MUHAMMADIYAH DAN SAINS (1) ; MENGOREKSI AWAL WAKTU SUBUH

Baca Juga

Di salah satu group media sosial yang berisikan para pegiat astronomi muslim, masih ramai memperbincangkan soal hisab dan rukyat awal ramadan kemarin yang ternyata ada perbedaan dalam implementasinya. Walaupun ramadan telah berlalu hamper 18 hari, namun perdebatan soal kriteria ini masih terus berlangsung. Bahkan diskusi mulai meluas soal standar kriteria awal waktu subuh yang ternyata juga ada perbedaan antara pemerintah dan Muhammadiyah.

Seperti yang selalu di katakan di artikel-artikel sebelumnya, Muhammadiyah itu tidak menuhankan sains, namun justru menggunakan sains untuk menyingkap tanda-tanda kebesaran Allah yang telah disebutkan dalam Alquran dan hadist. Selain menggunakan sains dalam menentukan awal bulan, Muhammadiyah juga menggunakan sains dalam menentukan awal waktu solat. Setiap awal waktu solat, dihitung berdasarkan penerjemahan posisi matahari pada saat-saat tertentu.

Istilah awal waktu solat merupakan hasil ijtihad para ‘ulama ketika menafsirkan ayat-ayat Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan waktu solat. Menentukan awal waktu solat, pada dasarnya adalah menentukan posisi Matahari pada waktu yang telah ditentukan (Qur’an dan Hadits) pada tempat tertentu. Hisab waktu solat adalah menentukan kedudukan Matahari sehingga dapat diketahui kedudukan Matahari pada bola langit di saat-saat tertentu.

Dalam khazanah ilmu hisab waktu solat, diketahui ada banyak metode dan kriteria yang ditawarkan, seperti University of Islamic Karachi, Islamic Science of North America, Muslim World League, Ummul Qura dan Egyptian. Dari Indonesia sendiri, kriteria yang jamak ditemui adalah kriteria dari Kemenag RI. Kriteria milik Kemenag ini telah menjadi kriteria yang lama digunakan hingga kemudian Muhammadiyah membuat koreksi atas kriteria awal waktu subuh yang berbeda hasilnya dengan milik Kemenag RI.

Kriteria awal waktu subuh dari berbagai lembaga di dunia (Gambar : PPT Adi Damanhuri, dipresentasikan dalam Munas Tarjih ke-31)

Dalam Alquran, tiap-tiap waktu solat telah dijelaskan melalui ciri-ciri yang ada di langit. Misalkan waktu isya’ itu ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah (asy-Syafaq al-Amar) di bagian langit sebelah barat, seperti yang dituliskan dalam Quran Surat Al-Isra ayat 78. Begitu juga dengan tanda awal waktu subuh. Alquran menjelaskan bahwa subuh dimulai dengan hadirnya fajar sadiq.

Alquran yang sebagai kitab suci, memiliki banyak fungsi. Salah satunya adalah memberikan petunjuk. Dan ilmu pengetahuan / sains yang kemudian menjalankan perannya menyingkap petunjuk-petunjuk tersebut.

Fenomena awal waktu subuh hampir sama dengan awal waktu ‘Isya. Untuk ‘Isya ditandai dengan terlihatnya bintang-bintang di langit atau ketika hilangnya mega merah di ufuk Barat, atau perubahan dari terang ke gelap. Untuk waktu Subuh kebalikan dari waktu ‘Isya, yaitu mulai surutnya cahaya bintang-bintang di langit, atau perubahan dari gelap ke terang. Praktisnya, pada saat zenit Matahari hari 90º + standar waktu Subuh, untuk Indonesia standar yang digunakan adalah 20º dibawah horizon, jadi jarak zenitnya menjadi 90º + 20º = 110º.

Dalam menentukan awal waktu salat subuh, dikenal ada 2 fajar, yaitu fajar shadiq dan fajar kadzib. Fajar shadiq adalah sebuah cahaya yang terlihat pada waktu dini hari sebagai batas antara akhir malam dan permulaan pagi. Sementara, fajar kadzib adalah sebuah cahaya yang agak terang yang terlihat memanjang dan mengarah ke atas (secara vertikal) di tengah-tengah langit, berbentuk seperti ekor serigala.

Meskipun, fajar kadzib telah berakhir, umat Islam belum bisa melaksanakan shalat Subuh karena cahaya putih fajar shadiq belum lagi menyebar di ufuk timur. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW, "Bukanlah fajar cahaya yang meninggi di ufuk, tetapi yang membentang berwarna merah (fajar putih kemerah-merahan)" (HR Ahmad, dari Qais ibn Thalq dari ayahnya).

Fajar sadiq dan fajar kadzib (Foto : OIF UMSU)

Imam Abu Mijlaz (Lahiq ibn Humaid as-Sadusi al-Bashri, wafat pada 101 H), seorang tabiin yang meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy'ari RA, Hasan ibn Ali RA, Muawiyah ibn Abi Sufyan RA, dan Imran ibn Hushain RA berkata, "Cahaya yang menjulang (meninggi) di langit bukanlah Subuh, melainkan itu adalah fajar kadzib. Sesungguhnya subuh itu adalah apabila ufuk menjadi terbuka (tersingkap) berwarna putih".

Fenomena awal waktu subuh ini bukanlah fenomena binary (1 atau 0) seperti ruang yang gelap dengan lampu dimatikan lalu dihidupkan sehingga terangnya bisa berubah dengan cepat. Fenomena waktu subuh ini merupakan proses perubahan yang gradual (bertahap) seiring dengan posisi matahari.

Muhammadiyah telah lama menyadari akan keganjilan kriteria waktu subuh di Indonesia yang dinilai terlalu cepat. Pernah satu waktu ada seorang ulama dari timur tengah yang datang ke Indonesia. Saat terdengar adzan subuh, ia lantas keluar dan melihat ke langit. Ia pun heran karena langit masih tampak gelap dan merasa bahwa awal waktu subuh di Indonesia ini terlalu cepat.

Mungkin banyak orang bertanya, mengapa Muhammadiyah ngotot sekali untuk mencari ketepatan waktu dalam hal waktu subuh ini. Jawabannya adalah karena penentuan awal waktu subuh ini berkaitan erat dengan tiga ibadah, yaitu batas akhir salat witir, tanda masuk salat subuh, dan tanda waktu dimulainya puasa. Sehingga penentuan awal waktu subuh ini sangat menjadi prioritas guna sempurnanya ibadah.

Dalam upaya menyingkap ketepatan awal waktu subuh, Muhammadiyah menggunakan kajian 3 aspek, yaitu pendapat ulama falak atau astronomi sejak abad ke-4 hijriah hingga saat ini. Yang kedua menggunakan sampel dari sejumlah negara tentang penetapan awal waktu subuh. Dan yang terakhir adalah menggunakan hasil kajian dari 3 lembaga astronomi milik Muhammadiyah, yaitu Observatorium Ilmu Falak (OIF) yang berada di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan, Pusat Studi Astronomi (Pastron) yang berada di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta, dan Islamic Science Research Network (ISRN) yang berada di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA), Jakarta.

Ketiga Lembaga astronomi Muhammadiyah tersebut telah melakukan pengamatan selama 4 tahun di lebih dari 20 kota di seluruh Indonesia. Bahkan ISRN Uhamka juga menggunakan data-data sekunder dari 30 negara di dunia. Ketiga Lembaga ini memiliki usulan berbeda untuk awal waktu subuh berdasarkan kesimpulan dari hasil kajian mereka selama ini.

Data hasil pengamatan awal waktu subuh dari 3 lembaga astronomi milik Muhammadiyah (Gambar : PPT Adi Damanhuri, dipresentasikan dalam Munas Tarjih ke-31)

ISRN Uhamka menyimpulkan waktu subuh berada pada posisi sekitar -13º dibawah ufuk. OIF UMSU menyimpulkan waktu subuh dimulai pada posisi -16.48º. Sedangkan PASTRON UAD berkeyakinan bahwa awal waktu subuh terjadi ketinggian dibawah -18º.

Dari hasil pengamatan bertahun-tahun ini, didapati bahwa munculnya fajar sadiq sebagai tanda awal waktu subuh tidak selalu sama setiap harinya. Terkadang fajar sadiq muncul di ketinggian -18º, kadang juga di ketinggian yang lebih rendah, dan ada yang muncul di ketinggian -19º. Perbedaan-perbedaan ketinggian ini bisa disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah polusi cahaya dan pengaruh atmosfer.

Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai pemangku urusan keagamaan di lingkungan persyarikatan, perlu untuk menetapkan awal waktu subuh ini. Melalui Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-31, Muhammadiyah menetapkan bahwa awal waktu subuh atau waktu munculnya fajar sadiq adalah Ketika posisi matahari berada pada ketinggian -18º. Dengan perbedaan 2 derajat dimana 1 derajat itu bernilai sekitar 4 menit, maka akan ada perbedaan 8 menit dengan jadwal yang masih digunakan oleh masyarakat umum dengan standar ketinggian Matahari -20º. Angka -18º didapat dari diskusi mendalam dengan para ilmuwan astronomi serta ulama-ulama yang sengaja diundang untuk memberi masukan dan pendapat.

Inilah salah satu bukti bagaimana Muhammadiyah menggunakan sains/ilmu pengetahuan untuk menyingkap petunjuk-petunjuk yang ada dalam Alquran dan hadits, dalam kaitannya dengan hal ibadah. Ilmu pengetahuan/sains adalah alat dengan sumber utama berasal dari Alquran dan hadits

Tahapan dalam pengoreksian awal waktu subuh yang dilakukan oleh Muhammadiyah (Gambar : AA)

Apa yang telah diputuskan oleh Muhammadiyah ini bisa jadi akan menjadi bahan gunjingan, cemoohan, ejekan, dan lainnya. Namun sebagai organisasi yang telah melintasi berbagai periode dan zaman ini, hal tersebut bukanlah hal yang serius yang perlu diperhatikan. Dalam memutuskan berbagai hal yang terkait dengan agama, Muhammadiyah telah memiliki prosedur yang rapih, modern, dan terstruktur, sehingga apa yang diputuskan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara sains/ilmu pengetahuan, maupun secara agama. Inilah salah satu bentuk ijtihad Muhammadiyah dalam kaitannya untuk menyempurnakan ibadah.

***

Lalu bagaimana agar mendapatkan notifikasi waktu-waktu solat yang sesuai dengan standar dan kriteria yang telah ditetapkan oleh Muhammadiyah?

Ada salah seorang kader Muhammadiyah, alumni Madrasah Muallimin Yogyakarta, yang telah membuat telegram bot bernama Muadzin Bot, yang berfungsi memberikan pengingat Ketika masuk waktu solat melalui notifikasi chat telegram. Dalam Muadzin Bot ini, ada beberapa kriteria dan metode hisab yang bisa dipilih. Dan menariknya, ada kriteria Muhammadiyah disana.

Sejauh saya menggunakan perangkat ponsel pintar (dan telah mencoba lebih dari 5 aplikasi waktu solat), baru Muadzin Bot inilah yang mencantumkan kriteria dan metodologi hisab dari Muhammadiyah. Sehingga bagi umat muslim (kader maupun non kader Muhammadiyah) yang ingin mendapatkan notifikasi awal waktu solat sesuai perhitungan Muhammadiyah (termasuk awal waktu subuh terbaru / -18º), maka bisa mencoba menggunakan telegram bot bernama Muadzin Bot ini. Bagi yang sudah menginstal aplikasi telegram, cukup tambahkan akun Muadzin Bot dan ikuti instruksinya (silahkan lihat poster yang ada di kolom advertorial 2 dibawah).

Share:

1 komentar

  1. Muahmmadiyah Melek akan kemajuan zaman. semoga bisa merekrut banyak muda milenial untuk regenerasi lembaga ini.

    BalasHapus