MENYOAL GELAR AKADEMIK DI KALANGAN PEJABAT

Baca Juga

Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, ada satu fenomena yang kian menggeliat: obsesi pejabat terhadap gelar akademik. Mereka berlomba meraih doktor, bahkan mendadak mengejar titel profesor, seolah-olah itu adalah medali yang harus dikalungkan di dada. Padahal, tak sedikit dari mereka yang tak pernah sekalipun menginjak ruang kuliah sebagai pengajar.  

Ini bukan soal larangan bagi pejabat untuk menempuh pendidikan tinggi. Justru, idealnya, semakin terdidik seorang pemimpin, semakin baik kapasitasnya dalam memimpin. Tapi, pertanyaannya: apakah gelar-gelar itu benar-benar dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya, atau sekadar jadi aksesori kekuasaan?  
Obral Honoris Causa (Ilustrasi/Ghraito Arip H.)

Lihatlah realitasnya. Banyak kepala daerah yang hanya bermodalkan ijazah SMA—bahkan ada yang lewat jalur kesetaraan—bisa menduduki kursi pemerintahan. Ironisnya, ketika mereka sudah berkuasa, tiba-tiba muncul hasrat untuk mengejar gelar doktor atau profesor. Seolah-olah gelar itu bisa menutupi minimnya kompetensi.  

Padahal, dalam dunia kerja biasa, syarat S1 sudah menjadi standar minimal. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya lulus SMA bisa memimpin sebuah daerah, sementara rakyatnya sendiri dipaksa memenuhi kualifikasi pendidikan tinggi sekadar untuk jadi pegawai honorer?  

Persoalannya bukan sekadar gelar, melainkan relevansi. Jika seorang bupati atau gubernur ingin melanjutkan pendidikan, seharusnya ia memilih bidang yang memperkuat kapasitas kepemimpinannya—misalnya administrasi publik, kebijakan sosial, atau ekonomi pembangunan. Tapi yang terjadi? Ada yang mengambil doktor di bidang pendidikan agama Islam, padahal ia tak pernah sekalipun mengajar di madrasah.  

Apa gunanya? Apakah gelar itu akan membantunya merumuskan kebijakan tata kota, mengentaskan kemiskinan, atau meningkatkan pelayanan kesehatan? Atau jangan-jangan, ini hanya soal gengsi—sebuah upaya untuk mempercantik CV politik?  

Yang lebih memprihatinkan adalah gelincirnya etika akademik. Gelar profesor sejatinya adalah penghargaan bagi para dosen yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mengajar dan meneliti. Bukan sekadar titel yang bisa dibeli atau diraih lewat koneksi. Tapi kini, jabatan akademik tertinggi itu diincar oleh pejabat yang tak pernah sekalipun memegang kapur tulis.  

Bagaimana mungkin seseorang bisa disebut profesor jika ia tak pernah membimbing mahasiswa, tak pernah meneliti dengan rigor, dan tak pernah berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan?

Yang terjadi adalah komersialisasi gelar. Beberapa kampus, demi kepentingan politis atau finansial, rela membuka pintu lebar-lebar bagi pejabat yang ingin "instan" bergelar doktor atau profesor. Prosesnya dipersingkat, persyaratan dilonggarkan, dan tiba-tiba sang pejabat sudah bisa menyandang gelar mentereng tanpa pernah merasakan jerih payah akademik yang sesungguhnya.  

Ini bukan hanya merusak integritas pendidikan tinggi, tapi juga menciptakan preseden buruk. Jika gelar bisa dibeli dengan kekuasaan atau uang, lalu apa arti sebuah keahlian? Apa bedanya seorang profesor sejati yang menghabiskan puluhan tahun untuk riset, dengan pejabat yang tiba-tiba menyandang gelar serupa hanya karena ia punya akses?  

Dampaknya sudah terlihat. Publik mulai memandang sinis gelar akademik pejabat. Setiap kali ada menteri atau kepala daerah yang mengumumkan gelar barunya, yang muncul bukan apresiasi, melainkan kecurigaan: "Dapatnya dari mana?"  

Ini adalah krisis legitimasi. Gelar seharusnya menjadi penanda kompetensi, bukan sekadar hiasan nama. Ketika seorang pejabat lebih sibuk menumpuk gelar daripada membenahi kinerjanya, yang terjadi adalah disorientasi kepemimpinan.  

Lihatlah negara-negara dengan pemerintahan yang efektif. Para pemimpinnya tak perlu berkoar-koar tentang gelar doktor atau profesor. Mereka diukur dari kebijakan yang dibuat, dari dampak nyata yang dirasakan rakyat. Di Indonesia? Kita justru terjebak dalam fetisisme gelar - seolah olah deretan huruf di depan nama bisa menutupi kegagalan mengurus rakyat.  

Jika memang niatnya menuntut ilmu, mengapa tidak dilakukan sebelum menjabat? Kenapa harus menunggu sampai berkuasa baru tiba-tiba kuliah? Jangan-jangan, ini memang strategi pencitraan—sebuah upaya untuk memberi kesan "intelek" di mata publik.  

Dan celakanya, media sering terjebak dalam narasi ini. Setiap kali ada pejabat yang meraih gelar baru, pemberitaan seolah-olah mengukuhkannya sebagai sosok yang pantas dipuji. Padahal, pertanyaan kritisnya adalah: apa kontribusinya bagi ilmu pengetahuan? Apa relevansinya bagi jabatan yang diemban?  

Waktu dan energi yang seharusnya dipakai untuk menjalankan amanah rakyat, justru terkuras untuk mengejar gelar. Sementara masalah di daerah—kemiskinan, pengangguran, infrastruktur yang amburadul—terus menumpuk.  

Ini bukan hanya persoalan individual, melainkan sistemik. Ada mekanisme yang memungkinkan pejabat dengan mudah mendapatkan gelar tanpa melalui proses akademik yang ketat. Dan selama sistem ini dibiarkan, selama itu pula gelar akan menjadi komoditas, bukan penanda keahlian.  

Lalu, apa solusinya? Pertama, dunia akademik harus berani menolak praktik jual-beli gelar. Kampus bukanlah toko yang bisa memenuhi pesanan titel bagi siapa pun yang punya uang atau kuasa. Kedua, publik harus lebih kritis—tidak mudah terkesima oleh deretan gelar, tapi menuntut bukti nyata dari pemimpinnya.  

Terakhir, pejabat sendiri harus sadar. Gelar tidak otomatis membuatmu lebih kompeten. Jika ingin diakui sebagai pemimpin yang berkualitas, tunjukkan melalui kerja nyata, bukan melalui huruf-huruf di depan dan belakang nama.  

Kita tidak butuh pejabat yang bergelar mentereng tapi kebingungan saat dimintai solusi atau memberikan solusi yang tidak rasional seperti ide untuk memanfaatkan AI guna mengatasi banjir dan macet di kala lebaran. Kita butuh pemimpin yang mungkin sederhana ijazah dan gelarnya, tapi paham betul bagaimana mengurus rakyat.  

Gelar akademik seharusnya menjadi alat untuk memperkuat kapasitas, bukan topeng untuk menutupi ketidakmampuan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi bagian dari teater kekuasaan—sebuah sandiwara yang diperagakan para pejabat untuk menipu rakyatnya sendiri.

Share:

0 comments