Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Kalau ada dua hal yang bisa bikin saya langsung kebawa ke masa kecil, itu adalah bau asap kayu bakar dan lagu-lagu mars kepanduan. Entah kenapa, setiap dengar “Satya ku kudarmakan…”, dada ini langsung hangat. Padahal, kalau dipikir-pikir, nyanyi di lapangan panas-panas sambil baris-berbaris itu nggak romantis-romantis amat. Tapi itulah kekuatan gerakan kepanduan, entah itu Hizbul Wathan atau Pramuka, mereka punya cara membekas di hati.

Hari ini, 14 Agustus, adalah Hari Pramuka. Sebagian orang mungkin cuma tahu ini sebagai momen upacara tahunan, pakai seragam cokelat, dan hormat ke bendera. Tapi bagi yang pernah merasakan masa-masa itu, ini bukan sekadar seremoni. Ini nostalgia. Ini ajang reuni tanpa undangan. Dan bagi saya, ini juga kesempatan membicarakan saudara sepupu Pramuka yang jarang disebut: Hizbul Wathan.
Ilustrasi Anggota Pramuka dan Hizbul Wathan Sedang Berkemah Bersama (Gambar : AI Generated)
Banyak yang belum tahu, Hizbul Wathan itu adalah gerakan kepanduan milik Muhammadiyah. Lahirnya bahkan lebih tua dari Pramuka Indonesia. Kalau Pramuka baru resmi dibentuk tahun 1961, Hizbul Wathan sudah berdiri sejak 1918. Waktu itu, KH Ahmad Dahlan belum sibuk diminta foto bareng presiden, tapi sudah mikir pentingnya anak muda belajar disiplin, cinta tanah air, dan siap jadi pemimpin.

Kalau diibaratkan keluarga besar, Pramuka itu sepupu populer yang sering masuk TV, sedangkan Hizbul Wathan itu sepupu alim yang rajin ngaji tapi nggak kalah jago main tali-temali. Keduanya sama-sama pandu, sama-sama suka camping, tapi punya nuansa yang sedikit berbeda. Pramuka identik dengan salam tiga jari, Hizbul Wathan salamnya satu jari ke atas, tanda tauhid. Sama-sama keren, cuma beda gaya.

Di masa sekarang, dua gerakan ini seperti dua toko kelontong yang masih bertahan di tengah gempuran minimarket 24 jam. Anak-anak sekarang lebih familiar sama game mobile dan TikTok daripada semaphore atau morse. Tapi herannya, Pramuka dan Hizbul Wathan tetap hidup. Bahkan, di beberapa sekolah, justru jadi ekstrakurikuler yang paling rame.

Saya masih ingat, dulu latihan Pramuka itu penuh aroma keringat bercampur tanah basah. Pelatihnya tegas, tapi sering bercanda. Ada yang galak banget, kalau barisnya nggak rapi bisa disuruh push-up. Tapi ada juga yang kalau capek latihan, ujung-ujungnya ngasih tebak-tebakan receh. Kalau di Hizbul Wathan, latihannya mirip, cuma ada tambahan yel-yel yang nyebut nama Allah dan pesan moral dari sirah Nabi.

Banyak orang kira kegiatan kepanduan cuma soal simpul tali dan bendera. Padahal, ada filosofi mendalam di balik itu. Mengikat tali bukan cuma biar tenda berdiri, tapi simbol bahwa hidup itu butuh simpul yang kuat: prinsip, iman, dan persaudaraan. Dan belajar kode morse itu mengajarkan bahwa komunikasi itu penting, bahkan dalam keadaan darurat sekalipun.

Yang bikin saya salut, di zaman serba digital ini, kegiatan kepanduan masih bisa bikin anak-anak mau lepas dari HP. Coba aja suruh anak SMA ikut perkemahan. Awalnya mungkin ngedumel karena sinyal susah. Tapi begitu malam api unggun, semua lupa HP. Nyanyi bareng, cerita horor, atau sekadar saling goda sambil makan mie rebus. Itu pengalaman yang nggak bisa diunduh.

Pramuka punya Dasa Dharma, Hizbul Wathan punya 10 janji pandu. Keduanya berisi nilai-nilai yang, kalau dipraktikkan, bisa bikin negara ini adem. Mulai dari takwa kepada Tuhan, cinta alam, tolong-menolong, sampai disiplin. Sederhana, tapi justru sering dilupakan orang dewasa yang katanya lebih “paham hidup”.

Bagi sebagian anak muda Muhammadiyah, Hizbul Wathan bukan sekadar ekskul, tapi jalan kaderisasi. Di situlah mereka belajar memimpin regu, membimbing adik kelas, bahkan mengatur acara besar. Di Pramuka juga sama. Coba tanya anak yang pernah jadi Ketua Dewan Ambalan, mereka pasti punya skill organisasi yang lebih rapi dari panitia konser.

Saya pernah ikut perkemahan bareng Pramuka dan Hizbul Wathan sekaligus. Rasanya kayak gabungan dua band besar main di panggung yang sama. Ada lagu Pramuka, ada mars Hizbul Wathan. Ada salam tiga jari, ada satu jari. Tapi suasananya akur-akur aja. Karena pada dasarnya, misi mereka sama: membentuk generasi yang tangguh, berkarakter, dan siap melayani.

Yang menarik, seragam mereka pun punya cerita. Seragam Pramuka cokelat muda-cokelat tua itu terinspirasi warna tanah, lambang kesederhanaan. Seragam Hizbul Wathan biasanya hijau tua-hijau muda, simbol kesuburan dan kehidupan. Dua-duanya mengajarkan cinta alam lewat warna yang mereka pakai di badan. Ini semacam fashion statement yang nggak lekang waktu.

Kalau di Pramuka ada tingkatan Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pandega, di Hizbul Wathan ada Athfal, Pengenal, Penghela, dan Penuntun. Namanya beda, tapi filosofinya sama: tumbuh bertahap, belajar dari yang kecil sampai mandiri. Hidup itu memang seperti perjalanan kepanduan, selalu ada tingkat berikutnya yang harus dicapai.

Yang kadang bikin saya tertawa sendiri adalah tradisi lomba-lomba. Dari lomba pionering sampai jelajah rute. Ada yang saking semangatnya bikin menara tali, malah roboh sebelum dinilai. Ada juga yang waktu jelajah malah nyasar ke kebun warga dan pulang bawa pisang. Tapi semua itu jadi cerita yang diceritakan ulang bertahun-tahun kemudian.

Di Hari Pramuka ini, saya rasa penting mengingat bahwa gerakan kepanduan bukan cuma warisan masa lalu. Ini investasi masa depan. Kalau anak-anak sekarang bisa disiplin bangun pagi untuk apel, mereka mungkin akan terbiasa tepat waktu di dunia kerja. Kalau mereka terbiasa menolong teman satu regu, kelak mereka nggak akan cuek sama tetangga.

Hizbul Wathan dan Pramuka juga punya kesamaan dalam hal menanamkan rasa nasionalisme. Bukan nasionalisme teriak-teriak, tapi yang tenang dan konsisten. Menghormati bendera, menjaga lingkungan, menghargai keberagaman. Nilai-nilai ini justru terasa mahal di era medsos yang penuh debat kusir.

Bagi saya pribadi, perkemahan adalah puncak dari semua kegiatan kepanduan. Di sanalah semua teori diuji: simpul tali, masak-memasak, kerjasama tim. Dan anehnya, di sanalah juga banyak kisah cinta monyet lahir. Entah kenapa, obor dan api unggun punya efek dramatis buat anak remaja. Pramuka atau Hizbul Wathan, semua pernah ngalamin.

Saya yakin, kalau KH Ahmad Dahlan masih hidup, beliau akan senyum melihat Hizbul Wathan masih eksis. Begitu juga Bapak Pandu Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, pasti bangga lihat Pramuka tetap kokoh. Karena di tengah semua perubahan zaman, dua gerakan ini masih setia pada misinya.

Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah bagaimana membuat kepanduan relevan untuk generasi yang tumbuh dengan Netflix dan Instagram. Tantangannya besar, tapi bukan berarti mustahil. Bayangkan kalau pionering di-update jadi bikin instalasi seni dari bambu, atau jelajah alam dilengkapi tantangan foto Instagramable. Anak-anak pasti makin semangat.

Saya pernah lihat latihan gabungan Pramuka dan Hizbul Wathan di sebuah lapangan desa. Dari jauh, kelihatan kayak dua kelompok suporter bola yang berbeda atribut. Tapi saat nyanyi lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”, semua larut. Bulu kuduk merinding. Rasanya, inilah Indonesia yang kita mau: berbeda tapi satu tujuan.

Di kampus Muhammadiyah, Hizbul Wathan sering jadi kegiatan wajib bagi mahasiswa baru. Awalnya banyak yang malas, tapi ujung-ujungnya kangen. Karena di situlah mereka kenal teman-teman baru, belajar baris-berbaris, dan merasakan serunya yel-yel bareng. Ada energi kolektif yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Pramuka juga punya efek yang sama di sekolah-sekolah negeri. Banyak yang mengaku awalnya ikut karena diwajibkan, tapi akhirnya ketagihan. Mungkin karena di situ mereka merasa punya peran. Menjadi bagian dari regu, memegang bendera, atau bahkan sekadar jaga tenda. Semua bikin merasa dibutuhkan.

Kalau ada yang bilang gerakan kepanduan itu ketinggalan zaman, saya akan bilang: tunggu dulu. Justru di zaman yang serba instan ini, latihan kesabaran, kerjasama, dan kemandirian itu mahal. Dan kepanduan menawarkan semua itu dalam paket lengkap. Gratis pula, kecuali iuran makan mie instan di perkemahan.

