Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Sektor pendidikan tinggi Indonesia saat ini dihadapkan pada paradoks pembangunan yang ironis: di satu sisi, kita memuja konsepsi tentang merata dan inklusifnya akses ke pengetahuan, namun di sisi lain, realitas menunjukkan kesenjangan yang makin melebar antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Matinya secara bertahap banyak PTS di negeri ini bukan sekadar fenomena yang bisa diamati melalui statistik dan data, namun lebih jauh, merupakan refleksi kepincangan sistem dan kegagalan kebijakan yang harus kita renungkan bersama.

Kecenderungan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir yakni banyaknya PTS yang harus mengakhiri operasional mereka adalah suatu hal yang patut kita waspadai. Hadirnya kebijakan yang menempatkan PTN pada 'junjung tinggi' dengan berlimpahnya alokasi dana APBN yang membekali mereka dengan fasilitas tercukupi seolah menjadi bagian dari akar masalah. Semula PTN berdiri dengan fokus pada kuota mahasiswa yang terbatas, pendidikan berkualitas, dan penelitian yang mendalam. Kehadiran mereka di ranah pendidikan tinggi lebih cenderung sebagai penerima siswa terbaik yang lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), sementara PTS-lah yang menjadi retak suara bagi sisanya.

Ilustrasi Mahasiswa (Gambar : Zulpakar Yauri M)

Keadaan ini mulai berubah sejak kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah. Kebijakan yang dimunculkan dengan semangat otonomi dan efisiensi ini adalah konsep Perguruan Tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH), yang pada esensinya adalah langkah untuk mempersilakan PTN beroperasi layaknya lembaga semi-otonom yang harus mengelola keuangan dan aset yang dimilikinya. Meski pada dasarnya niatan ini terkesan progresif dan serupa dengan praktik yang ada di berbagai negara maju, namun dalam kenyataannya, ia menyisakan dilema yang mencekik keberlangsungan PTS.

Dengan kebijakan PTNBH ini, PTN yang selama ini dibiayai sepenuhnya oleh APBN dan tidak perlu cemas akan anggaran, kini terdorong untuk berkompetisi di pasar pendidikan; mereka berebut ceruk mahasiswa baru sembari tetap menjaga kualitas pendidikan sebagai pilar utama. Alih-alih bersinergi, PTN dan PTS justru terjebak dalam persaingan yang tidak sehat, di mana PTS dengan segala keterbatasannya dituntut untuk bersaing dengan PTN yang memiliki fondasi lebih kuat.

Kebijakan satu atap ini secara tidak langsung mendorong PTN melakukan 'ekspansi', merambah pasar yang awalnya merupakan 'wilayah' PTS. Para PTS yang dulunya sempat berbangga dengan keunikan mereka—dalam hal program studi, metode pengajaran, atau link and match dengan industri—kini harus mengerahkan upaya luar biasa hanya untuk tetap bertahan. Menarik mahasiswa baru, yang merupakan nyawa berlangsungnya sebuah lembaga pendidikan, menjadi suatu pertempuran yang tak seimbang.

Konsekuensinya, banyak PTS harus mengatupkan buku mereka selama-lamanya, bukan karena kualitas belajar mengajar yang merosot, tetapi lebih karena tidak mampu bersaing dalam hal finansial dan pemasaran. Ada ironi yang menyakitkan di sini: PTS yang sejatinya menjadi jawaban atas terbatasnya daya tampung PTN, kini terpaksa menyerah dalam perang yang tidak mereka mulai.

Memang, pertumbuhan institusi pendidikan tinggi harusnya disertai oleh peningkatan kualitas, bukan sekadar diukur dari jumlah. Namun demikian, kebijakan ini harusnya diiringi dengan skema dukungan pemerintah yang memperhatikan keseimbangan ekosistem pendidikan tinggi secara keseluruhan. Bantuan finansial, insentif pengelolaan, bahkan pembagian beban pendidikan antar PTN dan PTS, adalah beberapa contoh yang bisa dieksplorasi untuk menciptakan keseimbangan yang lebih adil.

Kita perlu mengakui bahwa PTS memiliki peran penting dalam mozaik pendidikan tinggi Indonesia. Mereka adalah pemain kunci dalam mengentaskan keterbatasan akses pendidikan tinggi, terutama di area-area yang tidak terjangkau oleh PTN. Maka, matinya PTS bukan sekadar menyoal kemampuan mereka dalam bertahan hidup dalam sistem ekonomi pasar, tapi juga tentang pemutusan akses pendidikan bagi lapisan masyarakat yang membutuhkan.

Menyikapi kondisi ini, harus ada langkah tegas yang diambil oleh pemerintah dan stakeholders pendidikan. Harmonisasi aturan dan kebijakan, transparansi alokasi dana, serta pengawasan implementasi adil terhadap kedua jenis perguruan tinggi adalah perintah hari ini. Memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil, sebanyak-banyaknya untuk rakyat, dan seadil-adilnya bagi setiap pelaku pendidikan, menjadi imperatif.

Semoga, ini tidak sekadar menjadi pandangan semu atas dilema yang kita hadapi, melainkan sebagai panggilan untuk aksi nyata demi masa depan pendidikan tinggi Indonesia yang sehat dan berkeadilan. Kekuatan sebuah bangsa terletak pada kualitas sumber daya manusianya, dan tidak ada investasi yang lebih menguntungkan daripada investasi dalam pendidikan. Mari kita selamatkan PTS sebagai salah satu tiang penyangga pendidikan tinggi kita.


Mendayu-dayu di tengah gempita revolusi informasi, kita berdiri di tepi zamrud khatulistiwa, Indonesia, tempat jantung pendidikan berdebar kencang. Ada gambaran yang tidak bisa kita lewatkan begitu saja—deretan sarjana berjubah kebesaran dengan tali toga melambai, gelar doktor masing-masing berkibar bagai panji-panji. Tapi, adakah makna mendalam dalam genggaman gilirannya, atau sekadar emblem kosong yang dipertontonkan untuk pawai intelektual?

Sektor pendidikan, yang harusnya menjadi laboratorium inovasi dan pemikiran kritis, tampaknya kini turut terseret arus pergulatan elitisme akademis. Fenomena peningkatan jumlah dosen dan kepala sekolah dengan gelar doktor di Indonesia menjadi suatu yang layak ditelaah. "Apakah sebuah gelar doktor telah menjadi semacam totem prestise, bukan lagi alat pemacu perubahan nyata dalam kualitas pendidikan?" tanya yang mengusik kita

Ilustrasi (Gambar : Freepik/iStockphoto)

Memasuki keriuhan era yang ditandai dengan perubahan pesat, era yang menabrak batas-batas konvensional, disrupsi menjadi kata kunci. Tidak cukup hanya melontarkan opini; kita harus berbekal senjata data empiris dan analisis cerdas supaya dapat mengurai benang kusut isu ini. Bagaimana realita harapan kita terhadap para pemegang gelar tertinggi di dunia pendidikan Indonesia? 

Ketika kita melangkah lebih dalam, angka-angka dari jurnal ilmiah berbicara tidak main-main. Lonjakan yang mengesankan dari guru dan kepala sekolah yang berpredikat doktor patut diamati. UNESCO, dengan otoritasnya, mencatat kenaikan yang nyaris mencapai sepuluh persen dalam setahun terakhir bagi pendidik Indonesia berkaliber doktoral. Peningkatan ini memang difasilitasi oleh insentif yang diberikan pemerintah, seraya mendukung institusi pendidikan yang serius menangani pendidikan tinggi. Harus diakui, inilah sebuah usaha yang ambisius untuk memimpin pendidikan menuju puncak kebesaran holistik.

Namun, di balik gemerlap statistik, ada ironi yang tidak bisa dipisahkan: sebuah dilema klasik antara kuantitas dan kualitas. Ini bukan sekadar menyoal jumlah guru berdoktor yang membeludak, tapi apakah gelar-gelar itu telah berhasil mencerahkan ruang-ruang kelas dengan pembelajaran yang berkualitas? Inilah pertanyaan krusial yang menganga, memerlukan introspeksi mendalam dan tanggung jawab moral dari kita semua yang terlibat dalam dinamika pendidikan. 

Tidak bisa kita pungkiri, gelar doktor idealnya adalah lambang dari kemahiran riset dan kemampuan analisis yang tajam. Seorang pendidik dengan gelar doktor seyogianya membawa nuansa cendekia ke dalam tindak mengajar, menyalakan api inquisisi dan inovasi. Realitas nyata yang kita hadapi adalah bahwa reputasi tidak serta-merta mewakili kompetensi. Kredibilitas akademis harus ditunjukkan melalui praktik pendidikan yang menerapkan teori-teori pembelajaran terdepan dan menenggelamkan diri dalam penelitian yang transformatif.

Patut kita tegaskan kembali, sejauh mana pengaruh gelar doktor terhadap peningkatan mutu pembelajaran di kelas? Kita tidak boleh terlena oleh beratnya sebuah gelar tanpa menguji dampak riilnya. Bukankah sejati pendidikan adalah perubahan yang dirasakan oleh murid-murid, bukan hanya sekedar menambah deretan huruf di belakang nama? Kita perlu meneropong lebih jauh lagi, menyibak tirai simbolisme dan menuju kepada esensi edukasi.

Di ujung penelitian, yang kita harapkan adalah terbitnya pengetahuan yang berujud nyata dalam tumbuh kembang para pelajar. Guru dan kepala sekolah dengan gelar doktor harus menjadi inspirasi, menjadi motor penggerak yang mengubah landskap pendidikan di Indonesia dengan substansi, bukan sekadar gengsi. Dengan demikian, baru kita dapat mengatakan bahwa investasi akademis ini tidak sia-sia, adalah sebuah anugerah yang berbuah manis untuk generasi penerus bangsa.

Secara peran akademis, gelar doktor adalah prasasti intelektual yang menandakan keahlian tertinggi dalam bidang tertentu. Ketika seorang guru atau kepala sekolah memperoleh gelar doktor, ini idealnya mencerminkan peningkatan pengetahuan, kemampuan riset, dan kapasitas kritis yang semestinya mendukung tugas mulia mereka: mendidik generasi penerus bangsa.

Akan tetapi, kenyataan seringkali tidak sesederhana itu. Faktanya, banyak yang mempertanyakan relevansi penelitian doktoral yang dijalankan dengan konteks pendidikan di kelas. Kritikus menegaskan bahwa tidak jarang riset dan disertasi yang dihasilkan bersifat teoritis dan akademis, terputus dari realitas pendagogis sehari-hari yang dihadapi oleh para pendidik di lapangan. Tidak dapat dipungkiri, kloof antara teori dan praktik kerap menganga lebar, menciptakan disonansi antara harapan tinggi dan implementasi yang kerap kali mengecewakan.

Sementara itu, terdapat perspektif lain yang mengasumsikan bahwa gelar doktor dapat menjadi sebuah leverage, atau pengungkit, yang memungkinkan guru dan kepala sekolah untuk memiliki suara yang lebih kuat dalam mempengaruhi kebijakan pendidikan yang berlaku. Dengan kata lain, gelar tersebut bukan hanya simbol prestasi akademik, melainkan juga senjata ampuh untuk negosiasi kebijakan dan praktik pendidikan yang lebih baik.

Namun, pertanyaannya, apakah gelar doktor ini telah diolah menjadi kebijakan yang mengakar dan berbuah manis untuk pendidikan di Indonesia? Ulasan terhadap beberapa kebijakan pendidikan terkini seringkali revolusioner di atas kertas, tetapi terhambat di jalur implementasinya. Hal ini menandai bahwa diskrepansi antara teori yang canggih dengan praktek yang pragmatis masih terasa berat.

Saat kita mendiskusikan tentang fenomena ini secara lebih dalam, kita harus membutuhkan perspektif yang menyeluruh dan sistemik. Artinya, harus ada pemahaman bahwa doktor dalam pendidikan bukan hanya soal gelar, tapi juga tentang kepiawaian mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk menggerakkan pendidikan yang berkesinambungan.

Peningkatan kapasitas dari doktor pendidikan hendaknya menjadi katalisator bagi inovasi pembelajaran di kelas. Misalnya, ketika kepala sekolah dengan gelar doktor berhasil mengimplementasikan metode pembelajaran yang mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa, inilah saat teori dan praktek berpadu harmonis. Contoh lain, penelitian doktoral yang dapat diterjemahkan menjadi kurikulum yang responsif terhadap kebutuhan zaman, sehingga siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan, namun juga kemampuan adaptasi yang mereka perlukan untuk masa depan.

Argumen yang sering terlontar adalah bahwa gelar doktor pada gurudan kepala sekolah seolah menjadi "beban" yang harus diimbangi dengan peningkatan gaji dan jenjang karir. Hal ini tidak sepenuhnya negatif, tetapi dapat mengesampingkan esensi yang seharusnya mendominasi: peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Jika tujuan akhirnya adalah pendidikan yang lebih bermakna, maka gelar doktor harus dimaknai sebagai alat, bukan tujuan.

Solusinya, mungkin bukan semata dalam peningkatan kuantitas doktor di dunia pendidikan, tapi dalam penajaman kualitas dan relevansi riset mereka, serta peningkatan kemampuan translatif untuk mengaplikasikan temuan-temuan tersebut dalam konteks pembelajaran yang autentik. Gelar doktor harus menjadi semacam bekal yang dapat diindra dalam kelas-kelas di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua.

Pendidikan yang hakiki bukan hanya mengenai jumlah publikasi ilmiah atau gelar yang tertera pada papan nama, melainkan sentuhan yang diberikan oleh pendidik kepada muridnya, pengaruh yang mereka lempar ke dalam hati dan pikiran siswa, dan inspirasi yang mereka sisipkan dalam perjalanan intelektual anak didik mereka.

Oleh karenanya, patutlah kita merenungi fenomena "doktorasi" guru dan kepala sekolah ini dengan bijak. Lapisan wacana akademis tentunya adalah harga mati bagi kemajuan, tapi mari kita celik bahwa ilmu yang tidak mendidih di dalam kelas, yang tidak menggelegak dalam interaksi antara murid dan guru, adalah seperti tasbih tanpa zikir.

Di penghujung artikel ini, bila kita harus memetik pelajaran, biarlah itu adalah tantangan untuk melihat fenomena gelar doktor tidak hanya sebagai kenaikan status, tapi sebagai sarana untuk terus mendorong pendidikan Indonesia naik ke puncak yang lebih tinggi—puncak di mana setiap anak bangsa mendapatkan pendidikan yang bermutu dan pembelajaran yang membekas di hati. Mari kita kibarkan bendera pendidikan di Indonesia dengan semangat yang tak tertandingi, seperti para pahlawan pendidikan yang terus bertumbuh di bumi pertiwi, menjadikan gelar doktor bukan cuma mahkota, melainkan pedang dan perisai untuk pertarungan yang paling mulia: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menilik kembali fenomena bertambahnya gelar-gelar doktor dalam medan pendidikan, patutlah kita bertanya-tanya pada sunyi, "Apakah kita sudah benar-benar mendidik?" Biarlah waktu yang menjawab, dengan syarat bahwa kita tidak tinggal diam, melainkan terus berupaya agar setiap gelar doktor yang tersemat pada nama bukan sekadar hiasan, tapi pusaka ilmu yang memperjuangkan setiap mimpi pendidik dan didik.

Sebagaimana nada gema kemerdekaan belajar bergaung di pelosok auditorium dan ruang kelas tanggalan, banyak universitas di Indonesia yang berusaha putar haluan, memperbaharui metode serta sistem pendidikan mereka agar lebih inklusif dan inovatif. Akan tetapi, paradoks yang tercipta oleh seruan kemerdekaan belajar tersebut menciptakan perdebatan yang tak kunjung teredam di kalangan akademisi. Di satu sisi, ada aspirasi untuk mengedepankan kreativitas dan inovasi, namun di sisi lain, segudang tugas administratif yang terus bertumpuk menambah ironisnya keadaan tersebut. Para pendidik, yang seharusnya menjadi ujung tombak pembaharuan dan pengetahuan, malah menjadi korban dari sistem yang kontraproduktif.

Para dosen yang ada di garis depan pendidikan, kini menemukan diri mereka terperangkap dalam labirin kertas kerja dan laporan yang tiada akhir. Tugas administratif yang notabene harusnya mendukung proses akademik justru menjadi parasit yang menggerogoti waktu dan energi yang seharusnya dialokasikan untuk penelitian, penerbitan, dan interaksi dengan mahasiswa. Mereka berjuang mengatasi tuntutan-tuntutan birokrasi sambil tetap mencoba mempertahankan standar akademis yang tinggi. Realita ini menimbulkan pertanyaan yang serius: bisakah sistem pendidikan tinggi kita mencapai keseimbangan antara perluasan kebebasan akademik dengan kebutuhan akan akuntabilitas dan efisiensi?

Dilema ini tak hanya menggerogoti waktu para dosen, tetapi juga mengaburkan fokus mereka dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Ketika energi yang sepatutnya untuk mengasah potensi intelektual mahasiswa dialihkan ke dalam labirint birokrasi belaka, kita mesti bertanya, apa yang tercecer dalam proses tersebut? Sejumlah studi menunjukkan bahwa beban administrasi yang berlebihan dapat menurunkan motivasi dosen dalam proses pembelajaran dan menciptakan hambatan bagi inovasi pendidikan. Ketika kreativitas terkubur di bawah tumpukan formulir, relasi antara dosen dan mahasiswa pun bisa menjadi transaksional, bukan transformasional.

Ilustrasi (Gambar : Freepik)

Sorotan pun kembali kepada kebijakan pemerintah di tengah pusaran masalah ini. Wacana kemerdekaan belajar yang diidam-idamkan seyogianya disertai dengan pembenahan substansial dalam administrasi universitas. Semestinya, teknologi informasi dapat dikapitalisasi untuk mengurangi kekompleksan birokrasi yang kinian. Automasi dan sistem-sistem yang berorientasi pada pengguna (user-friendly) dapat dilirik sebagai kunci untuk membebaskan dosen-dosen kita dari belenggu administrasi yang berlebihan dan membawa kembali esensi sejati mereka sebagai penyuluh ilmu pengetahuan.

Namun demikian, harus diakui pula bahwa transisi menuju efisiensi berbasis teknologi bukanlah sebuah perjalanan yang akan berlangsung mulus tanpa hambatan. Sejumlah tantangan seperti sumber daya manusia yang mumpuni, infrastruktur yang memadai, dan juga resistansi terhadap perubahan adalah faktor-faktor yang tidak bisa diabaikan. Butuh komitmennya pemerintah dan institusi pendidikan tinggi untuk menavigasi transisi ini dengan penuh kehati-hatian namun juga dengan keberanian untuk mengubah status quo demi memelihara integritas akademis dan memberikan ruang yang lebih lapang untuk pertumbuhan intelektual.

Komparasi dengan sistem yang berlaku di Amerika Serikat menjadi terasa relevan. Di sana, seperti yang dijelaskan oleh The American Association of University Professors, dosen lebih banyak menghabiskan waktunya dalam penelitian dan interaksi dengan mahasiswa, menyerahkan tugas administratif pada sistem yang terotomatisasi dan personal administratif terlatih. Laporan akademik yang sederhana pada saat pengajuan kenaikan pangkat merupakan salah satu contoh efisiensi yang patut dicontoh.

Di Indonesia, tuntutan administrasi atas dosen mencapai level yang melelahkan. Laporan Beban Kerja Dosen (BKD) yang harus diunggah setiap semester, SKP yang detail, hingga pencatatan absensi mahasiswa dan daftar hadir peserta dalam pengabdian kepada masyarakat, adalah sedikit dari sekian banyak tugas administratif yang harus dipikul.

Praktik administrasi yang berat di Indonesia berakar pada sistem pendidikan tinggi yang belum sepenuhnya mengintegrasikan teknologi dalam proses birokrasinya. Sedangkan di Amerika Serikat, investasi di bidang teknologi informasi telah memungkinkan pengurangan beban kerja manual, membebaskan dosen untuk membaktikan diri pada pengajaran dan penelitian. Dosen Amerika dapat mengandalkan platform digital canggih yang menangani proses administratif secara otomatis, mulai dari pengarsipan dokumen hingga evaluasi kerja. Penggunaan teknologi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga menjamin ketelitian dan kecepatan dalam penanganan data.

Di Indonesia, pendekatan yang serupa harusnya dapat diterapkan untuk membebaskan dosen dari belenggu tugas administratif. Namun, kendala infrastruktur dan akses terhadap sumber daya teknologi menjadi penghambat. Banyak perguruan tinggi, terutama di daerah, masih bergantung pada sistem manual atau semi-digital yang jauh dari efisien. Ini menciptakan ironi di mana dosen harus membagi waktunya, mengorbankan potensi inovasi dan penelitian untuk menyelami segudang kertas kerja yang bisa saja terdigitalisasi. Contoh nyata adalah ketika dosen ingin naik jabatan fungsional. Para dosen di Indonesia sudah lama memakai sistem SISTER. Sistem ini diluncurkan di era Kemenristekdikti dan diproyeksikan menjadi sistem tunggal terintegrasi untuk dosen. Mulai dari laporan BKD hingga proses seleksi untuk sertifikasi dosen ada semua. Namun kini, ketika dosen mau naik pangkat, mereka harus menggunakan aplikasi yang berbeda. Bahkan ketika dosen-dosen yang berstatus PNS mau melaporkan kinerjanya, mereka juga diharuskan melaporkannya dengan aplikasi yang berbeda. Padahal dokumen yang diunggah kurang lebih sama. Dengan demikian, dosen harus melakukan unggah dokumen berulangkali ke berbagai aplikasi. Disinilah tampak tidak ada iktikad pemerintah untuk serius membenahi kualitas SDM dosen terus menambah pekerjaan-pekerjaan administratif berulang. 

Ditambah lagi, kurangnya pelatihan dan pemanfaatan teknologi informasi di lingkungan akademik Indonesia memperburuk keadaan. Tak jarang, aplikasi atau software yang ada tidak dipergunakan secara maksimal karena kurangnya pemahaman atau keengganan untuk beralih dari sistem konvensional. Sentimen 'zona nyaman' dengan cara lama tampaknya masih cukup kental di berbagai institusi pendidikan, di mana perubahan sistem dianggap sebagai beban tambahan ketimbang solusi.

Pada level kebijakan, tampaknya masih ada kesenjangan yang signifikan antara apa yang diidealkan versus realitas yang ada di lapangan. Reformasi administratif memerlukan komitmen politik dan investasi yang berarti - sesuatu yang mungkin terlihat tidak mendesak dibandingkan dengan isu-isu 'panas' lain di sektor pendidikan seperti kualitas pengajaran atau akses. Padahal, efisiensi administratif adalah fondasi yang memungkinkan peningkatan di area lainnya, sebuah kenyataan yang sering diabaikan.

Kemudian, kerumitan dan ketidakfleksibelan dalam aturan administrasi di Indonesia menambah berat beban yang dosen harus pikul. Ketentuan berlapis dan seringkali tumpang tindih, ditambah dengan keharusan laporan yang berulang, memaksa dosen untuk menghabiskan waktu di meja kerja mereka, mengurusi tugas-tugas yang sebenarnya bisa dipermudah. Ini bukan hanya menimbulkan frustrasi, tetapi secara objektif mengambil alih waktu yang seharusnya diperuntukkan untuk kegiatan akademik yang lebih produktif.

Akibatnya, potensi pengembangan keilmuan di Indonesia tidak termanfaatkan secara maksimal. Dosen yang mestinya menjadi nara sumber ilmu dan inovasi, terhalang untuk melakukan penelitian yang berarti karena terikat dalam lingkaran kerja administratif yang tak berkesudahan. Kondisi ini menciptakan paradoks; di satu sisi, pemerintah menghendaki peningkatan kualitas pendidikan dan penelitian, sementara di sisi lain, mereka sendiri yang meletakkan hambatan bagi para pelaku pendidikan untuk mencapai tujuan tersebut. Ironis memang, ketika esensi pendidikan terkubur di bawah tumpukan administrasi yang tidak produktif.

Untuk memaksimalkan potensi perguruan tinggi di Indonesia, kita harus mengeksplorasi berbagai solusi praktis yang mampu menangani permasalahan administratif yang sering menjadi penghalang bagi dosen untuk berinovasi dan berkarya. Solusi pertama yang bisa diimplementasikan adalah dengan mereformasi sistem pembagian kerja dalam kampus. Delegasi tugas-tugas administratif kepada staf yang telah terlatih dan kompeten bisa menjaga agar para dosen tetap fokus pada inti dari tridharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Melalui penataan ulang ini, dosen dapat mengalokasikan waktunya secara lebih efektif pada kegiatan-kegiatan akademis yang memerlukan keahlian spesifik yang mereka miliki.

Beralih pada solusi kedua, terdapat pelajaran berharga dari MIT yang menggunakan teknologi informasi untuk menunjang kegiatan administratifnya. Dengan mengadopsi sistem informasi terintegrasi, seluruh proses administratif bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mengurangi redundansi tugas. Hal ini menghemat waktu yang signifikan, yang bisa digunakan dosen untuk kegiatan ilmiah dan pendidikan. Implementasi sistem serupa di perguruan tinggi Indonesia membutuhkan investasi awal dan pelatihan, tetapi manfaat jangka panjangnya adalah peningkatan kinerja akademik dan administrasi yang tak terukur.

Ketiga, terkait dengan penyederhanaan regulasi dan birokrasi, kita harus memperhatikan upaya dari BAN-PT dalam menyederhanakan indikator kinerja. Regulasi yang berbelit dapat mematikan inovasi dan kreativitas. Oleh karena itu, penting bagi perguruan tinggi untuk mengevaluasi dan merumuskan kembali regulasi serta prosedur internalnya, menghilangkan yang tidak perlu dan menyederhanakan proses-proses yang membantu dalam menjalankan tugas secara lebih efisien dan efektif. Ini bukan hanya akan menguntungkan dosen, tetapi seluruh civitas akademika yang terlibat dalam proses pendidikan tinggi.

Keempat, pembudayaan kerja kolaboratif juga penting untuk dilakukan. Studi menunjukkan bahwa kerja tim yang efektif dapat menyebarkan beban administratif secara merata. Dengan memiliki budaya kerja yang kolaboratif, dapat tercipta sinergi antara dosen dan staf dalam menghadapi tantangan administratif. Tidak seorang pun dalam sistem pendidikan yang bekerja dalam isolasi; sebagai sebuah unit, fakultas dan departemen harus bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis dan meningkatkan produktivitas semua pihak.

Mengembangkan kapasitas akademik dosen memerlukan lebih dari sekedar strategi jangka pendek; ini tentang menanamkan transformasi jangka panjang dalam struktur dan etos institusi pendidikan tinggi. Reformasi kinerja dosen harus dianggap sebagai bagian integral dari regenerasi intelektual bangsa. Dengan membebaskan dosen dari belenggu administratif yang menguras waktu dan energi, kita membuka jalan bagi inovasi dan pembelajaran yang otentik. Kemampuan dosen untuk mengembangkan riset, menularkan ilmu dengan penuh gairah, dan menginspirasi mahasiswanya menjadi aset yang tak ternilai yang wajib diprioritaskan dalam setiap strategi pembaharuan pendidikan.

Lebih dari itu, reformasi kinerja dosen harus dikawal oleh kebijakan yang memperkuat otonomi akademik, memberikan insentif bagi inisiatif penelitian, dan mendukung peningkatan kualitas pengajaran. Sebagai pusat pengetahuan, dosen harus dihadiahi ruang untuk bereksplorasi dan bereksperimen demi menemukan metode-metode baru yang dapat memperkaya kampus serta masyarakat luas. Perguruan tinggi perlu meletakkan fondasi yang kokoh dimana wacana intelektual dapat berkembang, sementara tugas administratif menjadi tanggung jawab sistem dan mekanisme yang teroptimasi dengan baik, yang didukung oleh teknologi terkini.

Sistem informasi yang canggih dan berbasis pada solusi pintar adalah kunci untuk memperlancar pengurusan administratif yang saat ini menjadi beban. Dengan memanfaatkan perangkat lunak terintegrasi dan otomatisasi, sejumlah besar waktu yang sebelumnya tercurah pada administrasi dapat dialokasikan kembali ke kegiatan akademis dan penelitian. Pemberdayaan dosen melalui teknologi tidak hanya efisien tetapi juga merupakan investasi yang berharga untuk daya saing dan relevansi institusi pendidikan tinggi di kancah global.

Akhirnya, menjadi jelas bahwa penguatan posisi dosen sebagai penggerak utama di dunia akademis adalah keharusan. Tidak lagi boleh kita membiarkan kebijakan-kebijakan yang meredam semangat dan potensi penuh dari para akademisi kita. Mereka yang diharapkan menjadi tonggak kemajuan pengetahuan dan inovasi harus dilepaskan dari belitan tugas administratif yang berlebihan. Inilah saatnya untuk revolusi dalam pendidikan tinggi—satu yang mengedepankan kebebasan intelektual dan inovasi akademis. Mari kita bersama-sama mendukung dan memperjuangkan reformasi ini, agar tercipta iklim akademis yang benar-benar kondusif untuk pertumbuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia. Reformasi kinerja dosen bukan hanya tentang mengubah cara kerja; itu tentang mengubah masa depan pendidikan kita.


Di tengah gempuran isu-isu nasional yang semakin kompleks, partai-partai politik di Indonesia dituntut untuk lebih inovatif dalam menawarkan solusi praktis serta mendapatkan simpati dari penduduk. Penyediaan 'ambulance partai politik' terlihat sebagai salah satu manuver yang merespons dua hal tersebut: kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang cepat dan pengembangan citra partai yang peduli sosial. Inisiatif ini secara permukaan memberi kesan bahwa partai politik itu hadir dan tanggap dalam kondisi genting yang dihadapi konstituennya, namun menimbulkan pertanyaan mendasar terhadap substansi dan sustains kebijakan publik yang partai tersebut advokasikan.

Meskipun pada pandangan awal inisiatif ini terlihat sebagai bentuk kontribusi yang positif, namun tidak jarang, ambulance yang merupakan wajah nyata dari kepedulian ini justru tidak memadai. Di luar fasad kebaikan, terdapat banyak kekurangan logistik dan persiapan yang seharusnya menjadi inti dari sebuah layanan emergensi. Standar fasilitas dan penempatan tenaga medis profesional kerap tidak menjadi prioritas. Hal ini menyatakan bahwa ambulance tersebut lebih banyak berfungsi sebagai simbol, bukan sebagai sumber layanan medis yang efektif. Kondisi itu mengundang kritik, bahwa apa yang dimaksudkan untuk menolong, pada kenyataannya, bisa jadi tidak memberikan manfaat yang sejati bagi masyarakat.

Iustrasi Parpol (Gambar : TirtoID/Ecun)

Kritik tersebut diperkuat dengan realitas di lapangan, di mana beberapa 'ambulance' cenderung dioperasikan tanpa memenuhi aturan dan regulasinya. Ketidaksesuaian ini meliputi sejumlah aspek, seperti absennya tenaga kesehatan terlatih yang mendampingi, hingga kelengkapan peralatan yang tidak standar. Melihat dari sisi medis, kriteria sebuah ambulance tidak hanya dipenuhi oleh keberadaan sirene dan lampu isyarat, melainkan terutama oleh tenaga dan peralatan yang siap menangani kondisi darurat. Untuk itu, muncul pertanyaan yang mendesak: Apakah partai politik hanya sekedar menyediakan 'bantuan' sebagai demonstrasi empati atau benar-benar mengerahkan sumber daya untuk memberi pelayanan kesehatan yang memadai?

Bahkan, lebih jauh lagi, terungkap berbagai kasus di mana ambulance partai politik dipergunakan tidak sesuai tujuan. Dari fungsi aslinya sebagai layanan kesehatan darurat, beberapa ambulance disalahgunakan untuk kepentingan lain seperti mobilisasi logistik kampanye. Praktik ini bukan hanya bertentangan dengan regulasi tetapi juga menunjukkan inkonsistensi dalam prinsip-prinsip perawatan kesehatan dan tanggung jawab sosial yang seharusnya dijunjung tinggi oleh partai tersebut. Ini menjadi pertanyaan besar: Di manakah etika dan komitmen partai-partai politik dalam menjalankan fungsi sosial mereka?

Refleksi atas praktik penyediaan 'ambulance partai politik' ini membawa kita ke pertanyaan lebih besar tentang peran serta tanggung jawab partai politik dalam melembagakan layanan kesehatan yang berkualitas. Umumnya, partai politik adalan mesin pembuat kebijakan yang berdaya untuk mengubah penyelenggaraan layanan publik menjadi lebih baik. Namun ketika ambulance yang harusnya menjadi simbol pelayanan itu sendiri ternodai oleh praktik yang tidak benar, masyarakat berhak bertanya tentang prioritas nyata yang dipegang oleh partai tersebut. Harus ada introspeksi mendalam dari partai politik untuk mengembalikan esensi sejati dari bantuan kesehatan darurat: sebagai pelayanan yang menjangkau dan melindungi setiap lapisan masyarakat dengan mutu yang tidak diragukan.

Partai politik seharusnya bisa lebih inovatif dan responsif dalam mengidentifikasi serta merespons kebutuhan masyarakat. Pemenuhan atas ambulans sejati yang memadai dan operasional itu tentunya penting, namun organisasi sosial dan lembaga keagamaan yang telah memiliki infrastruktur dan pengalaman, seperti Muhammadiyah dan NU, sudah memberikan kontribusi signifikan dalam hal tersebut. Karenanya, partai politik perlu mempertimbangkan alternatif lain untuk menarik simpati rakyat.

Solusi pertama yang harus diperhatikan adalah investasi dalam pendidikan. Edukasi adalah pondasi pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Dengan menyediakan beasiswa, membangun sekolah-sekolah baru, atau menambah fasilitas bagi sekolah-sekolah yang sudah ada, partai politik menunjukkan komitmen pada masa depan anak bangsa.

Kedua, fokus pada pemberdayaan ekonomi lokal bisa menjadi sandaran yang kuat. Program mikrokredit, bantuan untuk UMKM, serta pelatihan kewirausahaan dapat membantu masyarakat tidak hanya dalam jangka pendek, tetapi juga memberikan mereka peralatan untuk berdiri di kaki sendiri.

Ketiga, pembangunan infrastruktur yang tepat guna, seperti pasar desa, jalan raya, dan jaringan irigasi untuk pertanian, memberikan manfaat langsung bagi populasi lokal dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Keempat, layanan kesehatan yang lebih komprehensif. Dibandingkan dengan menyediakan ambulance yang tidak standar, lebih bermanfaat jika partai politik mendukung pembangunan klinik desa, memberikan akses ke dokter dan perawat, serta menyediakan obat-obatan dasar yang terjangkau bagi masyarakat.

Kelima, reformasi program sosial yang sudah ada bisa menjadi area di mana partai politik menunjukkan upaya inovatifnya. Evaluasi terhadap efektivitas dan efisiensi program bantuan sosial yang ada, ditambah dengan perbaikan secara struktural dapat menjawab kritikan tentang distribusi bantuan yang sering kali tidak merata dan kena sasaran.

Terakhir, penguatan lembaga-lembaga demokratis dan mendorong partisipasi publik dalam proses politik merupakan cara untuk membangun simpati yang berdasar pada prinsip-prinsip demokrasi. Aplikasi ini berbicara langsung kepada mandat partai politik dalam mewakili kepentingan rakyat.

Penyediaan layanan ambulance oleh partai politik seharusnya bukan menjadi tentangan atas inisiatif-inisiatif kemanusiaan yang telah ada. Sebaliknya, partai politik dapat berkoordinasi dengan organisasi-organisasi tersebut untuk membantu meningkatkan kualitas layanan yang sudah disediakan, bukan sekadar menambah jumlah mobil dengan label 'ambulance'.

Agar efektif, oleh karena itu, pendekatan partai harus berorientasi pada solusi yang berkelanjutan dan memiliki dampak jangka panjang. Pembangunan simpati dan dukungan rakyat haruslah bersifat substantif, bukan simbolis. Terlebih lagi, harus bersandar pada asas manfaat yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat, bukan sekedar pencitraan semata yang mungkin terkesan mengambil keuntungan dari kerentanan mereka.

Dengan menjadikan prinsip-prinsip ini sebagai landasan, penyelenggaraan politik bukan hanya menjadi arena bagi partai untuk sekadar memenangkan suara dalam pemilu, namun lebih dari itu, menjadi wadah yang autentik untuk menghasilkan perubahan positif dalam kehidupan rakyat yang diwakilinya. Dalam demokrasi, legitimasi partai politik ada pada seberapa besar mereka dapat mempengaruhi perubahan sosial yang inklusif dan merata - dan inilah yang seharusnya menjadi jantung dari upaya mendapatkan simpati rakyat.

Sebagai penutup, tindakan simbolis oleh partai politik, seperti penyediaan ambulance, memang menawan atensi publik dengan cepat. Namun, pentas sebenarnya bagi partai politik adalah pada kontribusi yang dapat menyentuh kehidupan rakyat secara luas dan mendalam. Peran serta partai dalam perumusan kebijakan, pengawasan pemerintah, dan implementasi program yang berorientasi pada kesejahteraan umum adalah manifestasi dari aksi politik yang substansial. Hanya dengan cara inilah lembaga politik dapat mengukir nama dalam narasi sejarah sebagai institusi yang tidak hanya hadir di tengah perayaan, tetapi juga sebagai garda terdepan dalam perjuangan keseharian rakyat.

Kita hidup di era dengan tantangan kompleks yang terus berkembang, mulai dari kesehatan publik, kesenjangan sosial-ekonomi, hingga perubahan iklim. Ambulance partai politik boleh jadi memberikan solusi cepat untuk masalah-masalah mendesak, tetapi itu tidak cukup. Rakyat memerlukan pemecahan masalah jangka panjang yang melibatkan perencanaan strategis, penelitian yang mendalam, dan kebijakan yang berkesinambungan. Partai politik harus menunjukkan kapasitas dan kemauan untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia, peningkatan infrastruktur, dan inovasi yang berkelanjutan demi tercapainya masyarakat yang adil dan sejahtera.

Terakhir, kedewasaan berpolitik harus tercermin melalui kesediaan partai untuk melampaui politik semata-mata asistensialisme dan mengejar perubahan struktural. Ambulance partai politik hanyalah salah satu unsur kecil dalam mozaik kewarganegaraan yang jauh lebih luas dan kompleks. Agar relevan, partai politik harus menjadi pembawa perubahan positif yang nyata, tidak hanya di kala bencana atau pilkada, tetapi setiap hari dalam kehidupan rakyat. Sehingga, ketika sejarah menoleh ke belakang, partai-partai ini akan diingat tidak hanya sebagai simbol, tapi sebagai pembangun jembatan menuju masa depan yang lebih baik bagi seluruh warga negara.

Ah, berbicara soal politik di Indonesia adalah seperti memasak rendang, butuh waktu lama, penuh dengan bumbu kompleks, dan kadang-kadang membuat kita gerah. Tapi, mari kita simpan dulu bumbu politiknya, angkat panci dari api, dan alihkan perhatian kita ke sesuatu yang lebih menggugah selera: dunia catering.

Entah siapa yang diberi bisikan ilahi (atau mungkin sekadar terinspirasi ketika lapar), yang jelas program makan siang gratis dan minum susu gratis bagi anak sekolah yang digulirkan oleh Paslon 02 telah mengejutkan seluruh pelosok negeri dan membuka peluang usaha serasa baru menemukan Benua Amerika.

Sekarang, bayangkan Anda sebagai juragan catering, duduk manis di trotoar kesempatan emas, sambil menyusun strategi bagaimana mengecap nikmatnya orderan dari jutaan perut kelaparan murid sekolah. Sebuah pemandangan yang membuat hati kita bergembira layaknya anak kecil yang diberikan gratis es krim rasa coklat stroberi.

Ilustrasi Paket Makan Siang Anak Sekolah (Gambar : Catering ibu Titien/Istimewa)

Mari kita bikin satu simulasi sederhana: andaikan satu sekolah punya 1000 murid, dan setahun ada 200 hari efektif sekolah. Kalau satu anak dikenai biaya Rp 10.000 per makan siang - itulah 'standard' yang kita kenakan biar hitungannya mudah - kita sudah bicara mengenai omzet Rp 10.000.000 per sekolah per hari. Kalikan dengan 200 hari, kita menyentuh angka Rp 2.000.000.000. Itu baru satu sekolah. Bagaimana kalau ada sepuluh? Kalau ada seratus?

Loyo? Silahkan duduk dan ambil segelas air putih, karena angka itu bisa bikin pusing tujuh keliling.

Namun, jangan terlalu cepat berangan-angan memiliki kendaraan bermerk atau berlibur ke Bora-Bora dengan hasil orderan saja, karena dalam bisnis, laba bersih itu ibarat hantu Casper; susah dilihat, namun kita tahu ada. Ada bumbu-bumbu lain yang harus kita racik: biaya bahan makanan, tenaga kerja, distribusi, logistik, pajak, hingga senyum manis kepada aparat yang datang melakukan inspeksi mendadak. Jangan lupakan juga, bahwa dengan volume yang besar, kita berbicara mengenai skala ekonomi; artinya, bisa jadi biaya per anak turun ketika jumlah yang dilayani naik. 

Tapi, tentu saja, dalam skenario paling sejahtera - di mana semuanya berjalan mulus layaknya mentega di atas roti hangat - bisnis catering ini merupakan tiket emas ke pesta pora kenaikan ekonomi. Bagaimana tidak? Kalau tiap bulan bisa membawa pulang keuntungan bersih, katakanlah 10% dari omzet, kita bisa peluk dompet kita dan menangis terharu sambil bisik-bisik 'Terima kasih 02, kau telah memberi makan anak-anakku dan juga anak-anak negeri ini.'

Namun, perjalanan catering menuju tahta kejayaan seringkali lebih berliku dari jalan-jalan di Dago Atas. Ada cerita tentang bumbu yang tumpah, ayam yang kurang matang, insiden susu tumpah yang membuat ruang kelas seperti setting untuk iklan deterjen; semua harus ada dalam perencanaan.

Dan tentu saja, dalam memenangkan hati pelanggan cilik kita ini, kita tidak bisa asal-asalan. Anak-anak itu jujur, mereka akan melontarkan kritik gourmet sekelas chef bintang lima ketika menemukan kulit lumpia yang tidak renyah. Karena di sini, kita berbicara tentang 'food critics' yang mungkin akan menyebarkan rumor tentang katering kita dengan kecepatan yang sama dengan mereka menyebarkan virus saat musim flu tiba.

Di akhir hari, dongeng catering dalam republik ini layaknya sinetron petang; penuh drama, kadang bikin ketar-ketir, tapi pasti ditunggu-tunggu. Para juragan catering harus bersiap menghadapi bumbu-bumbu tak terduga, dari kompetisi yang memanas, hingga menangani keluhan orang tua yang mungkin saja mendadak vegan dan ingin menu khusus untuk buah hati mereka.

Oh, betapa bisnis catering ini bukan cuma mengenai hitung-hitungan angka, tapi juga permainan hati dan dedikasi untuk mengisi perut-perut kecil yang sedang bertumbuh. Dan siapa tahu, di antara semangkuk sayur lodeh dan segelas susu segar, akan bertunas bibit pemimpin masa depan negeri.

Nah, sebelum kita terlalu larut dalam imajinasi, ingatlah bahwa dalam setiap bisnis ada risiko. Karena itu, pastikan Anda tidak hanya pandai mengolah angka, tapi juga mengolah resep; tidak hanya jago berhitung, tapi juga piawai berdiplomasi dengan supplier sampai tukang nyetir yang menentukan tepat tidaknya makanan tiba di tangan pelanggan kecil.

Maka berangkatlah, oh para petualang kuliner! Sambutlah era baru 02 dengan sendok dan garpu di tangan, dan mungkin saja, di antara aroma sedap nasi putih dan tempe goreng, Anda akan mendapat potongan rezeki yang tak hanya enak di lidah, tapi juga manis di dompet.

Ketika pancaroba politik mengepung hari demi hari menuju puncak pemilihan umum serentak di Nusantara, tak sekadar gaung kampanye yang gencar mengudara tetapi serapah kegelisahan atas integritas pesta demokrasi pun mengemuka. Saksi, sekerdil namanya, serupa benteng penjaga yang senantiasa waspada di garis terdepan, memainkan peran sentral dalam menjaga suara rakyat supaya terhitung adil dan sah. Neraca ini, bukan tanpa guratan paradoks, berayun antara urgensi dan kenyataan yang berlaku di tempat pemungutan suara (TPS).

Hamparan Indonesia dengan seribu suara dan ratusan etnik, diiringi desain politik multipartai yang merefleksikan pluralitas, telah melahirkan 19 partai politik yang turut serta dalam kontestasi pemilu, ditambah lautan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memperjuangkan kursi kepemimpinan. Secara logika matematis, setiap TPS idealnya diawasi oleh tidak kurang dari 29 saksi yang berasal dari setiap entitas politik yang bersaing. Namun, realitas lapangan sering kali menyajikan narasi berbeda—bahwa banyak TPS yang hanya diisi 1 hingga 2 saksi.

Ilustrasi Saksi (Gambar : Istimewa/Nandai Bengkulu)

Biaya yang mesti dikeluarkan untuk merekrut, melatih, mendistribusikan, dan membiayai saksi dari setiap partai dan calon DPD adalah astronomis—sering kali mencapai miliaran rupiah. Sebelum step ini, biaya kampanye yang menguras kocek telah lebih dahulu merampok keuangan partai dan kandidat, menjadikan aliran dana untuk saksi layaknya sungai di musim kemarau—kering kerontang. Pemilu yang didesain sebagai perayaan demokrasi terhambat oleh realita ekonomi yang mencengkeram para pemain politik, membuat pengawasan di TPS tak jarang menjadi korban dari hierarki kebutuhan.

Namun, pemilu tanpa pengawasan saksi serupa masakan tanpa garam—tawar dan berpotensi kehilangan esensinya. Saksi menyediakan mata dan telinga di lapangan, verifikasi faktual, dan menantang setiap kejanggalan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Tanpa keberadaannya, pintu untuk manipulasi dan pelanggaran terbuka lebar, yang dapat mencoreng kancah demokrasi dengan noda penipuan dan kecurangan.

Adalah benar jika para pemangku kepentingan mengadu argumentasi terkait pembengkakan biaya saksi yang kelihatannya berlebihan. Akan tetapi, kita tidak bisa mengukur efisiensi dalam demokrasi dengan uang yang keluar dari kas saja. Apa yang dianggap "merugikan secara finansial" dalam jangka pendek, bisa jadi investasi jangka panjang untuk kestabilan dan kredibilitas sistem demokrasi. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah yang terhampar luas di depan kita adalah mengkaji ulang struktur anggaran penyiapan saksi yang berkeadilan, mekanisme sederhana yang tidak mengikis tugas asasi mereka, serta memetakan kembali prioritas pengeluaran partai dan kandidat dalam kancah pemilu.

Dibutuhkan pula inovasi dan adaptasi teknologi untuk mengatasi limitasi fisik dan finansial dalam penempatan saksi. Mari kita merenungkan, apakah mungkin untuk menyederhanakan proses pengawasan dengan adanya sistem digital yang dapat diakses oleh saksi dari lokasi terpusat? Apakah kita dapat menyelaraskan kembali semangat luhur pemilu dengan melakukan pengawasan kolektif, di mana warga negara menjadi bagian dari proses pengawasan itu sendiri, menerapkan "crowd sourcing" sepasang mata di setiap sudut TPS.

Keakuratan dan kejujuran pencatatan suara di TPS adalah esensi dari pemilu yang merdeka dan bertanggung jawab. Tanpa ini, kita hanya akan memutar roda demokrasi tanpa benar-benar bergerak maju. Kesadaran kolektif ini harus difokuskan kembali pada prinsip-prinsip dasar demokrasi, yang mana setiap suara itu bernilai dan harus dihitung dengan benar.

Kita tidak bisa mengabaikan paradoks efisiensi ini. Mengurus tatanan demokrasi ibarat merajut kemajuan dengan ribuan benang warna-warni. Saksi di TPS bukan sekadar formalitas atau simbolik; mereka adalah representasi dari pengawasan rakyat, dari kebulatan suara yang harus tercatat dengan integritas tinggi. Untuk itu, mari kita berupaya keras mencari benteng pertahanan dalam men-reformasi sistem saksi yang ada, membalik dilema menjadi momentum reformasi dan memastikan bahwa kekuatan demokrasi berakar pada keadilan prosedural yang tak terbantahkan. 

Keadaan ini harus segera dicarikan solusi yang tidak hanya pragmatis, tetapi juga filosofis, yang berangkat dari pertanyaan mendasar: Apakah tujuan pemilu semata-mata menjadi ritual demokrasi tanpa substansi, ataulah kita mencari kemurnian proses yang reflektif atas suara hati rakyat yang dinamis dan autentik? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi kunci dalam membuka lembaran baru praktik demokrasi di Indonesia yang lebih beradab, berintegritas, dan dihormati oleh seluruh warganya.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • 1 JAM YANG MENENTUKAN ; SEBUAH DIALOG TENTANG NARASI KEHIDUPAN
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI
  • EKSISTENSI DUA FORUM
  • KETIKA KEKUASAAN TAK MAU PERGI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar