Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Senja tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tahu diri, bahwa cahayanya tak pantas menyaingi malam. Di antara desir angin yang menggugurkan daun tua, ia pamit dalam bias jingga. Di jalanan kota, pekerja menggulung harapan dalam tas ransel yang usang. Mereka pulang membawa sisa tenaga, bukan kemenangan. Sebab hidup tak selalu harus menang; kadang cukup selamat saja.

Pernah satu kali aku mengejar senja dari atas sepeda ontel. Aku kayuh sambil menggumam lagu kenangan, berharap bisa menambatkan waktu. Tapi senja, seperti cinta, hanya bisa dinikmati, bukan dikejar. Ia tak menunggu siapa pun, apalagi aku yang telat sadar. Maka aku berhenti di jembatan tua, sembari menatap matahari tergelincir dengan tenang. Di sana aku belajar: pergi tak selalu menyakitkan.
Senja di Balai Buntar Bengkulu (Foto : Dokumen Pribadi)
Orang-orang sibuk memotret langit saat senja menyala. Tapi siapa yang memotret raut wajah ibu yang menanti nasi di atas dandang? Di sela keindahan yang diburu, sering kali ada yang terlupa. Bahwa senja bukan hanya tentang warna, tapi tentang waktu yang seharusnya disedekahkan kepada Tuhan. Aku pernah terpaku di jalan, padahal azan magrib telah menggetarkan angkasa. Dan saat itu aku malu, karena memuja ciptaan lebih dari Pencipta.

Langit merah, langit yang sedang mengucapkan selamat tinggal. Tetapi manusia sering kali mengartikan itu sebagai pemandangan indah belaka. Padahal, ia adalah pertanda: malam sedang berjalan dari ufuk timur. Aku mendengar desir langkah waktu yang menua, perlahan, tapi pasti. Senja adalah undangan, bukan untuk pesta, tapi untuk perenungan. Sebab tak semua keindahan harus dirayakan dengan tepuk tangan—kadang cukup dengan sujud.

Di antara suara motor dan klakson yang bertalu-talu, ada satu waktu yang seharusnya sakral. Senja. Ia hadir untuk memberi isyarat: cukup, berhentilah. Tapi seringkali kita terlalu keras kepala untuk mendengar bahasa langit. Kita terus menambal ambisi di jalan yang retak. Dan lupa, bahwa tubuh punya hak untuk diam, dan hati punya hak untuk kembali.

Dulu aku pikir senja adalah hadiah. Tapi kini aku tahu, ia adalah pengingat. Pengingat bahwa segala yang terang akan padam, dan segala yang kuat akan rehat. Ia membelai bumi dengan warna hangat, tapi pesannya dingin: waktu habis. Aku duduk sendiri di warung kopi yang menghadap sawah, menanti kegelapan datang tanpa tergesa. Di antara isak langit dan sunyi desa, aku merasa ditatap oleh Tuhan.

Ada orang yang menyukai senja karena estetikanya, tapi aku menyukai senja karena kejujurannya. Ia tak pernah bohong tentang perpisahan. Ia selalu datang dengan batas, bukan janji. Tak seperti pagi yang menjanjikan banyak hal, senja hanya datang untuk menutup. Dan justru karena itu, ia terasa lebih bisa dipercaya.

"Sudah dulu, ya," kata senja kepada hari. Tapi manusia, entah kenapa, selalu merasa belum cukup. Masih ada pekerjaan, masih ada target, masih ada perasaan yang belum tuntas. Padahal, tidak semua hal harus selesai dalam satu waktu. Bahkan bunga pun tak mekar dalam sehari. Maka biarlah senja mengajarkan sabar—dengan warna, bukan kata.

Senja itu seperti ibu yang memanggil anaknya pulang sebelum malam terlalu larut. Ia tidak menghardik, hanya memberi isyarat lewat langit yang memerah malu. Tapi anak-anak zaman kini terlalu sibuk bermain, sampai lupa arah rumah. Mereka menunda pulang, sampai malam kehilangan kesabaran. Lalu ketika gelap benar-benar datang, mereka menangis mencari terang. Tapi senja sudah tak bisa kembali.

Dalam tiap salat magrib, ada percakapan sunyi antara hamba dan Tuhannya. Bukan sekadar ritual, tapi pengakuan bahwa waktu ini milik-Nya. Aku sering terlambat, sering kalah oleh deretan hal duniawi. Tapi saat aku benar-benar hadir dalam sujud itu, senja terasa lebih dalam. Ia bukan cuma langit merah, tapi pintu. Pintu menuju kesadaran, bahwa dunia tak harus dipeluk erat-erat.

Tak jarang aku mendengar seseorang berkata, "Ah, aku lebih suka malam." Tapi mereka lupa, bahwa malam hanya ada karena senja memberi jalan. Tak ada gelap yang tak melalui jingga lebih dulu. Maka mencintai malam tanpa memahami senja, seperti mencintai dewasa tanpa melewati luka. Dan di antara luka dan lega, senja menjadi jembatan yang paling jujur.

Pulang adalah kata paling indah diucapkan saat senja. Bukan hanya soal rumah, tapi soal kembalinya jiwa dari kebisingan dunia. Di kursi kayu depan rumah, ayahku biasa duduk dengan teh dan diam. Tidak ada obrolan, hanya anggukan perlahan. Aku baru paham, diam ayah saat senja itu adalah bentuk terima kasih kepada waktu.

Kau tahu, bahkan burung pun pulang saat senja datang. Tapi kita? Kita malah terbang lebih jauh, menantang malam dengan ambisi. Hingga kadang tersesat di gelap yang kita buat sendiri. Senja ingin kita pulang, tapi kita malah menambah langkah. Hingga saat sadar, rumah hanya tinggal alamat yang tak kita ingat.

Mereka yang meninggalkanmu di waktu senja, bukan berarti tak cinta. Mungkin mereka hanya tahu kapan harus berhenti. Seperti senja yang tahu dirinya tak bisa menggantikan malam, ia pergi dengan elegan. Perpisahan tak selalu menyakitkan jika kau tahu alasannya. Dan pergi bukan berarti menghilang, kadang hanya memberi ruang untuk rindu tumbuh.

Senja mengajarkanku satu hal yang tak pernah diajarkan sekolah: cukup itu indah. Tak harus sempurna, tak harus panjang, tak harus menang. Cukup hadir, cukup sadar, cukup pulang. Maka bila suatu hari aku pergi, biarlah aku pergi seperti senja. Tidak mengejutkan, tapi dikenang.
Panggung kekuasaan itu hangat. Setiap langkah terasa penting, setiap ucapan dicatat, dan setiap keputusan membawa dampak besar. Maka tak heran bila banyak orang sulit beranjak ketika masa jabatannya selesai. Ada semacam magnet psikologis yang menahan mereka untuk tetap berada di titik pusat, walau sebetulnya panggung telah berubah. Begitu lampu sorot dipadamkan, sebagian tak sanggup duduk di bangku penonton. Mereka ingin tetap bicara, ikut mengatur alur cerita, bahkan kalau perlu—menulis ulang naskahnya.

Ada ironi yang sering muncul: mereka yang dahulu lantang bicara tentang regenerasi dan keterbukaan, justru menjadi penghalang terbesar ketika harus memberi ruang bagi pengganti. Mereka tak rela jika keputusan diambil tanpa “minta izin” kepadanya. Bahkan dalam hal-hal kecil, ia ingin dilibatkan, seolah pengganti hanyalah pelaksana teknis dari pikirannya. Bukan karena mereka tidak percaya, tapi karena mereka tak siap melepaskan. Di sinilah post power syndrome menyelinap, bukan sebagai penyakit, tapi sebagai kebiasaan yang tak disadari.
Ilustrasi Post Power Syndrome (Gambar : GeneratedAI)
Saya sering mendengar cerita dari para pemimpin muda yang menggantikan tokoh senior. Mereka bercerita bagaimana bayangan pemimpin sebelumnya terus hadir: dalam rapat, dalam kebijakan, bahkan dalam pergaulan internal. Sang mantan tak benar-benar pergi. Ia hanya bergeser posisi, tapi tetap mencengkeram. Ketika keputusan baru dibuat, selalu ada komentar, kritik, dan bisikan: "Dulu saya tidak begitu." Apa dampaknya? Inovasi terhambat, tim merasa terbelah, dan sang pemimpin baru seperti berjalan di atas garis tipis.

Ada kebutuhan manusiawi yang sangat mendasar yang sering terabaikan di sini: kebutuhan untuk merasa penting. Kekuasaan, selain memberi akses dan pengaruh, juga menjadi penanda identitas. Maka ketika jabatan hilang, rasa "siapa saya sekarang?" muncul dengan nyaring. Tak semua siap menjawabnya. Banyak yang kemudian berusaha mengganti kekosongan itu dengan menghidupkan kembali peran lamanya. Mereka jadi komentator atas keputusan-keputusan yang bukan lagi miliknya. Bahkan dalam forum sosial, mereka tetap ingin disebut dengan gelar kekuasaan yang sudah selesai.

Lucunya, fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat atas. Kepala sekolah yang pensiun pun bisa mengalami hal serupa. Ia masih merasa berhak menata ruang guru, mengatur jadwal, bahkan menegur staf baru. Semua itu dilakukan bukan karena niat buruk, tapi karena keterikatan emosional yang belum terurai. Kekuasaan telah menyatu dengan identitasnya. Dan melepaskannya sama sulitnya seperti memisahkan daun dari ranting yang telah lama kering.

Banyak orang menyangka post power syndrome hanya dialami oleh mereka yang ambisius. Tidak selalu. Justru kadang mereka yang paling tulus mengabdi, yang paling lama mengurus, yang paling mencintai pekerjaannya—adalah yang paling sulit melepas. Bagi mereka, jabatan bukan semata status, tapi rumah kedua. Maka ketika harus meninggalkannya, ada perasaan kehilangan yang dalam. Sama seperti orang tua yang harus melepas anaknya menikah—penuh restu tapi diam-diam menyimpan cemas.

Ada yang menyikapinya dengan terus hadir di lingkungan lama. Mereka datang ke kantor, duduk di ruang tamu, ikut makan siang. Kadang ikut nimbrung rapat meski tak diundang. Semuanya dilakukan dengan alasan “kangen suasana”. Tapi lama-lama, keberadaan itu menjadi beban. Bayangan masa lalu menghambat langkah masa kini. Dan pengganti pun merasa terus diawasi, bukan diberi ruang.

Saya percaya, seseorang tak perlu menduduki posisi untuk tetap memberi makna. Banyak pemimpin besar yang lebih dihormati setelah turun dari panggung, justru karena mereka tahu kapan harus mundur. Mereka menepi, bukan karena kalah, tapi karena sadar: saatnya yang lain tampil. Mereka tetap berkontribusi, tapi lewat cara yang berbeda—menulis, berbicara, memberi nasihat hanya ketika diminta.

Tantangannya adalah: tidak semua orang bisa membedakan antara kontribusi dan intervensi. Mereka yang terjebak dalam post power syndrome sering mengira campur tangan mereka adalah bentuk peduli. Mereka merasa sedang menjaga warisan, padahal sedang menghambat pertumbuhan. Mereka lupa bahwa setiap pemimpin baru punya konteks yang berbeda. Situasi berubah, tantangan berganti. Maka cara lama tak selalu relevan.

Sering kali, perasaan “saya masih tahu yang terbaik” muncul karena kesalahan dalam mengelola egonya sendiri. Ego yang dulu digunakan untuk memimpin, kini justru menjadi tembok yang menutupi kenyataan. Padahal, semakin tinggi posisi seseorang dulu, seharusnya semakin besar pula kebesaran hatinya untuk mundur. Tapi itu tidak mudah. Sebab yang ditinggalkan bukan hanya jabatan, tapi juga rasa dihormati, disambut, dan dituruti.

Budaya kita juga berperan dalam memperpanjang fenomena ini. Kita terlalu mudah menyanjung masa lalu dan enggan mengoreksi ketidaksesuaian. Kita masih suka memanggil mantan pejabat dengan gelarnya, masih memberi kursi khusus di forum-forum diskusi, dan masih meminta pendapat atas isu yang sudah tidak lagi menjadi wilayahnya. Tanpa sadar, kita ikut memelihara ilusi bahwa kekuasaan bisa diwariskan secara informal.

Tak salah menghormati mereka yang dulu berjasa. Tapi salah bila itu membuat sistem tidak berjalan sehat. Pemimpin baru perlu ruang. Ia butuh kebebasan untuk mengambil keputusan, gagal, belajar, dan tumbuh. Bila setiap langkahnya dibayang-bayangi penilaian orang lama, maka perubahan sulit terjadi. Dan organisasi hanya akan berjalan di tempat, seperti roda yang berputar tanpa bergerak.

Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Ini soal pemahaman. Soal kesiapan mental untuk menyambut babak baru dalam hidup. Ketika seseorang gagal menata fase pasca-kekuasaan, maka ia akan terjebak dalam nostalgia yang tidak produktif. Hidupnya diisi dengan mengomentari masa kini, bukan menjalani masa depan. Ia tak sadar, bahwa semakin ia mendikte, semakin ia kehilangan pengaruh.

Di sisi lain, tidak sedikit juga yang berhasil melewati fase ini dengan elegan. Mereka bertransformasi menjadi penasehat, mentor, atau pelaku sosial. Mereka tidak ngotot didengarkan, tapi justru semakin dihormati karena sikap bijaknya. Mereka hadir bukan untuk bersaing dengan pengganti, tapi untuk menjadi sumber refleksi. Mereka menghidupi peran barunya, tanpa mengaitkan semua pada masa kejayaannya.

Mereka tahu, kemuliaan seorang pemimpin tidak terletak pada berapa lama ia berkuasa, tetapi pada bagaimana ia mengakhiri kekuasaannya. Apakah ia mundur dengan kepala tegak dan hati lapang, ataukah ia terus menggantung di balik layar, menolak ditinggal pergi oleh zamannya? Pilihan ini menentukan apakah ia akan dikenang sebagai tokoh, atau hanya sebagai bayang-bayang yang mengganggu.

Kita perlu membangun kultur baru: bahwa setiap jabatan itu ada waktunya, dan setiap orang akan punya panggungnya sendiri. Perubahan adalah keniscayaan. Yang tidak berubah hanyalah kebutuhan untuk terus memberi makna. Maka, daripada terus berada di pinggir ring, lebih baik turun dan melatih petinju baru. Ajari mereka teknik, beri mereka semangat, lalu beri mereka ruang bertarung sendiri.

Saya percaya, bangsa yang sehat adalah bangsa yang tidak bergantung pada satu tokoh. Ia tumbuh karena ekosistemnya mendukung. Karena setiap generasi belajar dari yang lama, tapi tidak diikat olehnya. Karena pemimpin-pemimpin terdahulu legowo melepas kendali dan percaya pada estafet kepemimpinan.

Bila kita ingin sistem yang kuat, kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus pergi. Yang tidak memaksakan cara lama untuk zaman baru. Yang tidak memonopoli kebenaran. Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling lama memimpin, tapi siapa yang paling bijak mengakhiri kepemimpinannya.
Hari ini, cahaya pagi seperti lebih lembut dari biasanya. Matahari menyelinap pelan lewat celah jendela, seolah enggan membangunkan dua bidadari kecil yang masih terlelap di kasurnya. Mereka bernapas bersamaan, tenang, tanpa beban dunia yang belum sepenuhnya mereka pahami. Lima tahun telah berlalu sejak tangisan pertama mereka pecah di ruang bersalin rumah sakit Taiwan, mengalahkan suara ramai pasien di luar jendela hari itu. Dan sungguh, tak ada yang lebih ajaib dari hari ketika cinta tumbuh menjadi dua tubuh mungil yang kini kupanggil: Sarah dan Aisha.

Waktu, seperti biasa, tak pernah mau menunggu. Ia berlari, bahkan kadang melompat, meninggalkan jejak-jejak kenangan yang bahkan belum sempat disentuh sepenuhnya. Baru kemarin rasanya aku menggenggam tangan ibumu yang berkeringat dingin menunggu masuk ruang operasi, wajahnya pucat menahan rasa sakit yang tak mungkin aku bagi. Di antara mesin-mesin medis dan protokol pandemi yang ketat, dua nyawa kecil memilih turun ke dunia, dengan keberanian yang belum sempat mereka sadari. Lahir bukan hanya sebagai bayi, tapi sebagai harapan, sebagai pelita dalam musim yang gelap.
#SarahAisha (Foto : Dokumen Pribadi)
Ingatanku tentang detik-detik itu masih jernih. Suara perawat, suara tangisan pertama kalian yang serempak, seolah sudah sepakat sejak di dalam rahim untuk tidak saling mendahului. Seseorang pernah bilang, anak kembar punya bahasa rahasia, dan aku percaya itu. Sejak dalam perut, kalian sudah saling berbagi ruang, saling dengar detak jantung satu sama lain, saling menyampaikan pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang datang dari surga berdua-dua.

Hari ini, kalian lima tahun. Angka yang barangkali kecil di mata dunia, tapi besar dalam hatiku yang menyaksikan tiap jejak pertumbuhan kalian. Lima tahun berarti lima musim penuh keajaiban. Lima tahun berarti puluhan cium selamat tidur, ratusan tawa tak tertahankan, ribuan pertanyaan lucu yang kadang membuatku terdiam mencari jawaban. Lima tahun berarti aku tak lagi menjadi manusia yang sama—karena kalian mengubahku, tanpa pernah memintanya.

Sarah, Aisha, kalian datang bukan hanya sebagai anak, tapi sebagai puisi. Puisi yang tidak ditulis dengan kata-kata, tapi dengan pelukan hangat, tangis lapar, dan tawa tanpa alasan.

Ibu kalian, ah, dia perempuan paling tabah yang pernah kutahu. Melahirkan kalian bukan sekadar urusan medis, tapi ritual suci antara kehidupan dan kematian. Ia menahan sakit kontraksi sambil mengejar deadline disertasi, ia menyusui kalian sambil membaca jurnal internasional. Ibu kalian adalah bukti bahwa cinta bisa menjadi tenaga yang lebih dahsyat dari apapun di bumi ini. Tanpa dia, kalian tak akan punya cahaya yang begitu lembut seperti sekarang.

Di tahun pertama, kalian nyaris tak bisa kubedakan. Aku harus memberi pita kecil di pergelangan tangan kalian dengan warna yang berbeda. Tapi lama-lama, aku bisa mengenali Sarah dari caranya memeluk boneka, dan Aisha dari matanya yang lebih sering menatap lurus, dalam, seolah tahu sesuatu yang belum aku tahu. Kalian kembar, ya. Tapi kalian juga unik. Dua jiwa dengan dua nada, menyanyikan lagu yang berbeda tapi tetap harmoni.

Ada banyak yang membantu kami saat itu. Dokter, perawat, sahabat-sahabat yang bahkan hanya bisa mengirimkan dukungan lewat layar ponsel. Mereka adalah jembatan-jembatan tak terlihat yang membuat kami tidak tenggelam dalam rasa cemas. Hari ini, di ulang tahun kalian, mari kita kirimkan doa yang dalam untuk mereka semua. Karena tanpa mereka, mungkin cerita ini tidak pernah ada.

Ulang tahun, dalam budaya kita, kadang dirayakan dengan kue, lilin, dan nyanyian. Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin ulang tahun kalian menjadi perayaan tentang syukur. Syukur karena kalian ada, karena kalian tumbuh, karena kalian sehat, dan karena kalian mengajarkan aku arti baru tentang waktu: bahwa detik-detik kecil adalah tempat keajaiban sembunyi.

Aku masih menyimpan baju pertama kalian, mungil, dengan noda susu yang tak bisa hilang. Aku masih menyimpan suara pertama kalian menyebut 'Ayah', terekam dalam file audio yang kadang kudengar diam-diam saat rindu. Waktu memang tak bisa kembali, tapi kenangan bisa disimpan, dipeluk, dan dijadikan bahan bakar untuk terus melangkah ke depan.

Sarah, Aisha, kalian mungkin belum memahami sepenuhnya arti hari ini. Tapi suatu saat, kalian akan membaca ini dan mengerti. Bahwa ulang tahun bukan hanya milik kalian, tapi milik kami juga—aku dan bunda kalian. Karena lima tahun lalu, kami juga lahir kembali. Menjadi orang tua, menjadi versi terbaik dari diri kami, karena kehadiran kalian.

Ada malam-malam di mana kalian demam tinggi, dan aku duduk di samping ranjang, menggenggam tangan kalian sambil membaca sabda Tuhan dalam hati. Aku ingin menjadi rumah yang selalu bisa kalian pulang, bahkan saat dunia di luar terlalu bising, terlalu tajam. Aku ingin menjadi langit yang tak pernah marah jika kalian terbang terlalu tinggi, asalkan kalian tahu cara kembali.

Dan kini, di usia lima, kalian sudah bisa berhitung, membaca sedikit, bernyanyi banyak. Kalian punya dunia sendiri: boneka, kertas gambar, dan pertengkaran kecil tentang siapa yang lebih dulu memakai sepatu. Tapi yang membuatku takjub adalah cinta kalian satu sama lain. Seperti ada janji rahasia yang tidak pernah kalian lupakan sejak dalam kandungan.

Aku sering bertanya-tanya, seperti apa kalian nanti di usia sepuluh, dua puluh, tiga puluh. Tapi aku cepat-cepat menepisnya, karena aku tahu, bagian terbaik dari menjadi ayah adalah menyaksikan satu hari saja. Hari ini. Memandangi wajah kalian saat meniup lilin, saat tertawa, saat menghapus  dari pipi masing-masing.

Dunia ini, nak, kadang tak ramah. Tapi selama kalian saling menggenggam, saling menguatkan, kalian akan baik-baik saja. Kalian punya satu sama lain. Kalian punya cerita yang sama sejak dalam rahim. Dan itu, jauh lebih kuat dari segala jenis badai yang mungkin datang.

Aku akan selalu di sini. Menjadi saksi diam yang bahagia saat kalian tumbuh. Aku tidak akan bisa melindungi kalian dari semua luka, tapi aku akan selalu menambal sepatu kalian jika tali sepatunya putus. Aku akan terus berjalan di belakang, memastikan kalian tidak jatuh terlalu keras.

Hari ini ulang tahun kalian, tapi hadiah sejatinya adalah untuk kami. Hadiah berupa tawa-tawa kecil kalian, cium pagi-pagi, dan pertanyaan polos yang kadang lebih tajam dari filsuf. Terima kasih telah memilih kami sebagai rumah kalian.

Selamat ulang tahun, #SarahAisha. Lima tahun bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk membuat kami percaya pada keajaiban. Cukup untuk membuat hidup ini penuh warna. Cukup untuk membuat kami belajar mencintai tanpa syarat.

Dan hari ini, biarkan kami menyanyikan lagu ulang tahun itu bukan hanya dengan suara, tapi dengan air mata haru dan syukur yang tak terhingga.

Setiap kali pemerintah membubarkan sebuah organisasi masyarakat (ormas), publik terbelah antara yang mendukung dan yang mencibir. Namun satu pola yang konsisten muncul: pemerintah terlihat galak kepada ormas yang berbau keagamaan, apalagi jika dikait-kaitkan dengan radikalisme. HTI dibubarkan. FPI dibubarkan. Tanpa pengadilan, tanpa kesempatan membela diri di ruang hukum. Seakan hanya satu jenis ormas yang menjadi ancaman: yang berbicara tentang ideologi.

Ironisnya, pada waktu yang sama, banyak ormas yang justru terang-terangan membuat kekacauan di jalan, menggusur warung rakyat, memukul warga, bahkan menantang aparat. Mereka tidak dibubarkan. Tidak dikejar. Tidak ditertibkan. Mereka dibiarkan tumbuh seperti benalu yang makin hari makin merasa berdaulat.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Di pelataran hukum, pemerintah kerap berdalih menggunakan Perppu sebagai senjata cepat—mengklaim situasi darurat yang tak bisa menunggu proses pengadilan. Tapi anehnya, darurat itu seperti punya seleksi rasa. Hanya terasa jika ormas tersebut mengusung simbol Islam. Begitu bukan agama, atau tidak membawa isu ideologi negara, pemerintah jadi penonton pasif, penuh pertimbangan yang entah demi siapa.

Beberapa pekan terakhir, publik dibuat terperangah oleh berita tentang ormas yang mengancam pejabat tinggi. Seorang gubernur. Bahkan mantan Panglima TNI. Di negara yang sehat, ancaman semacam itu bisa dianggap kriminal. Tapi di negeri ini, pelakunya justru tenang-tenang saja. Tidak ada pernyataan keras dari pemerintah pusat. Tidak ada tindakan tegas dari aparat. Diam.

Barangkali kita sedang hidup di masa ketika loyalitas politik lebih penting daripada kepatuhan hukum. Ormas-ormas jalanan yang jago mengumpulkan massa mendadak diperlakukan istimewa. Mereka tidak disentuh, karena tahu kapan harus teriak dan kapan harus diam. Mereka menguasai ritme politik lokal dan nasional. Suara mereka dibutuhkan saat kampanye. Maka wajar jika setelah pemilu, mereka seolah mendapat piagam kebal hukum.

Fenomena ini bukan soal satu-dua ormas. Ini tentang sikap negara. Tentang kegagalan pemerintah menjaga konsistensi hukum. Ketika satu kelompok dibubarkan karena dianggap mengancam negara, sementara kelompok lain yang merusak tatanan sipil justru diberi ruang, maka keadilan menjadi ilusi.

Tidak ada negara yang kuat jika aparatnya tunduk pada tekanan jalanan. Indonesia bukan negara preman. Tapi perlakuan istimewa terhadap ormas yang gemar memamerkan otot justru menciptakan ilusi kekuasaan alternatif. Warga pun mulai bertanya: siapa sebenarnya yang berkuasa? Negara atau ormas?

Kekhawatiran ini bukan sekadar teori. Sudah banyak warga yang takut membuka usaha di wilayah tertentu karena harus bayar ‘keamanan’. Harus lapor pada ormas. Bukan polisi. Harus tunduk pada peraturan kampung yang dibuat bukan oleh pemerintah, tapi oleh organisasi sipil yang merasa punya hak menentukan hidup orang lain.

Lalu bagaimana dengan HTI dan FPI? Sekali lagi, bukan soal setuju atau tidak setuju terhadap ideologi mereka. Tapi soal prosedur. Soal keadilan. Jika mereka dibubarkan tanpa pengadilan, mengapa ormas kekerasan yang tidak berbasis ideologi justru tetap hidup dan bahkan dirawat?

Konstitusi memberi hak berserikat dan berkumpul. Negara boleh membatasi, tapi harus melalui mekanisme hukum. Tanpa itu, negara menjadi pelaku ketidakadilan. Dan ketika negara tidak adil, maka kekacauan justru lahir dari dalam tubuh kekuasaan sendiri.

Kita tidak boleh memaklumi ormas yang mengancam pejabat negara. Apalagi mantan panglima TNI, simbol kekuatan pertahanan kita. Ini bukan soal pribadi, ini soal martabat negara. Jika ancaman itu tidak ditindak, maka pesan yang kita kirim ke publik adalah: siapa pun bisa menantang negara, asal punya massa.

Ada sebuah kalimat lama yang kini terasa relevan: “Jika negara takut pada rakyat, itu demokrasi. Tapi jika negara takut pada ormas, itu malapetaka.” Kita mungkin sedang mendekati titik itu. Negara yang tunduk pada tekanan ormas bukan negara demokrasi, tapi negara yang disandera oleh suara jalanan.

Mengapa pemerintah tidak berani bertindak tegas? Apakah karena sudah terlanjur berhutang suara pada ormas-ormas itu? Atau karena struktur kekuasaan kita kini sudah terlalu tergantung pada mobilisasi politik berbasis massa?

Dalam banyak kasus, kekuasaan memang berhutang pada organisasi yang mampu menggerakkan lapisan bawah. Tapi hutang itu tidak boleh dibayar dengan diamnya hukum. Hukum tidak boleh kalah oleh logistik kampanye. Hukum tidak boleh tunduk pada massa.

Wajah negara tercermin dari keberaniannya bersikap adil, bukan dari kehebatannya membungkam yang lemah. Jika ormas agama bisa dibubarkan karena ideologinya, maka ormas kekerasan berbasis premanisme juga harus dibubarkan karena perilakunya.

Sungguh memalukan jika negara hanya berani menghadapi mereka yang tidak bisa melawan balik. Tapi mendadak lembek ketika berhadapan dengan mereka yang siap kerahkan ratusan orang dalam sehari. Padahal hukum tidak mengenal jumlah pendukung. Hukum hanya mengenal benar dan salah.

Kita juga harus jujur. Sebagian aparat memang punya kedekatan emosional dengan ormas-ormas tertentu. Karena pernah sama-sama “berjuang” di masa lalu, atau karena hubungan pribadi. Tapi negara tidak boleh dikelola dengan rasa sungkan. Negara harus dikelola dengan prinsip dan keberanian.

