masalah yang pertama.
Permasalahan yang sekiranya berpotensi terjadi di
lapangan berikutnya adalah mengenai mekanisme penganggaran. Di penjelasan UU
Desa tertera bahwa mekanisme penganggaran akan melalui daerah. Titik rawannya
sendiri berada pada penyalurnya. Melihat dari kejadian-kejadian yang hampir
serupa, contohnya ketika penganggaran sertifikasi guru, dana yang turun dari
pusat diendapkan dulu di rekening daerah sampai beberapa bulan. Endapan ini
bukan untuk kemudian dikorupsi, melainkan mencari bunga dari endapan dana di
bank. Coba saja dihitung, jika satu kabupaten terdapat 450 desa, artinya adalah
dalam satu tahun akan ada dana segar sekitar 450 miliyar rupiah. Kalau bunga
bank tiap bulannya mencapai 2 persen, sudah berapa dana yang bisa diperoleh
dari endapan ini.
Dalam hal realisasi di lapangan, UU Desa juga
mengamanatkan harus dilakukan melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa
(Musrembang Desa). Masalahnya kemudian, apakah musrembang ini cukup efektif
untuk membuat rencana kerja selama setahun mengingat SDM berkualitas yang
sangat terbatas di pedesaan. Pengalaman selama ini, Musrembang hanya menjadi
sebuah forum formal untuk pengesahan saja. Rencana-rencana yang diajukan
semuanya dibuat oleh beberapa orang saja, itupun ketika ditawarkan di forum,
masyarakat maupun perwakilan yang hadir, hanya memberi label persetujuan saja
tanpa urun rembug maupun mengkritisinya. Tentunya ini menjadi preseden yang
kurang baik dalam proses pembangunan. Keikutsertaan masyarakat dalam menggali
rencana pembangunan mutlak dibutuhkan agar pembangunan bisa selaras dengan apa
yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Kemudian, masalah yang berpotensi muncul adalah
tingginya politik uang dalam pemilihan kepala desa. Hingga saat ini, tidak ada
payung hukum yang melegalisasi adanya pemberian biaya pemilihan kepala desa
dari pemerintah. Selama ini, biaya pemilihan kepala desa selalu dibayarkan
dengan cara patungan antar calon. Tak heran kemudian, satu calon kepala desa
bisa menghabiskan dana puluhan juta rupiah. Dana tersebut diperuntukkan bagi
biaya penyelenggaraan, pesta, sosialisasi, serta hal-hal lain yang terkait
dengan pemilihan maupun konstituen. Ini menjadi sandungan tersendiri bagi
penerapan UU Desa, karena dalam UU Desa tercantum bahwa periodisasi jabatan
kepala desa adalah selama 2 periode dengan masing-masing periode selama 6
tahun. Fatalnya adalah dalam UU Desa ini tidak termaktub adanya dana dari
pemerintah untuk proses pemilihan kepala desa. Apabila ini tidak segera
dicarikan solusinya, maka dana perimbangan yang jumlahnya fantastis itu bisa
menjadi bancakan untuk mengembalikan modal yang sudah dihabiskan oleh kepala
desa dalam pemilihan.
Dari beberapa masalah yang potensial tersebut, saya
mencoba menarik sebuah benang merah antara fakta di lapangan dengan opsi yang
ada di UU Desa. Pertama, tentang mekanisme pengawasan serta penganggaran
program, BPD harus menjadi watchdog yang bertaring. Satu hal yang
harus dilakukan sebelum pelaksanaan UU Desa ini diterapkan sepenuhnya adalah
adanya maintenance SDM di BPD itu sendiri. Untuk informasi, UU Desa
akan resmi diberlakukan mulai awal tahun 2015, sekaligus menunggu Peraturan
Pemerintah untuk teknis pelaksanaannya. Guna mengefektifkan aktor-aktor yang
ada, maka pemerintah harus meningkatkan SDM di dalam BPD. Ini bisa dilakukan
dengan membuat semacam pelatihan maupun workshop secara bertahap. Legislator-lagislator
desa ini harapannya mampu mengimbangi power yang dimiliki oleh kepala desa
sebagai decision maker. Selain itu, adanya korespondensi antara BPD dengan
DPRD juga bisa menjadi solusi meningkatkan efektifitas kerja BPD. Setidaknya
ini mampu menjadi akselarator proses check and balance di tingkat
desa.
Kemudian dalam kaitannya dengan hambatan distribusi
dana perimbangan di tingkat daerah, peran serta lembaga-lembaga dari pusat
penting untuk dihadirkan. Sistem otonomi daerah tidak membatasi adanya campur
tangan dari pusat, sehingga proses distribusi ini harus mendapatkan pengawasan
ketat dari pusat. Pengalaman di dana sertifikasi guru, ketiadaan pengawasan
dari pusat menjadi lubang mengapa dana tersebut bisa ditahan di daerah. Apabila
dana perimbangan pembangunan desa ini tertahan, pastinya pembangunan akan
terganggu, padahal semangat yang ada dalam UU Desa jelas menyebutkan bahwa
ujung tombak pembangunan Indonesia saat ini terletak di desa.
Beranjak ke permasalahan berikutnya, solusi yang bisa
kita tarik adalah adanya seorang fasilitator di setiap desa. Fasilitator ini
fungsinya sebagai akselarator lembaga-lembaga yang ada di desa maupun
proses-proses yang ada di dalamnya. Inisiator UU Desa sudah sering memberikan
pernyataannya bahwa kedepan memang akan ada fasilitator di tiap desa dan ini
rencananya akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Namun dalam
pernyataannya, tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses rekrutmen
fasilitator ini, apakah mereka ini adalah staff kementerian dari pusat atau
fasilitator independen yang selama ini ada di program PNPM. Saya melihat
apabila fasilitator ini berasal dari pusat, maka tentu akan ada banyak uang
yang dikeluarkan. Jalan keluar alternatif yang bisa dipakai adalah memanfaatkan
mahasiswa-mahasiswa yang ada di daerah melalui program KKN. Tentu akan ada
banyak polemik jika benar fasilitator adalah mahasiswa. Tapi tidak ada salahnya
pemerintah memberikan kesempatan bagi calon-calon intelektual muda ini
mengaplikasikan ilmunya langsung di masyarakat.
Yang terakhir adalah bagaimana pemerintah dan
masyarakat mencari solusi untuk menekan adanya biaya politik yang tinggi dari
proses demokrasi di tingkat desa guna menghindari bancakan dana perimbangan.
Ini sebenarnya juga masih menjadi perdebatan di kalangan legislatif daerah
maupun pusat. Bagi saya, anggaran dari pemerintah mutlak diperlukan. Saya
sendiri setuju apabila pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD. Nah, anggaran
yang sedianya untuk pilkada, bisa dialihkan ke desa-desa. Saya memiliki alasan
sendiri mengapa saya mendukung kebijakan ini. Gubernur menurut saya adalah
representasi dari pemeritah pusat. Kita sendiri melihat bagaimana setelah kran
otonomi daerah dibuka, peran gubernur jauh berkurang dibanding Bupati maupun
Presiden. Pemilihan langsung digunakan untuk memilih pemimpin yang memiliki
kaitan langsung dengan masyarakat. Salah satunya adalah kepala desa. Oleh
karena itu, saya sepakat bahwa dana pemilihan gubernur bisa dialihkan sebagai
dana bantuan operasional pemilihan kepala desa. Ini penting, karena saya
melihat tingginya modal yang dikeluarkan oleh kepala desa berbanding lurus
dengan efektifitas kerja kepala desa.
Semua hal yang saya paparkan diatas, tidak mutlak
terjadi di setiap desa yang ada di Indonesia. Bahkan mungkin apa yang saya
tulis diatas hanya sebuah kasuistik di daerah saya. Namun, tentu apa yang
terjadi ini bukan kemudian kita akan tutup mata. Semangat pembangunan yang ada
dalam UU Desa serta bagaimana euphorianya tentu tidak akan terlaksana apabila
pemerintah sendiri tidak mau melaksanakan UU Desa ini. Jangan sampai UU Desa
ini hanya menjadi naskah pelengkap kerja DPR semata. Sebagai masyarakat, tentu kita
memiliki kewajiban untuk senantiasa berkontribusi bagi pembangunan yang memang
sedang digalakkan, salah satunya melalui UU Desa ini. Kita jangan psimis dengan
ikhtiar yang sudah dilakukan oleh pemerintah maupun DPR. Walaupun nantinya akan
banyak kendala yang dihadapi di lapangan, tidak lantas membuat kita berhenti
untuk terus mewujudkan masyarakat yang adil-makmur serta berkemajuan. Setiap
hambatan tentu memiliki pemecahan masalahnya, pertanyaannya kemudian adalah
apakah kita mau berkontribusi untuk mencari solusi itu. Silahkan kita bertanya
kepada diri kita masing-masing. Wallahu'alam bishowab
Tags:
Sospol
0 comments