AKU [BUKAN] ISRAEL : KETIKA SELALU BERTANYA ADALAH ISRAELIYAH
Baca Juga
Ketika banyak orang mengagungkan
para mahasiswa sebagai rakyat terdidik yang diharapkan mampu kritis dalam
berbagai hal, dibalik itu semua ada banyak hal yang sebernya perlu diketahui
bahwa tidak selamanya mahasiswa itu bisa kritis dan tidak selamanya kritis itu
adalah baik. Adalah latar belakang yang membuat mereka terkadang tidak mampu
kritis. Padahal ditelisik dari cara pandangannya, banyak mahasiswa yang mampu
kritis. Namun tradisi dan culture pulalah yang membuat mereka begitu.
Adalah aku, seorang anak biasa yang
tidak memiliki kemampuan istimewa. Namun dengan segala keterbatasan itu, aku
mencoba selalu bertanya mengenai hal-hal yang tidak aku ketahui. Di bangku
sekolah aku terkenal sebagai anak pendiam. Jarang sekali bertanya. Namun ketika
diperintah mengerjakan tugas aku bisa mengerjakannya. Entah kebetulan atau
tidak namun itu selalu terulang dalam diriku. Terkadang aku tidak puas dengan
jawaban-jawaban dari sang guru jika aku bertanya. Entah aku yang terlalu bodoh
atau memang pertanyaan ku yang gila sehingga tidak bisa dijawab.
Aku seorang muslim, sudah
sepatutnya aku mendapatkan pendidikan agama sedari kecil. Akupun mulai belajar
mengaji dari satu guru ke guru lain. Ketika aku berguru ke salah satu Kyai
terkemuka, akupun merasa cocok. Aku selalu bertanya ketika beliau selesai
menyampaikan materi. Dan itu selalu aku lakukan hampir setiap malam. Sampai
suatu malam ketika aku baru mulai dengan beberapa pertanyaan, tiba-tiba sang
Kyai pun berceloteh “Sudahlah jangan bertanya terus, kamu seperti orang Israel
saja, selalu bertanya”.
Hati kun seketika itu juga bergetar
mendengar perkataan itu. Ingin menangis rasanya, aku baru berumur 7 tahun dan
ketika aku sangat besar rasa keingintahuan ku, aku dikatai sebagai orang Israel
karena terus menerus bertanya mengenai hal-hal baru yang belum bisa aku terima
dengan nalarku.

Kejadian itu selalu berulang di
hampir tiap pertemuan. Gerah rasanya mendengar celotehan sebagai seorang Israel
itu. Terkadang aku sampai mengurungkan niatku untuk bertanya. Inikah contoh
pendidik yang menginginkan anak didiknya menjadi kritis sedangkan kita
dibungkam untuk bertanya.
Ah, perduli setan dengan itu semua.
Aku hanya berlalu menjalani hari-hariku dengan celotehan-celotehan Gila itu.
Sampai terkadang terlintas dalam pikiranku apakah ini model pendidikan yang
diterapkan dalam pesantren. Memang hampir semua guruku lulusan pondok
pesantren. Entah itu yang pesantren terkenal atau tidak. Namun aku menemukan
kesamaan cara pandang mengenai anak yang sering bertanya dan mencoba kritis
itu. Mereka satu suara memberi julukan Israel bagi anak yang sering bertanya.
Waktu pun terus berputar. Ketika di
SMA pun begitu. Terkadang jika ada seorang teman yang presentasi aku selalu
diancam aga tidak bertanya. Ah, mengapa semua orang mengecamku ketika aku
berusaha kritis.
Akukah yang salah?
Atau caraku yang salah?
Yang jelas aku bukan Israel.
Aku hanya mencoba mencari tahu arti
tentang kebenaran itu sesungguhnya. Tidak lebih. Aku bukan orang Idiot yang
selalu bertanya tentang hal-hal tidak penting. Aku juga bukan orang Pintar yang
bertanya hanya untuk menguji seseorang.
Aku hanya mencoba mencari tahu
tentang apa yang tidak aku ketahui. Orang tua ku mengajarkanku untuk mandiri.
Cari tahu sendiri hal-hal yang belum kamu ketahui. Jangan menyerah jika kamu
belum mengetahui jawabannya.
Aku bukan Israel......
Inikah potret budaya di negeri
kita. Pembungkaman daya kritis dan nalar seseorang dengan dalih disamakan
dengan orang Israel?
Dosakah aku jika aku selalu
bertanya?
Salahkah aku jika aku bertanya
untuk mencari sebuah kebenaran?
Aku bukan Israel...........
Sampai kapan budaya ini akan
berlangsung?
Beranikah aku merubahnya?
Salahkah jika aku merubahnya?
Sehingga aku kelak bisa berteriak
AKU BUKAN ISRAEL.
* Tribute to Kebebasan Bertanya
** Sebuah catatan dari seorang anak
manusia yang terbelenggu oleh keadaan dan budaya pembungkaman
dR.
Tags:
Soneta
0 comments