PSEUDO-ACADEMIC AWARD

Baca Juga

Fenomena kampus-kampus yang berlomba-lomba memamerkan penghargaan internasional belakangan ini menjadi sorotan tajam. Deretan gelar dan sertifikat berbingkai indah menghiasi dinding-dinding kampus, seakan menjadi bukti tak terbantahkan atas kualitas dan reputasi institusi. Namun, di balik gemerlapnya pengakuan global itu, tersimpan sebuah realitas yang patut diwaspadai: jebakan "pseudo academic award".

Ibarat fatamorgana di padang pasir, penghargaan-penghargaan ini tampak meyakinkan dari kejauhan, namun menghilang tak berbekas saat didekati. Lembaga-lembaga pemberi penghargaan, yang seringkali berkedok organisasi internasional bergengsi, tak lebih dari sekadar mesin pencetak sertifikat. Kredibilitas mereka dipertanyakan, metodologi penilaian mereka tak jelas, dan seringkali, penghargaan diberikan kepada siapapun yang bersedia membayar.
Ilustrasi Piala Penghargaan (Gambar : Istimewa)

Praktik "pseudo academic award" ini merupakan bentuk penipuan yang merugikan banyak pihak. Kampus-kampus terjebak dalam permainan citra dan pemborosan anggaran, sementara masyarakat dibingungkan oleh informasi yang menyesatkan. Lebih parah lagi, hal ini mencederai nilai-nilai akademik dan merendahkan arti sebuah penghargaan yang sesungguhnya.

Jebakan “Pseudo Academic Award”: Mengapa Kampus Tergiur?

Maraknya fenomena "pseudo academic award" tak lepas dari tekanan yang dihadapi perguruan tinggi di era digital. Persaingan antar kampus semakin ketat, menuntut mereka untuk terus meningkatkan citra dan daya saing. Di sisi lain, masyarakat semakin kritis dalam memilih lembaga pendidikan, menjadikan penghargaan dan pengakuan eksternal sebagai salah satu faktor pertimbangan utama.

Dalam situasi seperti ini, "pseudo academic award" menjadi jalan pintas yang menggiurkan. Dengan membayar sejumlah uang, kampus bisa memperoleh pengakuan internasional secara instan, tanpa harus melalui proses evaluasi yang ketat dan berkelanjutan. Penghargaan tersebut kemudian dijadikan alat promosi untuk menarik mahasiswa baru dan meningkatkan "branding" kampus.

Sayangnya, banyak kampus yang terjebak dalam permainan ini tanpa melakukan uji tuntas terhadap lembaga pemberi penghargaan. Mereka terbuai oleh iming-iming pengakuan internasional dan terlena oleh sertifikat berdesain menarik yang seolah-olah menunjukkan prestasi gemilang. Padahal, di balik itu semua, terdapat praktik bisnis yang meragukan dan menyesatkan.

Fenomena ini juga diperparah oleh kurangnya pemahaman tentang standar penghargaan internasional yang sesungguhnya. Banyak kampus yang belum familiar dengan lembaga-lembaga akreditasi dan pemeringkatan internasional yang memiliki reputasi dan metodologi yang teruji. Akibatnya, mereka mudah tertipu oleh lembaga-lembaga abal-abal yang menawarkan penghargaan instan dengan harga murah.

Dampak Negatif "Pseudo Academic Award"

Praktik "pseudo academic award" memiliki dampak negatif yang cukup luas, baik bagi kampus, mahasiswa, maupun sistem pendidikan secara keseluruhan.

Bagi kampus, "pseudo academic award" dapat menimbulkan pemborosan anggaran. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk peningkatan kualitas pendidikan justru terbuang percuma untuk membeli penghargaan yang tidak memiliki nilai akademik. Selain itu, jika kebohongan terbongkar, reputasi kampus justru akan tercoreng dan kepercayaan masyarakat akan menurun.

Mahasiswa juga menjadi korban dari praktik ini. Mereka dijanjikan pendidikan berkualitas internasional, namun kenyataannya tidak sesuai dengan ekspektasi. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan dan merugikan masa depan mereka.

Lebih jauh lagi, "pseudo academic award" mencederai nilai-nilai akademik dan merendahkan arti sebuah penghargaan yang sesungguhnya. Penghargaan akademik seharusnya diberikan berdasarkan prestasi dan kualitas yang teruji, bukan diperjualbelikan sebagai komoditas. Jika praktik ini dibiarkan terus berlanjut, maka kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan akan semakin merosot.

Menghindari Jebakan "Pseudo Academic Award"

Untuk menghindari jebakan "pseudo academic award", diperlukan kewaspadaan dan kebijaksanaan dari semua pihak, terutama kampus sebagai institusi pendidikan.

Pertama, kampus perlu meningkatkan literasi informasi dan pemahaman tentang standar penghargaan internasional. Mereka harus mampu membedakan lembaga pemberi penghargaan yang kredibel dengan yang tidak. Jangan mudah tergiur dengan penghargaan instan yang ditawarkan dengan harga murah.

Kedua, kampus harus fokus pada peningkatan kualitas pendidikan dan penelitian secara berkelanjutan. Prestasi akademik yang sesungguhnya akan tercermin dari kualitas lulusan, publikasi ilmiah, dan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Ketiga, pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap lembaga-lembaga pemberi penghargaan internasional yang beroperasi di Indonesia. Lembaga-lembaga yang terbukti melakukan praktik penipuan harus ditindak tegas.

Keempat, masyarakat juga perlu berperan aktif dalam memerangi "pseudo academic award". Jangan mudah percaya dengan klaim-klaim penghargaan internasional yang tidak jelas sumbernya. Lakukan penelusuran dan verifikasi informasi sebelum mengambil keputusan penting, seperti memilih kampus.

Dengan upaya bersama dari semua pihak, diharapkan praktik "pseudo academic award" dapat diberantas. Mari kita jaga marwah pendidikan Indonesia dan wujudkan sistem pendidikan yang berintegritas dan berkualitas.

Ingat, penghargaan sejati bukanlah sesuatu yang dibeli, melainkan diraih melalui kerja keras, dedikasi, dan kontribusi nyata bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Share:

0 comments