Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Setiap kali saya berdiri di depan mahasiswa, saya selalu bertanya: “Apa masalah yang ingin kamu teliti?” Lucunya, pertanyaan ini justru membuat mereka terdiam lebih lama daripada saat menjawab soal ujian statistik. Padahal, dalam dunia riset, masalah adalah titik mula. Tanpa masalah, riset kita hanya jadi kumpulan teori yang kering dan tak membumi. Sayangnya, banyak mahasiswa justru memulai penelitiannya dengan menjejalkan teori sebanyak mungkin, berharap pembaca terkesan. Hasilnya? Tulisan jadi ngalor-ngidul dan kehilangan arah.

Di dunia bisnis, kemampuan mengidentifikasi masalah sama pentingnya dengan kemampuan menyusun strategi. Ambil contoh divisi pemasaran yang penjualannya stagnan selama enam kuartal terakhir. Pimpinan perusahaan bingung, tim marketing panik, dan investor mulai gelisah. Tetapi ketika diminta menjelaskan “masalahnya apa?”, mereka menjawab dengan data angka, bukan cerita. Ini seperti dokter yang hanya menunjukkan hasil lab, tanpa menjelaskan gejala yang dirasakan pasien. Dunia manajemen tak hanya butuh data, tapi juga narasi yang mampu mengaitkan idealitas dan realitas.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Salah satu kunci dalam mengurai persoalan adalah memahami konsep klasik: Das Sollen dan Das Sein. Ini bukan mantra ajaib, tapi alat bantu berpikir yang sangat sederhana. Dalam konteks pemasaran, misalnya, Das Sollen berarti “apa yang seharusnya dilakukan oleh brand.” Menurut teori, perusahaan seharusnya memiliki positioning yang kuat, diferensiasi yang jelas, dan value proposition yang relevan dengan kebutuhan pasar. Itu idealnya. Itu textbook-nya.

Namun, mari kita tengok kenyataan di lapangan—Das Sein. Kita mendapati banyak merek lokal yang kehilangan relevansi, iklannya tak nyambung dengan target market, dan bahkan pelanggan sendiri tak tahu apa sebenarnya keunggulan brand tersebut. Mereka ingin disebut premium, tapi masih bermain di strategi diskon. Mereka ingin loyalitas pelanggan, tapi tidak punya CRM yang berjalan efektif. Inilah celah yang harus dijadikan bahan bakar penelitian.

Permasalahan dalam manajemen bisnis terjadi justru karena ada jurang antara Das Sollen dan Das Sein tadi. Di dunia nyata, kita menyebutnya dengan istilah “gap”—celah antara harapan dan kenyataan. Seorang peneliti yang tajam akan segera menangkap gap itu, lalu merumuskannya secara sistematis. Misalnya: “Perusahaan A mengklaim sebagai pelopor inovasi digital di sektor ritel (Das Sollen), namun adopsi e-commerce-nya justru tertinggal dibanding pesaing yang lebih kecil (Das Sein).” Dari sini, kita punya pijakan untuk bergerak ke tahap berikutnya: merumuskan pertanyaan penelitian.

Lalu, bagaimana merumuskan pertanyaan yang baik? Tidak cukup hanya menanyakan “kenapa ini terjadi?” Pertanyaan dalam riset harus fokus, jelas, dan dapat dijawab secara ilmiah. Dalam studi kasus perusahaan A tadi, kita bisa mulai dengan pertanyaan seperti: “Apa saja hambatan internal yang menghambat transformasi digital di perusahaan ritel besar?” Atau, “Mengapa konsumen tidak merasakan diferensiasi merek yang diklaim oleh perusahaan X?” Semakin spesifik pertanyaannya, semakin tajam arah penelitian.

Salah satu kesalahan umum mahasiswa maupun praktisi bisnis adalah berasumsi terlalu cepat. Mereka menyangka telah tahu jawabannya sebelum menggali datanya. Misalnya, seorang brand manager mengatakan, “Kita kehilangan market share karena promosi kita kurang.” Padahal, ketika ditelusuri, masalahnya bukan di promosi, melainkan di experience pelanggan yang buruk setelah pembelian. Maka, penting untuk bersikap seperti seorang ilmuwan: bertanya, bukan berasumsi.

Dalam dunia bisnis yang bergerak cepat, kita sering kali tergoda mencari solusi instan tanpa mendefinisikan masalah dengan tepat. Saya pernah diajak diskusi oleh seorang teman yang punya bisnis di industri FMCG yang meluncurkan lima produk baru dalam setahun, tapi semuanya gagal. Ketika ditelusuri, mereka tidak melakukan riset pasar yang memadai. Mereka hanya berangkat dari semangat inovasi, bukan dari pemahaman tentang kebutuhan dan perilaku konsumen. Di sinilah pentingnya menyusun masalah secara akademik: bukan sekadar syarat skripsi, tetapi juga fondasi strategi yang efektif.

Salah satu metode yang sering saya ajarkan adalah dengan memulai dari studi literatur—apa kata teori dan riset sebelumnya tentang fenomena yang kita amati? Dari sana kita bisa menarik Das Sollen. Misalnya, teori AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) menyebut bahwa iklan harus membangkitkan minat konsumen sebelum bisa mengubahnya menjadi aksi pembelian. Namun jika di lapangan, konsumen hanya menonton iklan tapi tidak membeli, maka kita punya Das Sein yang menyimpang. Ini awal yang bagus untuk menulis masalah riset.

Lalu, kita jangan cepat puas hanya dengan satu sumber teori. Dunia manajemen penuh dengan pendekatan berbeda—ada yang berbasis perilaku konsumen, ada yang fokus pada strategi korporat, ada pula yang dari sisi teknologi. Maka, merumuskan Das Sollen bukan hanya soal teori tunggal, tapi bagaimana kita menempatkan idealitas dari berbagai pendekatan ke dalam satu kerangka logis. Itu sebabnya, menyusun Bab I bukan soal menulis panjang lebar, tapi memilih dengan bijak mana yang relevan dan mendalam.

Saya juga sering menyarankan mahasiswa untuk terjun langsung ke lapangan. Rasakan denyut bisnisnya. Wawancarai pelanggan, amati kompetitor, dan lihat dari dekat bagaimana keputusan dibuat di ruang rapat. Karena dari sanalah Das Sein bisa benar-benar ditemukan. Jangan hanya mengandalkan laporan perusahaan atau kutipan media. Realitas bisnis sering kali lebih kompleks dari yang tampak di permukaan.

Di era digital, kita punya kemewahan data. Tapi data tanpa narasi hanyalah angka mati. Oleh karena itu, riset bisnis harus menghidupkan data dengan cerita yang menjelaskan konteks. Contohnya: bukan hanya mengatakan “tingkat churn rate naik 15%,” tapi menjelaskan mengapa pelanggan meninggalkan layanan, bagaimana mereka membuat keputusan pindah, dan apa yang sebenarnya mereka cari. Di sinilah seni menulis masalah akademik menemukan bentuknya.

Banyak perusahaan besar gagal bukan karena kurang strategi, tapi karena tidak memahami masalah mereka sendiri. Mereka sibuk memperbaiki gejala, bukan akar penyebab. Seperti pasien yang hanya minum pereda nyeri untuk sakit kepala, padahal penyebabnya adalah tekanan darah tinggi. Dalam riset manajemen, kita belajar membedakan simptom dan akar masalah. Itulah yang membedakan strategi yang efektif dari sekadar tambal sulam.

Bagi para dosen, tantangannya adalah mengubah cara pandang mahasiswa dari sekadar “menyelesaikan tugas” menjadi “menemukan sesuatu yang penting.” Kita tak bisa hanya berkata: “Carilah topik yang menarik.” Kita harus membimbing mereka untuk melihat bahwa setiap gap antara teori dan kenyataan adalah peluang emas untuk riset. Kita perlu mengajarkan cara berpikir kritis, bukan hanya cara mengutip teori.

Di dalam ruang kelas saya, saya suka memberi contoh-contoh nyata dari dunia usaha. Misalnya, kenapa produk-produk lokal sering kalah bersaing di e-commerce meski kualitasnya tak kalah? Mengapa startup yang viral di media sosial sering tak bertahan lama? Atau, mengapa banyak program loyalitas gagal meningkatkan retensi pelanggan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya menarik, tapi juga menunjukkan bahwa riset akademik bisa menjawab tantangan riil di dunia kerja.

Tentu, proses menyusun masalah akademik tidak selalu mudah. Bahkan bagi yang sudah berpengalaman, menyusun Bab I bisa jadi tugas yang paling menantang. Tapi jika kita memulainya dengan kerangka Das Sollen–Das Sein, kita punya alat navigasi yang andal. Kita tidak akan mudah tersesat dalam tumpukan teori. Kita tahu ke mana arah riset kita dan mengapa itu penting dilakukan.

Di sisi lain, perusahaan juga bisa belajar banyak dari pendekatan akademik ini. Terutama dalam membuat keputusan strategis. Ketika strategi gagal, alih-alih menyalahkan tim, cobalah kembali ke dasar: apakah masalah yang ingin kita selesaikan sudah jelas? Apakah kita paham gap-nya? Banyak inovasi gagal bukan karena idenya buruk, tapi karena tidak menjawab masalah yang nyata.

Kita bisa belajar dari perusahaan seperti Apple atau Tesla. Mereka tidak hanya menciptakan produk, tapi memulai dari pemahaman mendalam atas masalah konsumen. Steve Jobs pernah bilang: “Start with the customer experience and work backwards to the technology.” Ini adalah cara berpikir Das Sein–Das Sollen dalam praktik. Kita pahami dulu kenyataan di lapangan, lalu bandingkan dengan idealitas yang ingin kita capai.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menggunakan prinsip ini. Mengapa kita gagal menabung? Mengapa kita terus menunda pekerjaan? Jika kita tahu idealnya seperti apa, dan tahu kenyataannya seperti apa, maka kita bisa merumuskan masalah pribadi kita sendiri. Prinsip ini universal dan sangat aplikatif, tak hanya di ruang kuliah, tapi juga di ruang rapat, bahkan ruang keluarga.

Menariknya, mahasiswa yang mampu menyusun masalah dengan baik biasanya juga mampu menyusun solusi yang relevan. Karena mereka sudah memetakan konteks, memahami aktor-aktor yang terlibat, dan bisa melihat hubungan sebab-akibat. Dalam bisnis, ini sangat penting. Karena solusi yang keliru bisa lebih mahal dari masalahnya sendiri.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa menyusun masalah akademik bukan hanya keterampilan menulis, tapi keterampilan berpikir. Dan dalam dunia yang penuh disrupsi seperti sekarang, kemampuan berpikir kritis adalah aset terbesar. Jangan tergoda untuk mempercantik tulisan dengan jargon, tapi hampa makna. Mulailah dari Das Sollen, bandingkan dengan Das Sein, lalu rumuskan pertanyaannya dengan jernih.

Begitulah seharusnya riset bekerja. Ia hadir bukan untuk sekadar mengisi rak perpustakaan, tapi untuk menjawab kegelisahan, menyambung harapan, dan menuntun perubahan. Karena pada akhirnya, riset yang baik bukan hanya menjawab pertanyaan, tapi juga mampu mengajukan pertanyaan yang lebih bermakna.
Setiap kali hari wisuda datang, saya selalu bingung harus merasa bahagia atau justru sedih. Bahagia karena kalian akhirnya menuntaskan satu fase penting dalam hidup. Tapi juga sedih, karena itu berarti saya tidak akan melihat lagi nama kalian di daftar bimbingan, tidak akan ada notifikasi pesan tengah malam yang isinya cuma, “Pak, boleh tolong cek dropbox revisi skripsi saya malam ini?” atau “Pak, maaf baru sempat revisi, laptop saya rusak.” Semuanya akan menjadi kenangan. Tersimpan rapi dalam ingatan kami dosen yang diam-diam sering terharu melihat perjuangan anak-anak didiknya.

Kalian mungkin tidak sadar, tapi saya menyaksikan semuanya. Betapa kalian datang ke kampus dengan wajah letih, kadang belum sarapan, kadang juga sambil menenteng kudapan sebagai pengganjal perut. Saya tahu kalian sering tidak punya cukup keberanian untuk datang ke meja saya, atau bahkan sekadar ngopi sambil diskusi. Tapi kalian tetap datang. Duduk di hadapan saya, mencoba paham konsep, metode, kutipan teori yang kadang saya sendiri lupa letaknya di buku maupun jurnal mana.
Ilustrasi Wisuda (Gambar : AI Generated)
Tidak perlu merasa malu kalau skripsi dan artikelmu telat selesai. Tidak usah menunduk kalau hari ini kamu berdiri di antara yang nilainya tidak cumlaude. Karena percaya atau tidak, hari ini kamu berdiri di sini bukan karena kamu hebat. Kamu berdiri di sini karena kamu tidak menyerah. Itu saja. Kamu bertahan. Melewati hari-hari sulit, tekanan dari rumah, ekspektasi dari orang tua, perbandingan dengan teman, bahkan kehilangan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi kamu tetap maju.

Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana kalian bisa kuat. Dulu ada seorang mahasiswa saya kehilangan keluarganya yang seharusnya menjadi supporting system terkuat. Ia tidak sempat berpamitan karena sang ayah berpulang di kampung yang jauh. Tapi esoknya, ia tetap datang ke kampus, mengembalikan draft yang sudah dicoret-coret oleh saya beberapa hari sebelumnya. Saya tidak tega. Tapi juga bangga.

Ada pula mahasiswa yang bekerja di beberapa tempat sekaligus. Semua dilakukan agar bisa bayar semesteran. Tugas-tugasnya sering telat. Revisi skripsinya penuh typo. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika saya tawarkan untuk cuti dulu, dia hanya tersenyum dan berkata, “Nggak pak, saya harus lulus. Ibu saya nunggu.”

Lulus bukan karena pintar. Banyak orang pintar di luar sana yang tidak pernah lulus-lulus. Lulus bukan karena nilai sempurna. Ada banyak nilai yang bisa diketik ulang, tapi tekad dan keteguhan itu bukan soal angka. Lulus karena kalian bersedia duduk di ruangan saya menepi dari riuhnya kampus demi mengerjakan skripsi dan artikel, menahan kantuk siang, mengatur napas saat membaca hasil revisi yang seolah tidak ada habisnya. Lulus karena kamu bilang, “Saya bisa,” meski dalam hati kamu ragu luar biasa.

Saya tahu kalian capek. Saya tahu kalian pernah menangis dan marah diam-diam. Saat file skripsi hilang. Saat dosen pembimbing tidak membalas pesan. Saat teman-teman lain sudah sidang skripsi duluan. Saat orang tua bertanya terus kapan lulus, padahal kalian sendiri juga belum punya jawabannya. Tapi kalian terus jalan. Itu luar biasa.

Orang kadang mengira yang hebat itu yang cepat. Yang selesai empat tahun, yang lulus dengan pujian, yang fotonya banyak diunggah di Instagram. Tapi hidup ini bukan soal siapa yang paling duluan, melainkan siapa yang tetap berjalan ketika kakinya goyah, ketika dadanya sesak, ketika jalannya sendiri dan sunyi. Dan hari ini, kalian telah membuktikannya.

Wisuda adalah panggung kecil untuk sebuah perjalanan besar. Sebuah jeda sebelum dunia yang sesungguhnya membuka pintunya. Hari ini kalian mungkin memakai toga, menggenggam ijazah, dan berfoto bersama orang tua. Tapi besok, ketika semua itu ditaruh di lemari, kalian akan kembali dihadapkan pada hidup. Tidak ada jadwal kuliah. Tidak ada reminder dosen. Hanya kalian dan keputusan-keputusan yang harus diambil sendiri.

Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa tentang dunia setelah wisuda. Saya tidak tahu apakah kalian akan langsung dapat pekerjaan, atau justru harus menunggu lama. Saya tidak tahu apakah kalian akan diterima sesuai jurusan, atau malah jadi pawang hujan padahal dulunya kuliah manajemen. Tapi saya percaya satu hal: kalau kalian sudah pernah bertahan di masa sulit, maka kalian pasti bisa melalui yang lebih sulit lagi.

Ada hal-hal yang tidak diajarkan di kelas. Misalnya bagaimana menerima penolakan. Bagaimana berdamai dengan kegagalan. Bagaimana tetap bangun pagi meski tidak ada lagi kelas jam tujuh. Semua itu akan kalian pelajari sendiri, dengan cara yang unik dan personal. Tapi bekal kalian cukup. Bahkan lebih dari cukup. Karena kalian pernah menyelesaikan skripsi dalam keadaan hampir menyerah. Itu bukan hal kecil.

Hari ini saya ingin kalian menepuk bahu kalian sendiri. Katakan pada diri sendiri, “Aku sudah sampai sejauh ini.” Jangan tunggu orang lain memuji. Jangan tunggu dunia berterima kasih. Karena kalianlah pahlawan untuk kisah hidup kalian sendiri. Dan itu sudah cukup indah untuk dirayakan.

Tentu, di antara kalian ada yang merasa tidak puas. Ada yang merasa seharusnya bisa lebih cepat, lebih bagus, lebih hebat. Tapi percayalah, setiap orang punya waktunya sendiri. Hidup ini bukan lomba lari estafet. Tidak ada medali untuk siapa yang sampai duluan. Yang penting adalah: kamu sampai. Dan hari ini, kamu sampai.

Kalian tidak harus hebat untuk memulai. Tapi kalian harus mulai agar suatu hari bisa menjadi hebat. Dan kalian sudah memulainya. Dari ruang kelas yang panas, dari tugas yang ditulis tengah malam, dari skripsi yang direvisi berkali-kali. Dari tangis dan tawa, dari ragu dan percaya. Itu semua bagian dari perjalanan.

Saya ingin kalian membawa kenangan ini ke mana pun kalian pergi. Kenangan bahwa kalian pernah punya dosen galak yang cerewet soal margin dan font, tapi diam-diam bangga melihat kalian maju. Bahwa kalian pernah punya teman seperjuangan yang berbagi mi instan di kosan, berbagi wifi, bahkan berbagi rasa cemas. Bahwa kalian pernah menjadi mahasiswa yang penuh harap.

Jangan buru-buru jadi dewasa. Nikmati masa transisi ini. Nikmati waktu saat kalian masih bisa bercanda soal skripsi, soal deadline, soal dosen killer. Karena suatu hari nanti, kalian akan merindukan semua itu. Dan ketika rindu itu datang, semoga ia tidak menyakitkan, tapi justru menyemangati.

Ada dunia yang menunggu kalian. Tapi jangan biarkan dunia itu mengubah kalian jadi asing. Tetap jadi diri sendiri. Tetap bawa senyum kalian yang dulu kalian pakai saat minta tanda tangan revisi. Tetap rendah hati. Karena dunia tidak suka orang sombong, tapi diam-diam menghormati yang tekun dan jujur.

Saya tidak tahu akan seperti apa wajah kalian lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Tapi saya berharap, ketika kalian membaca ulang tulisan ini suatu hari nanti, kalian akan mengingat satu hal: kalian pernah punya keberanian untuk tidak menyerah. Dan itu akan jadi cahaya kecil yang menuntun kalian di masa-masa sulit berikutnya.

Jangan pernah berpikir kalian lulus sendirian. Di balik toga itu ada doa orang tua, peluh keringat, bahkan air mata yang tak terlihat. Ada pelukan yang tertunda, ada janji yang kalian genggam dalam diam. Ada cinta yang kalian bawa dari rumah ke ruang kelas, dari kamar kos ke ruang seminar.

Mungkin kalian tidak mengubah dunia secara langsung. Tapi kalian mengubah diri sendiri, dan itu awal dari segala perubahan. Dunia tidak butuh banyak orang hebat. Dunia butuh orang yang tidak menyerah. Yang jujur. Yang tidak takut mencoba lagi meski gagal berkali-kali.

Hari ini, saya ingin bilang terima kasih. Terima kasih karena sudah mempercayai saya sebagai dosen kalian. Terima kasih karena sudah mau mendengarkan, walau kadang saya terlalu banyak menasihati. Terima kasih karena sudah menginspirasi saya, tanpa kalian sadari. Karena sebenarnya, dosen pun belajar dari mahasiswanya.

Tidak usah takut gagal di luar sana. Gagal itu biasa. Yang tidak biasa adalah orang yang tetap berdiri dan mencoba lagi. Jadi, gagal saja kalau memang harus. Tapi jangan berhenti. Terus jalan. Terus hidup.

Ingat baik-baik: kalian tidak lulus karena hebat. Kalian lulus karena kalian tidak menyerah. Dan untuk itu, saya sangat bangga. Sangat, sangat bangga.

Selamat wisuda, anak-anak baik. Dunia sudah menunggu cerita kalian berikutnya.

Sebagai penguji skripsi, mereka melakukan penilaian menyeluruh melalui pendekatan bertahap. Proses evaluasi dimulai dengan memeriksa elemen-elemen kunci yang menjadi indikator awal kualitas sebuah karya ilmiah. Berikut penjabaran mendetail mengenai aspek-aspek yang menjadi fokus penilaian:

1. Kelengkapan dan Kualitas Referensi

Daftar referensi merupakan cerminan dari kedalaman studi literatur yang dilakukan penulis. Penguji akan melihat apakah sumber-sumber yang digunakan mencakup karya-karya fundamental dalam bidang ilmu terkait. Referensi yang baik tidak hanya terbatas pada textbook, tetapi juga meliputi jurnal ilmiah terkini dan sumber-sumber primer lainnya. Keseimbangan antara sumber klasik dan kontemporer menjadi indikator bahwa penulis telah melakukan tinjauan literatur yang komprehensif.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Aspek teknis penyusunan referensi juga mendapat perhatian khusus. Konsistensi dalam format penulisan menunjukkan kedisiplinan akademik penulis. Penguji akan memeriksa apakah seluruh sitasi dalam teks sesuai dengan daftar referensi, serta apakah format penulisan mengikuti pedoman yang berlaku. Kesalahan dalam penulisan referensi seringkali mengindikasikan kelalaian dalam aspek-aspek lain yang lebih substantif.

Kualitas referensi juga dinilai dari relevansi dan otoritas sumber yang digunakan. Penguji akan memperhatikan apakah referensi yang dipilih benar-benar mendukung argumen dalam skripsi, atau sekadar menjadi hiasan belaka. Dominasi sumber-sumber sekunder yang tidak akademis, atau ketergantungan berlebihan pada satu dua sumber saja, dapat mengurangi kredibilitas karya ilmiah tersebut.

2. Presisi dan Relevansi Judul

Judul skripsi merupakan gerbang pertama yang membuka pemahaman terhadap keseluruhan penelitian. Sebuah judul yang baik harus mampu menggambarkan esensi penelitian secara tepat tanpa menjadi terlalu umum atau terlalu sempit. Penguji akan menilai apakah judul sudah mencerminkan variabel-variabel kunci yang diteliti serta konteks penelitian yang spesifik.

Kesesuaian antara judul dengan konten penelitian menjadi fokus evaluasi berikutnya. Tidak jarang ditemukan ketidakselarasan antara judul yang terlalu ambisius dengan pembahasan yang sebenarnya lebih terbatas. Judul yang ideal harus mampu menjadi "janji akademik" yang kemudian ditepati dalam pembahasan di seluruh bab skripsi.

Aspek kebaruan dan orisinalitas juga tercermin dalam pemilihan judul. Penguji akan melihat apakah judul sudah menunjukkan kontribusi unik dari penelitian tersebut terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Judul yang hanya mengulang penelitian-penelitian sebelumnya tanpa menawarkan perspektif baru cenderung kurang menarik secara akademik.

3. Kematangan Penyajian Abstrak

Abstrak yang baik berfungsi sebagai peta miniatur yang menggambarkan lanskap keseluruhan penelitian. Penguji akan mengevaluasi apakah abstrak sudah mencakup elemen-elemen penting seperti latar belakang, tujuan, metode, temuan, dan implikasi penelitian. Kelengkapan unsur-unsur ini menunjukkan kedewasaan penulis dalam menyajikan karya ilmiah.

Kejelasan ekspresi dan presisi bahasa dalam abstrak menjadi indikator kualitas berikutnya. Abstrak yang ditulis dengan kalimat-kalimat panjang dan berbelit-belit seringkali menyulitkan pemahaman. Sebaliknya, penyajian yang ringkas namun padat makna menunjukkan kemampuan penulis dalam mengkomunikasikan ide-ide kompleks secara efektif.

Konsistensi antara abstrak dengan isi skripsi merupakan aspek krusial yang selalu diperiksa. Tidak jarang ditemukan ketidaksesuaian antara klaim dalam abstrak dengan pembahasan mendetail di bab-bab berikutnya. Abstrak yang akurat harus mampu menjadi preview yang jujur terhadap keseluruhan isi skripsi.

4. Konsistensi Struktur dan Organisasi

Struktur skripsi yang terorganisir dengan baik memudahkan pembaca memahami alur pemikiran penulis. Penguji akan memeriksa apakah urutan bab dan subbab menunjukkan logika penelitian yang jelas, mulai dari perumusan masalah, landasan teori, metodologi, analisis, hingga simpulan. Jika struktur terlihat acak atau tidak sistematis, hal ini dapat mengindikasikan kelemahan dalam perencanaan penelitian.  

Selain kerangka besar, penguji juga memperhatikan konsistensi format penulisan. Apakah penomoran bab, subbab, dan gambar/tabel mengikuti pedoman yang berlaku? Apakah terdapat ketidakseragaman dalam penulisan heading, margin, atau spacing? Kesalahan kecil dalam format sering kali mencerminkan ketidaktelitian yang mungkin juga terjadi dalam analisis konten.  

Keseimbangan pembahasan antar-bab juga menjadi pertimbangan penting. Bab metodologi yang terlalu panjang tetapi analisis data yang dangkal, misalnya, menunjukkan ketimpangan dalam pengerjaan skripsi. Struktur yang ideal harus mencerminkan pembagian porsi yang proporsional sesuai bobot masing-masing komponen penelitian.  

5. Ketajaman Rumusan Masalah

Pertanyaan penelitian yang tajam dan terfokus menjadi tulang punggung sebuah skripsi. Penguji akan menilai apakah pertanyaan yang diajukan benar-benar muncul dari celah (gap) dalam literatur, bukan sekadar mengulang studi sebelumnya. Pertanyaan yang terlalu luas (misalnya, "Bagaimana pengaruh media sosial?") menunjukkan kurangnya kedalaman, sementara pertanyaan yang terlalu sempit dapat membatasi ruang analisis.  

Selain itu, penguji memeriksa kesesuaian antara pertanyaan penelitian dengan metode yang digunakan. Apakah pertanyaan bersifat kualitatif tetapi dijawab dengan survei kuantitatif? Apakah pertanyaan tentang "mengapa" hanya dijawab dengan deskripsi "apa"? Inkonsistensi semacam ini mengindikasikan kelemahan konseptual yang serius.  

Terakhir, pertanyaan penelitian harus mengarah pada temuan yang bermakna. Jika pertanyaan terlalu dangkal atau jawabannya sudah dapat diprediksi dari awal, skripsi tersebut kehilangan nilai akademisnya. Pertanyaan yang baik harus memicu eksplorasi mendalam dan memberikan kontribusi baru bagi bidang ilmu.  

6. Kekokohan Landasan Teoretis  

Kerangka teoretis berfungsi sebagai fondasi yang memperkuat bangunan argumen dalam skripsi. Penguji akan mengevaluasi apakah teori yang dipilih relevan dengan masalah penelitian dan apakah penulis benar-benar memahami konsep-konsep kunci. Penggunaan teori yang asal-asalan hanya untuk memenuhi syarat formalitas akan mudah terdeteksi.  

Visualisasi hubungan antar-variabel dalam model teoretis juga menjadi sorotan. Diagram yang tidak jelas, rancu, atau tidak sesuai dengan penjelasan tekstual menunjukkan kelemahan dalam perumusan konsep. Sebaliknya, kerangka yang dirancang dengan baik membantu pembaca memahami logika penelitian secara intuitif. 

Penguji juga melihat orisinalitas penerapan teori. Apakah penulis hanya menyalin mentah-mentah model dari literatur, atau mengembangkannya sesuai konteks penelitian? Skripsi yang berkualitas tidak hanya mengadopsi teori, tetapi juga menyesuaikan, mengkritik, atau bahkan mengusulkan modifikasi berdasarkan temuan empiris.  

7. Transparansi Proses Penelitian  

Lampiran yang lengkap dan terorganisir mencerminkan transparansi dalam pelaksanaan penelitian. Penguji akan memeriksa kelengkapan instrumen seperti kuesioner, panduan wawancara, atau lembar observasi. Jika data mentah tidak disertakan, sulit untuk mengevaluasi validitas analisis yang dilakukan.  

Konsistensi antara lampiran dan bab metodologi juga menjadi fokus penilaian. Apakah prosedur pengumpulan data yang dijelaskan dalam bab metode benar-benar tercermin dalam instrumen yang dilampirkan? Ketidaksesuaian di sini dapat menimbulkan keraguan terhadap keandalan seluruh penelitian.  

Terakhir, penguji memperhatikan etika penelitian yang tercermin dalam lampiran. Apakah terdapat bukti persetujuan etik (jika diperlukan), surat izin penelitian, atau pernyataan kerahasiaan informan? Kelalaian dalam dokumentasi etis dapat menjadi masalah serius, terutama untuk penelitian yang melibatkan subjek manusia.  

***

Proses penilaian skripsi tidak hanya menguji hasil akhir, tetapi juga merekonstruksi seluruh perjalanan penelitian. Dengan memeriksa ketujuh aspek di atas secara kritis, penguji dapat menentukan apakah skripsi tersebut memenuhi standar akademik sekaligus memberikan umpan balik yang membangun bagi perkembangan keilmuan penulis.

____________________

* Tulisan ini disadur dari SINI

Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • EKSISTENSI DUA FORUM
  • TINGGAL DI BENGKULU ITU SEPERTI PACARAN SAMA MANTAN YANG BAIK : DAMAI TAPI NGGAK TERLALU RAMAI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar