Hingga satu minggu setelah Litbang Kompas merilis hasil surveinya, masyarakat masih terus membicangkannya. Di darat, diskusi-diskusi ilmiah digelar untuk merespon hasil survei terbaru dari Litbang kompas ini. Akademisi, aktivis, hingga kelompok relawan menjadikan ini sebagai topic of the week di satu bulan menjelang pencoblosan. Begitu juga yang terjadi di udara. Buzzer, warganet, hingga berbagai media dari berbagai macam platform juga turut menjadikan hasil survei Litbang Kompas ini sebagai hot issue minggu ini.
Litbang Kompas (Foto : kompas.id)
Banyak yang mengapresiasi hasil temuan Litbang Kompas ini. Namun tak sedikit juga yang mengkritik bahkan justru mencibirnya. Dalam hal kritik, masyarakat mengkritisi metode yang digunakan oleh Litbang Kompas hingga latar belakang dan lokasi survei yang dianggap tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Bagi yang mencibir, mereka menganggap bahwa Survei Litbang Kompas ini penuh dengan ketidak-independenan dalam pelaksanannya dan cenderung pro kepada salah satu pasangan calon. Bahkan ada pimpinan dari lembaga survei yang lain justru menyerang pemred Kompas secara personal dengan isu kedekatan kepada salah satu calon wakil presiden, sehingga ia menanyakan independensi dan kualitas surveinya. Terlepas dari itu semua, Litbang Kompas sebenarnya sudah menang banyak karena berhasil menjadi topik pembicaraan teratas lebih dari satu minggu. Berbeda dengan hasil survei dari lembaga lain yang biasanya hanya bertahan 1-2 hari saja. Disini Kompas berhasil membuktikan pengalamannya sebagai media arus utama yang berhasil menyajikan konten yang bisa menjadi pembicaraan hangat di masyarakat selama berhari-hari, sekaligus menjadi tantangan untuk membuktikan kredibilitas [Litbang] Kompas sebagai media independen dan bukan partisan.
Akhir tahun 2018, publik di Indonesia dikejutkan dengan viralnya berita tentang 300 mahasiswa Indonesia yang melakukan kerja paksa dan disuruh makan daging babi di Taiwan. Berita ini menjadi headline di berbagai surat kabar nasional Taiwan maupun di Indonesia. Namun berita ini menjadi simpang siur karena ada beberapa versi dan bantahan dari pihak kampus yang bersangkutan. Lalu bagaimana cerita yang sebenarnya tentang isu ini?
Gambar Ilustrasi (Sumber : pusatinformasibeasiswa.com)
Kasus ini bermula sebenarnya sejak ditemukannya pelanggaran jam kerja dan jenis pekerjaan bagi peserta kuliah magang dari Sri Lanka, jauh sebelum isu yang terjadi dengan mahasiswa Indonesia. Kala itu ada 40 mahasiswa asal Sri Lanka yang studi di Tainan dipaksa bekerja di rumah pemotongan hewan. Jam kerjanya pun melebihi dari yang seharusnya. Sebagaimana diketahui, seseorang yang memiliki status sebagai resident dan student maka ia hanya diizinkan untuk bekerja selama maksimal 20 jam seminggu. Nah, mahasiswa asal Sri Lanka ini melebihi batas dari waktu bekerja tersebut. Kasus ini sempat mencuat di media daring Taiwan, namun tidak sampai membuat gaduh seperti yang terjadi di awal tahun 2019 ini. Para mahasiswa yang menjadi korban ini, lantas trauma untuk melanjutkan studinya di Taiwan dan memilih untuk pulang ke Sri Lanka.
Kemudian yang terjadi di akhir 2018 pada mahasiswa asal Indonesia ini adalah informasi yang dibeberkan oleh salah satu anggota DPR Taiwan dari Partai Kuo Min Tang. Dia melakukan inspeksi ke salah satu pabrik di Kota Taipei dan mendapati ratusan mahasiswa Indonesia sedang bekerja disana dalam program kuliah magang. Beberapa dari mereka ada yang curhat mereka bekerja melebihi batas maksimal yang seharusnya mereka lakukan. Beberapa dari mereka juga mengeluh tentang minimnya uang yang mereka peroleh dari hasil bekerja tersebut karena harus dipotong untuk biaya kuliah mereka disini.
Lantas, bagaimana kelanjutannya?
Saya dan teman-teman Muhammadiyah Taiwan bergerak cepat merespon kasus ini. Sebenarnya sejak awal tahun 2018, kami di Muhammadiyah Taiwan sudah mulai menyelidiki tentang program ini karena ada sebagian alumni sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ditawari untuk ikut program ini. Mereka meminta bantuan untuk mengecek kebenaran dan pelaksanaan program ini di Taiwan. Singkat kata, kami bersepakat untuk merekomendasikan tidak mengambil program ini karena ada beberapa hal teknis di Indonesia yang pelaksanaannya menyimpang dari yang seharusnya. Namun di kasus akhir tahun 2018, kami meresponnya dengan membentuk tim khusus untuk melakukan pencarian fakta terhadap kasus ini. Dan berikut adalah beberapa fakta yang terjadi di Taiwan.
1.Kampus di Taiwan diprediksi banyak yang akan tutup
Di Taiwan terdapat 156 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Taiwan. Dari 156 perguruan tinggi tersebut, diprediksi akan ada sekitar 15-30 perguruan tinggi akan tutup dalam 5 tahun mendatang. Ini disebabkan karena rendahnya populasi Taiwan yang masuk ke perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa tingkat kelahiran di Taiwan hanya sebesar 1-2 %. Ini berimbas ke jumlah generasi mudanya. Banyak sekolah dan perguruan tinggi yang kembang kempis untuk mempertahankan eksistensi institusinya karena minimnya peserta didik baru yang masuk. Ini tidak hanya terjadi pada institusi swasta saja, namun banyak juga dialami oleh institusi pemerintah / negeri. Dalam kesempatan yang lain, saya mendapatkan informasi bahwa beberapa kampus negeri di Taiwan akan di merger untuk efektifitas dan efisiensi. Pun demikian dengan kampus-kampus swasta. Pilihannya adalah merger dengan institusi lain atau tutup selamanya.
2.Kampus bersaing untuk mendapatkan mahasiswa asing
Dengan adanya fakta bahwa jumlah mahasiswa lokal Taiwan yang semakin sedikit jumlahnya, membuat beberapa kampus mengalihkan fokusnya untuk menarik mahasiswa asing agar masuk ke kampus mereka. Nah, pemerintah Taiwan sejak 2015 meluncurkan program kebijakan baru ke arah selatan, dimana mereka fokus untuk mengembangkan kerjasama di berbagai bidang, salah satunya adalah pendidikan, ke negara-negara di Asia Selatan yang salah satunya adalah negara-negara di kawasan ASEAN. Negara-negara ini memiliki populasi angkatan muda yang cukup tinggi dan potensial untuk didatangkan ke Taiwan. Sehingga, munculah program kuliah magang ini untuk memfasilitasi mahasiswa-mahasiswa dari Asia Selatan agar bisa kuliah di Taiwan dengan skema kuliah sambil bekerja paruh waktu sehingga tidak merepotkan orang tua di negara asal terkait dengan pembiayaan kuliah yang juga tidak murah ini.
Strategi ini cukup berhasil menarik banyak mahasiswa asing dari Indonesia, Thailand, Vietnam, Sri Lanka dan beberapa mahasiswa asing lainnya. Terdapat lebih dari 8 kampus di Taiwan yang membuka program semacam ini. Prinsipnya adalah para mahasiswa tidak perlu membayar memakai biaya sendiri untuk biaya kuliahnya. Mereka hanya cukup bekerja paruh waktu yang kemudian biayanya dibayarkan ke kampus. Dan ini cukup sukses memperpanjang usia kampus yang dimaksud karena mendapat mahasiswa-mahasiswa baru.
3.Program ini gratis, namun mahasiswa harus bekerja
Dalam pemberitaan yang beredar, program ini sebenarnya tidak memungut biaya pendaftaran apapun kepada calon mahasiswa. Mereka hanya dikenakan biaya untuk pengurusan paspor, pemeriksaan kesehatan, visa, dan pesawat. Namun pada pelaksanaannya banyak agen-agen di Indonesia yang justru mengenakan biaya hingga puluhan juta rupiah. Ini adalah hal teknis pertama yang sudah tidak sesuai dengan prosedur yang dikeluarkan oleh pemerintah Taiwan. Agen-agen ini berdalih bahwa biaya puluhan juta tersebut digunakan untuk pengurusan dokumen dan banyak hal. Padahal jika kita mengurus sendiri ke kantor perwakilan Taiwan di Jakarta, biayanya akan jauh lebih terjangkau. Gambarannya kurang lebih begini :
- Medical Check Up : Rp. 600.000
- Biaya Pembuatan Paspor : Rp. 350.000
- Biaya Pembuatan Visa : Rp. 700.000
- Pesawat dari Indonesia - Taiwan : berkisar antara Rp. 1.500.000 hingga
Rp. 4.000.000 tergantung maskapai yang digunakan
Faktanya ada mahasiswa yang harus membayar hingga Rp. 20.000.000 untuk mengikuti program ini. Kemudian, saat disini, mahasiswa sebenarnya baru boleh bekerja setelah satu tahun disini. Di tahun pertama mereka fokus untuk kuliah. Namun ternyata dalam pelaksanaannya banyak yang melenceng. Dari pertama kali tiba di Taiwan, mereka sudah bekerja di pabrik-pabrik yang bekerjasama dengan kampus. Bahkan beberapa dari mereka mengakui bekerja lebih dari 20 jam seminggu. Mengapa begitu? Ini dikarenakan uang yang didapat tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-sehari.
Para mahasiswa yang bekerja paruh waktu, mendapatkan gaji TWD 150 per jamnya. Sehingga dalam seminggu mereka mendapatkan gaji (jika 20 jam) sebesar TWD 3,000. Dan selama sebulan berarti akan mendapat total gaji TWD 12,000. Faktanya adalah dari jumlah gaji tersebut, mereka masih harus menyisihkan gaji mereka untuk membayar SPP yang mencapai TW 40,000 persemesternya. Ditambah asuransi kesehatan, biaya asrama / tempat tinggal, dan makan. Sehingga gaji TWD 12,000 dirasa tidak mencukupi untuk hidup sebulan. Alhasil tidak jarang yang berusaha bekerja lebih dari 20 jam seminggu sebagai upaya bertahan hidup disini walaupun ini sebenarnya melanggar peraturan kerja dari pemerintah Taiwan.
4.Mahasiswa bekerja di pabrik yang tidak sesuai perjanjian
Saat di Indonesia, para mahasiswa ini dijanjikan akan bekerja paruh waktu di pabrik-pabrik yang sesuai dengan jurusan yang mereka ambil di Taiwan. Namun faktanya banyak dari mereka yang bekerja tidak sesuai dengan perjanjian tersebut. Bahkan tak jarang yang melenceng jauh. Misalkan mereka kuliah di jurusan teknik elektro. Ternyata saat bekerja mereka justru ditempatkan di rumah pemotongan hewan. Kebanyakan dari mereka tidak berani memprotes penempatan ini karena mereka takut dipulangkan ke Indonesia, takut tidak diurusi oleh agensi disini, selain juga mereka masih sangat muda dan berada di negeri asing. Wajar kemudian banyak yang diam saja terhadap pelanggaran penempatan kerja ini.
Selain tempat bekerja, beberapa dari mereka juga mengalami pelanggaran dalam hal kampus dan jurusan. Kampus dan jurusan yang mereka pilih saat di Indonesia tidak sesusai dengan yang mereka dapat di Taiwan. Misalkan mereka memilih teknik elektro, namun disini justru dimasukkan dalam jurusan manajemen industri. Belum lagi saat di Indonesia, mereka memilih universitas A, namun saat disini mereka justru ditempatkan di universitas C. Setelah kami telusuri, ini dikarenakan kuota yang diberikan oleh kampus yang bersangkutan tidak berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa yang masuk. Banyak yang sudah over kuota karena banyaknya peminat program ini. Sehingga mereka dipindahkan ke kampus yang lain yang juga membuka program serupa.
5.Waktu kuliah yang tidak sesuai peraturan
Di peraturan yang ada, mereka sebenarnya hanya boleh bekerja saat akhir pekan saja atau bisa di saat hari bekerja namun porsi waktu belajarnya lebih banyak. Disebutkan bahwa seharusnya mereka itu 4 hari kuliah, 2 hari bekerja, dan 1 hari libur. Namun di lapangan ada beberapa mahasiswa yang justru terbalik waktunya. 2 hari kuliah, 4 hari kerja, dan 1 hari libur. Ini yang kemudian menjadi temuan bahwa program ini banyak yang tidak sesuai prosedur yang ada.
6.Pemerintah Indonesia menghentikan [sementara] pengiriman mahasiswa Indonesia untuk program kuliah magang ke Taiwan
Merespon kejadian ini, pemerintah Indonesia bergerak cepat dengan berkoordinasi dengan berbagai pihak (pemerintah Taiwan, perwakilan Indonesia di Taiwan, dan organisasi pelajar Indonesia) untuk mengatasi persoalan ini. Dan pada bulan februari, pemerintah Indonesia secara resmi menghentikan sementara pengiriman mahasiswa untuk mengikuti program ini hingga pemerintah Taiwan memperbaiki regulasi dan pengawasan yang ada agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi.
***
Taiwan sebenarnya memiliki puluhan institusi pendidikan yang bagus dan bereputasi. Dan mereka memiliki komitmen yang tinggi terhadap menjaga kualitas civitas akademikanya. Pun demikian soal beasiswa. Hampir setiap kampus di Taiwan menawarkan beasiswa kampus yang walaupun nominalnya tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk bisa survive di Taiwan sebagai mahasiswa. Sehingga mahasiswa bisa cukup fokus untuk kuliah dan mengembangkan keilmuan mereka di universitas.
Adanya kasus yang sempat booming ini menjadi percikan percikan kecil bagi pemerintah Taiwan untuk terus bekerja dan berinovasi dalam menaikkan kualitas pendidikan mereka. Ditengah hambatan semakin menurunnya jumlah populasi Taiwan, pemerintah Taiwan selalu berusaha untuk terus berkomitmen memberikan pelayanan terbaiknya kepada para mahasiswa asing ini agar mereka nyaman belajar dan tinggal di Taiwan, hingga merasa kerasan dan menjadikan Taiwan sebagai ‘rumah kedua’ mereka.
Saya pribadi meyakini bahwa adanya kasus ini tidak mengurangi minat mahasiswa untuk studi di Taiwan. Saya menyarankan gunakanlah jalur resmi melalui pendaftaran langsung di universitas yang dituju dan carilah beasiswa melalui pemerintah, kampus, maupun pihak ketiga lainnya. Taiwan adalah negara yang tepat untuk mengembangkan diri dalam hal keilmuan, karena Taiwan merupakan salah satu core dalam industri dunia.
Pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 tinggal hitungan bulan. Para calon anggota legislatif (Caleg), calon presiden dan wakil presiden, serta para calon senator sudah mulai mengkampanyekan diri mereka dengan beragam cara. Dari mulai penggunaan cara konvensional (seperti spanduk, poster, kalender dsb), hingga cara-cara terbarukan melalui iklan di media sosial. Semua saling mempromosikan dirinya masing-masing untuk meraih simpati masyarakat.
Sebagai WNI yang tinggal dan menetap di luar negeri, saya hanya bisa mengamati proses kampanye ini melalui media sosial, pemberitaan media massa, hingga diskusi dengan teman-teman yang terlibat dalam proses politik itu sendiri. Secara garis besar, kampanye yang dilakukan masih terlihat sama dan monoton seperti kampanye tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada cara yang baru, unik, fresh, apalagi out of the box. Parahnya lagi, kampanye tahun ini lebih banyak diwarnai bumbu isu hoax yang makin merajarela.
Ilustrasi (Gambar : nu.or.id)
Para caleg masih memakai metode-metode usang seperti pemakaian diksi merakyat, bersih, amanah, dan sebagainya. Rasa-rasanya masyarakat sudah overdosis dengan slogan-slogan semacam ini. Apalagi ditambah dengan pemakaian wardobe yang bertolakbelakang dengan kesehariannya yang banyak dimunculkan dalam spanduk dan poster. Sungguh ini sebuah metode usang yang, sekali lagi, bisa menjadi boomerang bagi si caleg itu sendiri apabila ia tidak segera merubah cara kampanyenya.
Caleg Miskin Gagasan
Kontestasi pemilu 5 tahunan yang diadakan di Indonesia ini sesungguhnya adalah proses pencarian calon negarawan yang cerdik pandai dan bisa mewakili masyarakat untuk bersama-sama memikirkan hal ihwal permasalahan bangsa ini. Tentunya permasalahan yang dipikirkan bukanlah persoalan-persoalan remeh temeh alias kelas teri. Skup persoalan yang diurus sudah tentu perihal nasib keberlangsungan bangsa ini kedepannya dalam berbagai sektor. Sehingga, menjadi anggota legislatif itu bukan hanya sekedar mengurusi jalan rusak atau sumber pendanaan untuk proposal-proposal nyeleneh yang tidak jelas target, capaian, dan signifikansi manfaat yang diperoleh.
Saat seseorang memutuskan untuk maju dalam kontestasi ini, sebaiknya ia sudah harus bisa memantaskan diri menjadi seorang calon anggota legislatif yang kaya akan gagasan, ide, serta paham akan masalah serta solusi yang bisa menjadi opsi. Bukan sekedar menawarkan janji-janji surga untuk meraup suara masyarakat saja. Apalagi menawarkan rupiah untuk satu suara yang dihargai tak lebih mahal dari kebutuhan pokok sehari.
Memantaskan diri ini bisa dilakukan dengan banyak cara, misalnya, mengolah aspirasi konstituennya selama masa kampanye menjadi sebuah gagasan orisinil, tertarget, dan solutif terhadap permasalahan yang ada. Contohnya adalah gagasan tentang UU Desa yang disahkan menjelang pemilu tahun 2014 sebagai wujud aspirasi para perangkat desa seluruh Indonesia. Undang-Undang ini melihat bahwa pengelolaan desa (sebelum disahkannya UU Desa) masih menekankan aspek desa sebagai objek. Padahal menurutnya salah satu faktor yang bisa membuat desa itu maju adalah perubahan cara berpikir secara mendasar tentang pengelolaan desa itu sendiri. Desa harus menjadi subjek dari pembangunan. Jika dulu pembangunan menggunakan pola top down maka melalui UU Desa ia mencoba menggagas pembangunan yang bottom up. Ini adalah salah satu contoh bagaimana seorang Caleg berkampanye dengan menawarkan gagasan konkrit dan solutif terhadap permasalahan yang ada di masyarakat. Contoh lainnya misalkan caleg menawarkan semacam konsep model bisnis bagi BUMDes di daerah pemilihannya. Sebagai calon legislator, bisa saja ia menginisiasi konsep Perda (untuk tingkat daerah) atau UU (tingkat pusat) untuk mengawal gagasan model bisnis untuk BUMDes tadi. Itu baru 2 contoh saja. Ada banyak ide dan gagasan baru dan solutif dengan kondisi yang ada yang sebenarnya bisa di tawarkan oleh para caleg kepada konstituennya agar tidak melulu menawarkan slogan-slogan basi dan kadaluarsa.
Miskinnya gagasan yang dimiliki oleh seorang caleg bisa jadi karena mereka menggunakan aji mumpung dalam proses pencalegan. Hanya bermodalkan massa, pengaruh, hingga harta, tanpa melalui proses pemahaman tentang bagaimana menjadi seorang anggota legislatif yang sebenarnya. Wajar saja saat tahun 2016, muncul wacana adanya sekolah parlemen sebagai solusi terhadap permasalahan kualitas anggota dewan yang tidak merata kala itu.
#2019HarusBeda
Dalam pemilu 2019 ini, masyarakat harus mulai berani kritis terhadap para caleg yang berkampanye memperebutkan suara mereka. Masyarakat harus mulai menempatkan nalar kritisnya sebagai prioritas saat menyeleksi caleg mana yang akan mereka pilih. Ini bukan sekedar mencoblos lalu usai. Ini adalah tentang bagaimana nasib kita 5 tahun mendatang, apakah akan begini-begini saja atau berubah. Selama ini ada atau tidak ada anggota legislatif, masyarakat tidak merasakan perbedaannya. Mereka hanya hadir menjelang pemilu saja. Oleh karena itu, momentum pemilu 2019 harus dimanfaatkan secara maksimal untuk memilih para caleg yang kaya gagasan dan ide agar keterpilihan mereka membawa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Semoga pemilu 2019 ini benar-benar menjadi ajang pesta demokrasi yang sesungguhnya. Semoga !
Di Taiwan terdapat
129 perguruan tinggi (negeri dan swasta) yang tersebar di seluruh kota di
Taiwan. Taiwan sendiri terkenal dengan kemajuan teknologi dan risetnya di
bidang sains. Ini yang kemudian mempengaruhi warna dari Pendidikan tinggi di
Taiwan. Dari keseluruhan universitas yang ada, hampir 90 % nya memiliki
jurusan-jurusan di bidang sains dan teknologi seperti Ilmu komputer, Teknik
elektro, dan jurusan-jurusan sains lainnya. 10 % diantaranya fokus sebagai
perguruan tinggi di bidang kesehatan dan kedokteran.
Bagi mahasiswa
dari Asia Tenggara, utamanya dari Indonesia, agak susah mencari jurusan ilmu sosial, khususnya ilmu politik, di
Taiwan. Selain karena tidak banyak universitas yang memiliki jurusan ini, juga
tidak banyak universitas yang memiliki jurusan ini justru tidak membuka kelas
internasionalnya, sehingga membuat peluang untuk studi politik di Taiwan
semakin kecil. Namun, dibalik minimnya jurusan politik ini, sebenarnya ada
cerita mengapa Taiwan lebih condong mengembangkan studi-studi di bidang ilmu
sains dan teknologi. Dan ini tidak banyak diketahui oleh public.
Kebijakan
Pendidikan Tinggi Oleh Jepang
Taiwan dijajah
oleh Jepang selama 50 tahun, mulai tahun 1895 hingga tahun 1945. Selama masa
penjajahan tersebut, Taiwan benar-benar dibawah control Jepang yang menempatkan
19 gubernurnya untuk memerintah di Taiwan. Selama masa penjajahan tersebut,
Jepang membuat sebuah kebijakan terkait Pendidikan di Taiwan yang mengizinkan
untuk didirikan universitas-universitas dengan catatan tidak boleh membuka
jurusan politik, hukum, dan filsafat.
Alasan mengapa
mereka melarang dibuka ketiga jurusan ini adalah karena mereka tidak ingin
masyarakat Taiwan menjadi aktivis dan memberontak kepada pemerintah Kolonial.
Sejarah sudah banyak mencatat, ada banyak revolusi, reformasi, dan penggulingan
kekuasaan di berbagai negara terjadi karena masyarakatnya yang melek politik. Kesadaran terhadap
politik akan mengakibatkan kesadaran untuk memerdekakan diri dari penjajah. Dan
ini tidak diinginkan oleh pemerintah kolonial di Taiwan.
Hingga Jepang
meninggalkan Taiwan pada tahun 1945, tidak ada satupun institusi Pendidikan
tinggi di Taiwan yang membuka ketiga jurusan tersebut. Baru pada medio tahun 70’an Taiwan memiliki universitas yang
membuka jurusan politik, padahal banyak universitas-universitas di Taiwan yang
sudah berdiri sejak tahun 1900 an.
Alhasil, sejak awal Taiwan mencoba concern
di bidang sains dan teknologi guna mensiasati agar masyarakat Taiwan mampu
bersaing dan maju. Yang paling kentara adalah jurusan Teknik dan pertanian,
dimana Taiwan sangat maju dalam kedua bidang ini, selain juga bidang
kedokteran.
Taiwan
Post Colonialism
Taiwan adalah
negeri merdeka yang tidak diakui. Sebelum tahun 1971, Taiwan yang nama resminya
adalah Republic of China (ROC)
merupakan negara resmi yang diakui oleh dunia dan tercatat sebagai salah satu
pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kala itu, di Taiwan (ROC) terdapat
satu partai politik yang didirikan oleh Bapak Bangsa China, Dr. Sun Yat Sen.
Perjuangan mempertahankan pengakuan dunia terhadap ROC sebagai China yang sah
pada akhirnya harus berakhir pada tahun 1971 saat PBB secara resmi mengalihkan
pengakuannya pada China daratan (People
Republic of China / PRC) dan diikuti oleh berbagai negara di dunia.
Sejarahnya munculnya 2 China ini (ROC dan PRC) akibat dari kekalahan yang di
dera oleh ROC dalam perang sipil pimpinan Chiang Kai Sek melawan pasukan komunis
pimpinan Mao Zhe Dong yang pada akhirnya menyingkirkan pemerintahan ROC ke
Taiwan. Dan sejak saat itu berdirilah China daratan yang menganut paham
komunis.
Perjuangan politik
Taiwan sendiri semakin sulit pasca tahun 1971, dimana dunia hanya mengakui
adanya satu China, People Republic of
China, dan Taiwan dianggap sebagai bagian dari China daratan. Alhasil,
sejak tahun tersebut, kesadaran untuk meningkatkan pemahaman politik masyarakat
semakin meningkat dan ini ditindaklanjuti dengan pembukaan berbagai universitas
yang membuka jurusan politik. Hingga akhir tahun 2018, terdapat 16 universitas
yang memiliki jurusan ilmu politik, diplomasi, dan kebijakan publik.
Ilustrasi (Foto : Istimewa)
Sejak partai DPP
resmi didirikan tahun 1986 untuk mengimbangi partai Kuomintang (KMT), kutub
studi politik Taiwan semakin menarik. Ada semacam rahasia umum tentang dua
partai ini dan lembaga think tank
nya. Partai KMT memfokuskan studi gerakan dan kebijakannya di salah satu kampus
di Taipei (Taiwan Utara) dan partai DPP memfokuskan studi kebijakannya di salah
satu kampus di Kaohsiung (Taiwan Selatan). Benar atau tidaknya, entahlah. Namun
warna dari 2 kampus ini sangat terasa dari 2 kutub partai yang ada di Taiwan
ini.
“Tahukah kamu orang-orang
yang mendustakan Agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan fakir miskin. Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat
ria, dan enggan mengulurkan pertolongan/bantuan secara berhasil guna dan
berdaya guna” (Q.S. Al Ma’un ayat 1-7)
Muhammadiyah, sebagai organisasi muslim termodern dan
terbesar dalam hal asset dana amal usahanya, tahun ini memuncaki usianya yang ke
108 tahun. Sebuah usia yang tak lazim bagi sebuah organisasi modern yang mampu
bertahan dalam pusaran zaman. Muhammadiyah telah melampaui masa sebelum
Indonesia lahir, kemerdekaan, hingga era reformasi. Bahkan di usinya yang
beranjak ke abad keduanya, Muhammadiyah dihadapkan pada suatu masa yang disebut
sebagai era disruptif dengan teknologi sebagai topik pembicaraan utama di semua
lini kehidupan. Saat berbicara tentang Muhammadiyah, maka kita juga akan
membicarakan tentang Surat Al-Maun, salah satu surat dalam Al Quran, yang
menjadi spirit pendirian organisasi Muhammadiyah. Dalam sejarahnya, KH. Ahmad
Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, mengajarkan berulang-ulang surat Al Maun ini
kepada murid-muridnya yang jika belum diamalkan, maka belum boleh berpindah ke
surat lainnya. Seiring berjalannya waktu, semangat ini lantas mengkristal
menjadi sebuah istilah baru yang bernama Teologi Al Maun yang dipopulerkan oleh
Muslim Abdurrahman, salah seorang intelektual Muhammadiyah.
Sayyid Quth (dalam Tafsir
fi Zhilalil Qur’an Vol. 24) menjelaskan bahwa surat pendek ini mampu
memecahkan hakikat besar yang mendominasi pengertian iman dan kufur secara
total. Boleh jadi definisi iman dan kufur di sini sangat berbeda bila
dibandingkan definisi tradisional. Karena kufur (mendustakan agama) di sini
diartikan sebagai menghardik anak yatim dan atau menyakitinya (Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin).
Logika kufur muncul karena seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati,
niscaya anak-anak yatim dan orang miskin tentu tidak akan diterlantarkan.
Pada dasarnya, Allah tidak hanya menghendaki
pernyataan-pernyataan dari manusia. Tetapi menghendaki pernyataan itu disertai
dengan amalan-amalan sebagai pembuktiannya. Kalau tidak, pernyataan tersebut
tidak lebih hanya debu yang tidak ada bobotnya di sisi Allah. Karena memang,
islam bukanlah agama simbol dan lambang semata. Iman akan tidak berwujud bila
tidak direfleksikan ke dalam gerakan amal shaleh.
Surat Al Maun ini mengajarkan bahwa
ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Pemaknaan
social ini lantas diejawantahkan oleh KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya dengan
mencari orang paling miskin yang bisa ditemui di masyarakat, kemudian
memandikannya dan menyuapinya. Ini adalah implementasi paling awal dari
pemahaman semangat Al Maun yang diyakini oleh generasi awal Muhammadiyah.
Lantas dengan digandengnya Budi Utomo dan Kraton Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan
mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan.
Seiring perkembangan zaman, semangat dalam teologi Al
Maun ini lantas menjadi trilogi-trilogi baru yang menjadi arah gerak
Muhammadiyah untuk mengambil perannya sebagai organisasi dakwah Islam. Di babak
awal Muhammadiyah, trilogi tersebut didefinisikan sebagai healing (pelayanan kesehatan), schooling
(pendidikan), dan feeding (pelayanan
sosial). Dalam hal pelayanan kesehatan, Muhammadiyah meyakini bahwa umat Islam
harus sehat dan selalu kuat. Nabi Muhammad SAW sendiri telah bersabda bahwa
orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Muslim
yang lemah. Karena itu, disamping kuat dari segi ilmu pengetahuan, umat juga
harua kuat secara fisik.
Dalam hal pendidikan, Muhammadiyah meyakini bahwa pendidikan
sangat penting karena akan melahirkan kesadaran, sehingga umat bisa bangkit dan
berjuang untuk mengaktualisasikan dirinya. Sedangkan dalam hal pelayanan
social, Muhammadiyah yakin bahwa salah satu poin penting dalam narasi Al Maun
adalah melakukan pelayanan social kepada kaum papa yang kala itu tidak terperhatikan. Memperhatikan kaum papa merupakan salah satu ibadah
utama yang pemaknaannya berasal dari surat Al-Maun.
Metomonia Semangat
Al-Maun di Taiwan
Muhammadiyah mulai bergeliat di Taiwan sejak masa-masa
awal mahasiswa Indonesia membanjiri Taiwan untuk studi. Di periode 2007-2010,
Muhammadiyah di Taiwan baru sebatas wacana yang menjadi topik hangat diskusi antar
kader melalui milis email. Muhammadiyah mulai benar-benar menjadi sebuah
gerakan di medio tahun 2013 saat 6 kader Muhammadiyah memulai dakwahnya melalui
jejaring dunia maya. Lalu tahun 2014 mewujud menjadi organisasi resmi sebagai
cabang istimewa ke-14 dari Persyarikatan Muhammadiyah.
Sejak awal berdirinya Pimpinan Cabang Istimewa
Muhammadiyah Taiwan (selanjutnya disebut sebagai Muhammadiyah Taiwan), para assabiqunal awwalun nya telah merumuskan
trilogi dan trisula Muhammadiyah Taiwan sebagai ciri khas gerakan Muhammadiyah
di bumi Formosa berdasarkan teologi Al-Maun yang terbagi dalam dua gerakan mendasar,
yaitu gerakan liberasi dan emansipasi. Gerakan liberasi ini dimaknai sebagai gerakan
untuk membebaskan umat dari keterbelakangan, dari kebodohan, dan dari
ketidakberdayaan. Karena itu Muhammadiyah Taiwan sedari awal berdiri berusaha
focus pada upaya melakukan pembangunan dalam bidang pendidikan (non-formal)
bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Taiwan, kesehatan, dan menjadikan
umat (dalam hal ini adalah para PMI) agar lebih berdaya sekembalinya ke
Indonesia. Sedangkan gerakan emansipasi dimaknai dengan upaya mengangkat harkat
dan martabat umat sebagai manusia. Jadi umat bukan hanya menjadi taat secara
ritual tapi juga menjadikan umat itu terangkat harkat dan martabatnya.
Dari pemahaman akan teologi Al Maun tersebut,
Muhammadiyah Taiwan lantas menjabarkannya menjadi sebuah trilogi yang menjadi
ciri khas gerakan bagi Muhammadiyah di Taiwan. Trilogi tersebut adalah gerakan
filantropi, gerakan pemberdayaan TKI, dan gerakan dakwah maya.
Gerakan Filantropi (Al-Khairat)
Di Taiwan, terdapat kurang lebih 261.782 warga negara
Indonesia yang kuliah, kerja, dan tinggal di Taiwan. Dari jumlah tersebut,
6.000 orang adalah berstatus mahasiswa, 50.000 orang bekerja di pekerja kerah biru, 70.000 orang menikah dengan
orang Taiwan, dan selebihnya bekerja sebagai PMI di berbagai sector (formal dan
informal). Jumlah tenaga kerja yang fantastis ini cukup dimaklumi seiring
adanya kenaikan gaji yang juga fantastis bagi para PMI. Semakin baiknya jumlah
gaji bagi para pekerja asing di Taiwan ini ternyata juga diimbangi dengan
tingginya semangat berbagi dari para pekerja untuk berbagai hal, seperti
sedekah, bantuan bencana, dan lain sebagainya. Sehingga Muhammadiyah Taiwan
mencoba memfasilitasi niat baik dari para migran Indonesia di Taiwan ini untuk
menyalurkannya melalui program pemanfaatan yang tepat guna. Muhammadiyah Taiwan
melalui lembaga zakatnya menawarkan berbagai program filantropis yang bisa
diikuti oleh para WNI yang menetap di Taiwan dengan berbagai program nyata,
seperti sedekah dakwah, sedekah bencana alam di Indonesia dan dunia, sedekah
untuk Palestina, Kurban untuk Palestina, Zakat dan Infaq untuk mereka yang
berhak, serta sedekah pembangunan masjid di Indonesia maupun di Taiwan. Sejak hadir
pertama kalinya di tahun 2014 hingga kini, gerakan filantropis Muhammadiyah
Taiwan mampu mengumpulkan dan menyalurkan dana mencapai 1 Miliar rupiah yang
kesemuanya disalurkan melalui program tepat guna bekerjasama dengan berbagai
pihak / lembaga.
Bahkan di tahun 2016, melalui gerakan ini pula,
Muhammadiyah Taiwan berhasil mengumpulkan dana puluhan juta rupiah untuk
membantu pembangunan salah satu masjid di Taiwan yang dikelola oleh rekan-rekan
dari Nahdhatul Ulama (NU) Taiwan. Muhammadiyah Taiwan berusaha selalu hadir
untuk membantu siapapun yang memerlukan bantuan tanpa membedakan organisasi,
suku, agama, ras, bahkan kewarganegaraan. Semangat dari Al-Maun senantiasa dipupuk
untuk terus tumbuh diantara semua kader Muhammadiyah Taiwan agar terus bergerak
memberikan manfaat bagi sesama melalui gerakan filantropi.
Gerakan Pemberdayaan PMI (At-Tanmiyah)
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, di Taiwan
terdapat ratusan ribu WNI yang bekerja sebagai PMI di sector formal dan
informal. Banyaknya jumlah dari WNI ini juga berimbas pada berbagai masalah
yang timbul dan dihadapi. Salah satunya adalah kemandirian pasca selesai
kontrak kerja di Taiwan. Tidak sedikit para PMI yang pada akhirnya harus
kembali ke Taiwan untuk bekerja sekembalinya ke Indonesia. Ada banyak factor yang
melatarbelakanginya, salah satunya adalah ketidakmampuan mereka dalam mengelola
gaji yang telah mereka dapat agar menjadi kegiatan ekonomi yang lebih produktif.
Banyak juga yang pada akhirnya menghabiskan gaji mereka untuk hal-hal konsumtif
yang itu justru tidak menghasilkan dan tidak bisa digunakan untuk menopang
ekonomi keluarga. Ketiadaan softskill untuk
mengelola asset semacam ini adalah problem yang jamak ditemui diantara para PMI
Purna. Alhasil, pasca habis, mereka banyak yang kembali ke Taiwan. Namun ada
juga factor lain yang mendasari mengapa mereka kembali lagi ke Taiwan sebagai
PMI.
Sudah banyak wacana yang dikembangkan tentang
pemberdayaan PMI purna yang telah kembali ke Indonesia. Namun nyatanya,
hasilnya masih sangat minim. Dan Muhammadiyah Taiwan melihat ini sebagai
peluang untuk bisa hadir mengambil peran yang lebih riil untuk bersama-sama
menyelesaikan masalah yang ada.
Melalui Majelis yang khusus membidangi pemberdayaan
ini, Muhammadiyah Taiwan berusaha untuk memfasilitas berbagai pelatihan life skill, economic skill, management skill
dan banyak hal lainnya bagi para PMI. Dakwah-dakwah Muhammadiyah Taiwan
berusaha menyasar problem-problem yang riil dihadapi oleh para PMI ini. Bagi Muhammadiyah
Taiwan, semangat Al Maun berusaha diejawantahkan dengan semangat untuk terus
menjadikan para PMI berdaya dan mandiri sepulangnya ke Indonesia. Muhammadiyah
Taiwan berkeyakinan bahwa gerakan liberasi dan emansipasi daeri Al Maun salah
satunya mewujud saat para PMI ini mampu melanjutkan hidupnya di Indonesia
dengan lebih baik tanpa harus kembali ke Taiwan untuk bekerja sebagai PMI. Dengan
mereka mampu berdaya dan mandiri di Indonesia, ini akan memberikan efek
karambol bagi orang sekelilingnya. Sebagai contoh, saat seorang ibu tidak perlu
lagi bekerja sebagai PMI dan bisa berdaya serta mandiri di daerah asalnya, maka
aka nada anak-anak, suami, dan keluarga yang merasakan kasih sayang secara
langsung dari seorang ibu dan istri. Ini akan berbeda saat seorang ibu harus
pergi jauh bekerja di Taiwan dan tidak bisa mendampingi proses tumbuh kembang
anak dan menjadi tempat yang paling nyaman bagi suami dan keluarganya.
Oleh karena itu, Muhammadiyah Taiwan berkeyakinan,
menjadikan PMI Purna sebagai masyarakat yang berdaya dan mandiri adalah sebuah jalan baik dari sebuah gerakan dakwah
yang terinspirasi dari semangat Al Maun.
Gerakan Dakwah Maya (Ad-Da’wah)
Secara geografis, Taiwan bukanlah negara yang berpulau-pulau
dan terpisah-pisah seperti di Indonesia. Mayoritas masyarakatnya tinggal di
kota-kota dan desa yang masih bisa diakses melalui transportasi darat yang sangat
nyaman. Namun, sayangnya kemudahan ini tidak bisa dinikmati secara bebas [dalam
artian lain] bagi para WNI yang menetap di Taiwan. Kultur kerja di Taiwan
mensyaratkan profesionalitas bekerja, yang artinya jam kerja di Taiwan sangat strik dan ketat. Banyak para PMI dan
mahasiswa yang baru bisa selo diatas
jam 8 malam setiap harinya. Tentu ini menjadi tantang tersendiri bagi sebuah
organisasi dakwah.
Sedari awal Muhammadiyah Taiwan hadir, selalu berusaha
mensiasati kondisi ini dengan menghadirkan program-program dakwah melalui
internet. Di masa-masa awal, dikenal KOMAT (Kajian Online Muhammadiyah Taiwan)
yang senantiasa hadir tiap minggunya dengan berbagai narasumber yang kompeten. Kajian
ini tidak mempertemukan antar personal. Tak jarang narasumber berasal dari
Mesir, Russia, Turki, dan Indonesia sendiri. Sedangkan moderator/pembawa acara
berada di Taiwan. Dan jamaah cukup mendengarkannya via radio streaming yang
bisa diakses melalui handphone mereka
masing-masing. Tanpa harus bersusah payah keluar dari rumah atau cuti kerja,
para jamaah bisa tetap ngaji dari
tempat mereka berada dengan cukup bermodalkan gadget dan koneksi internet. Inilah yang kemudian di patenkan oleh Muhammadiyah Taiwan sebagai
ciri khas dakwahnya guna mensiasati kondisi yang ada disini.
Tak hanya itu, Muhammadiyah Taiwan pun selalu berusaha
memberikan inovasi-inovasi dakwahnya melalui jaringan internet, seperti membuka
Pesantren Virtual, Tadarus Online, hingga bimbingan membaca Al Quran secara
online bagi para pemula. Keterbatasan kondisi yang ada tak lantas membatasi
arah gerak dakwah Muhammadiyah Taiwan. Muhammadiyah Taiwan meyakini bahwa
perkembangan zaman harus selalu dilihat dari segi positifnya dan berusaha
menariknya dalam konteks gerakan dakwah, sehingga Muhammadiyah Taiwan mampu
mengikuti perkembangan zaman dan memanfaatkannya sebagai senjata untuk mencapai misi dakwah Islam yang diemban oleh
Muhammadiyah Taiwan.
Ilustrasi grafis metomonia gerakan Muhammadiyah di Taiwan
Trisula Muhammadiyah Taiwan
Dari
trilogi Muhammadiyah Taiwan, kemudian diturunkan lagi menjadi sebuah trisula bagi
gerakan dakwah Muhammadiyah Taiwan. Seperti namanya, trisula yang berarti
sebuah senjata yang sakti, maka trisula ini merupakan senjata-senjata yang
dimiliki oleh Muhammadiyah Taiwan guna mencapai tujuan akhir untuk mewujudkan
misi dakwah Islam yang didasari semangat Al Maun. Masing-masing trisula
dikelompokkan berdasarkan sifat gerakannya seperti yang sudah dijelaskan di
poin sebelumnya. Trisula ini berwujud majelis dan lembaga dibawah naungan
Muhammadiyah Taiwan.
Trisula ini masing-masing adalah
Gerakan Filantropi --> Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sodaqoh Muhammadiyah (LazisMu Taiwan), Lembaga
Pengembangan Ranting, Ortom, dan AUM (LPROA)
Gerakan Pemberdayaan PMI --> Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Majelis Pelayanan Sosial (MPS), Majelis
Pembina Kesehatan Umum (MPKU), Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO)
Gerakan Dakwah Maya --> Lembaga Informasi Komunikasi dan Kerjasama Internasional (LIKKI), Majelis Tabligh
dan Dakwah Khusus (MTDK), Lembaga Hikmah Kebijakan Publik dan Advokasi (LHKPA),
Majelis Pendidikan Kader (MPK).
Selain dari yang sudah disebutkan sebelumnya,
trisula-trisula Muhammadiyah Taiwan juga mewujud dalam berbagai Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM) dan organisasi otonom (Ortom) yang dikembangkan di Taiwan
yang jumlahnya tak kurang dari 7 AUM dan 2 Ortom. Keberadaan mereka ini semata-mata
untuk menyokong dakwah Muhammadiyah Taiwan di berbagai bidang, baik ekonomi, social,
budaya, dan lainnya. Adanya AUM, secara lebih spesifik, memberikan sokongan
dalam hal ekonomi untuk berjalannya program-program dakwah yang dilakukan. Bagi
Muhammadiyah Taiwan, ada dua hal yang menjadi kunci agar kegiatan dakwah
Muhammadiyah Taiwan senantiasa hidup dan berjalan. Dua hal tersebut adalah
amanah dan kemandirian. Dalam upaya menerapkan kemandirian ini, maka
Muhammadiyah Taiwan berusaha membangun AUM nya sendiri untuk terus menyokong
kegiatan dakwah tanpa membebani pihak lain. Sedangkan dalam hal amanah,
Muhammadiyah Taiwan senantiasa berusaha memberikan keterbukaan, laporan, dan
informasi terhadap amanah dari masyarakat yang dititipkan melalui Muhammadiyah
Taiwan agar terbangun rasa saling percaya, aman, dan memberikan rasa nyaman
bagi para pemberi amanah.
***
Waktu terus berlalu dan zamanpun senantiasa berganti. Akan
selalu ada kader dan simpatisan yang datang dan pulang [ke Taiwan] silih
berganti. Namun satu hal yang pasti dan tetap akan selalu ada, bahwa Muhammadiyah Taiwan akan terus
berusaha menyesuaikan gerakannya dengan zaman dan eranya tanpa harus menggeser
semangat dasar yang dimilikinya. Muhammadiyah Taiwan lahir bukan karena sebuah
paksaan, melainkan dari sebuah harapan agar mampu menjadi katalis bagi umat untuk mencapai ma’rifat sebagai muslim yang sebenar-benarnya.
Indonesia sedang diguncang prahara besar minggu ini.
Bukan kudeta politik maupun korupsi, melainkan pemberlakuan aturan baru dari
BPOM tentang pelarangan penyebutan kata susu untuk produk kental manis karena
disebutkan bahwa tidak ada/sedikit sekali kandungan susu dalam produk kental
manis. Yang dominan adalah gula. Bagi sebagian orang, kabar ini seolah
menyentakkan kesadaran mereka bahwa ternyata selama ini mereka merasa dibohongi
oleh iklan dan gaya marketing nya.
Bahkan ada sebagian orang di media sosial mewacanakan untuk menuntut ganti rugi
atas penipuan puluhan tahun melalui produk susu kental manis. Tentu wacana ini
sebenarnya hanya bentuk kekesalan karena kekecewaan mereka terhadap apa yang
mereka pahami selama ini terhadap produk susu kental manis yang nyatanya
berbeda.
Sebelum berbicara
lebih jauh tentang prahara ini, saya coba sarikan aturan dan pengertian susu
yang berlaku di Indonesia. Jika berbicara tentang susu, maka ada banyak varian
dari produk susu itu sendiri, ada susu segar dan ada juga susu murni. Mengacu
pada aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3141- 1998 yang merupakan revisi dari SNI
01-3141-1992 mengenai standar susu segar, maka pengertian susu murni adalah
cairan yang berasal dari kambing serta sapi sehat dan bersih, yang diperoleh
dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah
sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Sedangkan pengertian susu
segar adalah susu murni yang disebutkan diatas dan tidak mendapat perlakuan
apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya.
Kalau melihat definisi diatas, sudah tentu susu kental
manis tidak masuk dalam 2 kategori susu yang yang disebut diatas. Definisi susu
kental manis sendiri diatur khusus dalam SNI 2971:2011 yang merupakan revisi
dari SNI 01-2971-1998 yang juga revisi dari aturan awal tentang susu kental
manis yang terdapat dalam SNI01-2971-1992. Di dalam standar ini, disebutkan bahwa susu kental manis
adalah produk susu yang terdiri dari bahan baku utama (susu segar dan/atau susu
bubuk, air, gula); bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan
untuk produk susu sesuai dengan ketentuan tentang bahan tambahan pangan. Di
aturan ini juga, susu kental manis didefinisikan sebagai produksusuberbentukcairankentalyangdiperolehdaricampuransusudanguladengan menghilangkansebagianairnyahinggamencapaitingkatkepekatantertentuatauhasil rekonstitusisusububukdenganpenambahanguladengan/atautanpapenambahanbahan pangan lain dan
bahan tambahan pangan yang diizinkan.
Dari definisi aturan diatas, sangat jelas disebutkan
bahwa susu kental manis merupakan produk susu yang harus mengandung susu yang
bisa berasal dari susu bubuk, susu skim maupun susu segar. Pertanyaan
berikutnya lantas apakah susu kental manis yang saat ini beredar di Indonesia benar-benar
mengandung susu atau tidak, seperti yang banyak diisukan dan viral di media
social?
Susu kental manis sendiri memiliki beberapa varian,
seperti susu kental manis, susu skim kental manis, susu skim sebagian kental
manis, dan susu kental manis tinggi lemak. Dalam table syarat mutu, disebutkan
bahwa kandungan protein (Nx6,38) yang notabenenya berasal dari susu, jumlahnya
bervariasi, mulai dari 4,8 % hingga 6,8 % tergantung varian susu kental manis
tersebut. Pun begitu dengan kandungan gulanya. Dalam satu takaran saji,
kandungan gula/sakarosa yang diizinkan dalam susu kental manis adalah sebanyak
43-48 % untuk semua varian susu kental manis.
Faktanya, untuk 2 merek susu kental manis yang paling
terkenal di Indonesia, jika kita membaca informasi nilai gizi (label gizi) yang
terdapat dalam label produk tersebut, maka sudah sesuai dengan aturan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai contoh dalam susu kental manis indomilk,
disebutkan bahwa per sajian 40 gram, terdapat kandungan gula sebanyak 19 gram
atau sebanyak 48 %, dan protein sebanyak 1 gram atau sekitar 3 %. Sedangkan
untuk merek Frisian Flag, disebutkan
bahwa per sajian 40 gram terdapat 18 gram kandungan gula/sukrosa atau sekitar
45 %. Kemudian terdapat pula 3 % persen kandungan protein. Dari kedua merek
yang sudah dikenal luas oleh masyarakat tersebut, kita bisa menarik kesimpulan
bahwa kandungan yang ada sudah disesuaikan dengan aturan yang ada, walaupun ada
juga yang perlu kita kritisi tentang perbedaan sekitar 1,8 % dari kandungan
protein yang ada di produk kedua brand tersebut
dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Lalu dimana letak masalahnya?
Rendahnya Nutrition Literacy
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di jurnal Preventing Chronic Disease, disebutkan
bahwa Nutrition literacy atau
literasi gizi dipahami sebagai tingkat di mana orang memiliki kapasitas untuk
memperoleh, memproses, dan memahami informasi gizi dasar. Sebagus dan sekomplit
apapun sebuah perusahaan dalam menyajikan informasi nilai kandungan gizi dalam
produknya, namun jika tingkat kemauan masyarakat untuk mencari tahu dan
membacanya (atau lebih populer disebut dengan literasi) kurang, maka akan sia-sia
saja. Kapasitas ini penting untuk menggerakkan seseorang agar mau membaca dan
mencari tahu tentang kandungan nilai gizi terhadap makanan / minuman yang akan
dikonsumsi. Biasanya tingkat literasi gizi ini erat kaitannya dengan tingkat
pendidikan. Seseorang yang memiliki tingkat literasi gizi yang tinggi, tidak
sembarangan mengkonsumsi makanan dan minuman, karena ia akan memeriksanya
terlebih dahulu. Jika tingkat literasi gizi ini rendah, maka masyarakat akan
mudah untuk termakan iklan, promosi, maupun ucapan orang. Padahal tidak
selamanya hal-hal tersebut selalu benar.
Secara umum, tingkat literasi Indonesia memang cukup
rendah. Dalam daftar yang dikeluarkan oleh PISA, Indonesia berada di peringkat
64 dari 72 negara. Sedangkan dalam daftar yang dikeluarkan oleh The World Most
Literate Nation Study, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Sebuah
peringkat yang kiranya perlu menjadi perhatian bersama untuk segera diatasi.
Pada prakteknya, masyarakat enggan untuk membaca
informasi nilai gizi yang sudah ditempel dan disajikan oleh produsen dalam
produknya. Bisa saja keengganan ini muncul karena Bahasa yang dipakai terlalu ilmiah. Namun bisa juga karena
masyarakat merasa bahwa informasi seperti ini dirasa kurang penting untuk
dibaca. Saya sendiri cenderung fokus ke alasan kedua. Sehingga wajar saat ramai
pemberitaan tentang kandungan susu kental manis yang disebutkan bahwa ternyata
setengahnya adalah mengandung gula, masyarakat ramai-ramai membahasnya,
seolah-olah baru tahu dan tersadarkan, padahal produsen sudah menyediakan
informasi ini sejak awal. Andai saja masyarakat mau membacanya, menanyakannya,
dan lebih kritis terhadap informasi kandungan gizi ini, tentu heboh susu kental
manis tidak akan terjadi seperti saat ini.
False Advertising Dalam Iklan Susu Kental Manis
Kemauan untuk mencari tahu dan keinginan untuk membaca
suatu informasi secara utuh penting diperlukan untuk membangun masyarakat yang
cerdas dan tidak mudah termakan oleh isu dan berita hoax, termasuk false
advertising.
Dalam kamus marketing “American Marketing
Association”, disebutkan bahwa False Advertising
adalah suatu penggunaan informasi yang salah, menyesatkan, atau tidak terbukti yang
digunakan untuk mengiklankan sebuah produk kepada konsumen, serta iklan yang
tidak mengungkapkan sumbernya. Salah
satu bentuk iklan palsu ini adalah mengklaim bahwa suatu produk memiliki
manfaat kesehatan atau mengandung vitamin atau mineral yang sebenarnya tidak
ada.
Kita bisa melihat bagaimana iklan-iklan susu kental
manis di Indonesia di asosiasikan dengan minuman susu yang diminum oleh
anak-anak. Padahal di label yang tertera dalam kemasan jelas menyebutkan bahwa
susu kental manis tidak cocok untuk balita. Namun karena iklan yang ditampilkan
memakai anak-anak sebagai pemerannya, bisa jadi masyarakat kemudian menggeneralisirnya
bahwa susu kental manis bisa diminum oleh semua umur, tak terkecuali oleh
balita. Tidak terbacanya peringatan ini bisa jadi masih erat kaitannya dengan
rendahnya literasi gizi dalam masyarakat kita.
Di iklan-iklan susu kental manis juga di tampilkan
bagaimana produk ini bisa dikonsumsi dengan cara dibuat minuman yang dilarutkan
dalam air dan diminum. Padahal fungsi dari susu kental manis ini hanyalah
sebagai campuran (filling dan topping)
untuk makanan seperti kue, bukan untuk diminum seperti susu segar maupun susu
bubuk. Kesalahan konten iklan ini bisa jadi berasal dari produsen dari
produknya tersebut atau bisa juga berasal dari production house yang membuat iklan tersebut yang salah dalam
mengartikulasikan produk susu kental manis dalam Bahasa dan konten untuk
iklannya.
Jika kita melihat iklan-iklan susu kental manis di
negara lain, tidak kita ketemukan iklan susu kental manis yang menampilkan
anak-anak sedang meminum segelas susu kental manis. Anehnya ini terjadi di
Indonesia.Selain iklan, ada juga
kesalahan yang cukup fatal dalam mengkomunikasikan produk susu kental manis ini
kepada masyarakat, yaitu gambar pada label kemasan. Ada brand susu kental manis yang justru sengaja memasang gambar anak
sedang meminum segelas susu kental manis. Sehingga membuat konsumen percaya
bahwa susu kental manis bisa disajikan dengan cara tersebut.
Iklan-iklan dan cara marketing seperti ini nyatanya terbukti
cukup ampuh untuk menyihir masyarakat agar mau mengkonsumsi susu kental manis
tidak sesuai peruntukannya. Jika saja badan / lembaga pemerintah yang memiliki
kewenangan untuk melakukan filter
terhadap iklan-ikan yang tayang (tidak hanya dilihat dari konten SARA /
Pornografi dan Pornoaksinya saja, melainkan juga isi dari iklan tersebut),
tentu ribut-ribut seperti ini tidak perlu terjadi.
Kurang Maksimalnya
Peran Akademisi Dalam Mengedukasi Masyarakat
Kalau kita merunut siapa yang harus bertanggungjawab terhadap
fenomena susu kental manis ini, maka disana ada peran akademisi yang perlu
dipertanyakan perannya selama ini. Kita tidak bisa pungkiri bahwa akademisi
memiliki peran penting dalam control terhadap masyarakat, termasuk
makanan/minuman/produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai kelompok
masyarakat terdidik, akademisi memiliki kelebihan berupa keilmuan yang mumpuni
dan sumber daya – sumber daya yang lain yang bisa menunjang aktifitas control
tersebut.
Sebagai contoh adalah akademisi di bidang gizi. Di
Indonesia, terdapat 45 perguruan tinggi yang membuka program D3 Gizi, 20
Perguruan Tinggi untuk D4 Gizi, dan 45 Perguruan Tinggi yang membuka S1 Gizi. Jika
saja setiap tahun ada 100 ahli gizi yang diwisuda, artinya ada 11.000 ahli gizi
yang lulus tiap tahunnya. Itu baru akademisi yang bidang ilmunya spesifik dalam
hal gizi. Ini belum termasuk akademisi / ahli dari bidang lain seperti dokter,
bidan, dan ahli kesehatan masyarakat lainnya yang masih relevan dalam
mengedukasi masyarakat dalam hal kegizian. Tentunya ini hanya sebagai contoh
kalkulasi kasar semata. Tugas edukasi adalah tugas semua akademisi dengan tidak
membatasi bidang ilmunya secara spesifik. Namun tetap memperhatikan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Jika saja semua sumber daya akademisi yang disebutkan
tadi dimaksimalkan dalam hal edukasi soal nilai gizi, tentu akan menjadi
gerakan yang luar biasa. Dampaknya akan meningkatkan tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap isu-isu penting seperti kandungan nilai gizi dalam susu
kental manis. Namun faktanya, para lulusan perguruan tinggi justru asik dengan
dirinya sendiri. Tidak ada semacam pertanggungjawaban moral terhadap keilmuan
yang ia dapatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Kalaupun ada, hanya segelintir
saja. Tidak banyak.
Pernah satu waktu teman saya menanyakan kepada salah
seorang warga mengapa ia memberikan susu kental manis untuk konsumsi anaknya
yang masih balita. Padahal teman saya tersebut sudah mencoba menginformasikan
tentang fungsi susu kental manis yang sebenarnya. Apa jawaban si warga
tersebut? “Bu Bidannya saja mengizinkan
kok”. Sungguh jawaban yang membuat kita terbelalak antara miris dan
khawatir.
Dari cerita teman saya tersebut, kita bisa paham bahwa
ternyata masyarakat sangat percaya apa yang disebutkan dan diucapkan oleh
tenaga kesehatan / orang berpendidikan. Namun nyatanya justru si tenaga
kesehatan tersebut entah tidak tahu atau justru malas mencari tahu dan
mengedukasi masyarakatnya tentang kandungan gizi susu kental manis yang
sebenarnya tidak cocok untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Masih ada banyak
cerita-cerita lain sebenarnya yang bisa menjadi justifikasi bahwa peran
akademisi, tenaga kesehatan, dan orang-orang terdidik lainnya belum
memaksimalkan perannya dalam hal edukasi kesehatan masyarakat.
***
Lantas apakah dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
BPOM saat ini sudah efektif dan tepat untuk mengatasi hal ini? Jawabannya bisa
iya, bisa juga tidak. Yang perlu menjadi perhatian adalah susu kental manis
sudah terlanjur terstigma oleh masyarakat sebagai susu yang bisa rutin diminum
harian dan mengandung kandungan gizi seperti susu. Dan ini sudah berlangsung
puluhan tahun. Tentu akan menjadi PR besar untuk merubah stigma tersebut.
Satu hal mendasar yang perlu dan harus segera
dilakukan oleh semua pihak adalah membentuk masyarakat yang memiliki tingkat
literasi lebih tinggi dengan cara memberikan edukasi. Jika ini bisa dilakukan,
maka kelak akan terbentuk masyarakat yang cerdas terhadap pemilihan
produk-produk makanan/minuman, apapun bentuknya. Sehingga mau bagaimanapun
bentuk iklan produknya, masyarakat tidak akan terlalu terpengaruh dan lebih
serius memperhatikan soal nilai gizinya.