Apa yang terjadi saat ini bukan hanya soal ketidakadilan, tapi soal krisis keteladanan. Jika rakyat melihat aparat tunduk pada ormas, maka mereka juga akan ikut mencari pelindung informal. Ini melahirkan budaya perlindungan ala mafia: siapa kuat, dia yang mengatur.

Pemerintah harus segera membenahi pendekatan terhadap ormas. Bukan hanya soal siapa dibubarkan dan siapa tidak. Tapi soal konsistensi. Jika HTI dianggap mengancam NKRI, maka ormas yang menantang panglima TNI jelas lebih nyata mengancam. Jangan pura-pura buta.

Ketika aparat takluk pada tekanan massa, maka hukum berubah menjadi alat politik. Ini berbahaya. Karena hukum tidak lagi menjadi pagar yang melindungi warga, tapi menjadi senjata yang diarahkan hanya pada pihak yang tidak menguntungkan kekuasaan.

Kita harus bicara jujur. Di banyak kota, ormas-ormas ini telah mengambil alih peran pemerintah lokal. Mereka menentukan siapa boleh berjualan di mana. Siapa boleh buka warung. Bahkan siapa boleh mengadakan konser. Ini bukan lagi civil society. Ini kekuasaan tandingan.

Mereka memakai jaket ormas, tapi gaya mereka lebih mirip geng jalanan. Premanisme yang dibungkus dengan narasi ‘kearifan lokal’. Mereka menuntut dihormati, tapi tak pernah mau mengikuti hukum. Mereka meminta ruang, tapi tidak pernah memberi rasa aman.

Adalah tanggung jawab kita semua untuk mengingatkan pemerintah: keberanian tidak boleh dipilih-pilih. Jika berani kepada HTI dan FPI, maka harus lebih berani lagi kepada ormas yang melanggar hukum di jalan. Kalau tidak, maka keberanian itu hanya jadi topeng politik.

Saat publik menyaksikan perbedaan perlakuan ini, maka kepercayaan terhadap negara akan terkikis. Negara terlihat tidak adil. Dan ketidakadilan adalah pintu masuk kehancuran negara manapun dalam sejarah dunia.

Mungkin inilah saatnya kita bertanya ulang: apakah pemerintah masih punya kendali atas negara ini? Ataukah kendali itu sudah diam-diam berpindah ke tangan ormas-ormas yang kini merasa kebal, merasa berhak, merasa berkuasa?

Jika pembubaran ormas harus dilakukan, lakukan dengan adil. Jangan hanya karena mereka tidak punya backing politik. Jangan hanya karena mereka tidak bisa mengancam dengan ribuan massa. Negara tidak boleh bersikap pengecut.

Kita tidak butuh negara yang galak ke satu sisi tapi cengeng ke sisi lain. Kita butuh negara yang tegas kepada semua. Yang adil kepada semua. Karena hanya dengan itu, hukum akan dihormati, dan demokrasi akan tumbuh sehat.

Sudah cukup kita menonton aksi ormas yang menantang negara. Sudah cukup kita membiarkan ancaman pada pejabat dianggap sebagai hal biasa. Ini saatnya negara bangun. Bangkit. Dan berdiri tegak dengan hukum.

Tidak ada kompromi untuk premanisme. Apalagi jika premanisme itu dibungkus baju ormas. Tidak ada ruang untuk kekerasan yang dilabeli perjuangan. Tidak ada tempat untuk tirani jalanan dalam negara hukum.

Semoga keberanian yang dulu dipakai untuk membubarkan ormas agama, bisa juga dipakai untuk membereskan ormas yang justru membuat rakyat takut di negeri sendiri.

Kadang senja datang bukan membawa ketenangan, tapi semacam kegelisahan yang diam-diam mengetuk dada. Seorang laki-laki, yang sudah cukup dewasa untuk paham bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang kehilangan, duduk diam menatap langit yang mulai beranjak gelap. Tidak ada musik, tidak ada suara televisi, hanya sunyi yang menggema di kepala. Sunyi yang bentuknya bukan cuma sepi, tapi semacam rasa ditinggal oleh dirinya sendiri. Yang tersisa hanya tubuh, tapi jiwa seolah sedang berjalan pulang ke masa kecil yang jauh.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Ada masa ketika ia bisa tertawa hanya karena temannya terpeleset di pematang sawah. Masa di mana hujan bukan musuh, melainkan sahabat. Dulu, bermain hujan-hujanan di sawah adalah puncak kegembiraan. Basah kuyup, menggigil, lalu pulang dan dimarahi ibu karena baju penuh lumpur. Tapi setelah itu, disuguhkan tempe bakar buatan ayah yang terasa seperti hidangan raja. Tak ada restoran di dunia yang bisa menyaingi nikmatnya makan sambil berselimut sarung, usai bermain hujan dan dimarahi dengan cinta.

Kini, segalanya berbeda. Hujan hanya berarti kemacetan, banjir, atau janji yang tertunda. Tak ada lagi sawah, tak ada lagi alasan untuk berlari tanpa tujuan. Hujan tak lagi menyegarkan, malah menambah sesak hati yang sudah penuh beban. Dunia orang dewasa memang kejam, bukan karena dendam, tapi karena terlalu sunyi.

Menjadi dewasa berarti harus pandai berakting. Tersenyum ketika ingin menangis, menyapa ketika ingin menghindar, dan berteman dengan orang-orang yang sebenarnya tak pernah peduli. Persahabatan berubah jadi transaksi. Ada yang datang hanya saat butuh, pergi ketika tak berguna lagi. Ia lelah dengan kepalsuan itu, tapi tak punya pilihan lain. Dunia kerja, dunia sosial, semua menuntut topeng yang harus terus dipakai.

Di desa dulu, semua orang tahu nama semua orang. Sore-sore dihabiskan dengan memancing di sungai, menyusuri aliran air sambil bercanda dan menertawakan nasib ikan yang kurang beruntung. Seusai itu, mandi di sungai, bermain air sampai kulit keriput, lalu pulang dengan baju setengah kering dan hati yang penuh. Tak pernah ada hari yang terasa hampa.

Waktu kini jadi musuh yang tak terlihat. Setiap detiknya adalah peringatan bahwa tubuh tak sekuat dulu. Punggung yang mudah pegal, mata yang cepat lelah, dan kepala yang mulai sulit mengingat nama-nama kecil di masa lalu. Penyakit datang satu per satu seperti tamu tak diundang. Kolesterol, maag, kadang cemas yang datang tanpa sebab. Semua itu bukan hanya menyiksa tubuh, tapi juga menggerus semangat.

Pernah satu malam, ia mendengar suara tawa dari luar jendela. Beberapa anak kecil sedang bermain petak umpet. Ia tak tahu siapa mereka, tapi suara tawa itu menampar kenangannya. Begitulah dulu dirinya. Menyatu dengan malam, bermain tanpa takut esok harus bangun pagi. Kini, ia bahkan takut tidur karena mimpi sering mengembalikan luka-luka lama.

Ada rasa iri yang pelan-pelan tumbuh saat melihat anak-anak. Iri karena mereka belum tahu bahwa dunia dewasa adalah ladang duri. Iri karena mereka bisa tertawa tanpa alasan, marah tanpa dendam, dan lupa tanpa beban. Ia mencoba meniru mereka, ikut tertawa, tapi yang keluar hanya senyum yang dipaksakan.

Di rumahnya ada satu kardus penuh benda-benda lama: yoyo, gambar tempel, beberapa mainan plastik dari pasar malam. Ia tak pernah membuka kardus itu lagi, karena takut akan banjir kenangan yang tak bisa ia bendung. Kadang, benda kecil menyimpan luka besar.

Suatu sore ia duduk di taman dan melihat seorang ayah menyuapi anaknya. Tempe goreng, sambal, dan nasi hangat. Sederhana, tapi pemandangan itu membuat matanya panas. Ia ingat betul bagaimana ayahnya dulu memasak dengan alat seadanya. Makanan ayahnya bukan sekadar pengisi perut, tapi penanda bahwa rumah itu masih hangat, bahwa ada cinta yang bisa disantap.

Ada hari-hari tertentu ketika tubuhnya menolak bangun dari tempat tidur. Bukan karena sakit, tapi karena lelah yang terlalu dalam. Lelah yang bukan soal pekerjaan, tapi karena terlalu lama berpura-pura. Lelah menjadi orang dewasa yang harus kuat, yang harus mandiri, yang tak boleh merengek.

Tak jarang ia bertanya pada dirinya sendiri: untuk apa semua ini? Gaji bulanan, cicilan kredit, tanggung jawab sosial. Apa semua ini layak ditukar dengan kenangan bermain kelereng di tanah lapang? Jawabannya selalu menggantung, tak pernah benar-benar jelas.

Kalau boleh memilih, ia ingin sehari saja kembali ke masa kecil. Cukup sehari, untuk bermain, berlarian, dan tertawa lepas. Tak perlu gawai, tak perlu media sosial. Hanya dirinya, teman-temannya, dan lapangan luas tempat mereka membangun dunia khayal.

Sahabat sejatinya dulu adalah orang-orang yang kini entah di mana. Ada yang jadi guru, ada yang merantau, ada pula yang sudah tiada. Tak ada grup WhatsApp, tak ada reuni, hanya ingatan yang mulai kabur tapi masih hangat di hati.

Ia sempat mencoba menuliskan semua ini. Bukan untuk dijual, bukan untuk dibaca orang, tapi sebagai cara untuk tetap waras. Tulisan itu ia simpan dalam folder bernama "Pulang". Karena ia tahu, tiap kata adalah langkah kecil untuk kembali ke dirinya yang dulu.

Pagi hari selalu terasa kosong. Matahari terbit tanpa sambutan, kopi diseduh tanpa percakapan. Kadang ia membuka jendela, berharap ada sesuatu yang datang. Tapi yang datang hanya angin, membawa dingin dan kenangan yang samar.

Ia mencoba berdamai dengan kesendirian, meski sesekali tubuhnya menolak. Ada malam-malam di mana ia hanya ingin dipeluk. Bukan oleh kekasih, tapi oleh seseorang yang mengerti bahwa menjadi dewasa artinya kehilangan tempat pulang.

Sampai pada titik tertentu, ia menyadari: tak ada yang benar-benar bisa ia kembalikan. Masa kecil sudah usai, dan kenangan hanya bisa disimpan, bukan diulang. Tapi ia bisa belajar mencintai hidup hari ini, dengan cara yang sama seperti ia mencintai masa lalunya.

Perlahan, ia mulai menemukan momen kecil yang membuatnya tersenyum. Seorang anak yang memanggilnya "Om" lalu tertawa, seekor kucing yang tidur di teras, atau senja yang warnanya mirip sore di kampung dulu. Hidup memang tak bisa diulang, tapi bisa ditenun kembali dengan benang kenangan.

Jika ada yang ia sesali, mungkin hanya satu: dulu terlalu cepat ingin dewasa. Terlalu cepat ingin bebas, padahal kebebasan ternyata punya harganya sendiri. Kini ia tahu, masa kecil bukan tempat tinggal, tapi tempat pulang.

Dan malam ini, sebelum tidur, ia berdoa pelan. Bukan minta kaya, bukan minta terkenal, tapi minta agar esok bisa tertawa seperti anak kecil lagi. Sekali saja. Tanpa beban. Tanpa alasan. Karena kadang, satu tawa cukup untuk menghidupkan kembali seseorang yang hampir mati di dalam.

Praktik kementerian teknis mendirikan dan mengelola perguruan tinggi sendiri telah menjelma menjadi fenomena sistemik yang secara diametral bertentangan dengan prinsip pengelolaan pendidikan tinggi yang terintegrasi. Dalam konstruksi ideal sistem pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) seharusnya menjadi garda terdepan dan satu-satunya otoritas pengelola pendidikan tinggi. Namun realitas yang terjadi justru menunjukkan wajah buram fragmentasi pendidikan, di mana setidaknya 20 kementerian/lembaga non-pendidikan - berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 - dengan leluasa mengoperasikan 179 perguruan tinggi secara tersebar dan tidak terkoordinasi.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan inefisiensi sistemik, tetapi juga melahirkan paradoks dalam pembangunan sumber daya manusia. Di satu sisi, pemerintah gencar mendorong program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang mengedepankan fleksibilitas dan kolaborasi multidisiplin. Di sisi lain, praktik kementerian teknis yang mengelola perguruan tinggi sendiri justru menciptakan sekat-sekat disipliner yang kaku dan sempit. Lulusan yang dihasilkan seringkali terkungkung dalam paradigma sektoral sempit, kurang mampu beradaptasi dengan dinamika pasar kerja yang semakin kompleks dan interdependen.

Distribusi perguruan tinggi antar kementerian menunjukkan pola yang timpang dan tidak proporsional. Kementerian Kesehatan dengan 37 perguruan tinggi, Kementerian Perindustrian (18), Pertanian (12), Kelautan dan Perikanan (11), hingga Perhubungan (11) - semua menunjukkan betapa ego sektoral telah mengalahkan pertimbangan pedagogis yang lebih holistik. Yang lebih memprihatinkan, lembaga-lembaga dengan domain sangat spesifik seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pun merasa perlu memiliki perguruan tinggi sendiri. Pertanyaan mendasarnya: apakah pembangunan perguruan tinggi oleh kementerian teknis ini benar-benar dilandasi kebutuhan pembangunan SDM, atau sekadar menjadi proyek prestisius dan alat memperbesar anggaran?

Motif pendirian perguruan tinggi oleh kementerian teknis perlu dikritisi secara mendalam. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang menjadi pendorong: pertama, alokasi anggaran khusus yang tidak kecil; kedua, kendali penuh atas kurikulum dan sistem rekrutmen; ketiga, citra sebagai pembangun SDM unggul. Namun ironisnya, di balik gembar-gembor pembangunan SDM spesifik tersebut, banyak dari institusi ini justru memiliki kualitas yang jauh di bawah standar perguruan tinggi negeri. Data akreditasi tahun 2021 menunjukkan 60% perguruan tinggi kementerian berada di peringkat B dan di bawahnya dalam penilaian BAN-PT.

Ilustrasi Pendidikan Tinggi (Gambar : GeneratedAI)

Masalah inefisiensi sistemik terlihat nyata dalam duplikasi program studi yang tidak perlu. Ambil contoh Politeknik Penerbangan Indonesia di bawah Kementerian Perhubungan dan Program Studi Teknik Penerbangan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Keduanya menghasilkan lulusan dengan kompetensi serupa, namun dengan biaya dan kualitas yang berbeda signifikan. Biaya pendidikan per mahasiswa di politeknik kementerian ternyata 40-60% lebih tinggi dibanding PTN, sementara tingkat serapan lulusannya di pasar kerja justru lebih rendah 20-30%. Ini menunjukkan betapa model pengelolaan yang terfragmentasi telah menciptakan pemborosan sumber daya yang tidak kecil.

Kualitas lulusan juga menjadi persoalan serius. Survei pada tahun 2023 menunjukkan 72% lulusan politeknik Kementerian Perhubungan bekerja di lingkungan Kemenhub sendiri, sementara hanya 15% yang mampu bersaing di pasar kerja yang lebih luas. Ini mencerminkan kompetensi sempit yang tidak sesuai dengan kebutuhan era disrupsi, di mana fleksibilitas dan kemampuan adaptasi menjadi kunci utama.

Persoalan kurikulum di perguruan tinggi kementerian juga patut mendapat sorotan kritis. Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa 70% sekolah kedinasan masih menggunakan modul pembelajaran yang sama selama 10-15 tahun terakhir. Padahal, laporan Bank Dunia (2021) memproyeksikan bahwa 65% pekerjaan di masa depan akan membutuhkan keterampilan baru yang belum diajarkan dalam kurikulum-kurikulum lama tersebut. Ketertinggalan ini semakin memperlebar kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan industri.

Tata kelola perguruan tinggi kementerian juga menunjukkan banyak kelemahan struktural. Audit pada tahun 2022 mengungkap bahwa 45% anggaran digunakan untuk belanja pegawai, sementara hanya 20% yang dialokasikan untuk pengembangan akademik. Rasio dosen-mahasiswa yang mencapai 1:47 juga jauh di bawah standar SN-Dikti yang menetapkan 1:25. Ini menunjukkan salah urus dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Di tengah kompleksitas masalah ini, kita bisa belajar dari praktik baik di Taiwan. Laporan Ministry of Education Taiwan (2021) menunjukkan bagaimana Universitas Kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan, sementara kepolisian hanya memberikan masukan kurikulum. Hasilnya, lulusannya diakui secara nasional dan memiliki fleksibilitas untuk bekerja di berbagai sektor. Model ini membuktikan bahwa spesialisasi tidak harus berarti pengkotak-kotakan.

Solusi mendesak yang diperlukan adalah konsolidasi sistemik dengan pendekatan bertahap namun pasti. Pertama, pengalihan seluruh perguruan tinggi kementerian ke bawah Kemendiktisaintek dengan tetap melibatkan kementerian teknis sebagai stakeholder kurikulum. Kedua, merger institusi sejenis - misalnya dengan menggabungkan 11 politeknik Kementerian Perhubungan menjadi 3-4 politeknik unggulan. Ketiga, penghapusan bertahap perguruan tinggi yang tidak memenuhi standar melalui integrasi dengan perguruan tinggi negeri terdekat.

Reformasi sistem rekrutmen juga menjadi krusial. Sistem seleksi harus benar-benar transparan dan berbasis meritokrasi murni, bukan "warisan jabatan" yang selama ini terjadi. Penerapan kuota minimal 40% untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu - sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 6 Tahun 2021 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru - bisa menjadi langkah awal memutus siklus feodalisme pendidikan.

Pada level kebijakan, revisi UU Pendidikan Tinggi diperlukan untuk mempertegas otoritas Kemendiktisaintek. Kementerian teknis seharusnya berperan sebagai "pemangku kepentingan" yang memberikan masukan kebutuhan sektoral, bukan sebagai operator pendidikan. Model kolaborasi seperti di Belanda patut diadopsi, di mana akademi kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan tetapi kurikulumnya dirancang bersama kepolisian.

Dari sisi anggaran, konsolidasi dana pendidikan akan menciptakan efisiensi yang signifikan. Alih-alih tersebar di 179 perguruan tinggi kementerian, anggaran bisa dipusatkan untuk meningkatkan kualitas 50-60 perguruan tinggi negeri/swasta unggulan. Pengalaman integrasi 7 akademi pemerintah ke perguruan tinggi negeri pada tahun 2002 telah membuktikan hasil positif: dalam 5 tahun, akreditasinya naik dari B ke A.

Penguatan sistem sertifikasi kompetensi nasional juga menjadi keharusan. Daripada mengandalkan ijazah kedinasan yang bernuansa sektoral, lebih baik mengembangkan standar kompetensi nasional yang diakui semua sektor. Model pendidikan vokasi Jerman melalui sistem "dual education" bisa menjadi inspirasi dalam membangun mekanisme pengakuan kompetensi yang lebih fleksibel.

Pembenahan tata kelola menjadi prasyarat mutlak untuk mewujudkan transformasi ini. Rekomendasi OECD (2020) tentang perlunya badan independen yang mengawasi standar pendidikan tinggi secara nasional patut dipertimbangkan. Badan ini harus memiliki kewenangan penuh untuk mengevaluasi dan menertibkan perguruan tinggi, terlepas dari kementerian pembinanya.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk melakukan reformasi struktural yang mendalam. Pendidikan tinggi adalah investasi strategis bangsa yang terlalu penting untuk dikotak-kotakkan oleh ego sektoral dan kepentingan jangka pendek. Dengan sistem yang terintegrasi, berkeadilan, dan berorientasi pada kebutuhan masa depan, Indonesia dapat menghasilkan sumber daya manusia unggul yang tidak hanya menguasai bidang spesifik, tetapi juga memiliki wawasan holistik dan kemampuan adaptasi tinggi. Inilah tantangan besar yang harus kita jawab bersama jika ingin pendidikan tinggi Indonesia benar-benar menjadi lokomotif kemajuan bangsa.

Di tengah denyut industri makanan global yang kian kompleks, label halal yang seharusnya menjadi oase kepastian bagi konsumen Muslim justru kerap berubah menjadi fatamorgana. Di banyak kasus, konsumen dikejutkan oleh temuan bahwa produk bersertifikat halal ternyata mengandung unsur yang diharamkan, seperti babi atau alkohol tersembunyi dalam aditif. Kondisi ini memperlihatkan ada sesuatu yang keliru, bukan hanya dalam aspek teknis, melainkan dalam akar paradigma halal itu sendiri. Halal tak lagi menjadi ekspresi nilai, melainkan sekadar stempel administratif.

Dalam perspektif Islam yang holistik, konsep halal tidak semata-mata terbatas pada apa yang tampak di label kemasan. Halal adalah representasi dari sebuah proses panjang yang menyentuh seluruh rantai nilai ekonomi, mulai dari sumber bahan, proses produksi, hingga distribusi ke tangan konsumen. Namun dalam praktik industri modern, konsep luhur ini mengalami penyusutan makna yang drastis. Apa yang tersisa kini hanyalah ritual sertifikasi tanpa ruh, yang mudah direduksi menjadi bisnis formalitas semata.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Tantangan sistem halal semakin pelik seiring kompleksitas industri makanan dan farmasi global. Dalam dunia produksi massal yang mengandalkan efisiensi dan diversifikasi produk, batas antara yang halal dan haram semakin kabur. Peralatan produksi yang digunakan bergantian antara produk halal dan non-halal menjadi sumber kontaminasi utama yang sering luput dari perhatian, sebagaimana dilaporkan dalam jurnal Food Control tahun 2022. Kondisi ini diperparah dengan sistem logistik yang kerap mengabaikan pemisahan ketat antara bahan halal dan non-halal.

Lebih dari sekadar masalah prosedural, fenomena ini mencerminkan mentalitas "halal by label" yang merajalela. Pelaku industri seringkali hanya mengejar logo halal demi penetrasi pasar Muslim tanpa menginternalisasi nilai filosofis di baliknya. Banyak di antara mereka yang sekadar membayar biaya sertifikasi dan merasa urusan halal sudah selesai di situ. Padahal, halal dalam Islam bukanlah tujuan bisnis, melainkan bentuk kepatuhan spiritual yang mewarnai seluruh transaksi ekonomi.

Lembaga sertifikasi yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam memastikan kehalalan produk, ironisnya justru sering terjebak dalam pola bisnis yang sama. Maraknya fenomena "auditor kilat" – pemeriksa yang melakukan verifikasi seadanya – memperlihatkan bagaimana sertifikasi halal bisa tergelincir menjadi sekadar komoditas. Sebuah studi oleh Journal of Islamic Marketing (2023) menemukan bahwa 48% lembaga sertifikasi di beberapa negara berkembang menggantungkan sebagian besar pendapatannya dari klien yang diaudit. Situasi ini menimbulkan konflik kepentingan akut yang menggerus kredibilitas.

Konflik kepentingan menjadi bom waktu dalam sistem halal global. Lembaga sertifikasi yang terlalu bergantung pada produsen tidak lagi memiliki independensi moral untuk menolak produk bermasalah. Di satu sisi, ada tekanan ekonomi untuk mempertahankan klien; di sisi lain, ada tanggung jawab spiritual yang kerap terpinggirkan. Seperti serigala yang disuruh menjaga domba, sistem ini rawan melahirkan skandal yang menghancurkan kepercayaan publik.

Tantangan bertambah di era globalisasi rantai pasok, dimana bahan baku suatu produk bisa melewati lima hingga enam negara sebelum sampai ke konsumen. Bahan-bahan turunan seperti gelatin, emulsifier, hingga perisa sintetis sering kali berasal dari sumber yang tidak transparan. Banyak perusahaan mengandalkan klaim "traceability" tanpa verifikasi independen yang cukup. Padahal dalam prinsip fiqih, adanya satu unsur haram – sekecil apapun – tetap membatalkan status kehalalan sebuah produk.

Sistem pelacakan bahan baku dalam industri halal saat ini, sayangnya, masih tertinggal jauh dibandingkan standar industri lain seperti farmasi atau makanan organik. Saat terjadi kasus pencemaran bahan haram, tracing ke sumber masalah kerap tidak mungkin dilakukan karena lemahnya dokumentasi dan audit berlapis. Sebuah riset di International Food Research Journal (2021) menunjukkan hanya 30% perusahaan bersertifikat halal di kawasan ASEAN yang memiliki sistem pelacakan memadai. Ini memperlihatkan betapa rapuhnya pondasi jaminan halal yang ada sekarang.

Pengawasan pasca-sertifikasi pun menjadi titik lemah yang sering diabaikan. Setelah mendapatkan sertifikat halal yang berlaku dua hingga tiga tahun, banyak produsen merasa bebas dari kewajiban monitoring rutin. Dalam rentang waktu itu, perubahan bahan baku, supplier, atau proses produksi dapat terjadi tanpa notifikasi kepada lembaga sertifikasi. Tanpa mekanisme surveillance berkala, sertifikat halal hanya menjadi jaminan ilusi, bukan jaminan riil atas kehalalan produk.

Di tingkat regulator, problem kian ruwet akibat koordinasi yang tidak solid antarinstansi seperti BPJPH, BPOM, dan lembaga terkait lainnya. Tumpang tindih kewenangan antara pusat dan daerah menciptakan ruang abu-abu yang rawan disalahgunakan. Pelanggaran serius terhadap standar halal seringkali hanya berakhir dengan teguran administratif tanpa konsekuensi hukum berat. Akibatnya, pelaku curang merasa tidak jera, sementara kepercayaan konsumen semakin tergerus.

Lebih dalam lagi, ada problem paradigmatik tentang bagaimana halal dipahami di tengah modernitas. Konsep halal yang harusnya mengandung nilai-nilai ketuhanan, kesucian, dan tanggung jawab sosial malah dipersempit menjadi sekadar instrumen ekonomi. Kita menyaksikan ironi besar di mana logo halal digunakan sebagai alat marketing, sementara esensi spiritualnya diabaikan. Krisis ini bukan hanya soal industri makanan, melainkan refleksi krisis nilai yang lebih luas dalam sistem ekonomi global.

Dalam sejarah Islam klasik, halal adalah bagian integral dari etos pasar yang adil dan transparan. Pada masa Rasulullah SAW, pengawasan terhadap perdagangan di Madinah tidak berbasis pada birokrasi sertifikasi, melainkan kesadaran moral dan akuntabilitas sosial. Konsep hisbah – pengawasan moral berbasis komunitas – menjadi pondasi utama terciptanya pasar yang bersih dan berkeadilan. Seharusnya, semangat itulah yang menjadi ruh dalam sistem halal kontemporer.

Transformasi paradigma halal membutuhkan keberanian untuk menggali kembali akar filosofisnya yang terdalam. Halal bukanlah sekadar absence of haram, melainkan bagian dari ekspresi tauhid dalam kehidupan ekonomi. Konsep ini menuntut keterhubungan antara keyakinan pribadi, etika sosial, dan struktur sistemik. Tanpa revolusi konseptual ini, upaya reformasi sertifikasi halal hanya akan bersifat kosmetik.

Kita perlu membedah kembali bagaimana tauhid beroperasi sebagai prinsip hidup dalam konteks halal-haram. Dalam kerangka tauhid, setiap aktivitas ekonomi dipandang sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT, bukan sekadar transaksi antar manusia. Oleh karena itu, kehalalan sebuah produk tidak bisa dipisahkan dari kehalalan proses, niat, serta dampak sosial yang ditimbulkan. Sebagaimana ditulis Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), Islam tidak mengenal dikotomi antara agama dan ekonomi.

Membangun sistem halal yang kokoh di era modern berarti mengintegrasikan empat pilar utama: ketaqwaan individu, verifikasi saintifik, transparansi radikal, dan akuntabilitas sosial. Pilar pertama adalah fondasi moral yang tak tergantikan. Tanpa ketaqwaan pelaku usaha, sistem sertifikasi sehebat apapun akan mudah dibajak. Inilah yang ditekankan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, bahwa moralitas individu menjadi pondasi peradaban yang lestari.

Pilar kedua adalah verifikasi saintifik yang multidimensi, menggabungkan pendekatan syariah dengan teknologi modern. Dalam konteks ini, metode seperti spektroskopi massa, DNA barcoding, dan metabolomics menjadi alat penting untuk mendeteksi kontaminasi haram hingga level paling kecil. Sebuah studi di Journal of Halal Research (2023) menunjukkan bahwa metode spektroskopi dapat mendeteksi residu DNA babi dalam kadar sangat rendah, yang sebelumnya tidak terdeteksi dengan teknik konvensional. Ini membuktikan pentingnya adopsi teknologi canggih dalam sistem halal.

Pilar ketiga, transparansi radikal, menuntut keterbukaan menyeluruh dalam rantai pasok, dari bahan baku hingga distribusi akhir. Blockchain adalah salah satu teknologi yang menawarkan solusi revolusioner dalam aspek ini. Dengan sistem blockchain, setiap perubahan dalam bahan atau proses akan tercatat secara otomatis dan tidak bisa dimanipulasi. Riset oleh IBM Food Trust (2021) menunjukkan bahwa penggunaan blockchain dalam industri pangan meningkatkan kepercayaan konsumen sebesar 48% dalam kurun dua tahun.

Pilar keempat adalah akuntabilitas sosial, yaitu keterlibatan aktif berbagai stakeholder, termasuk konsumen, dalam mengawasi dan menjaga integritas sistem halal. Sistem berbasis komunitas seperti consumer-led auditing dapat menjadi mekanisme baru yang lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika pasar. Contohnya, aplikasi HalalChain di Uni Emirat Arab telah memungkinkan konsumen untuk langsung melaporkan dugaan pelanggaran halal, dengan perlindungan whistleblower yang kuat.

Transformasi ini tentu bukan perkara mudah, mengingat resistensi dari banyak pelaku industri yang sudah nyaman dengan sistem lama. Banyak perusahaan merasa keberatan untuk membuka rantai pasok mereka secara penuh, takut kehilangan competitive advantage. Namun sejarah membuktikan bahwa perubahan struktural memang selalu menghadapi perlawanan di awal, sebagaimana terlihat dalam reformasi industri organik di Eropa pada era 1990-an. Pada akhirnya, yang bertahan adalah yang mampu beradaptasi dengan nilai-nilai kejujuran dan keterbukaan.

Roadmap menuju sistem halal ideal membutuhkan langkah-langkah strategis yang komprehensif. Pertama adalah pembangunan akademi khusus untuk auditor halal profesional. Auditor masa depan tidak hanya harus memahami fiqih muamalah, tetapi juga menguasai ilmu teknologi pangan, forensik makanan, supply chain management, serta standar global seperti ISO 22000. Kurikulum harus bersifat lintas disiplin dan berbasis kompetensi nyata, bukan sekadar sertifikasi administratif.

Langkah berikutnya adalah integrasi teknologi mutakhir dalam semua tahapan proses sertifikasi dan pengawasan. Penggunaan blockchain untuk traceability, spektroskopi massa untuk deteksi kontaminan, dan kecerdasan buatan untuk risk profiling harus menjadi standar baru. Implementasi sistem ini membutuhkan investasi besar di awal, tetapi dalam jangka panjang akan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kredibilitas. Sebuah white paper dari PwC (2023) menyatakan bahwa adopsi teknologi dalam sertifikasi dapat mengurangi biaya fraud hingga 30% dalam lima tahun pertama.

Regulasi pun harus diperkuat dan diperbaharui secara komprehensif. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia memiliki potensi menjadi leader dalam standardisasi halal global. Namun hingga kini, regulasi halal masih terfragmentasi dan sering tumpang tindih antar lembaga. Diperlukan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang lebih komprehensif, dengan penguatan aspek pre-market approval, post-market surveillance, hingga sistem recall produk bermasalah.

Sanksi terhadap pelanggaran harus diperjelas dan diperkeras untuk memberikan efek jera. Bukan sekadar denda administratif, tetapi mencakup sanksi pidana bagi pelanggaran serius seperti pemalsuan sertifikat atau kontaminasi sengaja. Inspirasi bisa diambil dari Food Safety Modernization Act (FSMA) di Amerika Serikat yang memberikan kekuasaan penuh kepada regulator untuk menarik produk dan menghukum pelaku usaha nakal dengan hukuman pidana. Tanpa penegakan hukum yang tegas, sistem halal hanya akan menjadi tameng palsu.

Pemberdayaan masyarakat sebagai konsumen kritis adalah kunci keberlanjutan sistem halal masa depan. Kita harus membangun kesadaran bahwa menjaga kehalalan produk adalah tanggung jawab kolektif, bukan hanya lembaga sertifikasi. Pengembangan aplikasi mobile yang memungkinkan pelaporan dugaan pelanggaran secara real-time, disertai insentif bagi pelapor, bisa memperkuat mekanisme pengawasan dari bawah. Model ini telah terbukti efektif dalam program Neighborhood Watch untuk keamanan komunitas di banyak negara.

Diplomasi halal global perlu digiatkan untuk menyamakan standar dan membangun sistem saling pengakuan antar negara (mutual recognition). Tanpa ini, sertifikat halal Indonesia akan sulit diterima secara luas di pasar global. Indonesia perlu aktif dalam lembaga seperti Standards and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC) dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mendorong harmonisasi standar halal internasional. Diplomasi halal adalah bagian dari diplomasi ekonomi yang bernilai strategis bagi positioning Indonesia di pentas global.

Manifestasi sistem halal yang kokoh harus dilihat sebagai cermin peradaban yang menghargai nilai-nilai ilahiyah dalam ekonomi. Dalam kerangka maqashid syariah, sistem halal bukan hanya menjaga legalitas konsumsi, tetapi lebih dalam lagi, menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta umat. Dengan kata lain, sistem halal adalah bentuk konkret dari perwujudan tujuan syariah yang lebih luas, sebagaimana dikembangkan oleh al-Syatibi dalam al-Muwafaqat. Ketika prinsip ini diabaikan, yang lahir bukan sekadar kegagalan administratif, melainkan degradasi moral kolektif.

Kasus-kasus skandal halal yang terjadi selama ini harus menjadi katalisator bagi transformasi menyeluruh, bukan sekadar tambal sulam regulasi. Skandal daging babi di Malaysia (2019), kasus sosis haram di Jepang (2021), hingga temuan gelatin babi dalam kapsul farmasi di Eropa (2022) adalah cermin dari kegagalan sistemik, bukan sekadar keteledoran individu. Setiap insiden ini mengguncang kepercayaan konsumen global dan mempertegas pentingnya reformasi sistem jaminan halal secara mendalam. Tanpa perbaikan struktural, kepercayaan itu akan makin sulit dipulihkan.

Kita harus belajar dari model hisbah di era klasik Islam, yang berbasis pada kesadaran kolektif dan bukan semata-mata kontrol birokratik. Dalam sistem hisbah, masyarakat memiliki hak dan kewajiban untuk mengawasi pasar agar sesuai dengan prinsip keadilan dan kejujuran. Hal ini sejalan dengan konsep social auditing modern, dimana masyarakat sipil berperan aktif dalam mengawasi integritas sistem ekonomi. Model ini terbukti lebih adaptif dibandingkan model pengawasan top-down yang rentan manipulasi.

Teknologi modern memberikan peluang baru untuk menghidupkan kembali semangat hisbah dalam konteks kekinian. Pengembangan platform berbasis blockchain, crowdsourcing auditing, dan open ledger transaction dapat membuat sistem halal lebih partisipatif dan transparan. Studi dari Harvard Business Review (2022) menunjukkan bahwa perusahaan yang mengadopsi mekanisme open auditing berbasis komunitas mengalami peningkatan reputasi pasar hingga 35% dalam tiga tahun. Ini menunjukkan bahwa kepercayaan publik adalah aset ekonomi yang nyata dan terukur.

Selain memperkuat mekanisme kontrol sosial, edukasi konsumen harus menjadi agenda utama. Konsumen Muslim hari ini bukan lagi entitas pasif, tetapi aktor kritis yang menuntut transparansi, kejujuran, dan akuntabilitas dari pelaku usaha. Edukasi tentang prinsip halal-thayyib, traceability produk, dan risiko kontaminasi harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal maupun program literasi publik. Seperti dinyatakan dalam laporan Pew Research Center (2023), generasi muda Muslim global menunjukkan minat yang lebih tinggi terhadap aspek etis konsumsi dibanding generasi sebelumnya.

Peran universitas dan lembaga riset dalam mengembangkan ilmu halal juga sangat krusial. Dunia akademik harus menjadi motor inovasi dalam menciptakan teknologi verifikasi, metodologi auditing, dan model sertifikasi baru yang lebih adaptif terhadap perkembangan industri. Program-program seperti Halal Science Center di Chulalongkorn University Thailand telah membuktikan bahwa riset halal bukan hanya mungkin, tetapi sangat diperlukan untuk menjaga relevansi konsep halal di era globalisasi. Indonesia pun harus mengembangkan ekosistem serupa yang lebih kuat dan terintegrasi.

Lebih jauh lagi, pengembangan industri halal tidak boleh hanya berorientasi pada pasar Muslim, tetapi juga harus merambah ke pasar global yang lebih luas. Konsep halal-thayyib yang mengutamakan kebersihan, etika produksi, dan keberlanjutan lingkungan memiliki potensi universal yang bisa diterima lintas agama. World Halal Forum (2022) mencatat bahwa 45% konsumen produk halal di Inggris adalah non-Muslim yang mencari produk ethical, clean, dan sustainable. Ini peluang besar yang belum sepenuhnya digarap oleh banyak negara Muslim, termasuk Indonesia.

Untuk mengoptimalkan potensi ini, branding industri halal perlu diperbaharui dari sekadar religious compliance menjadi bagian dari movement global untuk ethical consumption. Artinya, halal harus diposisikan sebagai simbol integritas, bukan hanya kepatuhan syariat. Pendekatan ini lebih resonan dengan nilai-nilai generasi Z dan milenial yang sangat peduli pada isu keberlanjutan, keadilan sosial, dan kesejahteraan hewan. Buku Ethical Consumerism and Halal karya Muhammad Abdul Khalek (2022) menegaskan pentingnya pergeseran paradigma ini untuk memperluas jangkauan pasar halal.

Dalam kerangka geopolitik, kekuatan industri halal dapat menjadi alat soft power baru bagi Indonesia di pentas dunia. Dengan populasi Muslim terbesar dan kekayaan budaya yang beragam, Indonesia memiliki semua modal untuk menjadi pusat halal dunia. Namun ambisi ini tidak akan tercapai jika sistem jaminan halal nasional masih dibebani problem fragmentasi, birokrasi lamban, dan rendahnya trust internasional. Membangun reputasi halal bukan soal klaim, tetapi soal bukti nyata di lapangan.

Tantangan lain yang perlu diantisipasi adalah fragmentasi standar halal di tingkat global. Saat ini terdapat lebih dari 400 badan sertifikasi halal di dunia dengan standar yang seringkali tidak sinkron. Ketidakseragaman ini menciptakan hambatan perdagangan dan kebingungan konsumen. Upaya harmonisasi standar halal melalui SMIIC dan WHFC (World Halal Food Council) harus terus didorong, dengan Indonesia mengambil posisi proaktif sebagai bridge builder antar berbagai kepentingan regional.

Reformasi sistem halal tidak bisa berdiri sendiri; ia harus menjadi bagian dari reformasi ekonomi syariah yang lebih luas. Ekosistem ekonomi syariah yang sehat akan memperkuat daya dukung sistem halal, sebaliknya, sistem halal yang kredibel akan menjadi katalis pertumbuhan ekonomi syariah. Simbiosis ini harus menjadi bagian dari grand strategy pembangunan nasional. Laporan State of the Global Islamic Economy (DinarStandard, 2024) memproyeksikan bahwa kontribusi industri halal terhadap PDB global akan mencapai USD 7 triliun pada 2025.

Lebih dari sekadar angka ekonomi, pembangunan sistem halal modern adalah proyek peradaban. Ini adalah upaya mewujudkan nilai-nilai tauhid dalam seluruh lini kehidupan, termasuk dalam aktivitas ekonomi paling profan sekalipun. Seperti kata Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Prolegomena to the Metaphysics of Islam, tujuan akhir Islam bukanlah sekadar survival material, melainkan pencapaian adab sejati yang memuliakan hubungan manusia dengan Allah, alam, dan sesama.

Dengan spirit itu, rekonstruksi sistem halal tidak boleh berhenti pada dimensi prosedural semata. Ia harus menyentuh lapisan spiritualitas, moralitas, dan kesadaran kolektif umat. Halal bukan hanya tentang apa yang kita konsumsi, tetapi tentang siapa kita sebagai komunitas yang mengklaim hidup berdasarkan nilai ilahiyah. Ini pekerjaan besar, tetapi sejarah menunjukkan bahwa umat Islam selalu mampu bangkit ketika disatukan oleh visi transformatif yang luhur.

Optimisme bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. Di tengah tantangan globalisasi, disrupsi teknologi, dan perubahan preferensi konsumen, peluang membangun sistem halal yang unggul terbuka lebar. Indonesia memiliki modal demografi, budaya, dan spiritual yang kuat untuk menjadi pelopor dalam kebangkitan sistem halal yang autentik, inovatif, dan mendunia. Namun keberhasilan itu hanya akan diraih jika ada kemauan kolektif untuk mereformasi dari akar hingga ke pucuk.

Tugas membangun sistem halal baru adalah tugas lintas generasi. Ia memerlukan kaderisasi auditor halal, pengusaha halal, konsumen kritis, regulator visioner, dan akademisi inovatif yang bekerja dalam ekosistem yang terintegrasi. Setiap peran, sekecil apapun, akan menentukan wajah masa depan sistem halal kita. Seperti dalam kaidah fiqih, "Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib" – sesuatu yang menjadi syarat tercapainya kewajiban, hukumnya wajib untuk dipenuhi.

Maka, mari kita jadikan rekonstruksi sistem halal ini bukan sekadar proyek kebijakan, tetapi gerakan peradaban. Sebuah gerakan yang menghidupkan kembali semangat hisbah, mengadopsi teknologi mutakhir, mengintegrasikan ilmu agama dan sains modern, serta memperkokoh etika tauhid dalam seluruh dimensi ekonomi. Sebab pada akhirnya, sistem halal bukan hanya tentang produk yang kita konsumsi, tetapi tentang masa depan moralitas umat manusia itu sendiri.

Wallahu a'lam bish-shawab. Semoga Allah SWT membimbing kita semua untuk menjadi pelaku perubahan, bukan sekadar pengamat dalam rekonstruksi besar ini. Sebab perubahan sejati tidak datang dari keluhan, tetapi dari tindakan kolektif yang konsisten, berlandaskan iman, ilmu, dan integritas.


Langit sore itu merah seperti kain yang diwarnai oleh tangan-tangan tak terlihat. Hari ketika kau berdiri di depan penghulu dengan gaun putih yang kau rancang sendiri, gemetar namun tegas. Aku memandangmu, menyadari bahwa ijab qabul yang barusan kuucapkan bukanlah sekadar ritual—tapi guncangan dahsyat yang mengubah peta hidupku selamanya.  

Sepuluh tahun. Ratusan piring masakan yang kau buat pagi-pagi sebelum aku bangun. Aku belajar bahwa pernikahan bukan tentang dua orang yang sempurna, melainkan dua orang yang rela mengakui ketidaksempurnaannya.  
Aku dan Kamu (Foto : Dokumentasi Pribadi)
Kita pernah terdampar di bandara asing tengah malam, dompet kosong, dan hanya punya sekotak bekal untuk dibagi. Kau memecahnya dengan gigitan yang adil, lalu tertawa seperti itu bukan masalah. Di saat itulah aku paham: kebahagiaan kita tidak diukur dari apa yang kita miliki, tapi dari apa yang rela kita bagi.  

Anak pertama kita lahir di tengah badai pandemi. Saat dokter menaruhnya di kotak inkubator, kau menangis bukan karena sakit, tapi karena takjub. Aku melihat cahaya baru di matamu—cahaya yang sekarang selalu ada setiap kali kau memandang mereka.  

Kita seperti dua pohon yang akarnya sudah saling melilit. Terkadang kita berebut sinar matahari, berebut nutrisi, tapi selalu berakhir saling menopang ketika angin kencang datang.  

Aku mulai beruban. Kau mulai suka mengeluh pegal. Tapi matamu masih berbinar seperti gadis 25 tahun yang kutemui dulu. Mungkin cinta itu semacam keabadian—ia tidak mencegah kita menua, tapi memastikan kita tetap mengenali satu sama lain di balik keriput dan uban.  

Kita sudah melalui pemakaman bersama—keluarga, sahabat, bahkan janin yang tak sempat melihat dunia. Kehilangan itu mengajari kita bahwa yang paling berharga bukanlah benda, melainkan waktu yang kita habiskan bersama.  

Pandemi mengurung kita dalam rumah selama berbulan-bulan. Awalnya kita saling menjengkelkan, tapi lambat laun menemukan ritme baru: kau belajar memasak hidangan yang biasa kubeli di luar, aku belajar memijat kakimu yang lelah. Terkadang bencana justru mengingatkan kita pada berkah yang selama ini diabaikan.  

Aku masih suka memandangimu tidur. Cara napasmu yang pelan, sesekali mengigau hal tak penting, tangan yang terkadang meraihku dalam gelap seperti memastikan aku masih ada. Tidurmu adalah pengakuan paling jujur bahwa kau percaya padaku.  

Kita mulai lupa tanggal-tanggal penting, tapi ingat persis rasa kesal pertama kita, aroma parfum yang kau kenakan saat pertama kali kencan, bahkan nada dering teleponmu di tahun 2015 yang sudah tak dipakai lagi. Memori itu aneh—ia membuang yang seharusnya diingat, tapi menyimpan yang tak terduga.   
 

Di usia pernikahan yang kesepuluh ini, aku menyadari bahwa "mereka hidup bahagia selamanya" itu bukanlah akhir cerita. Itu justru bab baru yang lebih menantang—di mana cinta harus terus dipilih setiap hari, bukan sekadar dirasakan.  

Mungkin nanti kita akan pikun. Lupa nama satu sama lain. Tapi aku yakin kita akan tetap ingat cara mencintai—seperti sungai yang tak pernah lupa jalannya ke laut.  

Hari ini, di antara rutinitas yang sudah begitu familiar, aku ingin menegaskan lagi: sepuluh tahun lagi, ketika rambut kita sudah sepenuhnya putih, aku akan masih mencari wajahmu di keramaian, masih menggenggam tanganmu saat menyeberang jalan, dan masih bersyukur bahwa langit mempertemukan kita.  

Karena pernikahan kita bukan tentang kesempurnaan. Bukan tentang kebahagiaan yang datar. Tapi tentang dua manusia yang memilih untuk terus tumbuh bersama, meski akarnya kadang terluka, meski dahannya pernah patah.  

Dan esok, ketika matahari terbit lagi, kita akan mulai hari yang baru seperti biasa—dengan segala ketidaksempurnaan, dengan segala keajaiban kecil yang hanya kita berdua yang mengerti. Seperti sepuluh tahun yang lalu. Seperti kemarin. Seperti besok. 

Selamat Anniversary ke-10, Cinta
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • SURAT TERBUKA UNTUK GUBERNUR BENGKULU PERIHAL WFH KARENA BENCANA KELANGKAAN BBM
  • PULAU BAAI DAN HARTA KARUN BERNAMA BENSIN
  • APAKAH ANTRIAN KENDARAAN DI BERBAGAI SPBU DI BENGKULU AKIBAT PANIC BUYING?
  • BAHAN BAKAR DARI AIR LAUT, ASA DARI KEPUTUSASAAN DI TENGAH KONDISI KELANGKAAN BBM DI BENGKULU
  • SAAT DI DAERAH LAIN RIBUT KARENA PASIR LAUTNYA DI KERUK, DI BENGKULU JUSTRU PASIR LAUT YANG TIDAK DIKERUK YANG BIKIN JADI RIBUT

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar