Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Kalau hidup ini kayak naskah pidato pengukuhan guru besar, mungkin saya bakal bikin judul yang nggak biasa. Bukan tentang kapitalisme global atau sistem fiskal modern, tapi tentang “Teologi Uang sebagai Landasan Kebijakan Ekonomi Spiritual.” Ya, kedengarannya memang kayak campuran antara khutbah Jumat dan Rapat Komisi XI DPR, tapi sebenarnya ini judul yang serius tapi santai. Saya nggak bercanda. Saya serius mikir, kalau jadi guru besar, saya pengin ngomongin soal uang, tapi bukan sekadar uang di dompet. Uang yang sering dianggap benda mati padahal tiap harinya ngatur hidup orang. Uang yang bisa jadi ibadah, bisa juga jadi bencana. Uang yang kita anggap duniawi, padahal spiritualitasnya lebih tinggi dari harapan netizen pada giveaway TikTok.

Kita ini, mau diakui atau tidak, hidup dalam masyarakat yang ibadahnya diatur dompet. Mau umroh butuh duit. Mau nikah butuh mahar. Bahkan sedekah pun butuh transfer bank. Uang jadi sarana, tapi kadang juga jadi tujuan. Dan di titik itulah, saya merasa perlu untuk memperlakukan uang nggak cuma sebagai alat tukar atau simbol kekayaan, tapi sebagai entitas teologis. Bukan dalam arti disembah kayak dewa, tapi sebagai objek tafsir spiritual. Kalau orang bisa bikin “teologi penderitaan” atau “teologi pembebasan,” kenapa saya nggak bisa bikin “teologi uang”?
Ilustrasi Cover Naskah Pidato Guru Besar (Gambar : Bikinan Sendiri)
Saya tahu, ini pasti akan dianggap nyeleneh sama sebagian akademisi. Tapi bukankah justru ilmu itu lahir dari keisengan yang serius? Dulu siapa yang nyangka teori relativitas itu lahir dari orang yang bengong liat jam kereta? Nah, saya juga begitu. Aku sering banget bengong tiap habis narik uang di ATM, sambil mikir, “Apa dosa-dosa dompetku hari ini?” Dari situ saya kepikiran, bahwa uang nggak cuma berdampak ke ekonomi, tapi juga ke cara kita berdoa, mencintai, bahkan membenci.

Kita seringkali menilai moralitas orang dari cara dia pakai uang. Kalau dia dermawan, dibilang mulia. Kalau dia pelit, dibilang kikir. Tapi kita jarang tanya, kenapa dia pelit? Mungkin dia punya trauma masa kecil. Mungkin dia takut miskin. Atau mungkin dia pernah dikhianati orang yang dia pinjami uang. Dan di titik itulah, saya merasa uang bukan cuma soal angka, tapi soal iman, rasa aman, dan luka batin yang tidak ditanggung oleh saldo.

Saya nggak mau bikin pidato yang kayak baca jurnal. Saya maunya pidato yang kalau dibacain, orang-orang bisa bilang, “Iya ya, saya juga pernah ngerasain itu.” Karena buatku, jadi guru besar bukan cuma soal ngasih ilmu ke orang, tapi soal bikin orang merasa dimengerti. Maka dari itu, saya pengin ngebahas uang dari sisi yang lebih manusiawi, lebih spiritual, dan tentu saja, lebih filosofis.

Uang itu seperti mantan. Dikenang tapi bikin sakit hati. Dikejar malah menjauh. Disimpan terlalu lama malah bikin curiga. Tapi, di saat-saat terjepit, dia satu-satunya yang kita cari. Maka penting untuk punya pemahaman yang sehat tentang uang. Bukan cuma sehat secara ekonomi, tapi juga sehat secara rohani. Di sinilah aku merasa, perlu ada teologi uang. Supaya kita bisa berdamai dengan dompet sendiri.

Ada orang yang rajin banget ibadah tapi masih hobi ngemplang utang. Ada juga yang nggak pernah ke masjid tapi tiap bulan nyumbang ke panti asuhan. Kita sering bingung, mana yang lebih spiritual? Padahal bisa jadi dua-duanya sedang menjalani spiritualitas dengan cara masing-masing. Teologi uang ngajarin kita bahwa spiritualitas itu nggak selalu berbentuk ritual. Kadang berbentuk keputusan finansial yang bijak, adil, dan bertanggung jawab.

Waktu kecil, saya kira orang kaya itu pasti bahagia. Tapi setelah gede, saya baru sadar, banyak orang kaya yang hidupnya kayak kalkulator rusak—nggak pernah tenang karena terus dihitungin. Saya jadi mikir, jangan-jangan uang itu bukan sumber bahagia, tapi alat ukur rasa cukup. Nah, di titik inilah spiritualitas uang bekerja. Uang ngajarin kita bahwa hidup itu soal cukup, bukan soal banyak.

Kalau suatu saat nanti saya dikasih mimbar pidato pengukuhan, saya bakal cerita soal bagaimana uang bisa merusak ibadah. Ada orang yang salatnya lima waktu, tapi habis salat langsung ngitung fee korupsi. Ada juga yang kerja di judol, tiap hari ngitung uang haram, tapi selalu nyisihin rejeki buat orang tua. Hidup ini kompleks. Teologi uang ngajarin kita buat tidak gampang nge-judge orang cuma dari dompetnya.

Dalam dunia akademik, saya pengin bikin cabang keilmuan baru. Namanya, “Ekonomi Spiritual.” Isinya bukan cara cepat kaya menurut hadis, tapi lebih ke bagaimana orang bisa hidup damai secara finansial. Bukan sekadar bebas utang, tapi juga bebas dari rasa bersalah saat belanja. Ilmu ini akan menggabungkan ilmu ekonomi, psikologi keuangan, dan nilai-nilai spiritual. Kayak nasi magelangan: nasi, mie, telur, saos—berantakan tapi enak.

Teologi uang ini juga bisa dipakai untuk ngaji ulang hadis-hadis tentang harta. Bukan buat menjustifikasi kekayaan atau kemiskinan, tapi buat memahami konteks zaman dan rasa. Contohnya, kenapa Nabi bilang “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”? Jangan-jangan ini bukan sekadar anjuran buat dermawan, tapi juga tentang martabat manusia saat memberi dan menerima.

Saya juga pengin ngomongin soal mental budgeting umat. Gimana caranya supaya kita bisa beli kebutuhan, tanpa dikendalikan keinginan. Ini penting, karena kadang kita lebih takut saldo nol daripada hati kosong. Padahal, ketenangan hidup kadang datang bukan dari gaji, tapi dari rasa syukur yang diangsur tiap hari.

Di masyarakat, ada mitos bahwa orang religius itu nggak boleh cinta dunia. Tapi gimana caranya nggak cinta dunia kalau kita hidup di dunia? Nah, teologi uang ngajarin bahwa mencintai dunia itu sah, selama tahu batas dan arah. Uang bisa dipakai buat membangun masjid, tapi juga bisa dipakai buat nyewa buzzer. Jadi, soal niat dan tanggung jawab.

Saya juga kepikiran buat ngajarin anak-anak muda biar nggak gampang silau sama flexing. Di Instagram, semua orang keliatan kaya. Tapi di dunia nyata, banyak yang pusing bayar cicilan. Teologi uang ngajarin bahwa yang penting bukan tampilan, tapi ketahanan batin. Bisa tenang walau saldo tinggal lima belas ribu, itu ilmu tingkat dewa.

Penting juga ngomongin soal utang. Di kampus, nggak ada mata kuliah “Manajemen Utang dan Pertobatan Finansial.” Padahal ini masalah semua orang. Teologi uang bisa jadi jalan tengah buat ngajarin cara berutang yang sehat, dan cara memaafkan diri dari kesalahan finansial masa lalu. Karena kadang, kita lebih tega sama orang lain daripada sama dompet sendiri.

Saya tahu, teologi uang ini bakal jadi bahan tertawaan. Tapi bukankah semua ide besar dulu pernah diketawain? Dulu orang yang bilang bumi itu bulat dianggap gila. Sekarang yang gila justru yang percaya bumi datar. Jadi, saya sih bodo amat. Yang penting saya punya keyakinan bahwa uang bukan sekadar kertas atau angka, tapi juga cerita dan doa yang kita bisikkan dalam hati.

Uang itu seperti makhluk spiritual. Dia bisa mempertemukan orang, tapi juga bisa memisahkan. Bisa jadi sumber pahala, tapi juga sumber dosa. Bisa menyejukkan, bisa juga membakar. Maka dari itu, penting buat punya ilmu yang bisa bikin kita sadar bahwa setiap transaksi adalah ibadah kecil, dan setiap pengeluaran adalah bentuk cinta atau ego.

Kalau kamu tanya, kenapa saya milih nama “teologi uang”? Jawabannya sederhana. Karena terlalu banyak orang yang belajar ekonomi tapi nggak belajar empati. Terlalu banyak yang bisa ngitung bunga, tapi nggak bisa ngitung luka. Terlalu banyak yang tahu investasi, tapi nggak tahu introspeksi. Ilmu tanpa rasa itu kayak teh tanpa gula—pahit dan bikin males.

Saya juga pengin ngajak lembaga zakat dan bank syariah buat ikut diskusi. Biar nggak cuma ngomongin nisab dan riba, tapi juga soal rasa takut, cemas, dan harapan yang melekat pada uang. Supaya zakat bukan cuma angka yang dipotong, tapi jadi pengingat bahwa rezeki itu bukan soal kerja keras semata, tapi juga tentang belas kasih Tuhan dan rejeki orang lain yang dititipkan di dompet kita.

Dan akhirnya, saya cuma pengin bilang, jadi guru besar itu bukan soal gelar. Tapi soal keberanian untuk bercerita dari sudut yang tak biasa. Kalau orang lain bercerita soal pasar global, aku akan bercerita soal pasar tradisional. Kalau orang lain ngomongin kebijakan fiskal, saya akan ngomongin isi dompet emak-emak. Karena di situlah ilmu bertemu kenyataan. Di antara sisa kembalian dan doa dalam hati.

Jadi kalau nanti ada orang yang nanya, “Kok judul pidato pengukuhanmu aneh banget?” saya akan jawab dengan senyum, “Karena hidup ini lebih butuh pengertian spiritual tentang uang, daripada seminar investasi yang diakhiri dengan penawaran member platinum.”

Dan semoga saja, suatu hari nanti, dompet kita nggak cuma penuh isi, tapi juga penuh makna
Tinggal di Bengkulu itu rasanya seperti menjalin hubungan dengan mantan yang dulu pernah baik, penuh kenangan, tapi akhirnya kita tahu: ini bukan tempat untuk ambisi besar. Bukan karena Bengkulu tidak punya potensi, tapi karena ia terlalu sabar, terlalu tenang, terlalu ikhlas untuk dikejar-kejar target. Kau bisa betah di sini, asal tidak berharap menjadi pusat perhatian. Seperti mantan yang diam-diam masih mengingat ulang tahunmu, tapi tidak pernah lagi mengucapkannya secara langsung. Ia hadir, tapi tidak menuntut.

Setiap pagi, kota ini bangun dengan santai. Matahari muncul seperti enggan-enggan, lalu menerangi jalanan yang tidak pernah benar-benar macet. Di warung sarapan, obrolan masih soal harga sawit dan anak tetangga yang kerja di Jakarta. Semua terasa seperti kaset lama yang diputar ulang—nada yang sama, tapi tetap bikin nyaman. Tidak ada yang terburu-buru, tidak ada yang benar-benar gila kerja. Seperti hubungan yang sudah melewati masa-masa drama.
Ilustrasi menikmati sore di pantai di Bengkulu (Gambar : AI Generated)

Saya pindah ke Bengkulu sebelas tahun lalu. Awalnya hanya karena pekerjaan, tapi lama-lama saya betah seperti orang yang kejebak nostalgia. Bukan karena semuanya indah, justru karena kekurangannya bisa dipahami. Kota ini tidak menjual mimpi-mimpi palsu seperti kota besar. Dia hanya bilang: "Kalau kamu capek, duduklah sebentar di Pantai Panjang. Lihat laut. Jangan pikirin hidup terlalu keras."

Kalau ditanya apa yang paling saya suka dari Bengkulu, saya selalu jawab: diamnya. Ini kota yang tidak merasa perlu membuktikan dirinya ke siapa-siapa. Tidak ada ambisi menjadi seperti Yogyakarta atau Bandung. Dia tahu posisinya, dan dia tidak minder. Ada daya tarik yang lahir dari kelegaan itu—seperti mantan yang sudah move on tapi tetap bisa ngobrol baik-baik sama kita di warung kopi.

Orang bilang Bengkulu sepi. Saya tidak membantah. Tapi saya juga tidak akan menyebutnya membosankan. Karena kadang yang kita butuhkan bukan keramaian, tapi ruang untuk mendengar diri sendiri. Kota ini memberi itu. Ia menyediakan jeda. Memberi kita alasan untuk berhenti sejenak dari sibuk yang seringkali tidak jelas tujuannya.

Tentu, Bengkulu bukan tanpa kekurangan. Di beberapa titik, kota ini seperti lupa untuk berkembang. Beberapa proyek mangkrak, beberapa gedung dibiarkan jadi rumah laba-laba. Tapi seperti mantan yang kita tahu tidak sempurna, kita tetap menyukainya karena ia membuat kita merasa cukup. Bukan karena tidak bisa dapat yang lebih baik, tapi karena tahu: tenang juga adalah bentuk bahagia.

Saya suka jalan menelusuri sore di kota ini. Melewati jalan danau dendam tak sudah yang pinggirnya sawah, atau menyusuri kawasan tepi pantai malabero yang seperti tidak pernah kehabisan senja. Di Jakarta, ini semua pasti sudah dipagari dan dikomersilkan. Di sini, laut tetap milik siapa saja yang ingin diam di hadapannya tanpa harus bayar parkir mahal. Seperti mantan yang tetap menyisakan playlist Spotify bersama, walau hubungan sudah tamat.

Ada rasa aman di Bengkulu yang sulit dijelaskan. Bukan aman dari kejahatan, tapi aman secara batin. Aman untuk merasa gagal. Aman untuk jadi orang biasa. Aman untuk tidak keren-keren amat. Ini kota yang tidak akan mengolok-olokmu kalau kamu belum punya rumah. Tidak akan mengejekmu kalau masih pakai motor butut. Ia menerima, tanpa komentar.

Pernah satu kali saya iseng jalan-jalan malam ke Simpang Lima dan berputar ke kawasan Stadion Semarak saat musim durian. Suasananya seperti nonton konser band indie yang lupa dipromosikan. Lampu-lampu ada, suara-suara juga terdengar, tapi tidak ada desakan. Semua orang duduk, ngobrol, sambil menikmati buah durian fresh langsung dari kebun yang dijajakan para penjual di pinggir jalan. Tidak ada yang merasa perlu kelihatan paling keren. Saya duduk di situ cukup lama, hanya untuk menikmati absurditas: kota ini benar-benar tidak berusaha jadi sesuatu.

Dan mungkin itu yang bikin Bengkulu terasa tulus. Karena ia tidak berakting. Tidak mencoba meniru. Tidak ingin jadi viral. Ia cukup dengan apa adanya. Seperti mantan yang tidak lagi berusaha terlihat bahagia di media sosial, tapi kamu tahu dari caranya senyum: dia damai. Ada kedewasaan yang tidak bisa dibeli di toko, hanya bisa ditempa oleh waktu dan penerimaan.

Anak-anak muda di sini juga punya cita-cita. Tapi mereka tahu, lari terlalu cepat bisa bikin kepleset. Mereka belajar bersiasat, tidak memaksa. Menggelar lapak kecil, bikin konten, jualan kopi atau seblak. Saya lihat semangat itu tumbuh, pelan-pelan. Tidak seperti startup di kota besar yang dibakar investor. Di sini, bara kecil dirawat dengan napas panjang.

Kadang saya berpikir, Bengkulu tidak akan pernah jadi kota tujuan. Ia akan tetap jadi kota persinggahan. Tempat orang datang untuk belajar tenang, lalu pergi ketika sudah rindu hiruk-pikuk. Tapi justru karena itu ia jadi penting. Seperti mantan yang dulu membuatmu sadar: tidak semua cinta harus berujung pesta pernikahan. Ada yang cukup tinggal di hati.

Bengkulu punya laut, punya kopi, punya pendap, punya cerita-cerita tua tentang Soekarno yang dibuang tapi malah jatuh cinta. Tapi yang paling dia punya adalah ruang. Ruang untuk diam. Ruang untuk pulih. Ruang untuk jadi manusia yang tidak diukur dari seberapa sering nongol di Instagram explore. Ini kota yang memanusiakan manusia dengan cara yang sangat sederhana.

Saya tahu tidak semua orang cocok tinggal di sini. Ada yang akan gelisah karena terlalu sepi. Ada yang merasa mandek karena ritme yang lambat. Tapi buat saya, ini bukan soal cocok atau tidak. Ini soal apa yang kita cari dalam hidup. Kalau yang kamu cari adalah ruang untuk berpikir ulang, Bengkulu menyediakan itu, dengan senyuman yang tidak memaksa.

Saya pernah berpikir akan meninggalkan kota ini. Tapi setiap kali saya coba membayangkannya, selalu ada yang menahan. Mungkin bukan kota ini, tapi rasa damai yang dia tawarkan. Rasa yang sulit dicari di tempat lain. Rasa yang seperti pelukan lama—hangat tapi tidak posesif.

Bengkulu, pada akhirnya, adalah tempat yang tidak akan membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi jika kau beri waktu, ia akan merayap perlahan ke hatimu. Seperti lagu lama yang baru terasa indah setelah berkali-kali didengar. Ia tidak mencolok, tapi menetap. Dan itu, bagi saya, lebih dari cukup.
Beberapa hari lalu, saya sedang makan pecel lele bersama anak saya di dekat kampus, tempat langganan kalau sedang ditinggal istri ke luar kota yang praktis saya kadang jadi jarang masak. Warungnya tidak besar, hanya sepetak dengan kursi plastik warna-warni dan banner yang mulai pudar warnanya. Tapi yang bikin saya tertarik justru namanya: Putra Lampung. Sebuah nama yang menimbulkan rasa penasaran. Saya tanya ke penjualnya, siapa yang dari Lampung. Dengan logat yang saya kenal betul sebagai logat PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera / Transmigran Jawa di Sumatera), dia menjawab, "Saya, Mas. Dari Metro." Dan seperti layaknya sesama perantau yang tiba-tiba merasa ketemu sepupu jauh, obrolan kami pun mengalir ngalor-ngidul.

Ada semacam kode tak tertulis bahwa kalau dua perantau ketemu, apalagi dari daerah yang sama, maka batas-batas antara "penjual" dan "pembeli" akan luluh pelan-pelan. Kami ngobrol tentang banyak hal, mulai dari cerita kapan mulai tinggal di Bengkulu sampai soal harga sembako yang terus naik. Tapi obrolan menjadi lebih dalam ketika kami membahas soal lebaran. Bukan cuma Idul Fitri, tapi juga Idul Adha. Dua-duanya sama-sama menyisakan rasa sepi di dada perantau.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Saya ingat betul, beberapa kali saya shalat ied di perantauan, habis salam terakhir imam, orang-orang langsung bubar. Tak ada salaman panjang yang biasanya membuat kita berdiri berlama-lama, tak ada suara anak kecil yang tertawa sembari berlarian dengan baju baru, tak ada aroma opor dari rumah tetangga yang menguar pelan-pelan menyiksa penciuman. Yang ada hanyalah deretan kendaraan yang buru-buru balik ke rumah, atau lebih tepatnya, ke kontrakan.

Lucunya, kue-kue lebaran pun tetap dibeli. Padahal bukan untuk menyambut tamu, karena memang tidak ada tamu yang datang. Biasanya kue-kue itu akan dimakan sendiri, atau paling banter ditawarkan ke teman sesama perantau sebelah rumah yang juga sedang leyeh-leyeh di depan kipas angin. Mungkin ini cara perantau bertahan secara mental. Seolah dengan membeli kue lebaran, kita sedang meyakinkan diri bahwa ini memang lebaran.

Saya sempat nanya ke si pemilik warung, bagaimana dia biasanya merayakan Idul Adha. Dia tertawa kecil, semacam tawa getir. "Ya gitu, Mas. Kalau lagi ramai pesanan, habis shalat ied langsung buka warung. Soalnya momen kayak gitu justru yang banyak orang nyari makan di luar. Pada nggak masak." Rasanya semacam ironi, saat di kampung halaman, orang-orang pada sibuk membagikan daging kurban, di sini kita sibuk membakar lele buat orang yang lapar tapi bukan karena habis potong kambing.

Saya juga mengalami hal serupa. Beberapa kali Idul Adha lewat tanpa suara kambing. Tak ada petugas masjid yang keliling membagikan kupon, tak ada anak-anak yang ribut minta bagian jeroan, tak ada ibu-ibu yang ngomel karena plastik daging bocor di ember. Yang ada hanyalah notifikasi WhatsApp, dan itu pun kadang saya baca sambil ngopi sendirian di warung kopi yang tetap buka saat lebaran.

Kadang-kadang saya mikir, lebaran di tanah rantau ini seperti lebaran dalam film bisu. Semua elemen ada—takbir, salat ied, kue-kue, dan kadang daging—tapi tak ada suara latarnya. Tak ada riuh keluarga, tak ada gumam bapak, tak ada sendok garpu berdenting. Hanya ada kita dan kesunyian yang pelan-pelan menjadi kebiasaan.

Saya pernah mencoba pulang kampung saat Idul Adha, tapi tiket mahal dan waktu cuti yang mepet membuat pilihan itu menjadi kemewahan tersendiri. Jadilah saya lebih sering bertahan di kota, menjadi saksi betapa banyak perantau yang memilih tidak pulang, bukan karena tak rindu, tapi karena rindu itu lebih murah kalau dipendam daripada dibiayai.

Lalu, saya kembali mengenang lebaran kurban di kampung. Ada semacam kehangatan yang tidak bisa dibeli di kota. Suasana masjid yang ramai, teriakan panitia yang bingung membagi daging, dan senyum-senyum tetangga yang menyapa meski jarang ketemu. Semuanya kini seperti kenangan yang disimpan dalam toples kaca—terlihat, tapi tak bisa disentuh.

Yang membuat sedih, bukan karena tidak ada kambing yang disembelih, tapi karena tidak ada yang bisa kita bagi. Di perantauan, bahkan membagikan senyum pun terasa mahal karena orang-orang terlalu sibuk bertahan hidup. Kita menjadi pribadi-pribadi soliter yang menabung kebahagiaan untuk nanti, entah kapan dan di mana.

Pernah suatu waktu saya iseng beli daging kambing potongan kecil di pasar, lalu saya masak gulai. Cuma biar terasa seperti lebaran. Rasanya? Biasa saja. Yang luar biasa justru rasa kosongnya. Saya makan sendiri di dapur, dengan suara kipas angin sebagai teman. Tidak ada sendok cadangan, tidak ada canda. Hanya ada saya, nasi, dan rasa yang pelan-pelan hambar.

Saya pikir, mungkin begini memang nasib para perantau. Kita menggantungkan makna pada apa yang ada, bukan apa yang seharusnya. Kita ciptakan sendiri atmosfer lebaran, meski palsu, meski sementara. Karena kalau tidak begitu, kita bisa gila memikirkan betapa hidup ini ternyata sangat sepi saat yang lain berkumpul.

Saya tanya ke si pemilik warung, pernah gak kurban di sini? Dia mengangguk pelan. "Pernah, Mas. Tapi nyumbang patungan sama teman-teman. Nanti disembelih bareng, terus dagingnya dimasak di kos." Saya senyum mendengar jawabannya. Setidaknya, masih ada cara agar lebaran tak sekosong itu. Bahwa kurban bukan hanya soal menyembelih kambing, tapi juga menyambung rasa.

Kadang-kadang saya iri melihat video orang mudik lebaran. Mereka yang turun dari bus dengan peluh dan senyum, dijemput bapaknya yang membawa motor Supra tua. Mereka yang pulang membawa cerita, membawa uang, membawa rindu yang sudah mengendap lama. Saya yang nonton hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk dengan HP.

Ada hal-hal yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di rumah. Bukan rumah dalam arti fisik, tapi rumah yang benar-benar rumah: tempat pulang, tempat ditunggu, tempat disediakan teh hangat dan cerita. Sementara kita para perantau, tinggal di tempat tidur yang bisa digulung dan dipindah kapan saja.

Suatu malam, saya lihat seekor kambing digiring masuk ke pekarangan masjid kecil dekat kosan. Ternyata itu persiapan Idul Adha. Saya dekati kambing itu. Diam. Matanya seperti tahu bahwa esok dia akan jadi makanan. Saya diam juga. Kami sama-sama menyadari, nasib kadang tak bisa ditawar.

Ada bagian dari hidup ini yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti rasa ingin pulang tapi tidak bisa. Seperti menyalakan kompor pagi-pagi untuk menggoreng ketupat instan. Seperti menyeka mata saat mendengar takbir lewat dari pengeras suara. Semuanya seperti sedang bercanda, tapi tanpa tawa.

Besoknya, saya tidak ikut salat ied. Bukan karena tidak mau, tapi karena tubuh saya terlalu berat. Bukan oleh lelah, tapi oleh sepi. Saya tidur lebih lama, berharap bangun-bangun semua sudah selesai. Tapi justru ketika bangun, sepinya makin tebal. Bahkan suara burung pun seperti malas bersuara.

Kadang saya berpikir, mungkin lebaran di perantauan ini adalah cara Tuhan mengajari kita arti kehilangan. Bahwa yang kita rindukan bukan dagingnya, bukan makanannya, tapi kebersamaan yang menghangatkan dada. Sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh Grab atau promo makanan.

Saya bertanya lagi pada pemilik warung, "Besok buka, Mas?" Dia menjawab, "Ya buka. Mau tutup juga bingung ngapain." Kami tertawa pelan. Tertawa yang bukan karena lucu, tapi karena sama-sama paham: bahwa di perantauan, bahkan hari raya pun harus tetap dijalani seperti hari biasa.

Saya pulang dari warung itu dengan perasaan yang aneh. Campur aduk. Di satu sisi, saya merasa kuat karena tetap bisa bertahan. Tapi di sisi lain, saya merasa rapuh karena tak punya apa-apa untuk dibagi. Saya hanya punya cerita. Dan itu pun hanya bisa saya ceritakan lewat tulisan ini.

Malamnya, saya tulis catatan pendek di notes HP: “Lebaran ini saya tidak akan menangis.” Lalu saya tidur sambil mendengarkan lagu lawas Ebiet G. Ade. Di perantauan, musik kadang jadi obat paling manjur untuk luka yang tak berdarah.

Lebaran kurban memang bukan sekadar soal daging yang dibagi. Tapi tentang siapa yang datang membawa tawa. Dan kalau tidak ada yang datang, setidaknya kita bisa menyapa diri sendiri. Mengucapkan Selamat Lebaran, bro. Kau sudah bertahan sejauh ini.
Beberapa hari terakhir jagat media sosial dan ruang-ruang redaksi diramaikan oleh berita yang tak hanya menggelitik nalar publik, tetapi juga membuat banyak profesional mengernyitkan dahi. Beberapa nama yang sebelumnya duduk sebagai menteri dan wakil menteri, kini dilantik menjadi komisaris di sejumlah BUMN besar. Salah satunya bahkan diketahui tidak menamatkan pendidikan S1-nya, namun ditunjuk menjadi komisaris di perusahaan plat merah yang berperan strategis dalam perekonomian nasional. Lebih menarik lagi, latar belakangnya adalah seorang musisi band, bukan pebisnis, bukan ekonom, apalagi orang dengan pengalaman manajerial. Paling tinggi pengalaman manajerialnya adalah pimpinan partai kelas medioker.

Ini bukan sekadar guyonan dunia maya. Ini soal serius. Sebab ketika jabatan komisaris dijadikan tempat menampung tim sukses, loyalis, bahkan artis, maka arah tata kelola perusahaan negara berada di jalur yang salah. Kita semua tahu, komisaris bukan jabatan simbolik. Mereka adalah penjaga gawang, pengawas strategis yang menentukan apakah perusahaan berjalan sesuai arah atau justru tergelincir karena keputusan yang asal-asalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Saya tidak sedang mempermasalahkan latar belakang profesi seseorang. Banyak seniman dan musisi yang cerdas dan memiliki wawasan luas. Tapi menjadi komisaris BUMN itu bukan soal pintar bernyanyi atau punya banyak followers. Ini soal kemampuan memahami strategi bisnis, risiko pasar, dinamika ekonomi global, hingga tata kelola korporat yang sehat. Kalau hanya sekadar populer atau dekat dengan kekuasaan, lantas siapa yang akan menjaga integritas dan keberlanjutan perusahaan?

Bayangkan jika kita memilih pilot pesawat bukan karena kemampuannya menerbangkan pesawat, tapi karena dia sering ikut kampanye dan loyal pada partai tertentu. Apa kita rela hidup kita dipertaruhkan di tangan orang yang salah? Logika yang sama harusnya berlaku dalam dunia bisnis, terlebih ketika yang dipertaruhkan adalah uang rakyat.

BUMN bukan milik pemerintah. Mereka milik negara. Ada perbedaan besar antara “pemerintah” dan “negara”. Pemerintah bisa berganti tiap lima tahun, tapi negara adalah entitas yang harus dijaga lintas generasi. Maka, pejabat yang duduk di struktur BUMN seharusnya dipilih bukan karena kedekatannya dengan kekuasaan, tetapi karena kemampuannya menjaga aset publik ini agar terus tumbuh, kompetitif, dan memberi manfaat luas.

Satu hal yang sering dilupakan: jabatan komisaris bukan “hadiah” politik. Ia adalah posisi strategis yang menentukan hidup matinya sebuah perusahaan. Komisaris harus mampu membaca laporan keuangan, memahami portofolio bisnis, mengawasi proyek-proyek strategis, dan memastikan perusahaan taat pada prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance). Jika tidak, maka yang terjadi bukan BUMN yang maju, melainkan BUMN yang dikerjai.

Saya khawatir, dalam praktik seperti ini, yang terjadi bukan meritokrasi tapi mediokritas. Orang-orang yang seharusnya duduk karena kompetensi, tersingkir karena tidak punya kedekatan dengan elite politik. Akibatnya, talenta-talenta terbaik bangsa memilih berkarier di luar negeri atau di sektor swasta. Padahal, kita membutuhkan mereka untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dari dalam.

Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, komisaris kan hanya duduk manis, datang rapat sesekali.” Justru itu masalahnya. Karena persepsi bahwa komisaris hanya posisi “titipan”, maka pengawasan menjadi lemah. Banyak kasus korupsi di BUMN terjadi karena pengawasan yang tidak efektif. Dan itu terjadi karena komisarisnya tidak berfungsi sebagai pengawas strategis, melainkan sekadar pelengkap struktur.

Di mata publik, BUMN adalah etalase negara. Ketika masyarakat melihat orang yang tak relevan secara keahlian menduduki posisi strategis di sana, maka kepercayaan publik ikut runtuh. Dan saat kepercayaan runtuh, maka apapun yang dilakukan BUMN akan dipandang dengan sinis, bahkan kalau itu sebenarnya adalah langkah baik.

Saya selalu percaya bahwa organisasi yang baik dibangun di atas fondasi profesionalisme. Kita bisa menengok ke belakang, ke era ketika Bank Mandiri, BNI, hingga BRI mulai bertransformasi bukan karena orang-orangnya dekat dengan penguasa, tetapi karena mereka membawa keahlian, rekam jejak, dan visi jangka panjang.

Kita bisa ambil pelajaran dari perusahaan-perusahaan global yang kuat bukan karena afiliasi politik, tapi karena struktur kepemimpinannya berisi para profesional terbaik. Apakah Apple, Toyota, atau Siemens menunjuk komisaris hanya karena mereka populer di TikTok atau aktif di partai politik? Tidak. Mereka tahu bahwa profesionalisme bukan pilihan, tapi keharusan.

Namun saya juga tidak naif. Politik adalah realitas. Saya paham bahwa dalam sistem demokrasi, selalu ada semacam “utang politik” yang ingin dibayar pasca kemenangan. Tapi membayar utang politik tidak harus merusak sistem yang sudah dibangun dengan susah payah. Ada banyak posisi yang lebih cocok untuk itu—di luar urusan bisnis negara.

Yang perlu kita tanyakan hari ini: mau kita bawa ke mana BUMN kita? Apakah kita ingin mereka menjadi pemain global, menciptakan inovasi, menguasai teknologi, membuka lapangan kerja luas? Atau kita biarkan mereka menjadi ladang balas jasa dan tempat parkir politik?

Masalahnya bukan hanya pada siapa yang duduk, tapi pada budaya dan sistem yang mengizinkan itu terjadi. Kita butuh sistem rekrutmen yang transparan, berbasis kompetensi, dan diawasi publik. Penunjukan komisaris seharusnya melewati proses seleksi terbuka, dengan uji kelayakan, bukan hanya sekedar rapat terbatas di ruangan elit.

Mari kita belajar dari masa lalu. Dulu, banyak BUMN jadi sarang korupsi dan kerugian. Salah satu penyebabnya adalah karena jabatan strategis diisi oleh orang yang tidak kapabel. Mereka tidak paham bisnis, tidak paham risiko, tapi ikut menandatangani keputusan strategis. Hasilnya: kerugian triliunan, dan akhirnya negara juga yang menalangi.

Anak muda hari ini makin kritis. Mereka tahu siapa yang layak duduk di posisi strategis dan siapa yang hanya “nebeng kekuasaan.” Kalau negara tidak segera memperbaiki pola rekrutmen ini, jangan salahkan generasi muda kalau mereka makin apatis terhadap politik dan pemerintahan.

Saya tahu, tulisan ini mungkin tidak populer bagi sebagian kalangan. Tapi ini harus dikatakan. Karena mencintai bangsa bukan berarti membiarkan kesalahan terus berulang. Justru karena cinta, kita harus berani bicara. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Pekerjaan rumah kita bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur etika dan profesionalisme. Tanpa itu, maka gedung-gedung tinggi dan proyek-proyek megah tidak akan berarti. Kita butuh pemimpin dan pengawas yang bisa dipercaya, bukan sekadar terkenal.

Satu pertanyaan penting untuk para pengambil kebijakan: apakah kalian ingin tercatat dalam sejarah sebagai pembangun fondasi, atau sebagai perusak sistem? Sejarah akan mencatat. Dan rakyat, perlahan tapi pasti, mulai menyadari siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya numpang nama.

Saya percaya, kita masih punya harapan. Tapi harapan itu hanya akan hidup jika kita punya keberanian untuk memperbaiki yang salah. Dan perbaikan itu dimulai dari siapa yang kita percayakan untuk mengelola aset publik. Bukan karena dia tim sukses, tapi karena dia ahli dan layak.

Mari berhenti menjadikan komisaris sebagai jabatan pelengkap. Jadikan mereka mitra strategis yang memperkuat bisnis, bukan sekadar stempel kekuasaan. Kalau tidak, kita akan terus berada di lingkaran setan kegagalan.

Karena pada akhirnya, bukan hanya BUMN yang gagal. Tapi kepercayaan rakyat yang hilang. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar laporan keuangan merah.
Setiap kali saya berdiri di depan mahasiswa, saya selalu bertanya: “Apa masalah yang ingin kamu teliti?” Lucunya, pertanyaan ini justru membuat mereka terdiam lebih lama daripada saat menjawab soal ujian statistik. Padahal, dalam dunia riset, masalah adalah titik mula. Tanpa masalah, riset kita hanya jadi kumpulan teori yang kering dan tak membumi. Sayangnya, banyak mahasiswa justru memulai penelitiannya dengan menjejalkan teori sebanyak mungkin, berharap pembaca terkesan. Hasilnya? Tulisan jadi ngalor-ngidul dan kehilangan arah.

Di dunia bisnis, kemampuan mengidentifikasi masalah sama pentingnya dengan kemampuan menyusun strategi. Ambil contoh divisi pemasaran yang penjualannya stagnan selama enam kuartal terakhir. Pimpinan perusahaan bingung, tim marketing panik, dan investor mulai gelisah. Tetapi ketika diminta menjelaskan “masalahnya apa?”, mereka menjawab dengan data angka, bukan cerita. Ini seperti dokter yang hanya menunjukkan hasil lab, tanpa menjelaskan gejala yang dirasakan pasien. Dunia manajemen tak hanya butuh data, tapi juga narasi yang mampu mengaitkan idealitas dan realitas.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Salah satu kunci dalam mengurai persoalan adalah memahami konsep klasik: Das Sollen dan Das Sein. Ini bukan mantra ajaib, tapi alat bantu berpikir yang sangat sederhana. Dalam konteks pemasaran, misalnya, Das Sollen berarti “apa yang seharusnya dilakukan oleh brand.” Menurut teori, perusahaan seharusnya memiliki positioning yang kuat, diferensiasi yang jelas, dan value proposition yang relevan dengan kebutuhan pasar. Itu idealnya. Itu textbook-nya.

Namun, mari kita tengok kenyataan di lapangan—Das Sein. Kita mendapati banyak merek lokal yang kehilangan relevansi, iklannya tak nyambung dengan target market, dan bahkan pelanggan sendiri tak tahu apa sebenarnya keunggulan brand tersebut. Mereka ingin disebut premium, tapi masih bermain di strategi diskon. Mereka ingin loyalitas pelanggan, tapi tidak punya CRM yang berjalan efektif. Inilah celah yang harus dijadikan bahan bakar penelitian.

Permasalahan dalam manajemen bisnis terjadi justru karena ada jurang antara Das Sollen dan Das Sein tadi. Di dunia nyata, kita menyebutnya dengan istilah “gap”—celah antara harapan dan kenyataan. Seorang peneliti yang tajam akan segera menangkap gap itu, lalu merumuskannya secara sistematis. Misalnya: “Perusahaan A mengklaim sebagai pelopor inovasi digital di sektor ritel (Das Sollen), namun adopsi e-commerce-nya justru tertinggal dibanding pesaing yang lebih kecil (Das Sein).” Dari sini, kita punya pijakan untuk bergerak ke tahap berikutnya: merumuskan pertanyaan penelitian.

Lalu, bagaimana merumuskan pertanyaan yang baik? Tidak cukup hanya menanyakan “kenapa ini terjadi?” Pertanyaan dalam riset harus fokus, jelas, dan dapat dijawab secara ilmiah. Dalam studi kasus perusahaan A tadi, kita bisa mulai dengan pertanyaan seperti: “Apa saja hambatan internal yang menghambat transformasi digital di perusahaan ritel besar?” Atau, “Mengapa konsumen tidak merasakan diferensiasi merek yang diklaim oleh perusahaan X?” Semakin spesifik pertanyaannya, semakin tajam arah penelitian.

Salah satu kesalahan umum mahasiswa maupun praktisi bisnis adalah berasumsi terlalu cepat. Mereka menyangka telah tahu jawabannya sebelum menggali datanya. Misalnya, seorang brand manager mengatakan, “Kita kehilangan market share karena promosi kita kurang.” Padahal, ketika ditelusuri, masalahnya bukan di promosi, melainkan di experience pelanggan yang buruk setelah pembelian. Maka, penting untuk bersikap seperti seorang ilmuwan: bertanya, bukan berasumsi.

Dalam dunia bisnis yang bergerak cepat, kita sering kali tergoda mencari solusi instan tanpa mendefinisikan masalah dengan tepat. Saya pernah diajak diskusi oleh seorang teman yang punya bisnis di industri FMCG yang meluncurkan lima produk baru dalam setahun, tapi semuanya gagal. Ketika ditelusuri, mereka tidak melakukan riset pasar yang memadai. Mereka hanya berangkat dari semangat inovasi, bukan dari pemahaman tentang kebutuhan dan perilaku konsumen. Di sinilah pentingnya menyusun masalah secara akademik: bukan sekadar syarat skripsi, tetapi juga fondasi strategi yang efektif.

Salah satu metode yang sering saya ajarkan adalah dengan memulai dari studi literatur—apa kata teori dan riset sebelumnya tentang fenomena yang kita amati? Dari sana kita bisa menarik Das Sollen. Misalnya, teori AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) menyebut bahwa iklan harus membangkitkan minat konsumen sebelum bisa mengubahnya menjadi aksi pembelian. Namun jika di lapangan, konsumen hanya menonton iklan tapi tidak membeli, maka kita punya Das Sein yang menyimpang. Ini awal yang bagus untuk menulis masalah riset.

Lalu, kita jangan cepat puas hanya dengan satu sumber teori. Dunia manajemen penuh dengan pendekatan berbeda—ada yang berbasis perilaku konsumen, ada yang fokus pada strategi korporat, ada pula yang dari sisi teknologi. Maka, merumuskan Das Sollen bukan hanya soal teori tunggal, tapi bagaimana kita menempatkan idealitas dari berbagai pendekatan ke dalam satu kerangka logis. Itu sebabnya, menyusun Bab I bukan soal menulis panjang lebar, tapi memilih dengan bijak mana yang relevan dan mendalam.

Saya juga sering menyarankan mahasiswa untuk terjun langsung ke lapangan. Rasakan denyut bisnisnya. Wawancarai pelanggan, amati kompetitor, dan lihat dari dekat bagaimana keputusan dibuat di ruang rapat. Karena dari sanalah Das Sein bisa benar-benar ditemukan. Jangan hanya mengandalkan laporan perusahaan atau kutipan media. Realitas bisnis sering kali lebih kompleks dari yang tampak di permukaan.

Di era digital, kita punya kemewahan data. Tapi data tanpa narasi hanyalah angka mati. Oleh karena itu, riset bisnis harus menghidupkan data dengan cerita yang menjelaskan konteks. Contohnya: bukan hanya mengatakan “tingkat churn rate naik 15%,” tapi menjelaskan mengapa pelanggan meninggalkan layanan, bagaimana mereka membuat keputusan pindah, dan apa yang sebenarnya mereka cari. Di sinilah seni menulis masalah akademik menemukan bentuknya.

Banyak perusahaan besar gagal bukan karena kurang strategi, tapi karena tidak memahami masalah mereka sendiri. Mereka sibuk memperbaiki gejala, bukan akar penyebab. Seperti pasien yang hanya minum pereda nyeri untuk sakit kepala, padahal penyebabnya adalah tekanan darah tinggi. Dalam riset manajemen, kita belajar membedakan simptom dan akar masalah. Itulah yang membedakan strategi yang efektif dari sekadar tambal sulam.

Bagi para dosen, tantangannya adalah mengubah cara pandang mahasiswa dari sekadar “menyelesaikan tugas” menjadi “menemukan sesuatu yang penting.” Kita tak bisa hanya berkata: “Carilah topik yang menarik.” Kita harus membimbing mereka untuk melihat bahwa setiap gap antara teori dan kenyataan adalah peluang emas untuk riset. Kita perlu mengajarkan cara berpikir kritis, bukan hanya cara mengutip teori.

Di dalam ruang kelas saya, saya suka memberi contoh-contoh nyata dari dunia usaha. Misalnya, kenapa produk-produk lokal sering kalah bersaing di e-commerce meski kualitasnya tak kalah? Mengapa startup yang viral di media sosial sering tak bertahan lama? Atau, mengapa banyak program loyalitas gagal meningkatkan retensi pelanggan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya menarik, tapi juga menunjukkan bahwa riset akademik bisa menjawab tantangan riil di dunia kerja.

Tentu, proses menyusun masalah akademik tidak selalu mudah. Bahkan bagi yang sudah berpengalaman, menyusun Bab I bisa jadi tugas yang paling menantang. Tapi jika kita memulainya dengan kerangka Das Sollen–Das Sein, kita punya alat navigasi yang andal. Kita tidak akan mudah tersesat dalam tumpukan teori. Kita tahu ke mana arah riset kita dan mengapa itu penting dilakukan.

Di sisi lain, perusahaan juga bisa belajar banyak dari pendekatan akademik ini. Terutama dalam membuat keputusan strategis. Ketika strategi gagal, alih-alih menyalahkan tim, cobalah kembali ke dasar: apakah masalah yang ingin kita selesaikan sudah jelas? Apakah kita paham gap-nya? Banyak inovasi gagal bukan karena idenya buruk, tapi karena tidak menjawab masalah yang nyata.

Kita bisa belajar dari perusahaan seperti Apple atau Tesla. Mereka tidak hanya menciptakan produk, tapi memulai dari pemahaman mendalam atas masalah konsumen. Steve Jobs pernah bilang: “Start with the customer experience and work backwards to the technology.” Ini adalah cara berpikir Das Sein–Das Sollen dalam praktik. Kita pahami dulu kenyataan di lapangan, lalu bandingkan dengan idealitas yang ingin kita capai.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menggunakan prinsip ini. Mengapa kita gagal menabung? Mengapa kita terus menunda pekerjaan? Jika kita tahu idealnya seperti apa, dan tahu kenyataannya seperti apa, maka kita bisa merumuskan masalah pribadi kita sendiri. Prinsip ini universal dan sangat aplikatif, tak hanya di ruang kuliah, tapi juga di ruang rapat, bahkan ruang keluarga.

Menariknya, mahasiswa yang mampu menyusun masalah dengan baik biasanya juga mampu menyusun solusi yang relevan. Karena mereka sudah memetakan konteks, memahami aktor-aktor yang terlibat, dan bisa melihat hubungan sebab-akibat. Dalam bisnis, ini sangat penting. Karena solusi yang keliru bisa lebih mahal dari masalahnya sendiri.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa menyusun masalah akademik bukan hanya keterampilan menulis, tapi keterampilan berpikir. Dan dalam dunia yang penuh disrupsi seperti sekarang, kemampuan berpikir kritis adalah aset terbesar. Jangan tergoda untuk mempercantik tulisan dengan jargon, tapi hampa makna. Mulailah dari Das Sollen, bandingkan dengan Das Sein, lalu rumuskan pertanyaannya dengan jernih.

Begitulah seharusnya riset bekerja. Ia hadir bukan untuk sekadar mengisi rak perpustakaan, tapi untuk menjawab kegelisahan, menyambung harapan, dan menuntun perubahan. Karena pada akhirnya, riset yang baik bukan hanya menjawab pertanyaan, tapi juga mampu mengajukan pertanyaan yang lebih bermakna.
Setiap kali hari wisuda datang, saya selalu bingung harus merasa bahagia atau justru sedih. Bahagia karena kalian akhirnya menuntaskan satu fase penting dalam hidup. Tapi juga sedih, karena itu berarti saya tidak akan melihat lagi nama kalian di daftar bimbingan, tidak akan ada notifikasi pesan tengah malam yang isinya cuma, “Pak, boleh tolong cek dropbox revisi skripsi saya malam ini?” atau “Pak, maaf baru sempat revisi, laptop saya rusak.” Semuanya akan menjadi kenangan. Tersimpan rapi dalam ingatan kami dosen yang diam-diam sering terharu melihat perjuangan anak-anak didiknya.

Kalian mungkin tidak sadar, tapi saya menyaksikan semuanya. Betapa kalian datang ke kampus dengan wajah letih, kadang belum sarapan, kadang juga sambil menenteng kudapan sebagai pengganjal perut. Saya tahu kalian sering tidak punya cukup keberanian untuk datang ke meja saya, atau bahkan sekadar ngopi sambil diskusi. Tapi kalian tetap datang. Duduk di hadapan saya, mencoba paham konsep, metode, kutipan teori yang kadang saya sendiri lupa letaknya di buku maupun jurnal mana.
Ilustrasi Wisuda (Gambar : AI Generated)
Tidak perlu merasa malu kalau skripsi dan artikelmu telat selesai. Tidak usah menunduk kalau hari ini kamu berdiri di antara yang nilainya tidak cumlaude. Karena percaya atau tidak, hari ini kamu berdiri di sini bukan karena kamu hebat. Kamu berdiri di sini karena kamu tidak menyerah. Itu saja. Kamu bertahan. Melewati hari-hari sulit, tekanan dari rumah, ekspektasi dari orang tua, perbandingan dengan teman, bahkan kehilangan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi kamu tetap maju.

Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana kalian bisa kuat. Dulu ada seorang mahasiswa saya kehilangan keluarganya yang seharusnya menjadi supporting system terkuat. Ia tidak sempat berpamitan karena sang ayah berpulang di kampung yang jauh. Tapi esoknya, ia tetap datang ke kampus, mengembalikan draft yang sudah dicoret-coret oleh saya beberapa hari sebelumnya. Saya tidak tega. Tapi juga bangga.

Ada pula mahasiswa yang bekerja di beberapa tempat sekaligus. Semua dilakukan agar bisa bayar semesteran. Tugas-tugasnya sering telat. Revisi skripsinya penuh typo. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika saya tawarkan untuk cuti dulu, dia hanya tersenyum dan berkata, “Nggak pak, saya harus lulus. Ibu saya nunggu.”

Lulus bukan karena pintar. Banyak orang pintar di luar sana yang tidak pernah lulus-lulus. Lulus bukan karena nilai sempurna. Ada banyak nilai yang bisa diketik ulang, tapi tekad dan keteguhan itu bukan soal angka. Lulus karena kalian bersedia duduk di ruangan saya menepi dari riuhnya kampus demi mengerjakan skripsi dan artikel, menahan kantuk siang, mengatur napas saat membaca hasil revisi yang seolah tidak ada habisnya. Lulus karena kamu bilang, “Saya bisa,” meski dalam hati kamu ragu luar biasa.

Saya tahu kalian capek. Saya tahu kalian pernah menangis dan marah diam-diam. Saat file skripsi hilang. Saat dosen pembimbing tidak membalas pesan. Saat teman-teman lain sudah sidang skripsi duluan. Saat orang tua bertanya terus kapan lulus, padahal kalian sendiri juga belum punya jawabannya. Tapi kalian terus jalan. Itu luar biasa.

Orang kadang mengira yang hebat itu yang cepat. Yang selesai empat tahun, yang lulus dengan pujian, yang fotonya banyak diunggah di Instagram. Tapi hidup ini bukan soal siapa yang paling duluan, melainkan siapa yang tetap berjalan ketika kakinya goyah, ketika dadanya sesak, ketika jalannya sendiri dan sunyi. Dan hari ini, kalian telah membuktikannya.

Wisuda adalah panggung kecil untuk sebuah perjalanan besar. Sebuah jeda sebelum dunia yang sesungguhnya membuka pintunya. Hari ini kalian mungkin memakai toga, menggenggam ijazah, dan berfoto bersama orang tua. Tapi besok, ketika semua itu ditaruh di lemari, kalian akan kembali dihadapkan pada hidup. Tidak ada jadwal kuliah. Tidak ada reminder dosen. Hanya kalian dan keputusan-keputusan yang harus diambil sendiri.

Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa tentang dunia setelah wisuda. Saya tidak tahu apakah kalian akan langsung dapat pekerjaan, atau justru harus menunggu lama. Saya tidak tahu apakah kalian akan diterima sesuai jurusan, atau malah jadi pawang hujan padahal dulunya kuliah manajemen. Tapi saya percaya satu hal: kalau kalian sudah pernah bertahan di masa sulit, maka kalian pasti bisa melalui yang lebih sulit lagi.

Ada hal-hal yang tidak diajarkan di kelas. Misalnya bagaimana menerima penolakan. Bagaimana berdamai dengan kegagalan. Bagaimana tetap bangun pagi meski tidak ada lagi kelas jam tujuh. Semua itu akan kalian pelajari sendiri, dengan cara yang unik dan personal. Tapi bekal kalian cukup. Bahkan lebih dari cukup. Karena kalian pernah menyelesaikan skripsi dalam keadaan hampir menyerah. Itu bukan hal kecil.

Hari ini saya ingin kalian menepuk bahu kalian sendiri. Katakan pada diri sendiri, “Aku sudah sampai sejauh ini.” Jangan tunggu orang lain memuji. Jangan tunggu dunia berterima kasih. Karena kalianlah pahlawan untuk kisah hidup kalian sendiri. Dan itu sudah cukup indah untuk dirayakan.

Tentu, di antara kalian ada yang merasa tidak puas. Ada yang merasa seharusnya bisa lebih cepat, lebih bagus, lebih hebat. Tapi percayalah, setiap orang punya waktunya sendiri. Hidup ini bukan lomba lari estafet. Tidak ada medali untuk siapa yang sampai duluan. Yang penting adalah: kamu sampai. Dan hari ini, kamu sampai.

Kalian tidak harus hebat untuk memulai. Tapi kalian harus mulai agar suatu hari bisa menjadi hebat. Dan kalian sudah memulainya. Dari ruang kelas yang panas, dari tugas yang ditulis tengah malam, dari skripsi yang direvisi berkali-kali. Dari tangis dan tawa, dari ragu dan percaya. Itu semua bagian dari perjalanan.

Saya ingin kalian membawa kenangan ini ke mana pun kalian pergi. Kenangan bahwa kalian pernah punya dosen galak yang cerewet soal margin dan font, tapi diam-diam bangga melihat kalian maju. Bahwa kalian pernah punya teman seperjuangan yang berbagi mi instan di kosan, berbagi wifi, bahkan berbagi rasa cemas. Bahwa kalian pernah menjadi mahasiswa yang penuh harap.

Jangan buru-buru jadi dewasa. Nikmati masa transisi ini. Nikmati waktu saat kalian masih bisa bercanda soal skripsi, soal deadline, soal dosen killer. Karena suatu hari nanti, kalian akan merindukan semua itu. Dan ketika rindu itu datang, semoga ia tidak menyakitkan, tapi justru menyemangati.

Ada dunia yang menunggu kalian. Tapi jangan biarkan dunia itu mengubah kalian jadi asing. Tetap jadi diri sendiri. Tetap bawa senyum kalian yang dulu kalian pakai saat minta tanda tangan revisi. Tetap rendah hati. Karena dunia tidak suka orang sombong, tapi diam-diam menghormati yang tekun dan jujur.

Saya tidak tahu akan seperti apa wajah kalian lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Tapi saya berharap, ketika kalian membaca ulang tulisan ini suatu hari nanti, kalian akan mengingat satu hal: kalian pernah punya keberanian untuk tidak menyerah. Dan itu akan jadi cahaya kecil yang menuntun kalian di masa-masa sulit berikutnya.

Jangan pernah berpikir kalian lulus sendirian. Di balik toga itu ada doa orang tua, peluh keringat, bahkan air mata yang tak terlihat. Ada pelukan yang tertunda, ada janji yang kalian genggam dalam diam. Ada cinta yang kalian bawa dari rumah ke ruang kelas, dari kamar kos ke ruang seminar.

Mungkin kalian tidak mengubah dunia secara langsung. Tapi kalian mengubah diri sendiri, dan itu awal dari segala perubahan. Dunia tidak butuh banyak orang hebat. Dunia butuh orang yang tidak menyerah. Yang jujur. Yang tidak takut mencoba lagi meski gagal berkali-kali.

Hari ini, saya ingin bilang terima kasih. Terima kasih karena sudah mempercayai saya sebagai dosen kalian. Terima kasih karena sudah mau mendengarkan, walau kadang saya terlalu banyak menasihati. Terima kasih karena sudah menginspirasi saya, tanpa kalian sadari. Karena sebenarnya, dosen pun belajar dari mahasiswanya.

Tidak usah takut gagal di luar sana. Gagal itu biasa. Yang tidak biasa adalah orang yang tetap berdiri dan mencoba lagi. Jadi, gagal saja kalau memang harus. Tapi jangan berhenti. Terus jalan. Terus hidup.

Ingat baik-baik: kalian tidak lulus karena hebat. Kalian lulus karena kalian tidak menyerah. Dan untuk itu, saya sangat bangga. Sangat, sangat bangga.

Selamat wisuda, anak-anak baik. Dunia sudah menunggu cerita kalian berikutnya.

Tiga bulan belakangan ini, lini masa media sosial lagi ramai membahas soal dugaan ijazah palsu mantan presiden. Kasusnya bukan main-main, saking panasnya sampai menyeret kampus almamaternya dan juga mantan dosen pembimbingnya ke permukaan. Orang-orang yang dulu kerjaannya cuma jadi pengamat politik dadakan, sekarang jadi pengamat akademik dadakan. Semua ikut komentar. Dan seperti biasa, grup WhatsApp keluarga pun tak ketinggalan. Dari yang cuma ngerti ijazah SD sampai profesor beneran, semua ikut nimbrung.

Yang bikin heboh bukan cuma dugaan ijazah palsunya, tapi juga pernyataan dari sang dosen pembimbing yang bilang kalau dia tuh sebenarnya nggak pernah lihat ijazah si mahasiswa itu. Lah, kok bisa? Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, oh, rupanya beliau bukan dosen pembimbing skripsi, tapi dosen pembimbing akademik. Wah, ini mah beda fungsi. Beda jalur.

Ilustrasi jenis-jenis dosen pembimbing di kampus (Gambar : AI Generated)

Nah, dari sini saya jadi kepikiran. Banyak orang di luar dunia kampus tuh sering salah paham. Kirain dosen pembimbing itu ya cuma satu: dosen pembimbing skripsi. Padahal kalau kita gali lebih dalam, jenis-jenis dosen pembimbing itu banyak, Bung! Kayak menu warteg, ada macam-macam. Dan tiap jenis punya fungsi dan gaya masing-masing.

Mari kita mulai dari dosen pembimbing akademik. Ini adalah dosen yang biasanya kita dapat di awal semester kuliah. Tugasnya sebenarnya simpel: mendampingi mahasiswa secara akademik. Tapi realitanya? Kadang cuma ketemu pas awal semester buat tanda tangan KRS, habis itu raib seperti mantan yang mendadak nggak bisa dihubungi. Tapi jangan salah, dosen jenis ini sangat penting. Kalau kamu punya masalah akademik, seperti bingung milih mata kuliah, IP turun drastis, atau mau cuti kuliah, ya ke beliau inilah kamu seharusnya datang.

Walau begitu, banyak mahasiswa yang bahkan nggak tahu siapa dosen pembimbing akademiknya. Bukan karena lupa, tapi karena saking jarangnya komunikasi. Bahkan kadang dosennya sendiri juga nggak tahu siapa saja mahasiswa bimbingannya. Ini hubungan akademik yang misterius. Ada, tapi seperti tidak ada.

Jenis kedua adalah dosen pembimbing PKM alias Program Kreativitas Mahasiswa. Nah, ini biasanya muncul di pertengahan masa kuliah. Ketika mahasiswa mulai tertarik ikut kompetisi dan ingin nambah poin buat sertifikat. Dosen pembimbing PKM ini biasanya harus sabar. Karena mahasiswa kadang bikin proposalnya mepet deadline, minta tanda tangan pas udah tengah malam, dan suka berubah-ubah topik. Tapi kalau tim PKM-nya menang, yang senang juga dosennya. Dosen langsung auto bangga seolah-olah itu ide dia.

Dosen pembimbing PKM ini kadang jadi semacam penasehat bisnis. Mahasiswa bikin produk minuman dari kulit pisang, atau bikin aplikasi pencari jodoh berbasis syariah, dan dosennya harus kasih masukan seolah-olah ini produk masa depan. Padahal dalam hati mungkin dosennya mikir, "Lah ini kok rasanya kayak MLM ya..."

Lanjut ke dosen pembimbing KKN alias Kuliah Kerja Nyata. Ini adalah dosen yang mendampingi mahasiswa saat mereka turun ke lapangan, hidup di desa, dan pura-pura jadi agen perubahan. Dosen KKN ini biasanya keliling dari satu lokasi ke lokasi lain buat sidak. Tapi ada juga yang cukup lewat Zoom, tanya kabar, terus bilang, "Yang penting jaga nama baik kampus ya, Nak."

Menjadi dosen pembimbing KKN itu kadang mengharukan. Mereka melihat mahasiswa yang awalnya nggak bisa bangun pagi, tiba-tiba jadi rajin ikut gotong royong. Mahasiswa yang biasanya cuma bisa ngopi di burjo, sekarang bisa jadi pemateri pelatihan ibu-ibu PKK. Momen ini kadang bikin dosennya terharu, walau tetap waswas takut tiba-tiba ada laporan keributan gara-gara rebutan sinyal WiFi desa.

Yang nggak kalah seru adalah dosen pembimbing magang. Ini adalah dosen yang tugasnya mendampingi mahasiswa yang sedang praktik kerja di perusahaan, kantor pemerintahan, atau lembaga lainnya. Biasanya dosen ini akan jadi penghubung antara kampus dan tempat magang. Tapi, kadang juga jadi pelampiasan curhat mahasiswa yang stres gara-gara disuruh fotokopi seharian.

Dosen pembimbing magang ini punya tugas yang rumit. Mereka harus memastikan mahasiswa mendapatkan pengalaman yang bermanfaat, tapi juga harus tahan dengar laporan mahasiswa yang bilang, "Bu, saya merasa magangnya nggak sesuai jurusan." Belum lagi kalau mahasiswa-nya magang di luar kota, dosennya kadang cuma bisa berharap laporan magangnya beneran ditulis sendiri, bukan hasil copas dari kakak tingkat.

Nah, ini dia jenis dosen yang paling legendaris: dosen pembimbing skripsi. Dosen inilah yang paling menentukan nasib mahasiswa di akhir masa studinya. Baik buruknya hubungan mahasiswa dengan dosen ini bisa jadi penentu apakah mahasiswa lulus tepat waktu atau jadi warga kampus abadi. Hubungan ini seperti pacaran jangka panjang. Ada suka, ada duka, ada ghosting juga.

Dosen pembimbing skripsi itu ada macam-macam gayanya. Ada yang teliti banget sampai typo koma saja dikoreksi. Ada juga yang santai, yang penting kamu submit aja dulu. Ada yang susah ditemui karena sibuk seminar, dan ada yang gampang ditemui tapi jawabannya suka bikin emosi, "Coba kamu pikirkan lagi ya," tanpa penjelasan tambahan.

Namun, ada juga dosen pembimbing yang levelnya di atas semua itu. Dosen pembimbing spiritual sekaligus motivator. Biasanya dosen seperti ini akan bilang hal-hal yang menyentuh hati, kayak, "Kamu jangan menyerah. Semua orang punya waktunya sendiri." Atau, "Ingat Nak, skripsi itu bukan soal pintar, tapi soal niat dan konsistensi." Dosen model begini bikin mahasiswa merasa didukung dan dihargai. Seolah-olah mereka punya coach pribadi dalam hidup.

Dosen motivator ini biasanya juga jadi tempat curhat. Mahasiswa cerita soal pacar, soal keluarga, bahkan soal hidup yang terasa berat. Dan hebatnya, dosen ini bisa menanggapi dengan sabar. Bahkan kadang kasih nasihat sambil nyeduh teh. Mahasiswa pulang dari bimbingan bukan cuma dapat revisi, tapi juga semangat baru.

Di sisi lain, tidak sedikit juga dosen pembimbing yang jadi momok. Yang kalau ketemu rasanya kayak diinterogasi KPK. Mahasiswa jadi gugup, ngomong terbata-bata, dan pulang bimbingan dengan mental koyak. Tapi ya, di balik kerasnya itu, kadang niatnya baik. Cuma ekspresinya saja yang kelihatan seperti baru kehilangan saham.

Kalau dipikir-pikir, semua jenis dosen pembimbing itu punya peran masing-masing. Ada yang tugasnya administratif, ada yang akademik, ada yang sosial, dan ada yang emosional. Masing-masing punya caranya sendiri dalam mendampingi mahasiswa. Dan semua sama pentingnya. Tanpa mereka, mahasiswa bisa tersesat seperti guling hilang di kosan berantakan.

Yang sering jadi masalah adalah ketika mahasiswa sendiri nggak tahu harus ke dosen yang mana untuk urusan tertentu. Ujung-ujungnya semua dilempar ke dosen pembimbing skripsi, padahal belum tentu itu wewenangnya. Maka dari itu, edukasi soal fungsi masing-masing dosen pembimbing ini penting. Biar nggak salah sasaran.

Tentu, idealnya semua dosen pembimbing punya waktu dan energi untuk membimbing mahasiswa dengan sepenuh hati. Tapi kita juga harus ingat, dosen juga manusia. Mereka punya urusan, punya beban kerja, bahkan punya masalah hidup. Jadi kadang, kalau balas email atau WhatsApp mahasiswa agak lama, ya mohon dimaklumi.

Hubungan antara mahasiswa dan dosen pembimbing itu unik. Kadang seperti anak dan orang tua, kadang seperti bos dan anak buah, kadang juga seperti teman seperjuangan. Tapi apapun bentuknya, kalau dijalani dengan saling pengertian, hasilnya pasti baik. Walaupun skripsi tetap direvisi tiga kali.

Di tengah ramainya kabar soal dugaan ijazah palsu dan dosen pembimbing yang merasa tidak pernah membimbing, kita jadi diingatkan bahwa peran dosen itu tidak bisa digeneralisasi. Ada banyak jenis, banyak bentuk, dan banyak cara. Tidak bisa disamaratakan.

Jadi, kalau kamu mahasiswa dan belum tahu siapa dosen pembimbingmu, coba deh cari tahu. Jangan-jangan dia udah nunggu kamu dari semester lalu. Dan kalau kamu dosen, semoga sabar dan kuat mendampingi mahasiswa yang kadang suka hilang lalu muncul pas akhir semester bawa revisi dadakan.

Karena di kampus, hubungan paling krusial bukan cuma dengan pacar. Tapi juga dengan dosen pembimbing. Mereka lah yang akan menentukan, apakah kamu lulus dengan senyum, atau lulus dengan drama dan air mata.

Begitulah hidup. Bahkan untuk urusan akademik pun, kita tetap butuh pembimbing. Karena sejatinya, manusia memang tidak ditakdirkan berjalan sendiri.


Kemarin sore, udara Bengkulu masih mengandung sisa-sisa panas dari matahari yang seharian tak mau berkompromi. Saya melangkah keluar dari gedung pertemuan, hasil workshop kawan-kawan aktivis lingkungan masih bergema di kepala. Hari itu, saya memang sengaja tidak membawa kendaraan. Bukan karena ingin bergaya hemat, tapi lebih ke alasan efisiensi yang kini terasa semakin relevan. Di tengah krisis BBM, antrean motor dan mobil mengular sampai ke mulut jalan. Daripada harus ikut mengantre lima jam hanya demi 5 liter bensin, lebih baik saya minta istri yang menjemput anak—sementara saya memesan ojek online saja.

Pengemudi ojol yang datang sore itu mengenakan jaket hijau lusuh yang warnanya mulai pudar. Helmnya ada dua: satu untuk dia, satu untuk saya. Kami menyusuri jalan utama kota Bengkulu yang kini menjadi semacam lorong bensin. Di kiri-kanan jalan, SPBU disesaki motor. Dalam kondisi seperti itu, saya rasa, mengobrol lebih baik daripada mengutuk jalanan.
Ilustrasi Ojol dan Penumpang (Gambar : AI Generated)

Saya mulai dengan pertanyaan ringan: sudah antre berapa jam hari ini? Dia tersenyum miris, “Tadi pagi lima jam, Pak. Itu pun cuma dapat tiga liter.” Saya mengangguk, pura-pura tidak kaget. Walau dalam hati saya tetap bertanya-tanya, bagaimana orang seperti dia bisa tetap tersenyum dalam tekanan seperti itu? Mungkin karena sudah terbiasa, atau mungkin karena dalam hidupnya, senyum adalah salah satu bentuk perlawanan.

Obrolan kami lalu mengalir. Ia mulai bercerita tentang rekan-rekannya sesama pengemudi ojol yang kini sebagian sudah pindah kerja karena keadaan kelangkaan BBM saat ini. Ada yang jadi pedagang bensin eceran, ada yang jadi joki pengunjal bensin (tukang beli bensin dengan kendaraan, lalu dijual ke pengecer dengan harga tinggi). “Yang penting gak nganggur, Pak,” katanya. Saya diam sejenak. Ada kebenaran sederhana yang terasa begitu kuat dari kalimat itu. Karena dalam hidup, kadang yang kita butuhkan bukan jabatan, tapi keberanian untuk terus bergerak.

Lalu ia bertanya saya kerja di mana. Saya jawab singkat, “Ngajar di kampus.” Ia tampak tertarik. Lalu bertanya di program studi apa. Saya bilang di manajemen. Saat itu saya mulai merasa bahwa pengemudi ini bukan pengemudi biasa. Ada ketertarikan yang khas dalam pertanyaannya. Dia tahu istilah akademik. Tahu bahwa manajemen bukan sekadar mengelola orang, tapi juga mengelola kemungkinan.

Dan seperti mendapat bahan bakar baru, ia pun mulai menyodorkan pertanyaan demi pertanyaan soal manajemen. Tentang kepemimpinan, tentang bagaimana orang bisa tahu arah kalau tidak ada peta, tentang mengapa strategi tak selalu berhasil. Saya menjawab semampu saya. Kadang serius, kadang dengan contoh dari kehidupan pribadi saya. Salah satunya tentang bagaimana saya membangun sistem kecil di keluarga.

Saya ceritakan padanya, bahwa saya percaya sistem itu bukan hanya milik perusahaan besar. Di keluarga kecil saya, kami punya sistem keuangan, sistem waktu belajar anak, sistem darurat kalau saya tiba-tiba harus absen selamanya. Karena saya percaya, manajemen bukan teori. Ia adalah cara menyusun hidup supaya tidak kacau ketika guncangan datang tiba-tiba.

Saya tambahkan, bahwa kalau sistem itu bagus, maka orangnya bisa diganti, tapi kerja tetap jalan. Dan dalam hal ini, seorang gubernur atau walikota mestinya tidak sibuk tampil di televisi atau media sosial. Ia mestinya sibuk merancang sistem. Agar ketika dia lengser, rakyat tetap bisa menikmati hasil kerja, bukan cuma kenangan foto bersama.

Ia mengangguk, entah benar-benar paham atau hanya sopan. Tapi saya lanjutkan, karena momentum percakapan itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Ia lantas bertanya mengaitkannya dengan politik. Di Bengkulu, warganya ini sangat tertarik dengan obrolan politik. Bahkan mungkin 70% obrolan warung kopi topiknya soal politik. Inilah kenapa Bengkulu ini beda dengan yang lain.

Saya katakan bahwa dalam politik, sistem itu sering kalah oleh popularitas. Karena sistem tidak bisa dijual cepat. Ia tidak memukau. Ia bekerja diam-diam, di balik layar.

Saya lalu mencontohkan Anies Baswedan. Saat ia memimpin Jakarta, banyak yang mengkritiknya tidak “kelihatan kerja.” Padahal, ia sedang membuat sistem transportasi bernama Jaklingko. Sistem itu tidak menggantungkan diri pada satu operator, tapi menyambungkan berbagai moda dan tarif dalam satu integrasi. Itu bukan ide populer. Tapi lima tahun kemudian, orang baru sadar bahwa sistem itu menyelamatkan banyak orang dari keruwetan harian.

“Kalau gubernur Bengkulu sekarang gimana, Pak?” tiba-tiba dia bertanya. Saya tertawa kecil. Saya jawab, “Saya bukan komentator politik.” Tapi ia terus mendesak. Katanya, “Saya ingin tahu dari sisi manajemen. Kan sudah seratus hari kerja, tapi belum terasa sistemnya.” Pertanyaan itu menohok, tapi juga jujur. Saya tidak bisa menolaknya.

Saya lalu menjelaskan bahwa seratus hari bukan waktu yang cukup untuk membangun sistem. Tapi cukup untuk menunjukkan arah. Kalau sampai seratus hari rakyat tidak bisa menebak arah ke mana kepemimpinan ini akan dibawa, maka itu masalah manajerial. Karena seorang pemimpin yang baik adalah seorang komunikator sistem.

Saya tidak menjawab apakah gubernur sekarang baik atau tidak. Saya lebih suka menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan bukan pada pidato atau trending di Media Sosial, tapi pada apakah rakyat bisa hidup lebih mudah. Kalau antre BBM tetap lima jam, maka itu tanda sistem distribusi belum berubah.

Ia mengangguk lagi. Kali ini lebih dalam. “Berarti jadi gubernur itu kayak manajer ya, Pak?” Saya jawab, “Ya. Tapi lebih rumit, karena stakeholder-nya banyak, dan ekspektasinya liar.” Ia tertawa. Saya pun ikut tertawa. Tawa dua orang di atas motor, di tengah jalan yang padat kendaraan yang sedang mengantre, terasa seperti jeda dari peliknya hidup.

Saya tahu, pengemudi ini tidak sedang bercanda. Ia serius ingin tahu. Mungkin karena ia juga pernah kuliah. Mungkin karena ia sedang mencari arah baru dalam hidup. Atau bisa jadi, karena hidup telah mengajarkannya bahwa ilmu tidak hanya milik mereka yang di balik meja.

Kami tiba di depan rumah. Saya turun dari motor, mengembalikan helm. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya pun mengangguk, mengucapkan doa dalam hati: semoga sistem dalam hidupnya terus menguat. Karena dalam dunia yang tak menentu ini, sistem adalah satu-satunya jaring pengaman.

Saat saya masuk rumah, obrolan tadi masih membekas. Saya berpikir, mungkin seharusnya kita semua belajar manajemen. Bukan untuk jadi manajer perusahaan, tapi untuk jadi manajer hidup. Supaya kita tidak tenggelam dalam kekacauan yang kita ciptakan sendiri.

Saya jadi teringat mahasiswa-mahasiswa saya. Mereka sering bertanya, “Pak, kalau nanti saya tidak kerja di kantor, apa gunanya belajar manajemen?” Sekarang saya tahu jawaban terbaiknya: karena hidupmu sendiri adalah perusahaan terpenting yang akan kamu kelola seumur hidupmu.

Jadi, jika suatu hari kamu jadi sopir, guru, kepala dusun, atau bahkan hanya kepala dapur, jangan minder. Selama kamu tahu cara mengatur, menyusun, dan membenahi, kamu sudah menjalankan peranmu sebagai manajer. Dan itu sudah cukup mulia.

Saya tidak tahu latar belakang pengemudi tadi. Tapi saya tahu, ia telah membuat saya menulis ini. Ia telah mengingatkan saya bahwa ilmu bukan untuk digantung di dinding, tapi untuk dijalani dalam keseharian.

Maka saya percaya, selama masih ada orang seperti dia, negeri ini tidak akan benar-benar kehilangan arah. Karena harapan tak selalu lahir dari kantor gubernur. Kadang, harapan itu datang dalam bentuk tukang ojol, di tengah sore yang panas, dengan dua helm dan sejuta cerita.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • TINGGAL DI BENGKULU ITU SEPERTI PACARAN SAMA MANTAN YANG BAIK : DAMAI TAPI NGGAK TERLALU RAMAI
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • LEBARAN, PERANTAU, DAN SEPI
  • BUMN DAN ORANG-ORANG INKOMPETEN
  • KALAU TAK ADA MASALAH, LALU APA YANG MAU DITELITI?

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar