Lumut itu makhluk yang sungguh keras kepala, ia tumbuh diam-diam tapi pasti. Awalnya hanya samar-samar kehijauan, tahu-tahu sudah tebal seperti karpet beludru yang licin bukan main. Saya memandangi halaman rumah pagi itu dengan perasaan yang campur aduk antara gemas dan malas. Paving block yang dulunya abu-abu gagah kini kalah telak oleh invasi tumbuhan kecil yang lembab itu.
Sudah lama saya berniat membersihkannya, tapi niat itu timbul tenggelam seperti gabus di air. Saya sadar diri, menyikat halaman seluas ini sendirian jelas bukan pekerjaan untuk orang yang pernah operasi HNP. Pinggang bisa nyeri, lutut bisa gemetar, dan besoknya pasti saya harus langganan koyo seharian penuh. Saya butuh orang lain, tenaga segar yang mau diajak kotor-kotoran menyikat lantai batu.
![]() |
| Ilustrasi (Gambar : AI Generated) |
Pikiran saya lantas berputar-putar mencari solusi, siapa gerangan yang bisa dimintai tolong untuk urusan sepele begini. Mau memanggil tukang bangunan rasanya kok terlalu berlebihan, ibarat membunuh nyamuk pakai meriam. Pekerjaan ini tidak butuh keahlian semen atau batu bata, hanya butuh tenaga sikat dan semprot air. Lagipula, tukang bangunan biasanya minta harian penuh, padahal ini pekerjaan setengah hari pun mungkin sudah tuntas tas. Saya sempat terpikir mencari mahasiswa, tapi keraguan langsung menyergap benak saya dengan cepat.
Mana ada mahasiswa zaman sekarang yang mau kerja kasar menyikat lumut di bawah terik matahari? Mereka biasanya lebih suka kerja di kafe ber-AC atau yang dibelakang layar komputer maupun gawai. Zaman sudah berubah, gengsi anak muda pun sudah bergeser jauh ke atas langit.
Tiba-tiba ingatan saya melompat pada sebuah fenomena yang sempat viral di media sosial beberapa waktu lalu.
Namanya "Santo Suruh", sebuah jasa unik yang melayani apa saja sesuai permintaan pelanggan. Itu bukan di Bengkulu, melainkan di kota besar di Jawa yang hiruk-pikuknya luar biasa. Tapi logika saya jalan, kalau di Jawa ada, biasanya di daerah lain pun akan muncul pengekornya. Saya iseng membuka ponsel, jari-jari saya menari di atas layar mencari kata kunci serupa di area Bengkulu. Siapa tahu ada anak muda kreatif yang menangkap peluang remah-remah seperti ini. Ternyata dugaan saya benar seratus persen, ada akun serupa yang menawarkan jasa tenaga serabutan. Bukan main senangnya hati saya menemukan solusi di ujung jari tanpa harus keluar pagar rumah.
Saya tidak menunggu lama, langsung saya kirim pesan lewat Direct Message ke akun tersebut dengan penuh harap. Responnya ternyata cepat sekali, tidak seperti birokrasi yang seringkali lambat dan berbelit-belit. Kami lantas berpindah ke aplikasi WhatsApp untuk percakapan yang lebih detail dan personal. Di profilnya tertulis spesialis kuras tandon air, sebuah pekerjaan yang juga butuh fisik prima dan keberanian masuk lubang sempit. Namun, ia menegaskan bisa mengerjakan apa saja asalkan diberitahu dulu jenis pekerjaannya. Ia perlu menimbang-nimbang apakah tenaganya sanggup atau peralatannya memadai untuk tugas itu.
Sikap profesional seperti ini justru membuat saya semakin yakin ia orang yang tepat. Tidak asal terima order, tapi mengukur kemampuan diri sendiri dulu. Ketika saya menelepon untuk memastikan waktu, suara di seberang sana terdengar agak ngos-ngosan namun tetap sopan. Rupanya mereka sedang berada di tengah pekerjaan lain yang terdengar cukup mengerikan bagi orang awam. Mereka sedang menguras sumur warga yang kemasukan bangkai kucing yang sudah membusuk. Saya bisa membayangkan baunya, membayangkan betapa tidak nyamannya pekerjaan itu. Tapi anak ini bicaranya santai saja, seolah itu hanya sekadar mengangkat jemuran yang jatuh.
Ia minta waktu sebentar untuk menyelesaikan "drama kucing" itu sebelum meluncur ke rumah saya. Saya menyanggupi menunggu, toh lumut di halaman saya tidak akan lari ke mana-mana. Justru rasa penasaran saya makin membuncah ingin melihat siapa sosok di balik suara itu.
Dua jam kemudian pagar rumah saya diketuk, dan muncullah dua orang anak muda dengan motor matic. Saya kira dia akan datang sendirian, ternyata ia membawa kawan untuk "keroyokan" biar cepat selesai. Strategi yang bagus, pikir saya, karena menyikat lumut sendirian memang membosankan dan melelahkan. Mereka turun dari motor dengan sigap, menurunkan peralatan tempur mereka sendiri. Ada semacam pengikis lumut, ada sapu, dan entah alat apa lagi yang mereka bawa dalam tas punggung itu. Tak ketinggalan, satu bungkus rokok terlihat menyembul dari saku celana salah satunya. "Ini resep biar kuat kerja, Pak," katanya sambil tertawa renyah tanpa beban. Saya hanya tersenyum simpul melihat kepolosan dan kejujuran "doping" mereka.
Mereka langsung bekerja tanpa banyak babibu, seolah sudah hafal betul karakter musuh yang bernama lumut itu. Air disemprotkan, sikat kawat beradu dengan paving block menimbulkan suara srek-srek yang ritmis. Saya perhatikan dari teras, kerja mereka sangat sistematis, berbagi area agar tidak tumpang tindih. Keringat mulai bercucuran deras membasahi kaos mereka, tapi tawa dan canda sesekali masih terdengar. Tiga jam berlalu, dan halaman rumah saya sudah berubah wajah secara total. Lumut-lumut hijau yang tadi pagi masih sombong kini sudah lenyap tak berbekas masuk ke selokan. Paving block kembali ke warna aslinya, bersih, kesat, dan enak dipandang mata. Kerja mereka efisien, tidak mengulur waktu demi terlihat sibuk.
Saatnya sesi pembayaran, momen yang paling ditunggu oleh setiap pekerja di muka bumi ini. Saya menyerahkan uang sesuai kesepakatan awal. Kami lantas duduk sebentar di teras, minum kopi dan cemilan yang sudah disiapkan orang rumah. Obrolan ringan pun mulai mengalir, membuka tabir siapa sebenarnya dua anak muda perkasa ini. Saya bertanya tentang asal-usul mereka, mengira mereka adalah pemuda putus sekolah yang sedang berjuang hidup. Jawaban mereka justru membuat saya terlonjak kaget sampai hampir tersedak kopi. Ternyata mereka masih berstatus pelajar SMA, sekolah di salah satu SMA negeri di kota ini. Wajah mereka memang terlihat muda, tapi semangat kerjanya melampaui usia KTP mereka.
Rasa kaget saya belum selesai, masih ada kejutan kedua yang lebih menohok logika saya. Ketika kami bercerita tentang pekerjaan, saya menyebutkan bahwa saya adalah seorang dosen. Tiba-tiba salah satu dari mereka menimpali dengan santai, "Ibu saya juga dosen, Pak." Saya kejar lagi pertanyaannya, dosen di mana, swasta atau negeri? Ia menyebut salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama di Bengkulu. Kepala saya geleng-geleng, ini benar-benar anomali yang menyenangkan. Anak seorang dosen, dari keluarga terdidik, biasanya dimanja atau setidaknya gengsinya selangit. Tapi anak ini malah mau menyikat lumut dan menguras sumur bau bangkai. Sebuah kontradiksi sosial yang jarang saya temui di era gawai canggih ini.
Saya tidak tahan untuk tidak bertanya soal rasa malu, sebuah perasaan yang sering menghambat kemajuan. "Apa kamu tidak malu kerja begini? Teman-temanmu kan mungkin lagi nongkrong di mall." Dia menjawab dengan lugas, matanya menatap lurus ke arah saya tanpa keraguan sedikitpun. "Kenapa harus malu Pak? Ini uang halal, bukan hasil nipu orang." Jawaban standar memang, tapi keluar dari mulut anak SMA zaman sekarang, rasanya jadi istimewa. Dia bilang teman-temannya tahu, dan dia masa bodoh dengan komentar orang lain. Baginya, rasa malu tidak akan membuat dompetnya terisi uang sepeser pun.
Alasannya bekerja pun sangat sederhana namun menampar banyak orang dewasa yang masih merengek pada orang tua. Ia ingin melatih diri, menempa mental agar siap menghadapi dunia kerja yang sebenarnya nanti. Ia sadar, teori di sekolah tidak mengajarkan bagaimana rasanya punggung pegal mencari duit. Selain itu, alasan utamanya adalah untuk kemandirian finansial skala kecil-kecilan. Uang rokok dan uang bensin, katanya, haram hukumnya minta pada ibu yang sudah capek mengajar. Ia ingin asap rokok yang ia hisap itu murni hasil keringatnya sendiri. Ada kebanggaan laki-laki di sana, sebuah ego positif yang patut diacungi jempol dua tangan.
Produktivitas mereka pun bukan kaleng-kaleng untuk ukuran anak sekolah yang masih punya PR. Dalam sehari, jika sedang libur atau pulang cepat, ia bisa mengerjakan dua sampai tiga orderan. Kadang kuras tandon pagi hari, siang bersihkan rumput, sore bantu angkat barang pindahan. Energinya seolah tidak ada habisnya, khas anak muda yang darahnya masih mendidih. Hasilnya? "Lumayan Pak, rokok aman, kuota aman, bisa nabung dikit," ujarnya sambil cengengesan. Mereka mengubah waktu luang yang biasanya dipakai main game menjadi pundi-pundi rupiah nyata. Kalkulasi bisnisnya jalan, manajemen waktunya pun tertata dengan rapi secara alamiah.
Ini adalah sebuah potret yang melawan arus utama stigma tentang Generasi Z atau Gen Z. Di luaran sana, orang tua sering mengeluh anak zaman sekarang lembek seperti stroberi. Sedikit tekanan langsung penyok, sedikit susah langsung healing ke club malam. Dibilang mental kerupuk, tidak tahan banting, dan manja karena kemudahan teknologi. Tapi dua anak di depan saya ini mematahkan semua anggapan miring tersebut dengan sikat kawat di tangan. Mereka Gen Z, mereka melek teknologi, tapi mereka tidak takut tangan kapalan. Mereka adalah antitesis dari keluhan para HRD perusahaan yang pusing menghadapi karyawan muda.
Teknologi bagi mereka bukan sekadar alat untuk pamer eksistensi atau joget-joget tidak jelas. Mereka menggunakan media sosial sebagai etalase dagang, sebagai papan reklame digital yang gratis. Akun Instagram mereka dikelola layaknya manajer pemasaran profesional. Foto "Before-After" pekerjaan diposting dengan caption yang menarik dan meyakinkan calon klien. Mereka sadar, di era ini, siapa yang terlihat dialah yang akan dipilih orang. Tanpa teknologi, mungkin mereka hanya akan jadi kuli panggul pasar yang menunggu bola. Dengan teknologi, mereka menjemput bola, bahkan menendang bolanya ke gawang rezeki.
Fenomena ini menarik untuk dibedah lebih dalam dari sisi sosiologi ekonomi perkotaan modern. Dulu, kerja serabutan identik dengan orang yang tidak punya skill dan tidak punya pendidikan. Sekarang, kerja serabutan menjadi pilihan sadar kaum terpelajar untuk mengisi waktu luang (gap time). Sifat pekerjaannya on-demand, sesuai permintaan, fleksibel, dan tanpa ikatan kontrak yang kaku. Ini adalah bentuk gig economy level paling dasar namun paling nyata di masyarakat. Tidak ada serikat buruh, tidak ada tuntutan kenaikan UMR, yang ada hanya kesepakatan dua pihak. Sederhana, cepat, transparan, dan saling menguntungkan satu sama lain.
Saya jadi berpikir untuk membuat istilah baru bagi anak-anak muda model begini. Kalau disebut kuli, rasanya terlalu kasar dan berkonotasi pada pekerjaan tanpa otak. Kalau disebut freelancer, rasanya terlalu kebarat-baratan dan biasanya identik dengan kerja depan laptop. Mereka ini unik, kerjanya fisik (otot), tapi cara dapat kerjanya digital (otak), dan pelakunya pelajar (status). Saya ingin menyebut mereka "Blue-Z" (Blue Collar Gen Z). Pasukan kerah biru dari generasi Z yang bangga dengan keringatnya sendiri. Istilah ini terdengar cukup keren rasanya, sekeren cara mereka menyikapi hidup yang keras ini.
Fenomena Blue-Z ini mengajarkan kita bahwa pola asuh orang tua memegang peranan kunci. Sang ibu yang dosen itu pasti punya andil besar dalam membentuk mental baja anaknya. Bisa saja ibunya melarang, "Jangan malu-maluin Ibu dong, masa anak dosen jadi tukang kuras sumur." Tapi ibunya membiarkan, atau malah mungkin mendukung diam-diam dari belakang layar. Itu bentuk pendidikan karakter yang tidak ada di kurikulum sekolah manapun di Indonesia.
Membiarkan anak merasakan susahnya cari uang adalah warisan terbaik daripada sekadar mewariskan deposito. Anak jadi tahu harga uang, tahu susahnya memeras keringat, dan akan lebih menghargai orang lain.
Kita sering terjebak pada pemikiran bahwa anak pejabat harus jadi pejabat, anak dosen harus jadi akademisi. Pola pikir feodal seperti itu harusnya sudah dikubur dalam-dalam bersama masa lalu. Di negara maju seperti Amerika atau Tiongkok, anak orang kaya kerja cuci piring saat musim panas itu biasa. Di kita, hal seperti itu masih sering dianggap aib atau tanda orang tua pelit. Padahal, justru di situlah letak kawah candradimuka sesungguhnya bagi mental seorang pemuda. Blue-Z seperti anak ini mendobrak tembok feodalisme itu dengan santai sambil merokok. Mereka tidak peduli status sosial orang tua, yang penting dompet sendiri tebal.
Keberadaan "Santo Suruh" lokal di Bengkulu ini juga menandakan adanya pergeseran pasar tenaga kerja informal. Orang-orang seperti saya, kelas menengah yang sibuk (atau sok sibuk), adalah pasar yang empuk. Kami butuh bantuan, tapi bingung mau minta tolong siapa karena tetangga pun sama sibuknya. Celah inilah yang dimasuki oleh anak-anak Blue-Z dengan cerdas dan trengginas. Mereka menawarkan solusi praktis, harga terjangkau, dan pelayanan yang memuaskan hati pelanggan. Ini bisnis jasa murni, yang modal utamanya adalah kepercayaan dan tenaga. Selama mereka bisa menjaga kepercayaan, pesanan akan terus mengalir deras ke WA mereka.
Saya membayangkan, jika ada seribu anak muda seperti ini di satu kota, ekonomi akan berputar kencang. Uang jajan tidak minta orang tua, berarti beban orang tua berkurang drastis. Uang hasil kerja dibelanjakan lagi untuk rokok, makanan, atau hobi, menggerakkan ekonomi warung kecil. Roda ekonomi mikro berputar bukan karena subsidi pemerintah, tapi karena etos kerja warganya. Ini adalah kemandirian yang nyata, bukan kemandirian yang hanya ada di pidato-pidato pejabat. Bangsa ini butuh lebih banyak Blue-Z, bukan generasi "Harap-Cemas" (Harap-harap cemas menunggu warisan).
Mungkin ada yang mencibir, "Ah, itu kan eksploitasi anak di bawah umur secara terselubung." Tunggu dulu, jangan buru-buru pakai kacamata kuda hukum yang kaku. Ini bukan paksaan, ini pilihan sadar mereka untuk mengisi waktu luang dengan produktif. Mereka tidak putus sekolah, nilai mereka aman-aman saja, dan fisik mereka sehat walafiat. Justru kalau dilarang, mereka malah lari ke hal negatif seperti narkoba atau tawuran. Biarkan mereka berkarya dengan cara mereka, biarkan mereka lelah karena bekerja. Tidur mereka akan nyenyak, dan bangun pagi dengan perasaan bangga sebagai laki-laki.
Saya teringat masa kuliah saya dulu, yang juga harus banting tulang untuk bisa membeli barang yang saya inginkan. Bedanya, dulu internet belum semasif saat ini, belum ada Instagram untuk promosi jasa. Dulu harus jadi makelar hotel dan bus untuk paket wisata, jadi wartawan yang harus panas-panasan meliput berita, hingga jadi EO berbagai acara di Jogja. Sekarang, anak-anak ini tinggal duduk manis menunggu notifikasi, lalu berangkat kerja dengan gaya. Zaman berubah, alat berubah, tapi esensi kerja keras tetap sama abadi. Nilai juangnya sama, keringatnya rasanya sama asinnya, uangnya sama lezatnya.
Di akhir pertemuan, saya menepuk bahu mereka dengan rasa bangga yang tidak dibuat-buat. Mereka tersenyum, mengemasi barang, menyalakan motor, dan melambaikan tangan pamit. Asap knalpot dan asap rokok berbaur menjadi satu, mengiringi kepergian pahlawan pembasmi lumut itu. Halaman rumah saya bersih, hati saya pun ikut terasa bersih dan plong. Ada harapan besar melihat anak-anak muda model begini tumbuh di negeri ini.
Fenomena Blue-Z adalah sinyal positif bahwa demografi kita tidak sepenuhnya berisi anak muda yang manja. Ada lapisan anak muda yang tangguh, cerdik, dan tidak gengsian yang siap menyongsong masa depan. Mereka tidak butuh seminar motivasi yang berbusa-busa di hotel berbintang. Motivasi mereka ada di lapangan, di sumur bau bangkai, di halaman berlumut, di tandon air yang kotor. Guru kehidupan mereka adalah pengalaman langsung, bukan slide power point.
Semoga jasa "Santo Suruh" versi Bengkulu dan kota-kota lain terus berkembang biak. Biarkan mereka menjadi solusi bagi masalah-masalah remeh temeh rumah tangga kita. Dan bagi kita para orang tua, belajarlah dari ibu dosen di Bengkulu itu. Tega sedikit pada anak demi masa depan mereka yang lebih kuat, itu adalah bentuk cinta tertinggi. Jangan biarkan anak kita jadi bonsai yang indah tapi kerdil, biarkan jadi pohon jati di hutan belantara. Blue-Z, kalian memang istimewa.








