Gebrakan QRIS di panggung global finansial mengingatkan kita pada teori "Techno-Nationalism" yang digagas oleh Suzanne Berger dari MIT. Dalam bukunya Making in America, Berger menjelaskan bagaimana teknologi bisa menjadi alat kedaulatan ekonomi di era modern. Persis seperti yang terjadi dengan QRIS hari ini - sebuah sistem pembayaran yang lahir dari kebutuhan domestik tetapi mampu bersaing di tingkat global.
Yang menarik dari perkembangan QRIS adalah bagaimana sistem ini berhasil menciptakan ekosistem pembayaran yang benar-benar berbasis kebutuhan riil masyarakat. Berbeda dengan sistem kartu kredit yang dikembangkan berdasarkan logika bisnis perusahaan multinasional, QRIS justru tumbuh dari bawah, menyelesaikan masalah nyata pedagang kecil dan konsumen biasa.
Di Thailand, pemerintah melalui Bank of Thailand mengadopsi sistem serupa bernama PromptPay. Namun yang membedakan, adopsi QRIS di Indonesia jauh lebih masif karena didorong oleh tingginya penetrasi smartphone dan kebutuhan akan solusi pembayaran yang praktis. Data menunjukkan 72% populasi dewasa Indonesia kini telah menggunakan pembayaran digital, angka yang terus meningkat pesat.
Keunggulan utama QRIS terletak pada arsitektur sistemnya yang terbuka namun terstandarisasi. Ini berbeda dengan model tertutup seperti Apple Pay atau Google Pay yang hanya bisa diakses melalui platform tertentu. Pendekatan inklusif inilah yang membuat QRIS cepat diterima berbagai lapisan masyarakat.
Tantangan terbesar justru datang dari dalam negeri sendiri. Masih banyak pelaku usaha yang enggan beradaptasi karena kebiasaan bertransaksi tunai. Di sinilah peran pemerintah dan regulator diperlukan untuk terus mendorong edukasi dan insentif bagi merchant yang beralih ke QRIS.
Pengalaman Korea Selatan patut kita jadikan pelajaran. Negeri Ginseng itu berhasil membuat sistem pembayaran digital nasional bernama ZeroPay setelah melalui proses edukasi massif selama bertahun-tahun. Kini, 78% UMKM di Korea telah menggunakan sistem tersebut.
Yang sering dilupakan banyak orang adalah dampak makroekonomi dari sistem seperti QRIS. Dengan mengurangi ketergantungan pada uang tunai, pemerintah bisa lebih efektif memantau perputaran uang, memerangi korupsi, dan meningkatkan basis pajak. Di India, sistem serupa UPI berhasil meningkatkan rasio pajak terhadap PDB sebesar 1,2% dalam tiga tahun.
Di balik kesuksesan QRIS, tersimpan ironi yang pahit. Sementara kita berbangga dengan pencapaian ini, faktanya banyak komponen teknologi pendukungnya masih bergantung pada infrastruktur asing. Mulai dari server cloud hingga chip di perangkat pembaca QR. Ini menjadi pekerjaan rumah berikutnya bagi industri teknologi dalam negeri.
Pelajaran dari Singapura menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pembayaran digital tidak bisa lepas dari dukungan infrastruktur digital yang kuat. Negeri Lion itu menghabiskan bertahun-tahun membangun jaringan 5G dan fiber optik sebelum meluncurkan PayNow. Indonesia harus mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung semacam ini.
Yang paling menggembirakan dari kesuksesan QRIS adalah munculnya generasi baru teknolog finansial lokal. Startup seperti LinkAja, DANA, dan OVO tidak hanya menjadi operator, tetapi juga mengembangkan fitur-fitur inovatif di atas platform QRIS. Ini menciptakan ekosistem yang sehat dan kompetitif.
Di tataran global, QRIS telah menjadi contoh nyata bagaimana negara berkembang bisa menciptakan standar teknologi sendiri. WHO bahkan memasukkan QRIS sebagai salah satu studi kasus dalam laporan mereka tentang inovasi finansial di negara berkembang.
Namun kita harus tetap kritis. Kesuksesan QRIS tidak boleh membuat kita lengah terhadap potensi risiko sistemik. Bank for International Settlements (BIS) telah memperingatkan tentang bahaya ketergantungan berlebihan pada satu sistem pembayaran nasional tanpa backup yang memadai.
Pengalaman Brazil dengan sistem PIX mereka menunjukkan bahwa skema pembayaran instan nasional bisa menjadi sasaran empuk bagi kejahatan siber. Dalam enam bulan pertama peluncuran, terjadi peningkatan 300% kasus penipuan digital terkait sistem tersebut.
Di sinilah pentingnya membangun sistem keamanan berlapis untuk QRIS. Tidak hanya sekadar enkripsi data, tetapi juga mekanisme verifikasi transaksi yang lebih ketat tanpa mengurangi kemudahan penggunaan.
Yang patut diapresiasi adalah langkah Bank Indonesia yang mulai membangun jaringan QRIS lintas negara dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura. Ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat posisi tawar Rupiah di kawasan ASEAN.
Kita juga perlu belajar dari kegagalan sistem pembayaran digital di beberapa negara Afrika. Meski memiliki ide brilian, banyak proyek yang gagal karena kurangnya koordinasi antara regulator, perbankan, dan penyedia teknologi.
Masa depan QRIS sebenarnya bisa lebih cerah lagi jika diintegrasikan dengan sistem identitas digital nasional. Bayangkan jika satu QR code tidak hanya untuk pembayaran, tetapi juga bisa menjadi alat verifikasi KTP digital, kartu vaksin, bahkan tiket transportasi.
Tantangan terberat mungkin justru datang dari perubahan perilaku masyarakat. Survei terbaru menunjukkan bahwa 65% konsumen Indonesia masih merasa nyaman dengan uang tunai untuk transaksi kecil. Mengubah kebiasaan ini membutuhkan waktu dan pendekatan kultural yang tepat.
Di sisi lain, keberhasilan QRIS telah memicu optimisme baru di kalangan pengembang lokal. Jika bisa sukses di bidang pembayaran digital, bidang apa lagi yang bisa kita kuasai? Cloud computing? Kecerdasan artifisial? Sistem operasi mandiri?
Pada akhirnya, QRIS bukan sekadar tentang teknologi pembayaran. Ini tentang kemampuan bangsa untuk menentukan jalan ekonominya sendiri, tanpa harus selalu mengikuti kemauan negara-negara maju. Seperti kata ekonom Mariana Mazzucato, "Inovasi sejati adalah ketika suatu bangsa berani menciptakan pasar baru, bukan hanya mengikuti pasar yang sudah ada."
Kita telah membuktikan bahwa dengan political will yang kuat, sumber daya manusia yang mumpuni, dan ekosistem yang mendukung, Indonesia mampu menciptakan solusi teknologi kelas dunia. QRIS hanyalah permulaan. Masih banyak lompatan inovasi lain yang bisa kita wujudkan.
Yang perlu kita lakukan sekarang adalah konsolidasi kekuatan. Memperkuat infrastruktur pendukung, meningkatkan literasi digital, dan yang terpenting - menjaga semangat percaya diri bahwa kita mampu bersaing di panggung global.
Sejarah akan mencatat QRIS sebagai salah satu momen penting kebangkitan teknologi Indonesia. Tapi ingat, ini baru babak pertama. Pertarungan sebenarnya masih panjang, dan kemenangan sesungguhnya adalah ketika kita tidak hanya menjadi pengguna, tetapi pencipta standar-standar teknologi baru dunia.