Hizbul Wathan dan Pramuka juga mengajarkan kepemimpinan yang membumi. Pemimpin regu nggak cuma nyuruh-nyuruh, tapi ikut gotong royong. Pemimpin sejati adalah yang mau tidur di tenda bocor bersama anggotanya, bukan yang kabur ke tenda panitia. Ini pelajaran yang bahkan bos-bos kantoran pun kadang lupa.

Banyak alumni kepanduan yang sukses di berbagai bidang. Ada yang jadi guru, tentara, pengusaha, bahkan pejabat. Dan kalau ditanya rahasianya, banyak yang bilang: mental dan disiplin yang dibentuk sejak jadi pandu. Rupanya, ilmu mendirikan tenda di tengah hujan ada hubungannya dengan mendirikan bisnis di tengah krisis.

Kadang, saya membayangkan jika Pramuka dan Hizbul Wathan bikin jambore nasional gabungan. Bayangkan ribuan tenda dengan warna berbeda berdiri berdampingan. Yel-yel bersahut-sahutan. Malam api unggun diakhiri dengan lagu kebangsaan yang dinyanyikan bersama. Itu pasti jadi momen persatuan yang luar biasa.

Di Hari Pramuka ini, mari kita ingat bahwa kepanduan adalah tentang membentuk manusia. Bukan sekadar pintar membuat simpul, tapi juga tahu kapan harus mengendurkan ikatan. Bukan cuma pandai memimpin barisan, tapi juga peka terhadap yang tertinggal di belakang. Itulah jiwa sejati pandu.

Kalau ditanya apa bedanya Hizbul Wathan dan Pramuka, saya akan jawab: sama-sama mendidik, sama-sama membentuk karakter, cuma punya aksen yang berbeda. Seperti dua lagu dari genre yang sama tapi liriknya beda. Dan seperti musik, semakin banyak kita dengar, semakin kaya pengalaman kita.

Akhir kata, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Pramuka untuk semua pandu di negeri ini. Baik yang berseragam cokelat maupun hijau, yang salamnya tiga jari maupun satu jari. Teruslah menyalakan api semangat, karena generasi ini butuh teladan. Dan semoga, 10-20 tahun lagi, masih ada anak-anak yang bangga bilang, “Saya ini bekas pandu.”


Di tengah hiruk-pikuk dunia bisnis yang berubah lebih cepat dari kecepatan informasi, kita masih menyaksikan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, perusahaan besar dan startup digital menghadapi disrupsi teknologi, perubahan perilaku konsumen, dan tuntutan keberlanjutan yang tak bisa ditawar. Di sisi lain, kampus-kampus bisnis, termasuk yang bergengsi, masih mengajarkan manajemen seperti tahun 1980-an. Saya tidak bermaksud merendahkan. Tapi fakta ini tak bisa diabaikan: kita sedang mencetak lulusan untuk dunia yang sudah tidak ada.

Perguruan tinggi, khususnya program studi manajemen, harus berani mengakui bahwa model lama sudah tidak cukup. Konsentrasi pemasaran dan SDM yang dulu dianggap inti, kini terasa seperti pakaian usang yang dipaksakan untuk dikenakan di tubuh yang telah berubah bentuk. Bukan berarti dua bidang itu tidak penting. Tapi cara kita mengajarkannya, terlalu teoretis, terlalu linier, terlalu terpisah dari realitas digital telah membuatnya kehilangan daya tembus.
Ilustrasi Reformasi Studi Manajemen (Gambar : AI Generated)
Bayangkan seorang lulusan manajemen yang bisa menjelaskan teori 4P secara sempurna, tapi bingung saat diminta membuat kampanye iklan di TikTok. Atau mahasiswa yang hafal teori motivasi Maslow, tapi tak tahu bagaimana mengelola tim remote yang bekerja dari Bali, Jakarta, dan Toronto. Ini bukan soal kurang pintar. Ini soal kurikulum yang gagap merespons zaman.

Dunia bisnis hari ini bukan lagi tentang siapa yang punya produk terbaik atau tim terbesar. Dunia bisnis sekarang adalah tentang siapa yang paling cepat belajar, paling cepat beradaptasi, dan paling cepat mengintegrasikan teknologi ke dalam DNA organisasinya. Di sinilah letak kegagalan sistem pendidikan kita. Kita masih mengajarkan manajemen sebagai ilmu yang statis, padahal ia harus diajarkan sebagai seni berubah.

Saya beberapa kali bertemu dengan pemimpin perusahaan yang mengeluhkan kualitas lulusan. Bukan karena mereka tidak pintar, tapi karena mereka tidak siap. Mereka butuh pelatihan berbulan-bulan sebelum bisa memberi kontribusi nyata. Ini bukan kegagalan mahasiswa. Ini kegagalan sistem. Kita terlalu sibuk mempertahankan tradisi, hingga lupa bahwa tujuan utama pendidikan adalah relevansi.

Transformasi kurikulum bukan lagi pilihan. Ia adalah keharusan. Kita tidak bisa terus-menerus memperbaiki kapal di tengah badai. Kita harus merancang kapal baru. Kapal yang ringan, lincah, dan bisa berlayar di ombak digital. Dan kampus, khususnya prodi manajemen, harus menjadi galangan kapal tempat kapal-kapal baru itu dibangun.

Dalam konteks inilah, dua konsentrasi lama, pemasaran dan SDM, harus direvitalisasi secara radikal. Bukan sekadar menambah satu dua mata kuliah digital. Tapi merombak total paradigma. Kita tidak butuh ahli pemasaran yang hanya bisa membuat brosur. Kita butuh desainer pengalaman pelanggan yang memahami algoritma, data, dan emosi manusia secara bersamaan.

Demikian pula dengan SDM. Dunia kerja bukan lagi tentang rotasi jabatan atau penilaian kinerja tahunan. Dunia kerja sekarang adalah tentang pengalaman manusia, kesejahteraan mental, dan kemampuan beradaptasi. HR tidak lagi menjadi fungsi administratif, tapi menjadi arsitek budaya organisasi di tengah ketidakpastian.

Maka dari itu, saya menawarkan dua konsentrasi baru yang bukan sekadar ganti nama, tapi perubahan mendasar dalam cara berpikir. Pertama, Digital Business & Innovation Management. Ini bukan pemasaran yang dipoles digital. Ini adalah pendekatan menyeluruh terhadap bisnis di era platform, ekosistem, dan data-driven decision making. Di sini, mahasiswa belajar bukan hanya bagaimana menjual, tapi bagaimana menciptakan nilai baru melalui inovasi.

Kedua, People & Organizational Transformation. Ini bukan SDM yang diperluas. Ini adalah disiplin baru yang menggabungkan psikologi, teknologi, dan strategi untuk membangun organisasi yang tangguh. Di sini, mahasiswa belajar bagaimana memimpin perubahan, merancang pengalaman kerja, dan membangun kepemimpinan adaptif.

Kedua konsentrasi ini lahir dari kenyataan bahwa bisnis modern tidak lagi berjalan dalam silo. Pemasaran tidak bisa berdiri sendiri tanpa data operasi. SDM tidak bisa berjalan tanpa dukungan teknologi. Maka, kurikulum harus dirancang secara integratif. Setiap mata kuliah harus memiliki benang merah yang menghubungkan fungsi-fungsi bisnis dalam satu kesatuan yang utuh.

Salah satu kunci dari transformasi ini adalah literasi data. Bukan berarti setiap mahasiswa manajemen harus jadi data scientist. Tapi mereka harus mampu membaca data, memahami insight, dan mengambil keputusan berbasis bukti. Dalam dunia di mana gut feeling tidak lagi cukup, data adalah bahasa baru manajemen.

Maka, mata kuliah seperti Analitik Bisnis untuk Pengambilan Keputusan harus menjadi inti kurikulum. Mahasiswa tidak hanya belajar statistik, tapi juga cara menggunakan tools seperti Power BI, Google Analytics, atau SQL dasar. Mereka harus bisa mengubah angka menjadi cerita, dan cerita menjadi aksi.

Tapi jangan salah sangka. Ini bukan ajakan untuk menghilangkan sisi manusiawi dari manajemen. Justru sebaliknya. Semakin digital dunia ini, semakin dibutuhkan sentuhan manusia. Kita butuh pemimpin yang tidak hanya pintar secara teknis, tapi juga empatik, inklusif, dan berintegitas. Maka, etika dan keberlanjutan harus menjadi tulang punggung kurikulum.

Mata kuliah seperti Etika Bisnis & Keberlanjutan tidak boleh menjadi pelengkap yang ditempatkan di semester akhir. Ia harus menjadi lensa yang digunakan untuk melihat setiap aspek bisnis. Dari strategi pemasaran hingga keputusan rekrutmen, dari inovasi produk hingga manajemen rantai pasok, semua harus dievaluasi dari sudut pandang ESG: lingkungan, sosial, dan tata kelola.

Di sinilah letak keunikan lulusan manajemen masa depan. Mereka bukan sekadar operator bisnis. Mereka adalah penyeimbang. Mereka tahu bagaimana mengejar profit, tapi juga tahu batasnya. Mereka paham teknologi, tapi tidak terjebak di dalamnya. Mereka mampu berpikir sistemik, tapi tetap peduli pada individu.

Kita juga harus berhenti mengajar manajemen sebagai ilmu yang netral. Dunia bisnis adalah arena konflik nilai. Antara efisiensi dan keadilan. Antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Antara inovasi dan etika. Mahasiswa harus dilatih untuk berdebat, merenung, dan membuat keputusan dalam ketegangan ini. Bukan dengan memberi jawaban, tapi dengan membuka pertanyaan.

Salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui project-based learning. Mahasiswa tidak boleh hanya menulis esai atau ujian akhir. Mereka harus bekerja pada proyek nyata: membantu UMKM go digital, merancang strategi transformasi untuk perusahaan menengah, atau membuat program kesejahteraan karyawan untuk startup.

Dalam proyek-proyek ini, mahasiswa dari dua konsentrasi, Digital Business dan People Transformation, harus bekerja bersama. Karena di dunia nyata, masalah bisnis tidak datang dalam kotak terpisah. Ketika sebuah perusahaan ingin go digital, itu bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal orang. Bagaimana mempersiapkan karyawan? Bagaimana mengubah budaya? Siapa yang akan memimpin perubahan?

Kolaborasi ini harus dipupuk sejak awal. Kita butuh kurikulum yang memaksa mahasiswa keluar dari zona nyaman disiplin mereka. Seorang calon ahli inovasi harus belajar psikologi perubahan. Seorang calon pemimpin organisasi harus memahami dasar-dasar algoritma. Ini bukan multitasking. Ini adalah multi-intelligence.

Dan di tengah semua ini, kampus harus berhenti menjadi menara gading. Kita harus membuka pintu lebar-lebar untuk industri. Bukan hanya untuk magang atau rekrutmen, tapi untuk menjadi mitra dalam merancang kurikulum. Advisory board dari dunia usaha bukan sekadar formalitas. Ia harus menjadi mekanisme penyeimbang agar kampus tidak terjebak dalam ilusi akademik.

Saya masih ingat ketika mendengar seorang dosen di satu kampus berkata, “Kami tidak boleh terlalu mengikuti industri, nanti kita kehilangan otoritas akademik.” Saya menghormati sikap itu. Tapi saya juga bertanya: otoritas untuk apa? Jika otoritas itu hanya menghasilkan lulusan yang tidak dibutuhkan, maka otoritas itu hampa makna.

Kita butuh keseimbangan. Akademik yang kuat, tapi relevan. Teori yang mendalam, tapi bisa diterapkan. Penelitian yang rigor, tapi menjawab masalah nyata. Inilah yang saya sebut sebagai relevance with rigor.

Salah satu cara mewujudkannya adalah dengan mengintegrasikan sertifikasi industri ke dalam kurikulum. Mahasiswa tidak hanya lulus dengan IPK, tapi juga dengan portofolio dan sertifikasi nyata: Google Analytics, Meta Blueprint, HR Analytics dari edX, atau Scrum Fundamentals. Ini bukan kompromi. Ini adalah jembatan.

Dan jangan lupa, soft skills tetap penting. Bahkan lebih penting. Di era di mana mesin bisa menggantikan pekerjaan teknis, yang tidak bisa digantikan adalah empati, kreativitas, dan kemampuan berkolaborasi. Maka, mata kuliah seperti Leadership & Team Collaboration harus menjadi wajib, bukan pilihan.

Kita juga harus mengubah cara mengajar. Dosen tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu. Mereka harus menjadi fasilitator, mentor, dan pembuka jalan. Metode ceramah harus dikurangi. Diskusi, simulasi, dan experiential learning harus diperbanyak. Dunia sudah berubah dari push ke pull, mahasiswa mencari ilmu, bukan menunggu diberi.

Peran dosen pun berubah. Mereka tidak hanya dinilai dari jumlah publikasi, tapi juga dari dampak nyata mereka terhadap mahasiswa dan masyarakat. Seorang dosen yang berhasil membimbing mahasiswa menciptakan startup yang menyerap puluhan tenaga kerja, layak dihargai setara dengan yang menulis jurnal internasional.

Akhirnya, kita harus berani mengukur keberhasilan kurikulum bukan dari angka-angka, tapi dari cerita. Cerita tentang lulusan yang mampu mengubah nasib UMKM. Cerita tentang pemimpin muda yang membawa perusahaan keluarga go digital. Cerita tentang HR yang merancang kebijakan kerja yang manusiawi di tengah tekanan profit.

Karena pada akhirnya, manajemen bukan ilmu tentang mengelola uang atau mesin. Ia adalah ilmu tentang mengelola manusia. Dan manusia tidak bisa dikelola dengan formula kaku. Ia butuh keberanian, kebijaksanaan, dan visi.

Maka, kampus harus berhenti menjadi pabrik gelar. Kita harus menjadi taman tempat benih-benih pemimpin masa depan ditanam, dirawat, dan dilepaskan ke dunia dengan keyakinan bahwa mereka siap, bukan hanya untuk bekerja, tapi untuk memimpin, mengubah, dan memberi makna.

Revolusi manajemen tidak dimulai di ruang rapat direksi. Ia dimulai di kelas kuliah. Di tangan dosen yang berani berubah. Di meja mahasiswa yang berani bertanya. Di hati para pemimpin kampus yang berani mengambil risiko.

Kita tidak butuh lebih banyak manajer. Kita butuh lebih banyak pemimpin. Dan pemimpin itu harus lahir dari kampus yang berani meninggalkan masa lalu, bukan dari sisa-sisa era industri yang sudah usang.

Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Kita hidup di zaman yang tidak memberi ruang bagi yang ragu. Dunia bisnis tidak menunggu. Teknologi tidak berhenti. Konsumen tidak setia. Dan generasi muda tidak sabar.

Maka, ayo kita ubah. Bukan hanya kurikulum. Tapi mindset. Bukan hanya struktur. Tapi semangat. Bukan hanya metode. Tapi tujuan.

Karena manajemen yang baik bukan yang mengikuti zaman. Tapi yang menciptakan zaman. Dan kampus, khususnya prodi manajemen, harus menjadi tempat di mana zaman baru itu dimulai.

Bukan dengan teriakan revolusi. Tapi dengan langkah-langkah nyata: merombak kurikulum, melatih dosen, membuka diri pada industri, dan menempatkan manusia sebagai pusat dari segala keputusan.

Kita tidak sedang berbicara tentang perbaikan. Kita sedang berbicara tentang transformasi. Dan transformasi selalu dimulai dari satu keberanian: mengakui bahwa yang lama sudah tidak cukup.

Sekarang, saatnya kita membuktikan bahwa pendidikan manajemen di Indonesia bisa menjadi teladan, bukan penonton. Karena masa depan bisnis kita, ditentukan oleh kualitas pemimpin yang kita lahirkan hari ini.

Dan pemimpin itu sedang duduk di kelas. Menunggu guru yang berani mengajaknya melompat ke masa depan.
Berbicara tentang wilayah 3T hari ini sesungguhnya berbicara tentang kegagalan sistemik dalam desain kelembagaan negara. Kita mewarisi model pemerintahan berbasis hierarki administratif yang rigid, lambat, dan tidak kontekstual. Ketika pusat bicara tentang “percepatan pembangunan”, Enggano dan wilayah serupa hanya mampu menunggu dan seringkali menunggu terlalu lama. Dalam logika pembangunan nasional, kawasan seperti ini sering disebut “wilayah prioritas”, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya: mereka justru menjadi sisa-sisa perhatian pembangunan. Ini bukan soal anggaran semata, melainkan desain kelembagaan yang tidak pernah kompatibel dengan realitas wilayah ekstrem.

Sudah terlalu lama wilayah seperti Enggano dikurung dalam struktur pemerintahan yang terlalu tinggi di atas tanah yang terlalu jauh. Setiap keputusan penting harus melalui lintasan birokrasi yang panjang dan ruwet. Di era di mana kecepatan adalah kunci dan respons adalah nyawa kebijakan publik, kita justru mengandalkan sistem yang mengharuskan warga mengisi formulir ke kecamatan, lalu menunggu disposisi dari kabupaten, baru kemudian berharap belas kasihan provinsi. Tidak heran jika banyak program tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, bahkan tidak pernah sampai.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Di tulisan saya sebelumnya, saya mengajukan gagasan pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi (OKT) untuk bentuk pemerintahan di wilayah 3T. Alasan mengapa perlu membentuk model yang berbeda adalah membuka peluang untuk mendekonstruksi cara kerja negara di daerah terpencil. Tapi agar gagasan ini tidak hanya berhenti pada wacana, kita harus memikirkan strategi normatif dan struktural untuk menjadikannya nyata. Salah satu celah penting yang bisa dimanfaatkan adalah ketentuan Pasal 7 dan 18B UUD 1945 yang memberi ruang pengakuan atas kekhususan daerah. Dalam lingkup perundangan, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pun menyebutkan kemungkinan pengelolaan daerah dengan kekhususan tertentu.

Artinya, secara yuridis kita punya cukup dasar untuk merumuskan bentuk pemerintahan baru, sepanjang memiliki argumentasi sosial, geografis, dan fungsional yang kuat. Pengalaman Batam sebagai kawasan otorita industri, dan kini IKN (Ibu Kota Nusantara) sebagai entitas dengan status khusus, menegaskan bahwa negara sudah punya preseden untuk membentuk kelembagaan ad hoc yang bertanggung jawab langsung ke pusat. Lalu, pertanyaannya: jika negara bisa membentuk Otorita IKN demi alasan strategis-politik, mengapa tidak bisa membentuk Otorita 3T demi keadilan sosial?

Jika kita ingin serius membenahi wilayah 3T, maka pendekatan “asimetris” seperti dikemukakan oleh Prof. Djohermansyah Djohan, mantan Dirjen Otonomi Daerah, harus menjadi dasar utama. Asimetri tidak hanya berarti berbeda secara status administratif, tapi juga berbeda dalam cara berpikir dan menyusun kebijakan. Asimetri adalah pengakuan bahwa Indonesia terlalu kompleks untuk diatur dengan pola tunggal. Dan dalam banyak literatur governance modern, seperti yang ditulis oleh Gerry Stoker (2006), pengelolaan wilayah ekstrem membutuhkan desain tata kelola yang non-linier, fleksibel, dan kolaboratif.

Dalam konteks itu, pendekatan hybrid governance bisa menjadi solusi. Model ini memadukan unsur negara, pasar, dan masyarakat sipil dalam satu kerangka koordinasi yang saling mengisi. Alih-alih mengandalkan birokrasi tradisional yang lambat, otorita 3T bisa dikelola dengan struktur fungsional dan jaringan kerja yang lebih adaptif. Teori ini didukung oleh Lynn, Heinrich, dan Hill (2001) dalam "Improving Governance: A New Logic for Empirical Research", yang menyebutkan bahwa unit pemerintahan dengan mandat khusus dan struktur lean lebih efektif dalam eksekusi kebijakan.

Model Otorita juga memungkinkan implementasi prinsip-prinsip manajemen publik baru (New Public Management) yang menekankan efisiensi, akuntabilitas, dan hasil nyata. Dalam praktiknya, ini berarti program pembangunan tidak lagi sekadar output (jumlah proyek), tapi juga outcome (manfaat bagi masyarakat). Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Christopher Hood (1991), bahwa sektor publik harus mulai bergerak seperti sektor swasta dalam hal efisiensi dan orientasi hasil, tanpa meninggalkan prinsip akuntabilitas dan publik interest.

Kita juga belajar dari model lain di luar negeri. Di Kanada, wilayah Nunavut dibentuk sebagai teritori dengan otonomi luas karena posisinya yang terpencil dan komunitas Inuit yang sangat spesifik. Di Australia, Northern Territory mendapatkan bentuk pemerintahan yang semi-mandiri karena alasan geografis dan sosial yang mirip dengan kondisi 3T di Indonesia. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa negara maju pun tidak ragu mengadopsi model kelembagaan khusus demi menjawab kebutuhan daerah yang unik. Indonesia sudah saatnya mengambil langkah yang sama.

Namun untuk menghindari jebakan eksklusivitas, otorita ini tidak boleh menjadi pulau birokrasi baru yang tertutup. OKT harus dibangun dengan prinsip collaborative governance sebagaimana dikembangkan oleh Ansell dan Gash (2008) yang menekankan bahwa kolaborasi antara negara, masyarakat sipil, dan sektor bisnis adalah kunci efektivitas tata kelola. Tanpa keterlibatan lokal, otorita akan kembali jatuh pada kesalahan sentralisme lama.

Dalam tataran praktis, pembentukan OKT bisa dimulai dengan pilot project di beberapa wilayah 3T terpilih, termasuk Enggano. Ini sekaligus menjadi laboratorium kebijakan (policy lab) yang bisa dievaluasi secara berkala untuk mengembangkan best practices. Evaluasi ini harus berbasis data dan metode partisipatif agar tidak menjadi sekadar audit kertas. Laporan dari OECD (2019) dalam “Territorial Approach to SDGs” menekankan pentingnya evaluasi berbasis lokalitas untuk memastikan program tidak melenceng dari tujuan awal.

Perlu digarisbawahi bahwa OKT bukanlah semata-mata pemekaran wilayah. Ini bukan tentang membuat daerah baru dengan DPRD dan bupati sendiri. OKT adalah instrumen manajerial negara yang bersifat fungsional dan ad hoc, namun memiliki kekuasaan administratif, fiskal, dan regulatif yang cukup untuk bergerak cepat dan tepat. Ini justru kebalikan dari logika pemekaran yang seringkali lebih didorong kepentingan politik lokal ketimbang kebutuhan masyarakat.

Masalah besar kita adalah ketakutan terhadap perubahan. Banyak pejabat di level provinsi dan kabupaten takut kehilangan kewenangan dan anggaran jika OKT dibentuk. Tapi inilah titik kritisnya: kita harus mulai membedakan antara kepentingan birokrasi dan kepentingan rakyat. Negara tidak boleh tunduk pada logika pelestarian struktur yang telah gagal. Dalam hal ini, pendapat Paul Pierson dalam "Politics in Time" (2004) penting untuk dicatat: institusi yang tidak direformasi akan melahirkan path dependency, yaitu kebiasaan lama yang terus berulang karena struktur terlalu malas untuk berubah.

Lantas, bagaimana dengan pembiayaannya? OKT justru memberi efisiensi fiskal karena semua anggaran bisa dikelola dalam bentuk block grant yang langsung dikontrol dan diaudit oleh kementerian dan lembaga pengawasan independen. Tidak ada lagi pemotongan anggaran berlapis atau “kehilangan” dana di tingkat provinsi. Block grant ini juga bisa dikombinasikan dengan skema Dana Alokasi Khusus (DAK) berbasis kebutuhan lokal, bukan sekadar formula nasional.

Sistem kepegawaian juga harus reformis. OKT harus diberi kewenangan merekrut tenaga profesional lintas daerah berdasarkan merit system, bukan mutasi atau pengangkatan politik. Dalam praktiknya, ini berarti membuka lowongan bagi ASN dan non-ASN yang punya track record kinerja, bukan sekadar status kepegawaian. Skema ini bisa ditopang oleh revisi terbatas UU ASN dengan menambahkan klausul pengelolaan sumber daya manusia di kawasan dengan status otorita khusus.

Untuk menjamin keberlanjutan dan legitimasi sosial, masyarakat lokal harus dilibatkan sejak awal dalam desain, implementasi, dan evaluasi OKT. Prinsip co-production seperti dijelaskan oleh Alford (2009) menjadi penting di sini: masyarakat bukan hanya penerima manfaat kebijakan, tapi produsen bersama layanan publik. OKT tidak akan berhasil jika hanya menjadi instrumen negara tanpa ruh partisipasi warga.

Tidak kalah penting, OKT juga bisa menjadi motor inovasi daerah. Dengan dukungan universitas, lembaga riset, dan startup teknologi, wilayah 3T bisa dikembangkan menjadi pusat eksperimen sosial dan teknologi. Di sinilah konsep living lab bisa diterapkan—di mana solusi dikembangkan bersama masyarakat lokal, diuji langsung di lapangan, dan diperbaiki secara iteratif. Banyak negara Eropa sudah menggunakan pendekatan ini untuk mengelola wilayah rural dan marginal.

Dalam kerangka geopolitik, pembentukan OKT juga mempertegas kehadiran negara di wilayah perbatasan. Ini bukan hanya soal pembangunan, tetapi juga strategi pertahanan dan identitas nasional. Di tengah dinamika regional seperti Laut Cina Selatan, wilayah seperti Enggano menjadi buffer zone yang harus dikelola secara strategis. Kelembagaan yang kuat adalah bagian dari strategi ketahanan nasional.

Namun semua ini tidak akan berjalan tanpa komitmen politik yang tegas. Pemerintah pusat harus benar-benar menaruh perhatian dan keberanian untuk menabrak tembok-tembok regulasi yang usang. Bahkan, bila perlu, Presiden bisa mengeluarkan Peraturan Presiden sebagai instrumen awal pembentukan OKT, sembari menyiapkan revisi UU secara paralel.

Sebagai penutup, kita harus memahami bahwa keterpencilan bukan hanya soal jarak geografis, tapi juga soal jarak kebijakan. Jika negara gagal menjembatani keduanya, maka wilayah 3T akan terus menjadi bayang-bayang dalam narasi besar pembangunan. Otorita Khusus Terintegrasi bukan solusi final, tetapi ia adalah lompatan pertama untuk membuktikan bahwa negara bisa berubah, beradaptasi, dan hadir secara bermakna di wilayah paling terluar.
Membincangkan wilayah 3T seperti Enggano sesungguhnya berbicara tentang keadilan pembangunan yang tak kunjung tiba. Pulau kecil yang menjorok ke Samudra Hindia ini kerap menjadi citra tentang tepi NKRI yang masih menanti sentuhan negara secara nyata. Selama puluhan tahun, status Enggano sebagai kecamatan di bawah kabupaten menandakan bahwa negara hadir, namun sekadar secara administratif.

Tak dapat dimungkiri, skema birokrasi yang kaku dan hierarkis justru sering memperpanjang jarak antara kebutuhan nyata warga dengan solusi kebijakan yang diharapkan. Dalam banyak kasus, keputusan strategis tentang layanan publik, infrastruktur, bahkan penanganan bencana, kerap kali harus menunggu proses panjang yang melibatkan lintas tingkatan pemerintahan. Tidak jarang, hasil akhirnya justru tak menyentuh akar persoalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Bila menilik lebih dalam, model pemerintahan kecamatan di wilayah seperti Enggano ternyata lebih banyak menghadirkan batasan daripada peluang. Kewenangan yang terbatas serta anggaran yang serba pas-pasan menambah rumit upaya memajukan wilayah yang sudah sejak awal berangkat dari posisi tidak setara.

Banyak warga dan pelaku pembangunan di Enggano mengakui bahwa tantangan terbesar adalah pada kecepatan dan ketepatan respons pemerintah. Seringkali, ada jarak waktu yang sangat lama antara pengajuan kebutuhan masyarakat dengan realisasi program pemerintah. Dalam konteks ini, wilayah terluar seperti Enggano nyaris selalu menjadi prioritas kedua setelah kebutuhan daerah pusat atau kabupaten.

Ketika pembangunan berjalan lamban, masyarakat lokal harus menerima fakta bahwa akses kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tetap tersendat. Bahkan, dalam kondisi krisis, seperti saat pandemi atau bencana alam, respons pemerintah menjadi ujian nyata bagi tata kelola wilayah terpencil. Keadaan ini semakin menegaskan bahwa model birokrasi lama tidak sanggup menjawab kompleksitas kebutuhan wilayah 3T.

Ada pertanyaan yang mengemuka, mengapa negara belum berani mendesain ulang model pemerintahan untuk wilayah dengan tantangan unik seperti Enggano? Jawaban yang sering muncul adalah kekhawatiran akan inkonsistensi kebijakan serta potensi tumpang tindih kewenangan. Namun, jika stagnasi dibiarkan, wilayah seperti Enggano akan semakin jauh tertinggal.

Pengalaman masa lalu, di mana pemerintah pusat pernah bereksperimen dengan berbagai model pemerintahan khusus, menjadi pembelajaran penting. Model otorita Batam, otonomi khusus Papua dan Aceh, hingga keistimewaan DIY, merupakan upaya negara untuk menjawab tantangan lokalitas, meski dengan motivasi yang beragam. Namun, belum ada model yang benar-benar didedikasikan khusus bagi wilayah 3T yang berkarakter geografis dan sosial unik seperti Enggano.

Kalau kita bicara mengenai pengelolaan wilayah khusus, Batam memang sering disebut sebagai contoh otorita yang efektif. Namun, Batam adalah kawasan ekonomi strategis yang berbeda orientasinya dengan wilayah 3T. Sementara itu, Aceh dan Papua diberi otonomi khusus karena sejarah konflik dan identitas. Lalu, di mana posisi Enggano dan puluhan wilayah 3T lain yang bukan kawasan industri, bukan pula wilayah dengan status politik khusus?

Banyaknya tantangan itu memperlihatkan bahwa upaya membangun wilayah 3T harus dimulai dari desain tata kelola yang benar-benar baru dan tidak sekadar hasil adaptasi dari model lama. Justru, keberanian untuk keluar dari zona nyaman model birokrasi konvensional menjadi syarat utama agar wilayah seperti Enggano mampu mengejar ketertinggalan.

Sebagai pengajar, saya kerap mendapati bahwa logika “one size fits all” dalam tata kelola pemerintahan justru memperparah ketimpangan antarwilayah. Enggano hanyalah salah satu dari banyak wilayah yang menjadi korban generalisasi kebijakan yang tidak peka pada konteks. Sudah saatnya, negara berani mendesain sistem yang benar-benar tailor-made.

Jika menilik Undang-Undang Pemerintahan Daerah, memang ada ruang untuk pembentukan entitas administratif baru. Namun, realisasi di lapangan masih sangat minim. Salah satu sebabnya, tidak adanya model yang benar-benar relevan bagi kebutuhan wilayah 3T seperti Enggano—yang, sekali lagi, bukan wilayah industri, bukan pula kantong konflik, melainkan pulau terdepan dengan segala keterbatasannya.

Merumuskan Otorita Khusus Terintegrasi

Atas dasar refleksi panjang atas kegagalan model lama, saya menawarkan satu gagasan baru: Otorita Khusus Terintegrasi (OKT). OKT adalah model pemerintahan yang tidak sekadar menambah struktur birokrasi, namun mendesain ulang secara radikal cara negara hadir dan bekerja di wilayah-wilayah ekstrem seperti Enggano.

Dalam skema OKT, wilayah seperti Enggano dikelola oleh sebuah otorita yang bertanggung jawab langsung kepada kementerian, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Mandat yang diberikan luas dan terintegrasi, mulai dari pengelolaan layanan publik, pengembangan infrastruktur, hingga penyusunan kebijakan pembangunan. Kepala Otorita diangkat Presiden, sehingga stabilitas kepemimpinan lebih terjaga.

Dengan model ini, tidak lagi terjadi tumpang tindih atau tarik-ulur kepentingan antara kabupaten, provinsi, maupun pusat. Otorita Khusus Terintegrasi diberi kewenangan penuh dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, namun tetap dengan mekanisme pengawasan ketat dari pusat dan lembaga audit independen.

OKT juga memiliki karakteristik utama, yaitu fleksibilitas dan keterbukaan dalam merekrut tenaga profesional serta ASN dari seluruh Indonesia. Model pengelolaan sumber daya manusia ini memungkinkan wilayah 3T mendapatkan SDM terbaik dengan insentif yang kompetitif dan sistem merit yang jelas.

Lebih jauh, Otorita Khusus Terintegrasi diberikan kewenangan fiskal khusus. Anggaran yang dialokasikan tidak lagi terfragmentasi, melainkan berbentuk block grant yang dapat dikelola secara mandiri, disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas nyata di lapangan. Ini membuka ruang bagi inovasi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Berbicara tentang regulasi, tentu pembentukan OKT membutuhkan dasar hukum yang kuat, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun revisi undang-undang terkait. Namun, urgensi pembentukan OKT dapat lebih cepat dijawab dengan mengadopsi semangat “affirmative action” untuk wilayah 3T. Dengan demikian, proses hukum berjalan seiring dengan eksekusi nyata di lapangan.

Melalui OKT, Enggano diharapkan bisa menjadi lokomotif percepatan pembangunan di wilayah 3T. Semua program dan proyek strategis bisa langsung dirancang, diputuskan, dan dieksekusi oleh Otorita, tanpa harus menunggu restu dari level pemerintahan di atasnya. Hal ini akan sangat membantu percepatan layanan publik dan pembangunan infrastruktur dasar.

Model serupa sudah diterapkan di beberapa negara lain dengan karakteristik wilayah terpencil dan terluar. Misalnya, Northern Territory di Australia dan Nunavut di Kanada, yang mendapatkan kewenangan administratif langsung dari pemerintah pusat. Keberhasilan dua wilayah itu dalam menata pelayanan publik dan infrastruktur menjadi referensi penting, meski tentunya harus diadaptasi dengan konteks Indonesia.

Perlu dicatat, meski langsung di bawah kementerian, Otorita Khusus Terintegrasi tidak boleh menjadi lembaga yang tertutup. Harus ada ruang partisipasi masyarakat dan mekanisme checks and balances. Proses perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, hingga pelaksanaan program harus terbuka bagi publik dan melibatkan pemangku kepentingan lokal.

Selain pengawasan internal dan audit eksternal, pelibatan universitas, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil akan memperkuat tata kelola OKT. Mereka berperan tidak hanya sebagai mitra pembangunan, tetapi juga sebagai watchdog yang kritis terhadap pelaksanaan kebijakan di lapangan.

Pada titik ini, transformasi digital juga menjadi pilar utama. Dengan kondisi geografis Enggano yang menantang, pengelolaan layanan publik berbasis digital akan sangat membantu transparansi, efisiensi, dan kecepatan layanan. Sistem e-government bisa dioptimalkan untuk manajemen keuangan, administrasi kependudukan, hingga layanan kesehatan dan pendidikan.

Tentu saja, keberhasilan Otorita Khusus Terintegrasi sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah pusat. Alokasi dana, kejelasan kewenangan, serta konsistensi pengawasan harus benar-benar dijaga. Jangan sampai model baru ini hanya menjadi nama tanpa substansi, atau justru menjadi ruang baru bagi praktik-praktik penyimpangan.

Di sisi lain, teori administrasi negara klasik yang dikemukakan Max Weber tentang birokrasi memang menekankan pentingnya struktur hierarkis dan rasionalitas aturan. Namun, dalam konteks wilayah 3T seperti Enggano, model weberian ini acap kali justru menghadirkan hambatan baru, sebagaimana dikritik Herbert Simon lewat gagasan bounded rationality—di mana pengambilan keputusan dalam organisasi publik tidak pernah sepenuhnya rasional karena terbatasnya informasi dan sumber daya di lapangan. Dalam prakteknya, keterbatasan tersebut semakin nyata di wilayah terpencil, sehingga diperlukan lembaga yang lebih luwes dan adaptif. Menarik untuk dicermati, Elinor Ostrom pernah menegaskan bahwa kelembagaan publik harus dibangun secara tailor-made, sesuai konteks sosial dan lingkungan lokal, agar dapat benar-benar menjawab kebutuhan warga.

Kemudian, konsep governance dari James Rosenau serta pendekatan collaborative governance yang diusung Ansell dan Gash mempertegas urgensi sinergi multi-aktor dalam tata kelola publik, terutama untuk wilayah-wilayah yang kompleks seperti 3T. Keduanya menyebut bahwa pemerintahan yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung masyarakat sipil dan dunia usaha, bukan hanya negara. Sementara itu, Christopher Hood dalam konsep new public management menekankan perlunya efisiensi, akuntabilitas, dan inovasi dalam organisasi publik—suatu prinsip yang sangat sesuai dengan semangat Otorita Khusus Terintegrasi yang penulis tawarkan. Dengan mengadopsi pemikiran para ahli tersebut, desain OKT bagi Enggano dan wilayah 3T lain dapat benar-benar berakar pada landasan teoritik kuat, sekaligus tetap adaptif terhadap dinamika zaman.

Menyusun Jalan Baru Wilayah 3T

Setiap kebijakan baru selalu berpotensi menimbulkan resistensi. Tidak terkecuali OKT. Penolakan bisa datang dari birokrasi lama yang merasa kehilangan kewenangan, atau dari elite lokal yang khawatir kehilangan pengaruh. Oleh sebab itu, komunikasi publik yang jujur dan dialogis sangat diperlukan sejak awal.

Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan OKT. Mereka harus didengarkan aspirasinya, diberi ruang dalam pengawasan, dan diberdayakan dalam pelaksanaan program. Dengan demikian, keberadaan Otorita benar-benar menjadi milik bersama, bukan sekadar proyek dari atas.

Pemberdayaan masyarakat lokal juga menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan program. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur atau layanan publik, namun juga membangun kapasitas warga agar mampu mengelola, merawat, dan mengembangkan hasil pembangunan secara mandiri di masa depan.

Penguatan identitas dan budaya lokal menjadi bagian integral dari OKT. Setiap kebijakan pembangunan harus menghargai dan merangkul kearifan lokal, memastikan Enggano tidak kehilangan identitasnya di tengah derasnya arus modernisasi dan pembangunan.

Dalam konteks geopolitik, pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi juga menjadi bukti nyata kehadiran negara di wilayah perbatasan. Ini sangat penting dalam mempertegas kedaulatan dan integrasi nasional, khususnya di tengah meningkatnya dinamika kawasan regional.

Tidak kalah penting, pembangunan OKT harus berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Setiap proyek pembangunan wajib memastikan perlindungan ekosistem pulau, mengingat Enggano adalah wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Pelibatan ahli lingkungan dan komunitas lokal mutlak diperlukan.

Di sisi lain, ekonomi lokal harus menjadi prioritas. Otorita perlu mendorong pengembangan sektor-sektor potensial, seperti perikanan, pariwisata berbasis alam, dan pertanian organik yang sesuai dengan daya dukung pulau. Dukungan teknologi tepat guna dan akses pasar juga harus menjadi agenda strategis.

Agar pelayanan publik benar-benar berkualitas, penempatan guru, tenaga kesehatan, dan ASN profesional di Enggano perlu diberikan insentif khusus dan perlakuan afirmatif. Dengan demikian, wilayah 3T tidak lagi menjadi tempat “buangan” ASN, melainkan menjadi lokasi pengabdian yang bergengsi.

Selanjutnya, sinergi dengan perguruan tinggi dan dunia usaha akan mempercepat transfer teknologi dan inovasi. Enggano bisa menjadi laboratorium inovasi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kolaborasi dengan universitas akan membuka peluang riset terapan dan pengembangan kapasitas lokal yang berkelanjutan.

Dalam hal pembiayaan, Otorita perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran. Seluruh proses perencanaan dan penggunaan dana harus terbuka, dengan sistem pelaporan daring yang dapat diakses publik dan diaudit oleh lembaga independen. Ini menjadi pondasi utama membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah praktik korupsi.

Tak kalah penting adalah membangun indikator keberhasilan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warga. Indeks kebahagiaan, kesehatan, pendidikan, dan pelestarian lingkungan menjadi ukuran utama keberhasilan OKT di masa depan.

Setiap proses perubahan membutuhkan waktu dan adaptasi. Oleh karena itu, pembentukan OKT harus diiringi dengan mekanisme monitoring dan evaluasi yang rutin. Setiap kebijakan yang tidak berjalan efektif harus segera dievaluasi dan diperbaiki, dengan melibatkan masukan dari masyarakat dan para ahli.

Akhirnya, yang terpenting dari semua ini adalah memastikan bahwa Otorita Khusus Terintegrasi bukan sekadar solusi teknokratis, tetapi benar-benar menjadi jalan baru bagi keadilan pembangunan di wilayah 3T. Enggano harus menjadi contoh nyata bagaimana negara hadir, bukan sekadar di atas kertas, tetapi juga dalam realitas keseharian warga.

Pembentukan OKT tidak boleh dianggap sebagai proyek sementara. Ini harus menjadi komitmen jangka panjang negara dalam menuntaskan ketimpangan pembangunan. Setiap perubahan yang terjadi harus berpihak pada masyarakat, bukan pada elit atau kelompok tertentu.

Dengan kehadiran OKT, diharapkan wilayah 3T seperti Enggano tak lagi terpinggirkan. Sebaliknya, mereka justru bisa tumbuh menjadi pusat-pusat inovasi yang menginspirasi wilayah lain. Negara tidak lagi hadir sebagai “tamu”, melainkan benar-benar menjadi “tuan rumah” di rumahnya sendiri.

Afirmasi Komitmen dan Argumen Kunci

Pada akhirnya, gagasan pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi adalah refleksi dari tanggung jawab negara yang sesungguhnya. Inilah saatnya membuktikan bahwa keadilan pembangunan tidak berhenti di pulau-pulau besar, melainkan menjangkau hingga ke pulau terluar seperti Enggano.

Argumen utama yang harus dipegang adalah tidak ada satupun wilayah yang boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa uluran tangan negara. OKT menjadi instrumen nyata mewujudkan janji keadilan sosial dalam konstitusi dan cita-cita Nawacita yang digadang-gadang selama ini.

Kita belajar dari kegagalan masa lalu bahwa tata kelola birokrasi lama tidak sanggup melayani kebutuhan unik wilayah 3T. Kini, keberanian dan inovasi kebijakan adalah jawaban. Dengan OKT, negara bisa melompat lebih cepat, tanpa dibelenggu pola lama yang justru menghambat.

Dengan modal desain kelembagaan yang adaptif, komitmen politik yang kuat, dan pengawasan publik yang ketat, OKT sangat mungkin menjadi lokomotif baru pembangunan di wilayah 3T. Tentu, kesuksesannya membutuhkan gotong royong semua pihak—masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Justru, menunda berarti memperdalam jurang ketimpangan dan menambah beban masa depan bangsa. Enggano dan puluhan wilayah 3T lainnya pantas memperoleh keadilan yang telah lama mereka nanti-nantikan.

Referensi dalam tulisan ini cukup sebagai penguat argumen utama, bukan sebagai ornamen akademik. Pengalaman Batam, praktik otonomi di negara lain, serta pengalaman Indonesia dalam membangun kawasan khusus menjadi bahan pembelajaran yang memperkaya argumentasi.

Saya percaya, kehadiran Otorita Khusus Terintegrasi akan menjadi babak baru dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Model ini bukan sekadar solusi teknis, tetapi sekaligus bukti kehadiran negara yang lebih adil, responsif, dan berpihak pada yang paling membutuhkan.

Semoga Enggano, dan wilayah 3T lain, segera merasakan perubahan nyata dari keberanian negara dalam mendesain ulang tata kelola wilayahnya. Hanya dengan cara inilah, Indonesia benar-benar hadir dan berdaulat di setiap jengkal tanah airnya.
Enggano bukan nama asing bagi sebagian besar pejabat pusat. Pulau ini sering disebut dalam berbagai forum strategis, masuk dalam dokumen RPJMN, dan bahkan sampai memunculkan Inpres No. 12 Tahun 2025. Tapi di balik nama yang cantik itu, ada luka yang tak terlihat dari atas meja rapat: isolasi. Selama ini, kita menyangka pembangunan telah menjamah ke seluruh pelosok negeri. Kita bangga dengan narasi "dari Sabang sampai Merauke." Namun Enggano menunjukkan bahwa realitas di lapangan sering kali tak seindah dokumen resmi. Pulau ini kini benar-benar di ujung tanduk, tercekik oleh dua krisis sekaligus: macetnya distribusi hasil bumi dan kelangkaan BBM.

Di tengah gempita pembangunan nasional, Enggano tertinggal sendirian. Bayangkan sebuah pulau yang punya sumber daya alam melimpah, hasil laut segar, dan hutan yang belum banyak terjamah. Tapi semua itu tak berarti jika tidak ada jalan keluar. Selama empat bulan terakhir, alur laut menuju Pelabuhan Pulau Baai di Bengkulu mengalami pendangkalan parah. Dampaknya sangat nyata: tak ada kapal logistik yang bisa masuk atau keluar. Warga tidak bisa menjual kelapa, ikan, atau pisang. Semua menumpuk dan rusak di tempat.
Demonstrasi Menyuarakan Kondisi Darurat Enggano (Foto : AMAN Bengkulu)

Saya pernah bilang, bangsa ini bisa besar jika konektivitasnya utuh. Tapi konektivitas bukan hanya jalan tol atau bandara megah. Konektivitas adalah ketika warga di ujung Enggano bisa menjual hasil bumi ke Bengkulu tanpa harus menunggu kapal yang tak kunjung datang. Ketika pasokan BBM datang tepat waktu, bukan menunggu dua minggu hingga genset mati dan listrik padam. Ketika harga BBM bukan Rp 13 ribu per liter untuk pertalite, atau Rp 6 ribu untuk solar. Konektivitas adalah urusan nyawa dan masa depan. Dan di Enggano, konektivitas kini menjadi kemewahan.

Sebagian orang mungkin menganggap ini masalah teknis. Bahwa pengerukan pelabuhan sedang dilakukan oleh Pelindo II dan butuh waktu. Bahwa kapal logistik akan kembali beroperasi setelah alur laut kembali normal. Tapi bagi warga Enggano, ini bukan sekadar soal teknis. Ini tentang ekonomi rumah tangga yang lumpuh. Tentang anak-anak yang tak bisa belajar karena listrik padam. Tentang nelayan yang bingung harus bagaimana karena hasil lautnya tidak bisa dibawa ke darat. Ini tentang negara yang absen, meski dalam dokumen terlihat hadir.

Saya tidak sedang mengkritik siapa-siapa. Saya hanya ingin kita semua membuka mata. Apa yang terjadi di Enggano adalah gambaran telanjang dari gagalnya sistem distribusi logistik kita di wilayah terluar. Kita sering bicara soal transformasi digital, tapi lupa bahwa ada warga yang bahkan tak punya sinyal. Kita bicara ekonomi hijau, tapi lupa bahwa hasil bumi tidak bisa keluar dari pulau. Kita bicara soal ketahanan energi, tapi lupa bahwa PLTD di Enggano mati karena solar tidak masuk. Bukankah ini ironi?

Sejak Inpres 12/2025 dikeluarkan, harapan sebenarnya tumbuh. Tapi sayangnya, pelaksanaan di lapangan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sistemik. Tidak ada kapal pengangkut hasil bumi. Tidak ada SPBU darurat. Tidak ada trayek logistik tetap. Padahal, dalam 3 hari saja, langkah-langkah cepat sebenarnya bisa dilakukan. Mengapa belum? Mungkin karena Enggano terlalu jauh dari Jakarta. Mungkin karena laporan belum lengkap. Tapi alasan-alasan itu tidak layak lagi.

Bila kita mau, sebenarnya solusinya ada di depan mata. Kita bisa segera aktifkan kapal LCT berkapasitas dangkal untuk melayani trayek Enggano-Bengkulu secara mingguan. Tidak butuh infrastruktur mewah. Kita hanya butuh koordinasi cepat antarinstansi. Kita bisa bangun gudang transit untuk mengonsolidasikan hasil bumi. Kita bisa tugaskan koperasi atau BUMDes menjadi agregator komoditas. Pemerintah daerah punya SDM, pemerintah pusat punya anggaran. CSO dan warga juga siap.

Saya bertemu banyak kepala daerah yang frustrasi. Mereka ingin bergerak cepat, tapi terbentur birokrasi. Padahal krisis seperti ini tak bisa diatasi dengan mekanisme biasa. Perlu perlakuan luar biasa. Perlu pendekatan darurat. Ketika alur laut tertutup, jangan menunggu surat resmi untuk bertindak. Ketika listrik mati, jangan tunggu rapat koordinasi nasional. Ini soal keberpihakan. Kita harus berani membuat keputusan yang melompat.

Tentu saja, kita tidak sedang bicara tentang solusi jangka panjang hari ini. Itu penting, tapi yang lebih penting adalah menjamin bahwa warga Enggano bisa hidup layak mulai minggu depan. Listrik menyala, hasil bumi bisa dijual, dan BBM bisa dibeli dengan harga wajar. Maka, seharusnya sekarang pemerintah pusat menetapkan status "darurat distribusi logistik Enggano." Dengan begitu, anggaran bisa cair lebih cepat, dan kewenangan lintas instansi bisa digunakan secara luwes.

Setelah itu, kita bisa bicara tentang jangka menengah. Tentang pengerukan permanen alur Pulau Baai. Tentang penempatan SPBU mini permanen di Enggano. Tentang insentif bagi operator logistik yang mau masuk ke rute sulit ini. Bahkan tentang pembentukan BUMN Logistik 3T yang secara khusus melayani kawasan terluar. Tapi semua itu tidak akan terjadi kalau kita tidak memulai dari sekarang.

Saya sering ditanya, apa sih yang paling dibutuhkan di wilayah seperti Enggano? Jawabannya sederhana: kepastian. Kepastian bahwa kapal datang tiap minggu. Kepastian bahwa listrik menyala tiap hari. Kepastian bahwa harga BBM tidak melonjak setiap bulan. Kepastian bahwa warga tidak harus menunggu bantuan atau belas kasihan. Mereka butuh sistem, bukan hanya simpati.

Sebagai bangsa, kita tak bisa terus bergantung pada belas kasihan alam. Apalagi dengan iklim yang makin tak menentu. Kita butuh sistem logistik yang tahan terhadap guncangan. Maka, penting untuk menggabungkan kekuatan logistik, energi, dan transportasi dalam satu sistem respons darurat. Bukan sektoral, bukan ego kementerian, tapi terintegrasi. Enggano adalah panggilan untuk membentuk sistem itu.

Saya paham, kita sedang dalam masa transisi pasca Pemilu. Banyak yang fokus pada konstelasi politik. Tapi di sisi lain, rakyat di Enggano tidak bisa menunggu. Anak-anak tetap harus belajar. Warga tetap butuh makan. Kalau listrik mati, kalau BBM habis, maka pemerintahan apapun tak akan berarti bagi mereka. Di mata mereka, negara itu hadir ketika mereka bisa hidup wajar.

Kalau kita ingin Enggano menjadi contoh keberhasilan pembangunan wilayah terluar, maka kita harus serius hari ini. Kita tidak bisa hanya menjadikan pulau ini sebagai bahan presentasi atau indikator pencapaian politik. Kita harus menjadikannya laboratorium kebijakan konektivitas dan layanan dasar. Karena kalau Enggano saja bisa hidup normal, pulau-pulau lain pun pasti bisa.

Kita juga harus belajar dari kesalahan. Pendangkalan alur laut tidak bisa lagi dianggap sebagai kejadian biasa. Kita perlu sistem pemantauan alur pelabuhan yang real-time. Kita perlu standar minimum akses logistik untuk pulau terluar. Harus ada sistem alarm dini yang membuat kapal pengganti otomatis bergerak begitu jalur utama terganggu. Ini teknologi sederhana, tinggal kemauan politiknya.

Saya ingin tegaskan satu hal: warga Enggano tidak minta dibantu. Mereka hanya minta haknya dikembalikan. Hak atas energi, atas akses, atas pasar, atas layanan publik. Hak untuk merasa menjadi bagian dari Indonesia. Ini bukan soal bantuan, tapi soal kewajiban negara. Jadi, jangan salah tempatkan simpati. Tempatkan ia dalam kebijakan.

Tentu saya tidak menutup mata bahwa pengerukan alur itu butuh waktu. Tapi bukan berarti semua harus menunggu. Kita bisa melakukan solusi paralel. Kirim kapal kecil sekarang. Kirim solar sekarang. Bangun koordinasi darurat sekarang. Sekecil apapun gerakannya, asal terukur dan terjadwal, akan terasa dampaknya.

Mari kita ingat, Enggano bukan sekadar pulau terpencil. Ia adalah wajah Indonesia di batas terluar. Jika kita gagal di sana, kita akan kehilangan wajah kita sendiri. Pembangunan tak boleh berhenti di Sumatera. Ia harus melampaui, menjangkau, dan merangkul.

Saya percaya bangsa ini besar bukan karena kota-kota megapolitan, tapi karena kita mau menjaga desa-desa kecil, pulau-pulau sepi, dan orang-orang yang tinggal jauh dari pusat. Justru dari merekalah kita belajar apa arti keadilan sosial dan pembangunan inklusif. Enggano adalah pengingat, bukan penghalang.

Kalau hari ini kita biarkan Enggano sendiri, maka besok akan datang pulau lain yang senasib. Jangan tunggu satu per satu jatuh baru kita bergerak. Mari jadikan Enggano sebagai momentum untuk memperbaiki sistem kita. Bukan sekadar tambal sulam, tapi perubahan cara pandang dan pola tindak.

Dalam setiap perubahan besar, selalu ada satu krisis kecil yang menggerakkan semuanya. Mungkin, Enggano-lah krisis kecil itu. Jangan kita lewatkan.
Saya mengenal sekolah alam seperti mengenal kembali sebuah bentuk rumah yang lama hilang dari peta. Ia bukan rumah yang sempurna, tetapi terasa betul bahwa di dalamnya anak-anak bisa tumbuh, bukan hanya diasuh. Pertemuan pertama saya dengan sekolah alam terjadi belasan tahun lalu, ketika saya ikut pelatihan calon Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar. Kami diajak mengunjungi sekolah alam di Jawa Barat, dan saat itu, entah mengapa, hati saya tenang. Seperti menemukan sebuah konsep pendidikan yang selama ini hanya hadir sebagai desah kesal di dalam kepala: pendidikan yang tidak memaksa anak untuk jadi seragam. Di sekolah ini, saya melihat pendidikan bukan sebagai lintasan lomba, tapi sebagai perjalanan yang boleh pelan, boleh belok-belok, dan boleh istirahat.

Waktu itu saya belum punya anak. Tapi dalam hati saya menanam niat seperti menanam biji: “Kelak, aku akan menyekolahkan anakku di sekolah semacam ini.” Bukan karena sekolah ini keren. Bukan karena katanya berbasis alam. Tapi karena di tempat seperti itu, saya merasa anak-anak tidak perlu berpura-pura jadi siapa-siapa hanya untuk membuat orang dewasa bangga. Mereka cukup jadi anak-anak saja. Lucu, penasaran, kadang nakal, kadang diam-diam mengamati semut di tanah tanpa merasa bersalah.
Ilustrasi (Gambar : Foto Pribadi + Poles AI)

Bertahun kemudian, hidup membawa saya ke Bengkulu. Saya menikah, membangun keluarga kecil, dan punya dua anak kembar yang rasanya seperti matahari ganda: terang dua kali, riuh dua kali, repot dua kali. Tapi ketika Sarah dan Aisha, nama anak kembar saya, akhirnya masuk usia sekolah, saya ingat lagi niat lama itu. Dan ternyata, Bengkulu juga punya sekolah alam. Tidak sepopuler yang saya kunjungi dulu, tapi semangatnya sama. Sekolah ini tidak menjual mimpi jadi juara olimpiade, tapi menawarkan ruang untuk menjadi manusia utuh.

Saya tahu, banyak orang tua yang mendambakan sekolah dengan target-target tinggi: anak usia lima tahun sudah lancar membaca, anak TK sudah bisa menulis tegak bersambung, anak SD harus bisa jadi juara kelas. Tapi saya pernah belajar satu hal penting: perkembangan anak bukan lomba cepat-cepatan. Dan sekolah bukan tempat pabrikasi kecerdasan buatan. Maka saya membiarkan Sarah dan Aisha belajar sesuai ritmenya. Tidak saya paksa. Tidak saya cemas-cemaskan. Saya biarkan mengalir.

Waktu rapor tiba, saya deg-degan bukan karena ingin tahu nilai anak, tapi karena penasaran: bagaimana guru memandang proses anak saya? Bukan hasilnya, tapi langkah-langkah kecilnya. Dan ketika saya membaca rapor Sarah dan Aisha, saya seperti sedang membaca catatan perjalanan. Ada cerita tentang keberaniannya menyapa dan bersosialisasi dengan teman baru, ada observasi tentang kemandiriannya dalam makan dan pergi ke kamar mandi, ada pujian kecil tentang bagaimana ia mulai suka mendengarkan. Rapor itu seperti surat cinta dari guru yang ditulis dengan mata hati, bukan dengan kalkulator.

Saya terharu. Terharu karena sekolah ini tidak mempermalukan anak yang belum bisa membaca dan mengeja. Tidak memberi label “bodoh” pada anak yang menulis huruf kebalik. Tidak mencap “bermasalah” pada anak yang masih suka bengong memandangi pepohonan saat pelajaran berlangsung. Sekolah ini percaya bahwa proses lebih penting dari produk. Dan bahwa menjadi anak-anak adalah tahap penting yang tak boleh dicuri.

Saya pernah membaca analogi yang sangat menampar: jangan mengajarkan ikan untuk memanjat pohon. Itu bukan kegagalan ikan, tapi kegagalan sistem yang tidak mau mengenali keberagaman. Anak-anak bukan barang produksi, mereka adalah benih yang tumbuh dengan cara berbeda. Bahkan pohon yang sama pun bisa punya cabang dan arah tumbuh yang tidak identik. Jadi kenapa kita masih suka menyeragamkan anak-anak dalam satu kotak yang sama sempitnya?

Saya bersyukur, sekolahnya Sarah dan Aisha tidak memberi ranking. Tidak membuat piala plastik bertuliskan “juara satu” sebagai syarat merasa berhasil. Karena di usia TK, keberhasilan bukan soal bisa membaca dua halaman buku. Tapi bisa mengenal dirinya sendiri, bisa mengelola emosi, bisa bilang “maaf” ketika salah. Ranking dan pujian semu bisa menipu banyak hal. Tapi karakter? Itu investasi jangka panjang yang efeknya terasa seumur hidup.

Saya tahu sistem pendidikan kita masih belum berubah banyak. Masih banyak guru dan kepala sekolah yang lebih sibuk mendandani angka di raport daripada memperbaiki cara mendengarkan anak-anak. Tapi saya percaya, perubahan bisa dimulai dari ruang-ruang kecil. Dari kelas kecil di sekolah alam, dari guru-guru yang memutuskan untuk menilai anak dengan kata-kata, bukan angka. Dari orang tua yang mulai sadar bahwa prestasi anak tidak bisa disamakan seperti membandingkan jeruk dan apel.

Saya pernah mendengar curhat guru SD yang merasa frustrasi. Ia bilang, “Anak-anak sekarang pintar, tapi cepat stres.” Saya tidak heran. Karena sejak kecil mereka diajari bahwa nilai buruk adalah aib, bukan sinyal untuk belajar. Mereka ditakut-takuti dengan ujian, dibebani PR dari tiga mata pelajaran sekaligus, dan dipaksa duduk diam selama 4 jam seolah mereka robot pabrik. Anak-anak itu kehilangan haknya untuk merasa nyaman dengan proses.

Di sekolah Sarah dan Aisha, saya tidak melihat itu. Mereka memang belajar. Tapi juga berkebun, membuat kerajinan dari daun, berjalan-jalan ke banyak tempat baru, memasak bersama. Mereka membawa hewan peliharaan ke sekolah dan mengenal rasa tanggung jawab dari sana. Saya melihat Aisha, kini bisa bercerita panjang dengan diksi yang mengejutkan saya. Katanya, “Ayah, ayah berhentilah dulu nyopir. Dari tadi ayah menguap terus. Bahaya. Ayah belilah kopi biar tidak mengantuk", ucapnya secara spontan. Saya tidak tahu dari mana ia dapat kata-kata itu. Tapi saya yakin, sekolahnya menyuburkan kosakata instruksionalnya.

Rapor anak-anak di sekolah alam ini tidak hanya menilai “pencapaian belajar”, tapi juga menarasikan perjalanan batin mereka. Ada catatan tentang bagaimana anak menghadapi konflik dengan temannya, bagaimana ia belajar sabar ketika mainannya diambil, atau bagaimana ia mulai belajar mengantre tanpa merengek. Saya tidak tahu apakah semua orang tua merasa itu penting. Tapi saya, sebagai ayah, merasa itu adalah bagian paling krusial dari pendidikan.

Saya sering membayangkan begini: andai kita dulu diajari mengelola rasa marah, diajari untuk mengenali diri sendiri, diajari untuk menghargai proses, mungkin kita tidak akan tumbuh menjadi generasi yang gampang baper hanya karena beda pendapat di media sosial. Mungkin kita tidak akan cepat lelah menghadapi tekanan. Mungkin kita akan lebih siap menghadapi dunia yang keras dengan hati yang tetap lembut.

Memang, tidak semua sekolah bisa seperti ini. Tidak semua guru mau repot menulis narasi hingga berlembar-lembar untuk satu anak. Tidak semua orang tua menganggap penting catatan tentang “bagaimana anak bersikap saat kegiatan makan bersama”. Tapi jika kita bicara pendidikan anak usia dini, maka hal-hal semacam itu justru yang paling penting. Karena dasar karakter dibentuk dari hal-hal remeh yang dilakukan berulang.

Saya tidak anti dengan angka. Tapi saya yakin, angka tidak bisa menceritakan segalanya. Bahkan IPK tinggi pun kadang tidak menjamin seseorang punya rasa empati yang baik. Maka ketika rapor anak saya tidak menampilkan angka, saya tidak merasa kehilangan. Saya malah merasa mendapatkan lebih banyak: cerita, perhatian, dan arah.

Anak-anak saya memang belum bisa mengeja huruf dengan lancar. Tapi mereka bisa menyapa para petugas kebersihan di kampus saya dengan sopan. Mereka bisa bilang “terima kasih” tanpa disuruh. Mereka bisa memungut sampah dan meletakkannya ke tempat sampah tanpa drama. Buat saya, itu rapor yang nilainya paling tinggi.

Saya pernah menjadi siswa dengan rapor berisi tinta merah. Dulu saya malu. Sekarang saya sadar, tinta merah itu bukan luka, tapi alarm bahwa saya butuh pendekatan lain. Sayangnya dulu tak ada guru yang bisa membaca alarm itu. Sekarang, saya berharap anak saya tidak perlu mengalami hal yang sama.

Di hari pembagian rapor, saya tidak membawa pulang angka. Saya membawa pulang narasi. Saya membaca catatan guru seperti membaca jurnal kehidupan anak saya. Saya mencermati tiap kalimat seperti mencermati puisi. Saya tahu, guru yang menulis itu tidak sedang menilai, tapi sedang menemani. Dan itu adalah pekerjaan yang tidak semua orang bisa lakukan.

Saya percaya, sekolah seharusnya tempat anak merasa aman untuk tumbuh, bukan tempat takut untuk gagal. Maka saya bahagia melihat anak saya senang berangkat ke sekolah. Tidak ada drama pura-pura sakit. Tidak ada tangisan karena PR yang tak selesai. Mereka pulang dengan cerita, bukan keluhan.

Kita sering lupa: yang paling diingat anak dari masa sekolah bukan soal berapa nilai matematikanya, tapi bagaimana ia diperlakukan oleh gurunya. Apakah ia diterima, dihargai, didengarkan? Atau justru dibanding-bandingkan, dibentak, dan dijadikan kambing hitam?

Rapot anak saya kali ini tak membuat saya sombong. Tapi membuat saya semakin rendah hati: bahwa mendidik anak itu bukan lomba antar orang tua, tapi kerja sama penuh sabar antara keluarga dan sekolah. Kerja sunyi, yang hasilnya baru tampak setelah belasan tahun.

Saya tahu, kelak anak-anak saya akan bersekolah di tempat lain. Mungkin mereka akan masuk sistem yang tidak seideal sekarang. Tapi saya percaya, bekal karakter yang sedang mereka bangun di sekolah ini, akan menjadi kompas yang menuntun mereka saat nanti tersesat.

Maka hari ini, saya hanya ingin berterima kasih. Kepada para umi, sebutan untuk guru-guru di sekolah anak saya, yang sudah memilih menilai dengan kasih sayang, bukan hanya dengan angka. Yang sudah percaya bahwa tiap anak adalah makhluk unik, bukan bahan baku standar.

Dan tentu saja, terima kasih untuk anak-anak saya. Yang setiap hari memberi saya pelajaran tentang bagaimana menjadi ayah yang lebih baik. Yang kadang marah tanpa alasan, tapi juga bisa memeluk saat saya lelah. Terima kasih karena sudah tumbuh, meski pelan. Sudah berproses, meski belum sempurna.

Sekolah alam ini bukan tempat yang sempurna. Tapi ia memberi ruang untuk anak-anak jadi manusia. Dan buat saya, itu cukup.
Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KRITIK UNTUK STUDI MANAJEMEN : MENCETAK PEMIMPIN ABAD 21 YANG LAHIR DARI KAMPUS, BUKAN DARI SISA ERA INDUSTRI
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • MERANCANG ULANG NEGARA : WILAYAH 3T DAN URGENSI MODEL TATA KELOLA BARU
  • PRAMUKA DAN HIZBUL WATHAN ; DUA SEPUPU PANDU YANG TAK LEKANG OLEH ZAMAN
  • KAMUS [SERAPAN] BAHASA SANSKERTA - BAHASA INDONESIA

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar