Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Saya sedang di Solo. Sudah dua hari. Acara kampus. Formal, padat, tapi penuh tawa. Malam ini, usai acara penutupan, saya ingin keluar sebentar. Ingin menikmati Solo tanpa batik dan name tag. Hujan sejak pagi membuat niat itu bolak-balik saya pertimbangkan. Ingin jalan kaki, tapi rintiknya belum berhenti juga. Akhirnya saya menyerah pada teknologi. Saya buka ponsel, pesan Grab.

Awalnya saya pilih Grab Bike. Ingin merasakan semilir udara malam Solo sambil hujan kecil. Tapi nihil. Tak ada yang mau ambil order. Mungkin semua pengemudi sedang berteduh di bawah jembatan atau warung kopi. Lalu saya ganti jadi Grab Car. Tak sampai dua menit langsung disambar. Mobilnya datang cepat. Toyota Agya. Warna hitam.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Sopirnya ramah. Lelaki paruh baya. Jawa halus. Dari logatnya saya tahu dia wong Solo tulen. Kami langsung klik. Bahasa yang kami pakai pun bukan bahasa Indonesia, tapi bahasa Jawa kromo alus. Sudah jarang saya pakai sehari-hari di Bengkulu. Tapi di Solo, bahasa itu terasa hidup. Seperti pulang ke masa kecil.

Saya sempat berpikir, mungkin saya generasi terakhir di keluarga yang fasih bicara bahasa Jawa halus. Anak-anak saya tumbuh di lingkungan yang semua orangnya berbahasa Indonesia. Bahasa nasional sudah jadi lingua franca di rumah kami. Kadang saya coba ajak mereka ngomong Jawa, mereka jawab pakai Indonesia. Saya kalah. Tapi ya sudahlah.

Sopir itu bertanya, saya dari mana, sedang apa di Solo. Saya jawab singkat, acara kampus. Dia antusias. Lalu bertanya, kampus apa. Saya bilang, dari Muhammadiyah. Seketika nada suaranya berubah. Lebih semangat. Lebih cair. Ia bilang, “Wah, Muhammadiyah itu hebat, Pak.” Saya tertawa kecil.

Lalu ia melanjutkan, “Negara saja utang ke Muhammadiyah, lho.” Saya tahu maksudnya. Ia bicara soal pembayaran klaim BPJS yang sering telat ke rumah sakit Muhammadiyah. Ia bercerita dengan gaya jenaka, tapi isinya serius. “Artinya Muhammadiyah lebih dipercaya rakyat daripada negara,” katanya sambil tertawa. Saya ikut tertawa.

Ia bercerita panjang soal kampus Muhammadiyah. Katanya sekarang sudah jadi kampus elit. Pendaftarnya belasan ribu. Tapi yang lulus wisuda cuma dua ribu. Saya tanya kenapa bisa begitu. Dia menjawab, “Yang lain masih jadi donatur kampus karena tidak lulus-lulus.” Saya tersenyum. Jawaban khas wong Solo.

Saya jawab pelan, “Kalau di tempat kami, beda.” Di kampus saya, kami masih mencari mahasiswa seperti orang mencari sinyal di hutan. Sedikit. Susah. Sistem pendidikan tinggi sekarang berat bagi kampus kecil. Status PTNBH memberi keistimewaan ke yang besar, tapi yang kecil seperti kami jadi megap-megap.

Mobil terus melaju di jalan basah. Lampu kota memantul di aspal. Suasana tenang. Kami masih ngobrol. Lalu topik berubah. Politik. Saya kira cuma di Bengkulu orang suka bicara politik di mana saja. Di warung, di masjid, di acara kawinan. Tapi di Solo pun begitu. Bedanya, di Bengkulu politiknya masa kini. Di Solo, politiknya masa lalu.

Sopir itu tiba-tiba bicara soal 1998. Soal masa reformasi. Ia bilang dirinya dulu aktivis. Tahun 90-an. Ia menyebut beberapa nama. Salah satunya Budiman Sudjatmiko. Ia bilang mereka dulu sering satu gerakan. Ia mengaku pernah berkali-kali menyelamatkan Budiman dari kejaran aparat yang berniat menjebloskannya ke penjara. Saya tertegun.

Dari caranya bercerita, saya percaya. Ia tidak sedang mengarang. Nada suaranya berat ketika menyebut “tahun-tahun itu.” Katanya, banyak kawan yang hilang. Ada yang tak kembali. Ada yang pindah ideologi. Ada yang diam karena kecewa.

Ia bilang sesuatu yang menarik. “Reformasi itu keliru kalau menganggap Amien Rais dan Megawati sebagai tokoh utamanya.” Ia berhenti sebentar, lalu menoleh ke saya. “Mereka hanya punya panggung. Tapi yang berjuang di lapangan, itu anak-anak muda yang tak dikenal.”

Saya mengangguk. Pandangannya tajam, tapi tanpa kebencian. Ia tidak sedang menyerang siapa pun. Ia hanya mengingat. Ia tahu panggung sejarah sering tidak adil. Nama besar sering datang dari mikrofon, bukan dari keringat.

Ia menambahkan, “Waktu itu, kami bergerak di bawah tanah. Tak ada media. Tak ada sorotan. Tapi tanpa kami, tak ada massa yang bergerak.” Saya tidak menjawab. Saya biarkan ia terus bercerita. Saya ingin tahu bagaimana ia memaknai masa itu sekarang.

Lalu ia tertawa. “Dulu kami pikir reformasi akan membawa keadilan. Ternyata yang datang hanya ganti seragam.” Saya tertawa kecil. Kalimatnya pahit, tapi disampaikan dengan ringan. Ia sudah berdamai dengan sejarahnya sendiri.

Saya bertanya, “Kalau sekarang, ikut partai?” Ia menggeleng. “Sudah kapok, Pak.” Katanya, dulu ia pernah dicoba direkrut partai, tapi menolak. Ia merasa sudah cukup berjuang. Sekarang, ia hanya ingin kerja tenang. “Cukup antar orang seperti Bapak,” katanya sambil tersenyum.

Saya kagum. Banyak orang menua dengan getir. Tapi dia menua dengan tenang. Ia berdamai dengan masa lalu tanpa kehilangan semangat. Di usianya sekarang, ia tetap berpikir jernih. Masih mengikuti isu politik, tapi tanpa benci.

Ia bilang masih sering ketemu teman-teman lamanya. Sesekali reuni kecil. Sekadar minum kopi dan membahas masa 98 yang semakin jauh. “Yang bikin sedih, Pak, banyak yang sekarang malah jadi bagian dari sistem yang dulu kami lawan,” ujarnya. Saya paham rasa itu. Idealisme memang punya umur.

Ia bercerita lagi, bahwa dulu pernah ingin kuliah. Tapi tak sempat. Keluarga tak mampu. Ia kerja sambilan sejak SMA. Sekarang, anaknya yang kuliah. Ia bangga sekali. “Mungkin ini balasan dari perjuangan dulu, Pak,” katanya pelan.

Saya menatap keluar jendela. Hujan makin deras. Wiper mobil bergerak ritmis. Jalanan basah, tapi Solo tetap indah. Ada sesuatu yang romantik dari kota ini. Tidak dalam arti cinta, tapi dalam rasa tenang yang lembut.

Obrolan kami berpindah lagi. Soal pendidikan. Ia merasa sekolah sekarang terlalu sibuk mengejar nilai, bukan karakter. Ia bilang, “Kalau anak saya nilainya biasa-biasa saja tapi jujur, saya sudah bangga.” Kalimat sederhana, tapi dalam.

Saya mengangguk. Dunia sekarang memang cepat sekali. Anak-anak seperti dikejar waktu. Nilai, ranking, prestasi, semua jadi ukuran. Padahal yang paling penting, kadang yang tidak bisa diukur.

Ia sempat bertanya, bagaimana pandangan saya soal kampus Muhammadiyah ke depan. Saya jawab, kampus Muhammadiyah akan kuat kalau tetap memegang akar. Tidak ikut-ikutan jadi “negeri rasa negeri.” Kampus harus tetap jadi tempat mencetak manusia, bukan hanya pekerja.

Ia mengiyakan. “Dulu kami berjuang agar rakyat bisa bebas berpikir. Tapi sekarang, pikiran dibatasi oleh algoritma,” katanya. Saya terdiam. Benar juga. Dulu yang dikontrol adalah tubuh. Sekarang, pikiran. Bedanya, sekarang kontrolnya halus dan tersenyum.

Kami tiba di warung yang saya tuju. Sederhana. Warung susu segar pinggir jalan. Uap panas keluar dari panci besar. Aroma khas susu menyeruak. Saya bayar ongkos, lalu berterimakasih sudah diantar ditengah gerimis begini.

Sebelum pergi, ia menyalami saya. “Terima kasih, Pak. Sudah mau ngobrol. Sudah lama saya tidak pakai bahasa kromo.” Saya tertawa. “Sama, pak. Saya juga.” Kami tertawa bersama.

Mobilnya perlahan menjauh. Hujan belum juga berhenti. Saya duduk di kursi plastik, memesan susu segar panas. Sambil menatap jalan, saya berpikir tentang bahasa, tentang perjuangan, tentang usia. Semua bergerak ke arah yang tak bisa saya tahan.

Malam itu saya minum pelan. Mungkin karena susunya panas, atau karena saya ingin menikmati tiap sendoknya. Di luar, lampu jalan memantul di air hujan. Solo malam itu terasa seperti buku lama yang masih wangi.

Saya pulang dengan perasaan hangat. Bukan karena susu, tapi karena percakapan. Kadang, obrolan singkat dengan orang asing memberi makna lebih dalam daripada seminar yang megah. Sopir Grab itu, tanpa sadar, telah mengingatkan saya pada banyak hal. Tentang bahasa yang hilang. Tentang idealisme yang tua. Tentang hidup yang terus berjalan.

Dan saya tersenyum dalam hati. Solo tetap sama. Tenang. Halus. Seperti bahasa yang nyaris punah di lidah saya sendiri.

Di Indonesia, hampir setiap kelompok orang yang berkumpul atas nama kebersamaan punya kecenderungan untuk jadi “organisasi”. Mulanya sederhana. Sekadar kumpul bareng, diskusi ringan, atau berbagi hobi. Tapi entah kenapa, makin lama, bentuknya makin serius. Makin formal. Lalu tiba-tiba muncul struktur pengurus, lengkap dengan ketua umum, sekretaris, dan bidang keamanan. Di negeri yang segala halnya bisa dilembagakan, gotong royong pun kadang harus disahkan lewat kop surat dan stempel basah.

Ormas di negeri ini jumlahnya ribuan. Dari yang berbasis agama, profesi, kesenian, sampai pencinta reptil. Ada yang besar dan punya kantor megah, ada juga yang cuma beranggotakan warga satu RT. Tapi satu hal menarik: makin banyak ormas yang ingin tampil gagah. Tak cukup dengan kaos seragam, mereka mulai pakai atribut militer. Baret, celana dan baju loreng, bahkan sabuk dan sepatu PDL. Tujuannya tentu bukan perang, tapi ada kebanggaan tersendiri ketika bisa terlihat seperti “pasukan.”
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Fenomena ini sebenarnya mudah dijelaskan. Di mata banyak orang Indonesia, seragam bukan sekadar pakaian. Ia simbol kewibawaan. Dari kecil, kita sudah dididik menghormati yang berseragam. PNS, polisi, tentara, satpam, hansip. Maka tak heran, begitu seseorang punya organisasi, ia ingin terlihat seperti mereka. Di bawah sadar kita, hormat itu tidak lahir dari tindakan baik, tapi dari atribut visual yang memberi kesan tegas.

Sosiolog mungkin akan bilang ini adalah bentuk “simbolisasi kekuasaan”. Tapi kalau tanya saya, ini lebih karena rasa ingin dianggap. Di tengah masyarakat yang hirarkis, orang butuh cara untuk menegaskan eksistensinya. Seragam adalah jalan pintas. Tidak perlu prestasi, cukup tampil kompak, orang langsung segan. Maka muncullah berbagai ormas dengan baret dan atribut bak satuan khusus, padahal yang mereka amankan paling banter parkiran hajatan dan arak-arakan 17-an.

Saya pernah lihat sendiri, waktu dalam perjalanan di satu daerah antara Bengkulu dan Lampung. Ada hajatan besar di sana. Di depan tenda, berdiri beberapa orang berseragam hitam hijau tua. Lengkap dengan baret dan sepatu PDL. Saya kira itu Linmas (dulu : Hansip). Ternyata bukan. Mereka komunitas pecinta radio. Sekarang punya “Satgas Keamanan.” Nama keren, fungsi tidak terlalu jelas. Tapi wajah mereka serius, seperti sedang menjaga markas rahasia.

Kalau dipikir-pikir, ini lucu tapi juga sedih. Lucu karena komunitas radio merasa perlu punya satuan khusus pengamanan. Sedih karena mungkin itu satu-satunya cara mereka merasa penting. Sebab tanpa atribut itu, siapa yang akan memperhatikan? Dalam hajatan, tidak ada yang peduli siapa penggemar radio atau bukan. Tapi kalau pakai seragam model aparat lengkap dengan baret, semua orang tahu, “Oh, ini orang penting di sini.”

Yang menarik, gejala ini tidak hanya terjadi di ormas besar. Komunitas hobi pun ikut-ikutan. Klub motor, misalnya. Dulu cukup pakai kaos bertuliskan nama geng. Sekarang wajib jaket kulit dengan emblem besar di punggung. Ada panggilan khusus, ada kode tangan, bahkan ada latihan formasi konvoi. Gaya dan hierarki mirip militer. Bedanya, “senjata” mereka bukan peluru, tapi knalpot racing yang bikin bayi terbangun tengah malam.

Hal serupa juga saya temui di organisasi di kampus-kampus. Awalnya cuma perkumpulan mahasiswa. Tapi begitu masuk acara pelatihan, langsung diajari baris-berbaris dan hormat bendera. Katanya, biar disiplin. Padahal kalau dipikir, belajar jadi manusia beretika tak harus pakai apel dan aba-aba. Tapi entah kenapa, setiap struktur organisasi di negeri ini selalu ingin punya aroma militer. Mungkin karena di kepala kita, tertib itu berarti tegak lurus dan taat perintah.

Lambat laun, semua organisasi ingin punya citra tegas. Komunitas relawan punya “Divisi Lapangan.” Bahkan pengurus RT sekarang mulai punya rompi seragam dan topi bertuliskan “Koordinator Ketertiban.” Di titik ini, sulit membedakan mana aparat resmi, mana aparat rasa-rasa. Semua tampak gagah, tapi kalau listrik mati, mereka juga bingung harus ngapain.

Kita perlu jujur mengakui bahwa keinginan jadi semi-militer itu bukan karena haus kuasa, tapi haus penghargaan. Di negara yang menghormati yang berseragam lebih dulu ketimbang yang berbuat baik, orang berusaha tampil seperti yang dihormati. Itu cara paling cepat untuk merasa punya tempat. Seragam memberi rasa kepemilikan. Tanpanya, seseorang hanyalah nama di daftar anggota yang diabaikan.

Yang paling berbahaya adalah ketika simbol-simbol itu mulai menggantikan esensi. Ormas sibuk membuat apel dan struktur komando, tapi lupa membantu masyarakat. Mereka lebih fokus pada atribut daripada tujuan. Seolah-olah wibawa bisa dijahit di tukang bordir. Padahal masyarakat tidak butuh seragam baru, tapi aksi nyata yang membuat hidup lebih baik.

Kalau dilihat lebih luas, ini cermin dari cara bangsa ini memahami “keteraturan.” Kita percaya ketertiban lahir dari perintah, bukan kesadaran. Maka semua hal harus punya komando, dari acara hajatan sampai kegiatan karang taruna. Tanpa pemimpin yang teriak “atur barisan!”, kita merasa tidak sah. Bahkan untuk urusan gotong royong pun harus ada struktur dan absensi.

Sialnya, budaya ini juga membuat kita susah membedakan antara tanggung jawab dan kekuasaan. Banyak yang ingin punya jabatan karena ingin didengar, bukan karena ingin bekerja. Maka setiap organisasi butuh posisi baru: komandan, koordinator, ketua tim keamanan. Fungsinya sering kabur, tapi statusnya jelas. Kita terlalu suka jadi bagian dari struktur, bukan dari solusi.

Yang paling ironis, semua ormas semi-militer itu ujungnya saling hormat saat berpapasan. Yang satu bilang “izin, komandan.” Yang lain membalas, “siap, menunggu petunjuk, Ndan.” Dua pihak sama-sama merasa berwibawa. Padahal besoknya mereka ketemu lagi di pasar, rebutan beli beras murah. Dunia jadi lucu sekaligus absurd, tapi begitulah cara kita memberi makna pada peran sosial.

Kadang saya mikir, kalau semua ormas di negeri ini sudah berseragam, apakah kita masih butuh merekrut aparat resmi? Atau cukup kumpulkan mereka semua dan jadikan cadangan nasional? Negara tidak usah khawatir soal pertahanan, cukup aktifkan semua grup WA organisasi. Satu pesan broadcast saja, bisa menggerakkan ribuan orang. Lebih cepat dari komando resmi.

Tapi di balik semua kelucuan itu, ada keresahan yang sebaiknya kita perhatikan. Semakin banyak organisasi meniru gaya militer, semakin kabur garis antara warga sipil dan aparat. Semakin banyak yang merasa berhak “mengatur ketertiban” tanpa mandat. Dan di situlah bahaya sebenarnya. Dari yang awalnya cuma seragam, lama-lama jadi wewenang.

Saya paham, tidak semua ormas seperti itu. Banyak juga yang sungguh-sungguh ingin membantu masyarakat tanpa bergaya aparat. Tapi arus imitasi ini terlalu kuat. Seperti kompetisi tak tertulis: siapa yang seragamnya paling gagah, dialah yang dianggap paling berwibawa. Semakin tegas tampilannya, semakin besar pengaruhnya. Logika sosial yang aneh, tapi nyata.

Dan begitulah, pelan-pelan semua organisasi di negeri ini akan berubah jadi ormas semi-militer. Bukan karena mereka ingin perang, tapi karena mereka ingin dihormati. Karena di negeri yang sering salah paham soal makna wibawa, atribut lebih penting dari isi. Pada akhirnya, seragam bukan lagi lambang kebersamaan, tapi alat untuk menutupi rasa tak diakui.

Saya tidak tahu siapa yang pertama memulai, tapi saya tahu siapa yang akan melanjutkan: kita semua. Karena setiap kali kita bikin struktur baru, kasih nama “divisi lapangan”, dan beli baret demi keseragaman, kita sedang melangkah pelan ke arah itu. Dari komunitas santai, jadi pasukan kecil yang ingin diakui. Dari kumpulan hobi, jadi organisasi semi-militer dengan kebanggaan palsu yang kita jahit sendiri.

Tulisan Anindito Aditomo yang mantan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan era Menteri Nadiem Makariem tiba-tiba muncul di beranda Facebook saya. Padahal tulisan itu relatif baru di posting. Tapi kalimat pertamanya sudah membuat saya berhenti menggulir layar. Tentang pengajaran di Harvard. Tentang bagaimana dosen di sana diperlakukan bukan sebagai pengisi jadwal, tapi sebagai profesional pengajar. Dia sekarang menjadi visiting scholar di Harvard dengan dukungan Fullbright. Saya baca sampai habis. Lalu saya diam. Tulisan itu sederhana, tapi tajam.

Di Harvard, katanya, setiap dosen dibantu dua pakar pedagogi dan satu asisten teknologi. Mereka berdiskusi panjang hanya untuk menyiapkan satu mata kuliah. Di Indonesia, dosen baru sering hanya dibekali RPS semester lalu. Kadang malah tidak ada. Apalagi Silabus. Diperkenalkan ke mahasiswa, lalu diminta langsung mengajar. Seperti dilempar ke kolam dan disuruh belajar berenang sendiri.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Ada perbedaan yang tidak kecil di sini. Di sana, mengajar dianggap pekerjaan ilmiah. Di sini, mengajar lebih sering dianggap rutinitas. Di sana, dosen diberi waktu untuk berpikir dan merancang. Di sini, dosen berpacu dengan tenggat nilai dan absen kehadiran. Harvard memang tidak bisa dijadikan patokan tunggal, tapi perbandingan ini menelanjangi satu hal: keseriusan kita masih jauh.

Banyak dosen di Indonesia yang bekerja melebihi batas manusiawi. Mengajar 24 SKS, kadang 30. Satu dosen bisa mengampu lima hingga delapan mata kuliah di tiga program studi berbeda. Dari pagi sampai sore berpindah ruang, malamnya memeriksa tugas, lalu besoknya mengulang lagi. Kalau Anindito menulis dosen Harvard hanya mengajar dua mata kuliah setahun, dosen kita mungkin menertawakan itu sambil menguap kelelahan.

Beban mengajar seperti itu bukan hanya persoalan tenaga. Ia menggerus kualitas berpikir. Tidak ada waktu untuk meninjau metode, memperbarui materi, atau sekadar membaca literatur baru. Akibatnya, pengajaran sering stagnan. PowerPoint yang dipakai tahun lalu dipakai lagi tahun ini. Kadang bahkan masih memuat tanggal 2021.

Ruang dosen di kampus kita sering jadi pemandangan yang serupa: tumpukan kertas nilai, RPS, daftar hadir, dan laptop yang terbuka di tiga tab sekaligus. Itupun kalau punya ruang dosen. Dosen menyiapkan soal ujian sambil menjawab chat mahasiswa dan surat edaran dekanat. Semua dilakukan cepat. Tidak sempat merenungkan, apalagi mendesain pengalaman belajar yang bermakna.

Kampus sering lupa bahwa mengajar adalah inti dari universitas. Sebagian besar pendapatannya berasal dari mahasiswa. Tapi perhatiannya lebih banyak ke penelitian dan publikasi. Padahal, kampus yang baik tidak hanya menghasilkan jurnal, tapi juga menghasilkan pembelajar.

Di luar negeri, banyak universitas punya “teaching and learning center”. Tempat dosen belajar menjadi pengajar yang lebih baik. Di situ, pengajaran dianggap kegiatan akademik yang bisa diteliti, dikembangkan, dan dinilai. Di Indonesia, istilah itu masih terdengar asing. Yang lebih sering muncul adalah “beban kerja dosen” dan “angka kredit”.

Ada dosen yang ingin memperbaiki cara mengajarnya, tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Tidak ada pelatihan. Tidak ada mentoring. Tidak ada forum untuk saling belajar. Bahkan untuk urusan dasar seperti RPS dan silabus pun sering harus dibuat sendiri setiap semester. Seharusnya ada tim khusus di prodi yang menyiapkannya. Tapi yang sering terjadi, semuanya diserahkan ke masing-masing dosen.

Struktur akademik kita seperti mesin birokrasi yang efisien di atas kertas, tapi lelah di lapangan. Dosen diminta produktif di semua lini: mengajar, meneliti, mengabdi, menulis, dan melapor. Tapi waktu tetap 24 jam. Akhirnya, yang paling dikorbankan adalah kualitas pengajaran. Karena mengajar tidak memberi nilai tambah karier secepat publikasi jurnal.

Kampus negeri besar pun menghadapi hal serupa. Dosen dengan gelar doktor tetap harus mengajar banyak SKS. Mereka masih harus bimbing skripsi, duduk di komisi, ikut rapat akreditasi, lalu menulis laporan penelitian untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada ruang untuk refleksi pedagogis. Semua sibuk mengejar tenggat.

Beberapa kampus swasta mencoba melakukan perubahan. Mereka mulai menurunkan beban mengajar dan memberi waktu dosen untuk memperbaiki metode. Tapi jumlahnya masih minoritas. Kebanyakan kampus kecil justru bertahan dengan sistem lama: semakin banyak dosen mengajar, semakin hemat biaya operasional.

Sistem insentif dari pemerintah juga tidak membantu. Pola akreditasi dan penilaian dosen masih berbasis pada paradigma “research university”. Semua kampus dipaksa berlomba menulis jurnal internasional. Tidak peduli apakah kampus itu cocok jadi universitas riset atau universitas pengajaran. Akhirnya semua sibuk mengejar Scopus, sambil tetap harus mengajar 30 SKS.

Di tingkat kebijakan, istilah “kualitas pembelajaran” hanya muncul sebagai indikator di laporan. Tidak pernah menjadi ukuran utama dalam kenaikan jabatan. Padahal, tanpa pengajaran yang baik, riset pun tidak akan tumbuh. Mahasiswa kehilangan dasar berpikir kritis. Dosen kehilangan kesempatan untuk menularkan keilmuan secara mendalam.

Fenomena dosen yang mengajar lintas bidang juga banyak terjadi. Ada yang latar belakangnya politik, tapi harus mengajar kewirausahaan, manajemen operasi, dan metode penelitian. Semua dijalani karena kekurangan SDM. Di Harvard, satu mata kuliah dirancang tim. Di sini, satu dosen menangani tiga bidang sekaligus.

Sertifikasi dosen yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas pengajaran, sayangnya lebih administratif dari substansial. Formulirnya panjang, lampirannya banyak, tapi isinya jarang menyinggung bagaimana mengajar dengan lebih baik. Yang diperiksa bukan kualitas proses, tapi kelengkapan berkas.

Kalimat Anindito tentang “pedagogical content knowledge” itu penting. Ia bicara soal inti yang hilang dari sistem kita. Dosen tahu ilmunya, tapi tidak selalu tahu cara mengajarkannya. Karena tidak pernah ada tempat untuk belajar itu.

Bayangkan kalau setiap kampus punya unit kecil yang fokus hanya pada pengajaran. Isinya tim lintas dosen yang membuat desain pembelajaran, modul, dan asesmen. Mereka memantau efektivitas pengajaran seperti halnya tim riset memantau publikasi. Maka dosen bisa fokus pada substansi, bukan dokumen.

Ruang kelas yang baik lahir dari dosen yang punya waktu berpikir. Tapi waktu itu sekarang habis untuk mengurus bukti fisik. Padahal, mahasiswa datang ke kampus bukan untuk melihat sertifikat akreditasi, tapi untuk belajar. Dan belajar butuh pengajar yang punya tenaga dan arah.

Ada satu universitas kecil di salah satu kota di Indonesia yang mulai meniru model “teaching improvement center”. Dosen diminta mendokumentasikan metode pengajarannya, lalu didiskusikan dalam forum. Setiap semester ada penghargaan untuk dosen dengan inovasi pembelajaran terbaik. Kecil, tapi efektif. Mahasiswa mulai lebih aktif, dosen mulai lebih bersemangat.

Perubahan seperti itu tidak butuh anggaran besar. Yang dibutuhkan hanya kemauan untuk menempatkan mengajar di posisi yang pantas. Karena selama ini, mengajar adalah pekerjaan yang paling sering dibicarakan, tapi paling jarang diperhatikan.

Beberapa rektor muda mulai sadar. Mereka mengurangi SKS dosen senior agar bisa fokus membimbing dosen muda. Tapi langkah seperti ini masih jarang. Di banyak kampus lain, dosen senior justru dibebani urusan administrasi dan jabatan struktural.

Kampus yang serius pada pengajaran tidak akan membiarkan dosennya sendirian di ruang kelas. Akan ada dukungan akademik, teknologi, dan administrasi. Akan ada evaluasi berbasis kualitas, bukan kuantitas. Tapi selama sistem insentifnya tetap seperti sekarang, semua itu akan tetap ideal di atas kertas.

Harvard mungkin terlalu jauh untuk dibandingkan. Tapi ide di baliknya tidak mahal. Menghormati profesi dosen sebagai pengajar yang butuh dukungan adalah hal yang bisa dilakukan siapa pun. Tidak perlu dana triliunan. Cukup dengan niat untuk memulai.

Dunia pendidikan kita sering sibuk mengubah kurikulum, tapi jarang memperhatikan siapa yang mengajarkannya. Padahal, kurikulum hanya sebaik orang yang menyampaikan. Dosen yang tidak punya waktu berpikir tidak akan pernah sempat berinovasi.

Kampus yang baik bukan yang punya banyak jurnal, tapi yang punya banyak mahasiswa berpikir kritis. Itu tidak akan terjadi kalau dosennya sibuk memenuhi target administratif.

Kalau suatu hari nanti pemerintah mulai menilai pengajaran dengan standar yang sama seriusnya seperti riset, mungkin arah akan berubah. Dosen akan merasa dihargai bukan karena publikasi, tapi karena keberhasilan membuat mahasiswa paham.

Membaca tulisan Anindito membuat saya sadar, kita bukan kekurangan talenta, tapi kekurangan sistem yang memanusiakan dosen. Harvard punya uang, tapi mereka juga punya kesadaran bahwa ilmu tidak bisa diajarkan dengan tenaga yang lelah.

Di ruang-ruang kampus Indonesia, ada banyak dosen baik yang masih bertahan karena idealisme. Mereka tetap masuk kelas dengan semangat, meski jamnya panjang dan bebannya berat. Mereka pantas mendapat sistem yang lebih adil.

Kalau sistem berubah, mungkin mereka akan punya waktu untuk berpikir ulang tentang cara mengajar. Tentang bagaimana mahasiswa belajar. Tentang bagaimana ilmu diturunkan dengan benar.

Dan mungkin nanti, dosen Indonesia tidak perlu iri pada Harvard. Mereka akan punya cerita sendiri. Cerita tentang kampus yang tidak lagi melupakan ruang kelas. Tentang pengajaran yang disiapkan dengan hati, bukan hanya dengan format RPS.

Mungkin saat itu, istilah “beban mengajar” bisa kita ubah menjadi “tanggung jawab mengajar”. Karena yang berat bukan jumlah SKS-nya, tapi sistem yang membuat dosen lupa pada hakikatnya sendiri: menjadi pengajar.

Belakangan ini, ada kabar baru dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang bikin geleng-geleng kepala. Jadi, MK baru saja memutuskan menolak lagi untuk kesekian kalianya tentang gugatan soal syarat pendidikan minimal S1 untuk calon presiden, wakil presiden, atau pejabat negara setingkat ketua DPR, DPD, dan MPR. Artinya, aturan lama tetap berlaku. Lulusan SMA sederajat masih sah, halal, dan legal untuk nyalon jadi presiden.

Kalau dipikir-pikir, aturan ini unik sekaligus absurd. Bayangkan, buat jadi guru SD saja, yang kerjaannya "hanya" ngajarin anak-anak berhitung dan membaca, sekarang harus S1 Pendidikan plus wajib lulus PPG. Kalau enggak, ya wassalam, gak bakal dapat NIP atau SK. Lha, jadi presiden yang ngurusin seluruh rakyat Indonesia, dari Aceh sampai Merauke, dari gaji ASN sampai harga cabe, kok malah cukup ijazah SMA?

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Saya jadi ingat nasib dokter. Untuk bisa buka praktik, mereka kuliah bertahun-tahun, koas sampai mata panda, kemudian masih harus ambil profesi. Baru setelah itu boleh buka praktik dan menulis resep paracetamol. Itu pun tetap bisa kena semprot pasien kalau obatnya nggak manjur. Sementara, jadi presiden, yang keputusannya bisa bikin jutaan orang bahagia atau sengsara, ternyata nggak butuh semua itu. Cukup lulus SMA, asal punya partai pendukung. Rasanya kayak ada yang kebalik-balik di sistem logika kita.

Apoteker juga tak kalah tragis. Mereka harus kuliah farmasi, ambil profesi apoteker, baru boleh meracik obat. Salah racik sedikit, bisa masuk berita kriminal. Bandingkan dengan pejabat negara. Salah ngomong di podium, maksimal cuma viral sehari dua hari. Salah bikin kebijakan, ya rakyat yang jadi obat nyamuk. Tapi tetap saja, ijazah SMA sudah cukup buat nyalon. Kalau sudah begini, kita jadi bingung. Mana yang lebih serius diurus negara, kesehatan rakyat atau kursi kekuasaan?

Belum lagi mahasiswa yang sedang skripsi. Mereka bukan hanya harus lulus S1, tapi sekarang juga dituntut punya sertifikasi profesi dari LSP terlisensi BNSP supaya dianggap kompeten di dunia kerja. Jadi, anak muda baru lulus itu sudah kayak bawa dua tentengan: skripsi dan sertifikat. Baru mau kerja di perusahaan, ditanya: "Kamu punya sertifikasi apa?" Padahal, jadi presiden, yang mengatur dunia kerja itu, sertifikasi nggak penting. Modal sertifikat ijazah SMA sudah lebih dari cukup. Tidak akan pernah ditanya: "Anda punya sertifikat kompetensi dengan skema apa? Okupasi, KKNI, atau Klaster?"

Bayangkan kalau ada mahasiswa yang lagi stress skripsi, terus bapaknya bilang, "Nak, buat apa kamu capek-capek kuliah. Lihat tuh, jadi presiden aja cukup lulusan SMA." Bisa-bisa mahasiswa itu langsung gulung tikar, masuk pesantren kopi, lalu buka warung burjo sambil nyiapin diri nyalon DPR. Ini bukan lagi krisis logika, tapi sudah jadi krisis motivasi generasi muda.

Kita tentu nggak sedang meremehkan lulusan SMA. Banyak kok orang pintar lulusan SMA yang cerdas, kreatif, dan sukses. Tapi beda urusannya kalau bicara jabatan publik paling tinggi di negara. Yang dipertaruhkan bukan cuma nasib satu-dua orang, tapi 270 juta jiwa. Kalau begitu, masa iya syaratnya masih seenaknya seperti ini. Bukankah mestinya standar orang yang ngurus negara harus lebih tinggi daripada orang yang ngurus parkiran?

Lucunya, kalau kita mau jadi satpam di bank, biasanya minimal harus lulusan SMA plus ada pelatihan. Jadi satpam aja ditambah "plus-plus". Lah kok presiden cukup SMA? Apa presiden dianggap semacam satpam negara yang kerjanya cuma buka pintu istana dan salam-salaman tiap pagi? Kalau sudah begini, saya makin bingung, jangan-jangan negara ini sedang eksperimen sosial besar-besaran tanpa kasih tahu kita.

Mungkin logika MK sederhana, mereka ingin semua orang punya kesempatan yang sama. Semacam demokrasi yang dibikin terbuka lebar, sampai pintunya jebol. Tapi tetap saja, kesempatan yang sama tidak berarti syaratnya harus minimal banget. Kalau jadi dokter tetap ada batasan, kenapa jadi presiden bebas seperti pendaftaran lomba karaoke di kelurahan? Kalau nyanyi fals masih bisa ditutup musik, tapi kalau bikin kebijakan fals, apa ya cukup ditutup dengan cuitan buzzer di medsos?

Ada juga yang bilang, syarat pendidikan nggak menjamin kualitas kepemimpinan. Betul, memang ada sarjana bodoh dan ada lulusan SMA yang cerdas. Tapi minimal, pendidikan tinggi memberi bekal berpikir sistematis dan kritis. Kalau presiden tidak punya itu, risiko kebijakan asal-asalan makin besar. Kita butuh presiden yang ngerti data, bukan sekadar ngerti dengerin bisikan "tim sukses".

Kadang terlintas pikiran nakal di kepala, apa MK ini diam-diam pengin bikin motivasi baru buat anak SMA. "Hei anak-anak, nggak usah takut masa depan. Gagal kuliah nggak masalah. Masih ada lowongan presiden." Kalau benar begitu, ya selamat. Indonesia jadi negara paling ramah untuk anak-anak malas kuliah, tapi paling galau buat mahasiswa yang baru nyicil KRS semester 3.

Coba bandingkan dengan Jepang. Perdana Menteri mereka lulusan universitas top. Atau Jerman, kanselir mereka dikenal sebagai orang dengan background akademis mumpuni. Sementara kita, dengan gagah berani, memberi opsi lulusan SMA untuk jadi kepala negara. Bedanya memang sederhana. Jepang menaruh negara di tangan orang yang ahli. Kita menaruhnya di tangan siapa pun yang penting lulus ujian nasional. Agak serem, sih.

Yang bikin saya ngakak dalam hati, kalau jadi PNS aja harus ikut tes CAT yang ribetnya kayak soal-soal TPA campur sudoku, lah kok jadi presiden cukup SMA? Padahal presiden otomatis jadi bos besar semua PNS. Jadi bawahannya lebih ribet syaratnya dibanding bosnya.

Kalau terus dibiarkan, ini bisa jadi masalah serius. Bayangkan kalau ada generasi muda yang mikir begini: "Untuk apa kuliah, toh kalau pengin berkuasa cukup SMA?" Itu artinya pendidikan tinggi kita makin kehilangan daya tarik. Semua orientasi pindah ke politik, bukan ke ilmu pengetahuan. Lalu apa gunanya universitas yang tiap tahun sibuk bikin akreditasi dan menambah jumlah prestasi?

Sebagian orang mungkin santai, mereka bilang, "Ah, biarin aja. Nanti rakyat yang milih kok." Tapi jangan lupa, rakyat juga sering dibuat bingung dengan pencitraan. Kalau modalnya cukup SMA plus punya tim medsos jago bikin konten TikTok, bisa-bisa rakyat kepincut. Lalu kita punya presiden yang lebih ahli joget ketimbang bikin strategi ekonomi. Jangan-jangan nanti APBN malah dibuka pakai filter CapCut.

Tentu saja ini bukan berarti kita menutup jalan bagi rakyat biasa. Demokrasi memang harus inklusif. Tapi inklusif bukan berarti asal-asalan. Tetap perlu standar agar jabatan publik tidak dianggap seperti pendaftaran lomba balap karung. Karena taruhannya bukan hadiah panci, tapi arah bangsa. Kalau nggak ada standar, ya siap-siap kita jadi bahan tertawaan dunia internasional.

Yang menarik, MK selalu pakai alasan formal: "Tidak ada masalah konstitusional." Ya memang, konstitusi tidak bilang harus S1. Tapi konstitusi juga nggak pernah melarang ada standar baru. Jadi, bukannya tidak boleh, hanya memang tidak mau. Bedanya tipis, tapi efeknya besar. Lalu kita, rakyat biasa, cuma bisa gigit jari sambil nonton debat di TV.

Kalau mau jujur, ini keputusan yang bikin generasi muda semakin bingung arah hidup. Sementara dosen-dosen sibuk menggenjot mahasiswa biar lulus tepat waktu dan dapat sertifikasi kompetensi, negara malah bilang: "Tenang saja, jadi presiden cukup SMA." Seolah-olah ada dua jalan paralel yang nggak pernah ketemu. Yang satu penuh keringat dan ujian, yang satu penuh baliho dan poster.

Akhirnya, kita harus sadar, keputusan ini bukan sekadar soal syarat ijazah. Ini soal logika negara dalam menghargai pendidikan. Kalau negara saja tak serius memberi standar tinggi untuk jabatan tertinggi, jangan harap rakyat mau menghargai pendidikan tinggi. Besok-besok mungkin ada yang nyeletuk, "Ngapain kuliah, toh bisa jadi presiden dengan modal SMA." Dan kalau itu sampai jadi tren, selamat tinggal motivasi akademik bangsa.

Kalau semua sudah begini, saya jadi teringat kalimat orang tua dulu: "Sekolah tinggi-tinggi biar hidupmu lebih baik." Sekarang, kalimat itu kayak kehilangan makna. Karena ternyata, sekolah tinggi-tinggi tak menjamin apa-apa, bahkan untuk syarat presiden. Jadi, apa masih pantas kita berharap generasi muda rajin kuliah, sementara negara memberi contoh kalau tanpa kuliah pun bisa jadi nomor satu?

Suasana Ramadan tahun depan sudah mulai terasa. Padahal kalender masih mencatat bulan September. Media sosial mulai riuh. Meme tentang Muhammadiyah yang sudah menentukan awal Ramadan 2026 beredar di mana-mana. Ada yang memuji. Ada yang menggerutu. Ada juga yang hanya menjadikannya bahan candaan. Begitulah dunia medsos: semua bisa jadi bahan obrolan.

Muhammadiyah memang selalu terdepan. Sejak dulu. Tidak menunggu rukyat. Tidak menunggu pengumuman pemerintah. Mereka sudah bisa menetapkan jauh-jauh hari. Karena pakai hisab hakiki wujudul hilal. Hitungannya matematis. Persis. Bisa dipastikan.

Ilustrasi suasana ramadan (gambar : AI Generated)

Tahun ini beda. Muhammadiyah mengumumkan jauh lebih cepat. Biasanya sekitar dua bulan sebelum Ramadan. Kini empat setengah bulan sebelumnya sudah diumumkan. Orang kaget. Tapi sebenarnya tidak ada yang aneh. Justru Muhammadiyah ingin lebih awal memberi kepastian.

Saya lihat pengumuman itu tidak main-main. Ada dasar barunya. Kini bukan lagi sekadar wujudul hilal. Sudah memakai KHGT. Kalender Hijriyah Global Tunggal. Matla-nya global. Bukan Indonesia saja. Jadi kalau di negara lain hilalnya sudah terlihat, maka seluruh dunia dianggap masuk Ramadan.

Ini membuat diskusi makin ramai. Beda metode. Beda hasil. Tapi justru itu menarik. Ada ilmu di baliknya. Ada sejarah panjang. Ada juga dialektika umat. Tidak semua harus sama. Perbedaan justru memberi warna.

Saya jadi teringat Ramadan di Jogja. Masa-masa kos. Masa kuliah. Masa peralihan hidup yang penuh kenangan. Jogja itu selalu punya suasana Ramadan yang khas. Tarawih di kampung. Lampu-lampu temaram. Anak-anak berlarian bermain petasan. Suara bedug bersahutan.

Saya suka suasana sahur di Jogja. Warung-warung angkringan dan nasi tetap buka. Nasi rames mengepul. Wedang jahe hangat. Sambil bercengkerama dengan teman kos. Tidak ada yang mewah. Tapi justru itulah yang membuatnya membekas.

Ramadan juga selalu menjadi tanda mudik. Di Jogja, teman-teman saya banyak yang dari luar kota. Begitu Ramadan mendekat, pembicaraan pun bergeser: kapan pulang, naik apa, dan siapa bareng siapa. Tiket bus jadi rebutan. Terminal mendadak ramai.

Saya ingat naik bus AKAP yang kadang punya bau yang khas. Asap rokok bercampur dengan aroma minyak angin. Tapi perasaan bahagia luar biasa. Karena sebentar lagi sampai kampung. Karena sebentar lagi bertemu orang tua.

Mudik itu ibadah. Begitu yang selalu saya rasakan. Bukan hanya perjalanan pulang. Tapi juga perjalanan batin. Untuk ngabekten. Untuk birrul walidain. Untuk sekadar duduk di depan orang tua. Mendengar wejangan. Atau hanya diam, tapi hati terasa penuh.

Ramadan juga punya aroma khas. Bukan hanya makanan. Tapi juga udara. Saya bisa merasakan bedanya. Malam Ramadan selalu lebih hidup. Jalanan ramai. Warung buka lebih lama. Anak-anak lebih riang. Orang-orang lebih ramah.

Saya pernah merasakan Ramadan di beberapa kota besar, di Indonesia maupun di Taiwan. Semua punya cirinya sendiri. Tapi tetap saja, kenangan Ramadan di Jogja yang paling kuat. Mungkin karena itu fase paling menentukan dalam hidup saya. Fase peralihan dari remaja ke dewasa.

Jogja itu kota pelajar. Ramadan di sana artinya berkumpulnya anak muda dari berbagai daerah. Semua membawa tradisi masing-masing. Tarawih 11 rakaat. Tarawih 23 rakaat. Ada yang pakai qunut. Ada yang tidak. Tapi semua bisa sholat di masjid yang sama. Semua selesai dengan tertawa bersama.

Saya rindu suasana itu. Rindu becak yang hilir mudik. Rindu jalan kaki dari kos ke masjid. Rindu bunyi kentongan dan suara anak-anak kampung membangunkan sahur. Bahkan rindu dimarahi ibu kos karena telat bayar listrik. Ramadan membuat semua kenangan itu hidup kembali.

Ramadan bukan sekadar ibadah puasa. Ramadan adalah atmosfer. Ramadan adalah waktu yang menempel di hati. Ramadan adalah nostalgia. Bahkan sebelum datang, kerinduannya sudah lebih dulu hadir. Seperti sekarang.

Saya percaya, Ramadan itu punya kekuatan mempersatukan. Bahkan di tengah perbedaan metode penentuan awal bulan. Bahkan di tengah perbedaan pilihan politik. Ramadan tetap datang dengan damai. Membuat orang saling mengingatkan kebaikan.

Saya jadi senyum sendiri membaca komentar di medsos. Ada yang serius memperdebatkan istilah. Ada yang sibuk mengutip kitab. Ada juga yang hanya menertawakan perbedaan. Dunia maya jadi pasar Ramadan lebih awal.

Tapi itulah kita. Bangsa yang suka ramai. Suka ribut. Suka bercanda. Suka merasa paling benar. Tapi saat azan magrib berkumandang, semua diam. Semua meneguk air. Semua berbuka. Tidak ada lagi perbedaan. Semua sama-sama lapar.

Mungkin itu yang membuat Ramadan istimewa. Semua orang jadi sama. Kaya atau miskin. Tuan atau buruh. Semua sama-sama menahan haus. Sama-sama merasakan lapar. Sama-sama belajar sabar.

Saya teringat cerita bapak saya. Waktu kecil, beliau bilang: Ramadan itu sekolah sabar. Yang lulus bukan yang kuat menahan lapar. Tapi yang kuat menahan diri. Menahan amarah. Menahan dengki. Menahan lidah. Itu yang paling sulit.

Kini saya mengerti. Lapar bisa ditahan. Dahaga bisa dilupakan. Tapi menahan lidah? Itu ujian sebenarnya. Apalagi di era medsos seperti sekarang. Lidah sudah berubah menjadi jempol. Cepat sekali menulis. Cepat sekali menghakimi.

Ramadan akan mengajarkan itu lagi. Ramadan akan datang sebagai guru. Guru yang tidak banyak bicara. Tapi memberi ujian langsung. Setiap hari. Selama sebulan penuh.

Saya selalu menunggu Ramadan. Karena di dalamnya ada nostalgia. Ada mudik. Ada sahur. Ada tarawih. Ada ketupat. Ada opor. Ada keluarga. Semua hadir dalam satu bulan yang sama.

Bagi saya, Ramadan bukan sekadar ibadah pribadi. Ramadan adalah kebersamaan. Bahkan orang yang tidak berpuasa pun ikut merasakan suasananya. Warung-warung lebih ramai malam hari. Jalanan lebih hidup. Televisi penuh acara religi.

Kini Ramadan mendekat lagi. Meski masih bulan September, hati sudah tergerak. Media sosial mengingatkan. Meme-meme itu membuat rindu. Membuat ingin segera sampai. Membuat ingin segera mudik.

Ramadan juga membuat saya introspeksi. Umur tidak pernah mundur. Waktu berjalan terus. Beberapa tahun lalu, saya masih berpuasa di Taiwan. Tahun ini di Bengkulu. Tahun depan, entah di mana lagi. Maka doa saya sederhana: Ya Allah, sampaikan kami pada Ramadan yang akan datang.

Baru sampai rumah sekitar jam lima sore. Belum sempat duduk tenang. Belum juga sempat ganti pakaian. Pertanyaan sudah menunggu di ruang tamu. “Lulus apa tidak?” suara itu langsung mengisi telinga. Saya tahu siapa empunya suara. Saya pun tersenyum tipis.

Jawaban “Ya, alhamdulillah lulus” ternyata tidak cukup. Malah jadi pemicu pertanyaan baru. Seperti keran yang dibuka tiba-tiba. Pertanyaan keluar deras, beruntun, tanpa jeda. Saya merasa kembali ke ruang ujian. Bedanya, sekarang yang menguji bukan Master Asesor, tapi istri sendiri.
Ilustrasi Dosen Kompeten (Gambar : AI Generated)

Dia lalu berkata: dia mau ikut sertifikasi kompetensi teknis. Bidangnya: food handler. Saya kaget, tapi juga tidak kaget. Karena dua hari sebelumnya, saya sendiri yang menyalakan apinya. Saya cerita panjang soal tragedi keracunan massal MBG. Cerita juga soal bagaimana BNSP bereaksi. Dan bagaimana peluang besar ada di sana.

Saya tambah kompor dengan ide: kalau kampusnya bisa bikin LSP, akan lebih hebat lagi. Apalagi dia dosen gizi. Mengajar mata kuliah pengawasan mutu makanan. Cocok sekali. Pas sekali. Dan rupanya, obrolan itu nyantol betul di kepalanya.

Hari ini dia cerita: seharian mencari informasi. Googling sana sini. Tanya-tanya juga. Sampai akhirnya ketemu dengan LSP P3 yang memang mengurus sertifikasi bidang pengelolaan makanan. Semangatnya jelas sekali terlihat. Saya melihat matanya berbinar seperti mahasiswa baru yang menemukan buku favorit.

Dia pun melanjutkan ceritanya. Tentang unit kompetensi. Tentang metode asesmen. Tentang portofolio yang katanya harus ditulis. Dia bingung, karena dia merasa tidak punya rekam jejak industri. “Apa bisa?” katanya. Saya tahu dia sedang mencari jawaban yang meyakinkan.

Saya langsung pede. Mungkin terlalu pede. Maklum, otak masih panas. Baru tiga jam lalu saya keluar dari ruangan pelatihan calon asesor. Semua materi masih menempel kuat. Dari mulai soal elemen kompetensi, KUK, sampai teknik asesmen. Saya seolah menjadi replika para Master Asesor yang mengajar kami.

Saya jelaskan panjang lebar. Dengan gaya seperti di kelas. Saya pakai istilah-istilah yang kemarin baru saja saya hafalkan. Saya bahkan menirukan intonasi Master Asesor. Bedanya, kalau di kelas saya peserta, kali ini saya yang bicara. Seperti tahu segalanya.

Padahal, jujur saja, saat ujian tadi pagi, kepala saya lumayan pening. Jawaban saya tidak semua lancar. Beberapa kali saya sempat terhenti. Tapi ya begitulah. Karena hasil akhirnya sudah dinyatakan “kompeten”, saya punya legitimasi untuk merasa percaya diri. Label itu memang ajaib.

Istri saya manggut-manggut. Seperti mahasiswa yang baru paham rumus sulit. Matanya cerah. Semangatnya meluap. “Kalau begitu, saya mau ambil langsung tiga skema,” katanya mantap. Saya yang tadinya cuma ingin berbagi ilmu, malah jadi terkejut.

Saya melihat ke arah wajahnya. Ada kebanggaan tersendiri. Ada semangat baru. Saya tahu, ini bukan sekadar ikut-ikutan. Dia memang merasa bidangnya cocok. Dia memang merasa inilah waktunya. Dan saya tidak bisa menahan senyum.

Dunia sertifikasi memang sedang seksi. Kata “kompeten” sekarang lebih laku daripada kata “pintar”. Label itu bisa membuka pintu kerja. Bisa mengubah nasib seseorang. Bisa menambah harga diri. Dan makin lama, makin banyak orang yang sadar akan itu.

Saya sering melihat perusahaan yang lebih percaya sertifikat kompetensi daripada ijazah. Karena kompetensi bicara bukti. Bicara praktik. Bukan sekadar nilai di atas kertas. Bukan hanya teori di ruang kuliah. Kompetensi itu terasa nyata.

Bayangkan saja kasus MBG kemarin. Puluhan orang keracunan massal. Itu bukan sekadar masalah kesehatan. Itu masalah kompetensi. Kalau saja standar food handler diterapkan, mungkin ceritanya akan berbeda. Tragedi bisa dihindari.

Saya teringat kalimat salah satu Master Asesor kemarin. “Kompetensi itu bukan hanya tentang bisa atau tidak. Tapi tentang bukti bahwa Anda betul-betul bisa.” Kalimat itu terus terngiang. Dan malam ini, kalimat itu terbukti.

Istri saya sudah memilih jalan barunya. Ia ingin bersertifikat food handler. Bukan satu, tapi tiga skema sekaligus. Itu bukan main-main. Itu keputusan besar. Dan saya tahu, ini akan jadi perjalanan panjang yang penuh tantangan.

Saya pun tidak bisa menahannya. Saya hanya bisa mendukung. Karena dunia ini memang bergerak ke sana. Dunia yang makin menghargai keterampilan. Dunia yang tidak lagi puas dengan gelar semata. Dunia yang haus pada bukti nyata.

Apalagi kalau kampus-kampus ikut turun. Membuat LSP sendiri. Membuka jalur sertifikasi untuk mahasiswanya. Betapa besar dampaknya. Mahasiswa tidak hanya lulus dengan ijazah, tapi juga dengan sertifikat kompetensi. Itu akan membuat mereka lebih siap bersaing.

Saya pernah bilang: kompetensi itu seperti SIM. Kalau bisa nyetir tapi tidak punya SIM, tetap saja tidak bisa bebas di jalan. Kalau punya SIM, semua jadi sah. Semua jadi legal. Begitu juga kompetensi. Buktinya ada. Pengakuannya jelas.

Tentu, tidak semua orang suka prosesnya. Ujian itu berat. Asesmen itu bikin deg-degan. Tapi di situlah nilai tambahnya. Kalau semua gampang, nilainya jadi rendah. Sertifikat hanya berarti kalau diperoleh dengan susah payah.

Saya sendiri baru saja melewati itu. Ujian asesor bukan main. Materinya tebal. Latihannya panjang. Simulasinya bikin pusing. Tapi saat pengumuman keluar, dan kata “kompeten” disematkan, ada rasa lega. Ada rasa bangga. Dan ada rasa percaya diri yang baru.

Sekarang saya merasakan efek itu. Saya bisa menjelaskan ke istri dengan yakin. Saya bisa menjawab pertanyaan tanpa ragu. Saya bisa merasa pantas untuk memberi saran. Label “kompeten” ternyata bukan sekadar tulisan. Ia bisa mengubah cara kita berbicara.

Dan kini, giliran istri saya. Saya melihat api semangatnya yang sama. Api yang saya rasakan kemarin, kini ada di dirinya. Dunia sertifikasi sudah mencuri hatinya. Sama seperti mencuri hati saya.

Ah, dunia ini memang bergerak cepat. Kemarin saya hanya seorang peserta. Hari ini sudah jadi asesor. Dan malam ini, saya menjadi motivator dadakan untuk istri sendiri. Perubahan itu bisa terjadi hanya dalam hitungan hari.

Besok, mungkin lebih banyak lagi orang yang ikut. Lebih banyak yang sadar. Lebih banyak yang mencari label “kompeten”. Karena kata itu kini semakin seksi. Kata itu kini semakin bernilai.

Saya pun menutup malam ini dengan satu kalimat. Salam kompeten. Karena dunia ini memang sedang menuju ke sana. Dunia yang mengukur orang bukan hanya dari gelar, tapi dari bukti nyata. Dunia yang makin percaya bahwa kompeten itu seksi.
Empat hari terakhir, media sosial di Bengkulu terasa lebih ramai dari biasanya. Bukan karena isu politik, bukan pula karena peristiwa kriminal. Ramainya kali ini karena bunga. Ya, bunga yang selama ini dianggap ikon Bengkulu: Rafflesia Arnoldi. Tiba-tiba saja, muncul suara-suara yang menggugat nama itu. Mereka ingin nama bunga langka itu dikembalikan pada nama aslinya: bungo sekedei. Nama yang jauh lebih tua dibanding nama yang disematkan oleh orang asing.

Bagi masyarakat Bengkulu, bungo sekedei bukan sekadar bunga. Ia bagian dari cerita turun-temurun. Nama itu muncul dari generasi ke generasi, jauh sebelum Thomas Stamford Raffles dan Joseph Arnold menjejakkan kaki di tanah Bengkulu. Di kampung-kampung, orang tua dulu sering menyebutnya dengan penuh hormat. Sebab ukurannya yang besar, baunya yang khas, dan kemunculannya yang langka selalu dianggap misteri. Tapi, dunia mengenalnya justru dengan nama dua orang asing itu.
Ilustrasi (AI Generated)

Sejarahnya, memang Raffles dan Arnold lah yang pertama kali memperkenalkan bunga ini ke mata dunia ilmiah. Tahun 1818, mereka melihatnya di hutan Bengkulu. Arnold, seorang dokter dan naturalis, sangat terpesona. Ia menuliskan deskripsinya. Lalu, seperti tradisi ilmiah pada masa itu, nama bunga itu diabadikan dengan nama mereka. Rafflesia Arnoldi. Dari situ, nama itu masuk jurnal, buku, lalu ensiklopedia. Sampai akhirnya menjadi rujukan global.

Di dunia botani, ada aturan tak tertulis yang sudah jadi kesepakatan: siapa yang pertama kali mendeskripsikan secara ilmiah, dia yang punya hak memberi nama. Maka tidak heran jika kemudian nama Rafflesia Arnoldi bertahan lebih dari dua abad. Ia sudah tercatat di International Code of Nomenclature for algae, fungi, and plants. Sebuah “kitab suci” bagi para ahli biologi. Mengubah nama itu sama rumitnya dengan mengubah pasal di konstitusi.

Namun, masyarakat Bengkulu merasa ada yang janggal. Kenapa bunga yang lahir di tanah mereka, yang sudah diberi nama lokal sejak lama, justru dipopulerkan dengan nama orang asing? Bukankah itu bentuk penghapusan jejak budaya lokal? Pertanyaan ini sah-sah saja. Apalagi di era ketika kesadaran atas identitas lokal makin kuat. Orang ingin sejarahnya dikembalikan. Orang ingin nama lokalnya dihargai. Orang ingin bunga itu disebut sebagaimana orang tua mereka menyebutnya: bungo sekedei.

Apakah bisa nama itu digugat? Secara hukum internasional, ini memang pelik. Nama ilmiah bukan sekadar label. Ia bagian dari sistem klasifikasi global. Mengubah nama ilmiah butuh alasan yang sangat kuat. Biasanya karena ada kesalahan identifikasi, atau karena ada temuan baru yang lebih sahih. Gugatan masyarakat lokal, meski secara moral punya kekuatan, tidak serta merta bisa mengubah nomenklatur. Dunia sains bekerja dengan tata tertib yang ketat.

Namun bukan berarti jalan itu buntu. Dalam praktiknya, banyak spesies punya dua nama: nama ilmiah dan nama lokal. Contohnya, Durio zibethinus tetap dikenal masyarakat luas sebagai durian. Pandanus tectorius tetap disebut pandan. Orang bisa saja menghidupkan kembali nama bungo sekedei, tanpa harus membatalkan nama Rafflesia Arnoldi. Justru dua-duanya bisa hidup berdampingan. Satu untuk keperluan ilmiah, satu lagi untuk kebanggaan lokal.

Saya teringat pada kasus di India. Ada tanaman obat yang oleh masyarakat lokal sudah ratusan tahun dipakai, tetapi nama ilmiahnya tetap mengikuti aturan Latin. Pemerintah India kemudian mengajukan daftar nama lokal itu dalam dokumen resmi agar diakui dalam dunia farmasi internasional. Dengan cara itu, nama lokal tidak hilang, dan masyarakat tetap merasa punya hak. Mungkin Bengkulu bisa meniru langkah itu.

Kalau mau lebih jauh, bisa juga dilakukan gugatan class action. Tapi bukan ke pengadilan sains. Melainkan ke ranah kebijakan. Pemerintah daerah bisa mengajukan usulan resmi agar nama bungo sekedei dipakai di semua dokumen pariwisata, pendidikan, dan promosi budaya. Dengan begitu, perlahan nama itu bisa sejajar dengan nama ilmiahnya. Dunia boleh tetap menyebut Rafflesia Arnoldi, tapi di Bengkulu orang akan lebih akrab dengan bungo sekedei.

Persoalan ini sebenarnya bukan hanya soal nama. Ini soal bagaimana masyarakat ingin dilihat. Apakah mereka mau terus “mengabdi” pada sejarah kolonial, atau berani menegaskan identitas lokalnya. Nama adalah simbol. Dan simbol punya kekuatan besar dalam membentuk imajinasi. Ketika orang menyebut bungo sekedei, ia sedang menghidupkan kembali cerita lama. Cerita sebelum ada kolonialisme. Cerita tentang kebanggaan lokal.

Saya melihat, semangat ini sama seperti yang terjadi di banyak daerah lain. Di Yogyakarta, orang lebih suka menyebut malioboro dengan logat mereka sendiri. Di Jawa Timur, banyak desa yang ingin mengembalikan nama asli kampungnya setelah puluhan tahun dipakai nama administrasi kolonial. Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas itu penting. Ia tidak bisa diputus begitu saja hanya karena ada aturan ilmiah.

Apakah itu salah? Tidak. Ilmu pengetahuan memang punya logikanya sendiri. Tapi masyarakat juga punya hak atas warisan budayanya. Kalau dua logika itu bisa berjalan berdampingan, kenapa harus saling meniadakan? Saya kira itu yang harus dipikirkan. Jangan sampai karena nama ilmiah terlalu dominan, nama lokal hilang begitu saja. Padahal di situlah akar sejarahnya.

Ada cara sederhana untuk memperkuat nama lokal. Misalnya dengan festival. Buat festival Bungo Sekedei setiap tahun. Libatkan anak-anak sekolah, mahasiswa, budayawan. Ceritakan sejarahnya. Bangun narasi bahwa bunga itu memang milik Bengkulu. Dengan begitu, lama-lama dunia juga akan mengenalnya. Siapa tahu, dalam 50 tahun ke depan, orang menyebut bunga itu dengan dua nama sekaligus: Rafflesia Arnoldi alias Bungo Sekedei.

Saya kira penting juga ada penelitian akademik yang mendukung. Kampus-kampus di Bengkulu juga bisa membuat kajian tentang sejarah nama bungo sekedei. Dokumentasikan cerita-cerita lisan masyarakat. Buat jurnal internasional tentang itu. Kalau sudah begitu, dunia sains pun mau tidak mau harus membaca. Nama lokal bisa mendapat ruang terhormat, meski nama ilmiah tetap tidak berubah.

Pemerintah daerah juga bisa bikin regulasi kecil. Misalnya, setiap papan informasi di objek wisata wajib mencantumkan dua nama: nama ilmiah dan nama lokal. Itu bukan hal sulit. Justru akan membuat orang makin penasaran. Turis mancanegara akan bertanya: apa itu bungo sekedei? Dari situlah cerita mengalir. Identitas lokal pun terangkat.

Saya membayangkan, kelak anak-anak Bengkulu akan lebih bangga menyebut bunga itu dengan nama bungo sekedei. Mereka tidak lagi merasa asing dengan istilah Latin yang panjang. Mereka tahu, ini bunga mereka. Ini bagian dari budaya mereka. Dan mereka tahu, dunia pun akhirnya mengakui bahwa nama itu sama berharganya.

Bagi saya pribadi, pertarungan nama ini adalah pertarungan simbol. Sama seperti ketika kita memperjuangkan batik agar diakui UNESCO. Sama seperti ketika kopi Gayo didaftarkan sebagai indikasi geografis. Semua itu bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal harga diri. Dan harga diri adalah hal yang tak bisa ditawar.

Apakah masyarakat Bengkulu bisa berhasil? Bisa. Tapi butuh waktu. Butuh konsistensi. Butuh strategi. Tidak bisa hanya dengan ribut di media sosial. Harus ada langkah nyata. Harus ada kerja panjang. Harus ada kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat.

Jadi, mungkin pertanyaan yang lebih tepat bukan “bisakah mengganti nama Rafflesia Arnoldi menjadi bungo sekedei”. Tapi bagaimana cara agar bungo sekedei tidak hilang di tengah dominasi nama Latin itu. Bagaimana agar dua nama itu sama-sama hidup. Bagaimana agar dunia tahu, bunga itu lahir di tanah Bengkulu, dan punya cerita panjang di sana.

Saya melihat ini bukan sekadar polemik kecil. Ini bagian dari gerakan lebih besar: mengembalikan identitas lokal di tengah globalisasi. Setiap nama yang kita sebut, setiap simbol yang kita pertahankan, adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Dan melawan lupa adalah pekerjaan paling mulia.
Empat hari terakhir ini saya tidak masuk kelas. Semua mata kuliah yang saya ajar, saya liburkan. Mahasiswa tentu senang. Mereka mengira dosennya sedang malas. Padahal sebaliknya. Saya sedang serius belajar. Bukan belajar akademik, tapi belajar hidup. Belajar tentang standar. Belajar tentang kompetensi. Saya ikut pelatihan calon asesor.

Hari pertama, saya bertemu dengan pemateri berstatus calon master asesor. Sebenarnya beliau sudah sangat pro, tapi karena soal waktu saja, beliau belum sepenuhnya menjadi master. Bulan depan ujian kompetensinya. Setelahnya beliau resmi bergelar master. Materinya tidak main-main. Langsung mengenai jantung prodi. Saya pun undang para kaprodi. Saya ingin mereka juga merasakan. Supaya teman-teman paham. Bahwa kurikulum bukan hanya soal SKS dan RPS. Tapi juga soal standar kompetensi.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Hari kedua sampai kelima, suasana semakin menarik. Dua master asesor datang dari Jakarta. Mereka bukan orang biasa. Yang satu pakar SDM dan otomotif. Yang satu lagi, legenda kopi Indonesia. Ya, kopi. Minuman yang sering dianggap sepele. Padahal di baliknya, ada dunia yang luas. Ada profesi. Ada standar.

Saya tidak ingin cerita banyak tentang pelatihannya. Itu bisa kapan-kapan. Yang ingin saya ceritakan sekarang adalah kopi. Kenapa? Karena kopi ternyata tidak sekadar minuman. Kopi punya dunia sendiri. Dan saya dipertemukan dengan tokoh yang menjadikan kata “barista” dikenal di Indonesia. Beliau pencipta istilah itu.

Nama beliau sudah lama malang melintang di dunia kopi. Ia menulis tujuh buku. Semua tentang kopi. Ia keliling Indonesia. Dari Aceh sampai Papua. Hanya untuk satu hal: menstandarkan kompetensi orang-orang yang hidup dari kopi. Supaya mereka punya pengakuan. Supaya profesi barista diakui sejajar dengan profesi lain.

Kenapa harus distandarkan? Pertanyaan itu juga pernah muncul di benak saya. Apa salahnya orang bikin kopi sesuai seleranya? Ternyata salah. Profesi itu harus punya dasar. Harus ada ukuran. Barista tidak boleh seenaknya. Sama seperti dokter. Sama seperti pilot. Kesalahan kecil bisa fatal.

Semalam, kami ajak beliau ke sebuah kafe di kota saya. Pemiliknya senang sekali. Masih muda dan suami istri. Jarang-jarang ada legenda kopi singgah. Kami duduk berjam-jam. Ngobrol. Sambil menyeruput kopi buatan anak-anak muda kota ini. Waktu berjalan cepat. Dua jam terasa seperti sebentar. Saya banyak belajar.

Saya bukan maniak kopi. Pernah. Tapi berhenti. Dulu saya kecanduan kopi hitam. Tanpa gula. Pahit adalah sahabat. Tapi perut saya protes. Asam lambung saya tidak bersahabat. Maka saya kurangi. Kadang masih minum. Tapi tidak setiap hari. Jadi saya tidak bisa disebut pecandu.

Namun, saya bisa melihat bagaimana legenda itu memperlakukan kopi. Ia bisa tahu jenis kopi hanya dari uapnya. Ia tahu takaran hanya dari aroma. Lidahnya peka. Hidungnya tajam. Matanya awas. Seolah semua indranya dipersembahkan untuk kopi. Tidak berlebihan kalau saya menyebutnya sebagai legenda hidup kopi Indonesia.

Beliau bahkan mendirikan lembaga yg mensertifikasikan kompetensi khusus kopi. Mungkin satu-satunya di Indonesia. Itu bukan main. Karena mendirikan lembaga semacam ini tidak gampang. Harus ada standar. Harus ada perangkat. Harus ada asesor. Tapi ia lakukan itu. Demi satu hal: supaya profesi barista punya martabat.

Barista tidak boleh dipandang rendah. Ia bukan sekadar tukang bikin kopi. Ia adalah profesi. Dengan keterampilan. Dengan standar. Dengan sertifikasi. Sama seperti pilot. Sama seperti dokter. Sama seperti insinyur. Itulah pesan yang terus ia bawa.

Saya tahu betul betapa berat membuat standar. Tidak semua orang suka. Banyak yang menganggap itu membatasi. Padahal sebaliknya. Standar bukan membatasi. Standar melindungi. Standar menjaga mutu. Standar memberi kepastian.

Kopi adalah contoh yang menarik. Lihat bagaimana dunia internasional memperlakukan kopi. Ada kompetisi barista. Ada sertifikasi internasional. Ada standar mesin. Ada ukuran biji. Semuanya diatur. Dan itu membuat industri kopi dunia maju. Tidak asal-asalan.

Di Indonesia, jalan itu baru dimulai. Masih banyak kafe yang bikin kopi tanpa ukuran. Takaran suka-suka. Penyajian asal jadi. Konsumen pun tidak tahu harus menuntut apa. Inilah yang ingin diperbaiki oleh beliau itu. Ia ingin kopi Indonesia punya standar.

Saya bisa melihat semangat itu sama dengan semangat kami di kampus. Saya juga ingin mahasiswa punya standar. Bukan sekadar lulus kuliah. Tapi lulus dengan kompetensi. Dengan sertifikat. Dengan bukti bahwa ia bisa bekerja sesuai standar. Tidak asal pintar teori.

Maka malam tadi, obrolan kami melebar. Dari kopi ke pendidikan. Dari barista ke dosen. Dari kafe ke kampus. Ternyata sama saja. Intinya: standar. Tidak ada profesi yang bisa besar tanpa standar. Tidak ada karya yang bisa dihargai tanpa ukuran.

Di kampus, banyak mahasiswa yang merasa pintar. Banyak yang yakin bisa kerja. Tapi tanpa standar, semua itu rapuh. Hanya ilusi. Sama seperti kopi tanpa takaran. Rasanya bisa enak hari ini. Besok bisa aneh. Tidak konsisten.

Saya suka semangat beliau. Ia tidak hanya menulis buku. Ia membangun sistem. Ia turun langsung ke daerah. Ia ketemu petani. Ia latih anak muda. Ia bangun lembaga. Ia lakukan apa yang orang lain hanya bicarakan.

Itulah yang membedakan orang besar. Ia tidak berhenti di kata. Ia wujudkan dalam kerja. Ia sabar. Ia konsisten. Ia tetap berjalan. Karena ia tahu, standar akan membuat profesi ini dihormati.

Saya melihat wajah-wajah anak muda di kafe malam itu. Mereka terkesima. Mereka baru tahu ada standar di balik kopi. Selama ini mereka pikir bikin kopi hanya soal rasa. Ternyata ada ilmu. Ada teknik. Ada sertifikasi. Ada kompetensi.

Mata mereka berbinar. Barangkali mereka akan lebih serius belajar. Barangkali mereka ingin sertifikasi juga. Barangkali mereka ingin jadi barista sejati. Bukan sekadar pekerja kafe. Itu harapan yang tumbuh malam itu yang bisa saya tangkap sebelum beranjak pulang.

Saya pun merasa, pertemuan itu bukan kebetulan. Saya jadi belajar banyak. Tentang kopi. Tentang standar. Tentang profesi. Tentang perjuangan. Tentang idealisme. Dan tentang arti sebuah kompetensi.

Maka, saya ingin katakan: barista dan pilot tidak ada bedanya. Sama-sama profesi. Sama-sama harus terstandar. Sama-sama butuh sertifikasi. Sama-sama butuh tanggung jawab. Hanya medianya yang berbeda.

Kopi mengajarkan saya banyak hal. Bahwa hidup ini harus punya ukuran. Bahwa kerja harus punya standar. Bahwa kompetensi harus diakui. Dan bahwa idealisme kadang harus melawan arus.

Saya pulang malam tadi dengan perasaan lain. Ada kagum. Ada hormat. Ada juga tekad. Tekad untuk membawa semangat standar itu ke kampus. Tekad untuk menjadikan mahasiswa bukan sekadar lulusan. Tapi profesional.

Hari-hari saya mungkin kembali sibuk. Kelas akan kembali jalan. Mahasiswa akan kembali ramai. Tapi pengalaman empat hari ini, dan obrolan dua jam malam itu, akan saya simpan lama. Itu pelajaran hidup.

Saya percaya, standar bukan untuk membatasi. Standar justru membebaskan. Membebaskan dari ketidakpastian. Membebaskan dari kesalahan. Membebaskan dari keraguan. Dan itu berlaku di kopi. Berlaku di kampus. Berlaku di hidup.

Dan akhirnya, saya semakin yakin. Bahwa apa yang kami lakukan di kampus melalui lembaga sertifikasi bukan formalitas. Itu perjuangan. Itu bagian dari membangun negeri. Dari barista hingga insinyur. Dari kafe hingga kampus. Semuanya butuh standar.

Karena tanpa standar, semua hanya kebetulan. Dengan standar, profesi jadi mulia. Dengan standar, kompetensi jadi nyata. Dengan standar, hidup punya arah. Dan barista pun bisa sejajar dengan pilot.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • SOLO, SOPIR GRAB, DAN REFORMASI YANG TERSISA DI INGATAN
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • DARI KOMUNITAS RADIO KE PASUKAN LORENG Á LA APARAT ; KETIKA SEMUA ORANG INGIN JADI KOMANDAN
  • KAMUS [SERAPAN] BAHASA SANSKERTA - BAHASA INDONESIA
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar