KALAU TAK ADA MASALAH, LALU APA YANG MAU DITELITI?

Baca Juga

Setiap kali saya berdiri di depan mahasiswa, saya selalu bertanya: “Apa masalah yang ingin kamu teliti?” Lucunya, pertanyaan ini justru membuat mereka terdiam lebih lama daripada saat menjawab soal ujian statistik. Padahal, dalam dunia riset, masalah adalah titik mula. Tanpa masalah, riset kita hanya jadi kumpulan teori yang kering dan tak membumi. Sayangnya, banyak mahasiswa justru memulai penelitiannya dengan menjejalkan teori sebanyak mungkin, berharap pembaca terkesan. Hasilnya? Tulisan jadi ngalor-ngidul dan kehilangan arah.

Di dunia bisnis, kemampuan mengidentifikasi masalah sama pentingnya dengan kemampuan menyusun strategi. Ambil contoh divisi pemasaran yang penjualannya stagnan selama enam kuartal terakhir. Pimpinan perusahaan bingung, tim marketing panik, dan investor mulai gelisah. Tetapi ketika diminta menjelaskan “masalahnya apa?”, mereka menjawab dengan data angka, bukan cerita. Ini seperti dokter yang hanya menunjukkan hasil lab, tanpa menjelaskan gejala yang dirasakan pasien. Dunia manajemen tak hanya butuh data, tapi juga narasi yang mampu mengaitkan idealitas dan realitas.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Salah satu kunci dalam mengurai persoalan adalah memahami konsep klasik: Das Sollen dan Das Sein. Ini bukan mantra ajaib, tapi alat bantu berpikir yang sangat sederhana. Dalam konteks pemasaran, misalnya, Das Sollen berarti “apa yang seharusnya dilakukan oleh brand.” Menurut teori, perusahaan seharusnya memiliki positioning yang kuat, diferensiasi yang jelas, dan value proposition yang relevan dengan kebutuhan pasar. Itu idealnya. Itu textbook-nya.

Namun, mari kita tengok kenyataan di lapangan—Das Sein. Kita mendapati banyak merek lokal yang kehilangan relevansi, iklannya tak nyambung dengan target market, dan bahkan pelanggan sendiri tak tahu apa sebenarnya keunggulan brand tersebut. Mereka ingin disebut premium, tapi masih bermain di strategi diskon. Mereka ingin loyalitas pelanggan, tapi tidak punya CRM yang berjalan efektif. Inilah celah yang harus dijadikan bahan bakar penelitian.

Permasalahan dalam manajemen bisnis terjadi justru karena ada jurang antara Das Sollen dan Das Sein tadi. Di dunia nyata, kita menyebutnya dengan istilah “gap”—celah antara harapan dan kenyataan. Seorang peneliti yang tajam akan segera menangkap gap itu, lalu merumuskannya secara sistematis. Misalnya: “Perusahaan A mengklaim sebagai pelopor inovasi digital di sektor ritel (Das Sollen), namun adopsi e-commerce-nya justru tertinggal dibanding pesaing yang lebih kecil (Das Sein).” Dari sini, kita punya pijakan untuk bergerak ke tahap berikutnya: merumuskan pertanyaan penelitian.

Lalu, bagaimana merumuskan pertanyaan yang baik? Tidak cukup hanya menanyakan “kenapa ini terjadi?” Pertanyaan dalam riset harus fokus, jelas, dan dapat dijawab secara ilmiah. Dalam studi kasus perusahaan A tadi, kita bisa mulai dengan pertanyaan seperti: “Apa saja hambatan internal yang menghambat transformasi digital di perusahaan ritel besar?” Atau, “Mengapa konsumen tidak merasakan diferensiasi merek yang diklaim oleh perusahaan X?” Semakin spesifik pertanyaannya, semakin tajam arah penelitian.

Salah satu kesalahan umum mahasiswa maupun praktisi bisnis adalah berasumsi terlalu cepat. Mereka menyangka telah tahu jawabannya sebelum menggali datanya. Misalnya, seorang brand manager mengatakan, “Kita kehilangan market share karena promosi kita kurang.” Padahal, ketika ditelusuri, masalahnya bukan di promosi, melainkan di experience pelanggan yang buruk setelah pembelian. Maka, penting untuk bersikap seperti seorang ilmuwan: bertanya, bukan berasumsi.

Dalam dunia bisnis yang bergerak cepat, kita sering kali tergoda mencari solusi instan tanpa mendefinisikan masalah dengan tepat. Saya pernah diajak diskusi oleh seorang teman yang punya bisnis di industri FMCG yang meluncurkan lima produk baru dalam setahun, tapi semuanya gagal. Ketika ditelusuri, mereka tidak melakukan riset pasar yang memadai. Mereka hanya berangkat dari semangat inovasi, bukan dari pemahaman tentang kebutuhan dan perilaku konsumen. Di sinilah pentingnya menyusun masalah secara akademik: bukan sekadar syarat skripsi, tetapi juga fondasi strategi yang efektif.

Salah satu metode yang sering saya ajarkan adalah dengan memulai dari studi literatur—apa kata teori dan riset sebelumnya tentang fenomena yang kita amati? Dari sana kita bisa menarik Das Sollen. Misalnya, teori AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) menyebut bahwa iklan harus membangkitkan minat konsumen sebelum bisa mengubahnya menjadi aksi pembelian. Namun jika di lapangan, konsumen hanya menonton iklan tapi tidak membeli, maka kita punya Das Sein yang menyimpang. Ini awal yang bagus untuk menulis masalah riset.

Lalu, kita jangan cepat puas hanya dengan satu sumber teori. Dunia manajemen penuh dengan pendekatan berbeda—ada yang berbasis perilaku konsumen, ada yang fokus pada strategi korporat, ada pula yang dari sisi teknologi. Maka, merumuskan Das Sollen bukan hanya soal teori tunggal, tapi bagaimana kita menempatkan idealitas dari berbagai pendekatan ke dalam satu kerangka logis. Itu sebabnya, menyusun Bab I bukan soal menulis panjang lebar, tapi memilih dengan bijak mana yang relevan dan mendalam.

Saya juga sering menyarankan mahasiswa untuk terjun langsung ke lapangan. Rasakan denyut bisnisnya. Wawancarai pelanggan, amati kompetitor, dan lihat dari dekat bagaimana keputusan dibuat di ruang rapat. Karena dari sanalah Das Sein bisa benar-benar ditemukan. Jangan hanya mengandalkan laporan perusahaan atau kutipan media. Realitas bisnis sering kali lebih kompleks dari yang tampak di permukaan.

Di era digital, kita punya kemewahan data. Tapi data tanpa narasi hanyalah angka mati. Oleh karena itu, riset bisnis harus menghidupkan data dengan cerita yang menjelaskan konteks. Contohnya: bukan hanya mengatakan “tingkat churn rate naik 15%,” tapi menjelaskan mengapa pelanggan meninggalkan layanan, bagaimana mereka membuat keputusan pindah, dan apa yang sebenarnya mereka cari. Di sinilah seni menulis masalah akademik menemukan bentuknya.

Banyak perusahaan besar gagal bukan karena kurang strategi, tapi karena tidak memahami masalah mereka sendiri. Mereka sibuk memperbaiki gejala, bukan akar penyebab. Seperti pasien yang hanya minum pereda nyeri untuk sakit kepala, padahal penyebabnya adalah tekanan darah tinggi. Dalam riset manajemen, kita belajar membedakan simptom dan akar masalah. Itulah yang membedakan strategi yang efektif dari sekadar tambal sulam.

Bagi para dosen, tantangannya adalah mengubah cara pandang mahasiswa dari sekadar “menyelesaikan tugas” menjadi “menemukan sesuatu yang penting.” Kita tak bisa hanya berkata: “Carilah topik yang menarik.” Kita harus membimbing mereka untuk melihat bahwa setiap gap antara teori dan kenyataan adalah peluang emas untuk riset. Kita perlu mengajarkan cara berpikir kritis, bukan hanya cara mengutip teori.

Di dalam ruang kelas saya, saya suka memberi contoh-contoh nyata dari dunia usaha. Misalnya, kenapa produk-produk lokal sering kalah bersaing di e-commerce meski kualitasnya tak kalah? Mengapa startup yang viral di media sosial sering tak bertahan lama? Atau, mengapa banyak program loyalitas gagal meningkatkan retensi pelanggan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya menarik, tapi juga menunjukkan bahwa riset akademik bisa menjawab tantangan riil di dunia kerja.

Tentu, proses menyusun masalah akademik tidak selalu mudah. Bahkan bagi yang sudah berpengalaman, menyusun Bab I bisa jadi tugas yang paling menantang. Tapi jika kita memulainya dengan kerangka Das Sollen–Das Sein, kita punya alat navigasi yang andal. Kita tidak akan mudah tersesat dalam tumpukan teori. Kita tahu ke mana arah riset kita dan mengapa itu penting dilakukan.

Di sisi lain, perusahaan juga bisa belajar banyak dari pendekatan akademik ini. Terutama dalam membuat keputusan strategis. Ketika strategi gagal, alih-alih menyalahkan tim, cobalah kembali ke dasar: apakah masalah yang ingin kita selesaikan sudah jelas? Apakah kita paham gap-nya? Banyak inovasi gagal bukan karena idenya buruk, tapi karena tidak menjawab masalah yang nyata.

Kita bisa belajar dari perusahaan seperti Apple atau Tesla. Mereka tidak hanya menciptakan produk, tapi memulai dari pemahaman mendalam atas masalah konsumen. Steve Jobs pernah bilang: “Start with the customer experience and work backwards to the technology.” Ini adalah cara berpikir Das Sein–Das Sollen dalam praktik. Kita pahami dulu kenyataan di lapangan, lalu bandingkan dengan idealitas yang ingin kita capai.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menggunakan prinsip ini. Mengapa kita gagal menabung? Mengapa kita terus menunda pekerjaan? Jika kita tahu idealnya seperti apa, dan tahu kenyataannya seperti apa, maka kita bisa merumuskan masalah pribadi kita sendiri. Prinsip ini universal dan sangat aplikatif, tak hanya di ruang kuliah, tapi juga di ruang rapat, bahkan ruang keluarga.

Menariknya, mahasiswa yang mampu menyusun masalah dengan baik biasanya juga mampu menyusun solusi yang relevan. Karena mereka sudah memetakan konteks, memahami aktor-aktor yang terlibat, dan bisa melihat hubungan sebab-akibat. Dalam bisnis, ini sangat penting. Karena solusi yang keliru bisa lebih mahal dari masalahnya sendiri.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa menyusun masalah akademik bukan hanya keterampilan menulis, tapi keterampilan berpikir. Dan dalam dunia yang penuh disrupsi seperti sekarang, kemampuan berpikir kritis adalah aset terbesar. Jangan tergoda untuk mempercantik tulisan dengan jargon, tapi hampa makna. Mulailah dari Das Sollen, bandingkan dengan Das Sein, lalu rumuskan pertanyaannya dengan jernih.

Begitulah seharusnya riset bekerja. Ia hadir bukan untuk sekadar mengisi rak perpustakaan, tapi untuk menjawab kegelisahan, menyambung harapan, dan menuntun perubahan. Karena pada akhirnya, riset yang baik bukan hanya menjawab pertanyaan, tapi juga mampu mengajukan pertanyaan yang lebih bermakna.

Share:

0 comments