Andi Azhar
  • Beranda
  • Mimbar
    • Khazanah Islam
    • Kolak Pisang
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
    • Bengkulu
    • Bisnis
  • Lakon
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • Interlokal
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Pariwara
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Jejak
  • Sangu
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Sejak masa kerajaan-kerajaan Jawa, masyarakat memiliki cara tersendiri untuk membaca kelayakan seorang pemimpin. Kelayakan tidak ditentukan hanya oleh garis keturunan, tetapi juga oleh sesuatu yang dipahami sebagai wahyu kepabron. Wahyu ini dipandang sebagai pertanda kedewasaan batin, kematangan moral, dan kesiapan seseorang memegang amanah besar. Dalam tradisi lama, wahyu kepabron dipercaya hadir bersama pribadi yang mampu menjaga diri, mampu menahan ambisi, dan mampu memelihara harmoni di tengah masyarakatnya. Harmoni menjadi simbol utama bahwa seseorang pantas memimpin. Kepantasan itu dinilai melalui perilaku, bukan sekadar pernyataan.

Cerita-cerita tentang wahyu kepabron menjadi bagian penting dalam narasi kekuasaan kerajaan Jawa. Kisah naik-turunnya raja sering dijelaskan melalui hadir atau hilangnya wahyu tersebut. Ketika seorang raja menjaga kebijaksanaan, keteguhan, dan kehati-hatian, masyarakat menilai bahwa wahyu masih bersamanya. Ketika raja menunjukkan perilaku yang mengganggu harmoni, masyarakat akan membaca bahwa wahyu mulai menjauh. Cara pandang ini membuat masyarakat lebih menilai batin seorang pemimpin daripada apa yang tampak di permukaan. Dengan demikian, wahyu kepabron adalah konsep budaya yang menilai kelayakan moral berdasarkan perilaku nyata.

Ilustrasi Raja di Era Digital (Gambar : AI Generated)

Perubahan besar dalam cara publik menilai kepemimpinan terasa kuat sejak ruang digital menjadi pusat komunikasi sosial. Publik memberikan perhatian bukan lagi dari cerita turun-temurun, tetapi dari jejak tindakan yang muncul setiap hari di layar. Perubahan ini mengatur ulang bagaimana dukungan politik terbentuk dan bagaimana legitimasi dibangun. Dalam kondisi seperti ini, struktur kekuasaan menghadapi tekanan untuk menjadi lebih terbuka dan lebih konsisten. Tekanan tersebut membuat konsep kelayakan pemimpin mengalami pergeseran. Pergeseran ini berlangsung bertahap mengikuti perkembangan teknologi.

Masyarakat Indonesia yang akrab dengan budaya Jawa membawa ingatan lama ketika menilai pemimpin. Konsep wahyu kepabron tetap menjadi rujukan batin, meski wujudnya tidak lagi sama. Dalam Etika Jawa, Franz Magnis Suseno menjelaskan bahwa pemimpin dihargai karena kedalaman wataknya. Kedalaman itu terlihat dari ketenangan, kesabaran, dan kemampuan menjaga harmoni. Pada masa lalu, harmoni dibaca dari tindakan sehari-hari. Kini harmoni itu dibaca dari pola komunikasi digital. Pola ini menjadi rujukan publik untuk membaca kualitas batin pemimpin.

Ruang digital membuat semua tindakan mudah diamati. Pengamatan publik tidak memiliki batas ruang dan waktu. Setiap pernyataan yang tidak tepat akan langsung mendapat respons. Respons publik membentuk persepsi. Persepsi menentukan legitimasi. Legitimasi menjadi dasar bagi pemimpin untuk menjalankan kebijakan. Legitimasi tidak lagi bergantung pada simbol atau cerita, tetapi pada konsistensi tindakan yang terekam.

Bukti menjadi lebih penting daripada kesan. Bukti itu berupa jejak digital yang bertahan lama dan sulit dihapus. Orang dapat melihat bagaimana pemimpin bersikap dalam krisis, menjawab kritik, dan menjelaskan kebijakan. Semua rekam tindakan itu membentuk gambaran tentang kelayakan. Publik akan mengingat pola, bukan momen tunggal. Pola inilah yang menjadi dasar penilaian masyarakat dalam era digital.

Dinamika tersebut membuat ruang digital menjadi pusat perhatian publik. Setiap unggahan menjadi bagian dari rekam tindakan. Setiap klarifikasi menjadi bagian dari penilaian. Pemimpin harus memahami bahwa penilaian publik tidak hanya mengenai isi pesan, tetapi juga cara menyampaikan pesan. Konsistensi menjadi faktor kunci dalam membangun persepsi positif. Persepsi positif memperkuat legitimasi.

Ketika perhatian bergerak cepat, kejelasan komunikasi menjadi kebutuhan utama. Kejelasan memberi pegangan bagi publik dalam memahami arah kebijakan. Tanpa kejelasan, publik mudah terpengaruh oleh informasi yang lebih cepat, meski tidak akurat. Di sini peran pemimpin diuji untuk tetap menjaga ritme komunikasi yang terukur. Ritme yang terukur membantu membangun stabilitas. Stabilitas menjadi dasar bagi kepercayaan publik.

Di tengah perubahan ini, muncul tantangan besar berupa banjir informasi. Informasi tidak selalu jernih. Namun di balik tantangan itu terdapat peluang untuk membangun hubungan lebih dekat dengan masyarakat. Ruang digital membuka jalan bagi dialog langsung. Dialog yang terbuka membentuk hubungan yang lebih kuat. Hubungan mengarah pada penerimaan. Penerimaan menjadi unsur penting dalam membangun legitimasi.

Jejak digital membuat standar baru dalam menilai pemimpin. Setiap tindakan memiliki konsekuensi. Pemimpin perlu menjaga kesesuaian antara kata dan tindakan. Publik sangat sensitif terhadap ketidaksesuaian. Ketidaksesuaian memicu keraguan. Keraguan merusak legitimasi. Legitimasi yang rusak membuat pemimpin kehilangan kepercayaan.

Walaupun ruang digital membawa perubahan besar, nilai budaya tetap menjadi bagian penting. Nilai seperti ketenangan, kebijaksanaan, dan pengendalian diri tidak hilang. Nilai itu justru menjadi lebih terlihat dalam cara pemimpin menghadapi tekanan digital. Respon yang tergesa atau emosional akan mudah terbaca. Publik mengharapkan pemimpin yang matang secara batin. Kematangan terlihat dari ritme komunikasi yang stabil.

Stabilitas itu sejalan dengan inti konsep wahyu kepabron. Dalam budaya Jawa, pemimpin yang matang menjaga keseimbangan dalam situasi sulit. Era digital membuat ujian keseimbangan lebih sering muncul. Ujian itu datang dari komentar publik, dari kritik, atau dari informasi salah. Pemimpin yang matang akan menjaga ketenangan. Ketengan akan terlihat dalam rekam digital. Rekam tindakan yang stabil memberi rasa aman bagi publik.

Rasa aman menjadi dasar dari kepercayaan. Kepercayaan menentukan dukungan. Dukungan memberi legitimasi. Legitimasi kemudian memberi ruang bagi pemimpin untuk menjalankan visi. Visi yang kuat memerlukan pijakan kepercayaan publik. Kepercayaan publik tidak hadir secara otomatis. Kepercayaan harus dibangun melalui rekam tindakan yang konsisten.

Manuel Castells dalam Communication Power menekankan bahwa kekuasaan di era digital terbentuk melalui kemampuan mengatur arus informasi. Pemimpin yang mampu menjaga aliran informasi tetap jernih memiliki peluang lebih besar mempertahankan dukungan publik. Dukungan publik menjadi penentu ketahanan politik. Ketahanan politik menentukan stabilitas kebijakan. Stabilitas adalah syarat minimum bagi pembangunan jangka panjang.

Fenomena ini membuat pemimpin harus lebih peka terhadap perubahan suasana publik. Publik tidak lagi mengikuti pemimpin hanya karena posisi. Publik menimbang melalui bukti dan rekam tindakan. Penimbangan ini membuat struktur kekuasaan lebih terbuka. Keterbukaan menuntut pemimpin menjaga kualitas komunikasi. Kualitas komunikasi mempengaruhi legitimasi.

Gabungan antara nilai tradisi dan kecakapan digital menjadi fondasi kepemimpinan masa kini. Nilai tradisi menyediakan kedalaman moral. Kecakapan digital memberikan kemampuan membaca situasi modern. Keduanya harus berjalan beriringan. Ketika salah satu hilang, kepemimpinan menjadi pincang. Pemimpin membutuhkan keduanya untuk bertahan di tengah perubahan cepat.

Era digital juga menguji ritme komunikasi pemimpin. Ritme yang terlalu sering dapat melelahkan publik. Ritme yang terlalu jarang dapat membuat pemimpin dianggap tidak hadir. Keseimbangan adalah kuncinya. Keseimbangan menunjukkan kematangan. Kematangan memberikan kesan bahwa pemimpin memahami situasi. Pemahaman itu memperkuat kepercayaan.

Dalam budaya Jawa, pemimpin ideal adalah pemimpin yang mampu menjaga batas dan tidak terjebak pada godaan untuk tampil berlebihan. Prinsip itu tetap relevan dalam ruang digital. Pemimpin perlu memilih waktu yang tepat untuk berbicara dan waktu yang tepat untuk diam. Diam bukan berarti absen. Diam adalah bagian dari strategi menjaga kejernihan. Kejernihan menjadi tanda kematangan.

Kematangan itu juga terlihat dari cara pemimpin menjaga jarak aman dengan konflik digital. Konflik digital mudah membakar emosi. Pemimpin harus menjaga jarak agar tetap jernih. Jernih dalam menilai situasi. Jernih dalam merumuskan respons. Respons yang jernih memperlihatkan kedewasaan. Kedewasaan menjadi dasar penerimaan publik.

Ketika publik menerima pemimpin, hubungan sosial menjadi lebih stabil. Stabilitas ini memberi ruang bagi pemimpin untuk memperbaiki kebijakan secara berkelanjutan. Keberlanjutan membutuhkan kepercayaan. Kepercayaan membutuhkan rekam tindakan yang konsisten. Konsistensi itulah yang menjadi rujukan utama bagi publik dalam menilai pemimpin masa kini.

Namun konsistensi bukanlah sesuatu yang mudah dijaga. Inkonsistensi menjadi tantangan besar dalam era digital karena publik memiliki memori kolektif. Memori ini tersimpan dalam arsip internet. Pernyataan lama dapat muncul kembali kapan saja. Ketika pernyataan itu tidak selaras dengan tindakan baru, publik akan mempertanyakannya. Pertanyaan itu bisa berkembang menjadi kritik. Kritik yang tidak terkelola akan menggerus legitimasi.

Stabilitas dalam menghadapi kritik menjadi ukuran penting. Publik menghargai pemimpin yang tidak defensif dan tetap rasional. Rasionalitas memberi ruang bagi dialog. Dialog menciptakan hubungan yang sehat antara pemimpin dan masyarakat. Hubungan yang sehat melahirkan penerimaan sosial. Penerimaan sosial menguatkan posisi politik.

Dalam sistem politik modern, persepsi sering lebih berpengaruh daripada realitas. Persepsi dibentuk oleh rekam tindakan yang mudah dilihat. Rekam yang stabil membentuk persepsi positif. Persepsi positif menciptakan rasa aman. Rasa aman mendorong dukungan. Dukungan mendukung kelangsungan kepemimpinan. Keberlangsungan menciptakan ruang kerja yang lebih tenang.

Di sinilah tradisi dan teknologi bertemu secara nyata. Tradisi memberikan kerangka moral. Teknologi memberikan sarana untuk menampilkan rekam tindakan. Pertemuan keduanya melahirkan cara baru dalam membaca kelayakan pemimpin. Kelayakan tidak hanya dinilai dari nasab atau posisi, tetapi dari rekam tindakan yang dapat diuji. Uji itu berlangsung setiap hari. Setiap hari publik memberikan penilaian.

Ketika penilaian itu konsisten positif, legitimasi tumbuh dengan kuat. Legitimasi kuat mencerminkan bahwa pemimpin memiliki dasar yang kokoh dalam menjalankan tugas. Dasar ini bukan sekadar formalitas. Dasar ini berasal dari penerimaan sosial yang terbentuk dari proses panjang. Proses panjang itu terlihat dalam dengan jelas di ruang digital.

Pada akhirnya, pemimpin masa kini memerlukan dua fondasi utama, yaitu moralitas yang diakui publik dan rekam tindakan yang stabil. Moralitas berasal dari nilai budaya yang menuntut kebijaksanaan dan keseimbangan. Rekam tindakan berasal dari ruang digital yang menyimpan seluruh jejak komunikasi. Ketika kedua fondasi ini berpadu, publik melihat kelayakan yang lengkap. Kelayakan ini menjadi bentuk mutakhir dari tradisi lama yang terus hidup. Bentuk inilah yang kini dikenal sebagai Wahyu Kepabron di Era Digital.

Pagi tadi saya tidak ke pantai. Juga tidak ke kolam renang. Dua tujuan favorit saya di hari Minggu. Kali ini jalurnya berbeda. Saya belok ke Balai Buntar. Sebuah gedung pertemuan milik Pemprov yang letaknya hanya sepuluh menit dari rumah. Biasanya gedung itu tampak besar tapi sepi, terlebih Senin sampai Jumat. Pintu terkunci. Lampu padam. Halamannya lengang. Tapi Minggu pagi seperti tadi, tempat itu berubah jadi ruang hidup yang ramai dan penuh energi.

Kendaraan saya melaju pelan memasuki area parkir. Matahari belum tinggi, tapi suara orang berolahraga sudah ramai. Ada yang lari memutari halaman. Ada yang jalan cepat sambil memakai smartwatch. Ada yang senam mengikuti instruktur. Ada yang mengatur nafas, melakukan pendinginan, atau sekadar duduk menunggu teman. Udara pagi itu seperti punya nada riang. Ada getaran semangat yang sulit dicari di hari kerja.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Saya datang bersama istri dan anak-anak. Dua anak saya membawa sepeda kecilnya. Mereka langsung melesat begitu turun dari kendaraan. Istri saya tersenyum, mengawasi sebentar, lalu bergabung jalan kaki bersama saya. Rencana kami sederhana, enam putaran mengelilingi halaman Balai Buntar. Lumayan untuk memeras keringat. Lumayan untuk membuang lemak yang saya kumpulkan dari rapat dan makan tak teratur sepanjang minggu.

Putaran pertama masih enteng. Nafas belum terasa berat. Putaran kedua mulai ada keringat di dahi. Putaran ketiga mulai terasa ritmenya. Sejak putaran pertana kami bertemu rekan sesama dosen. Ia sedang berjalan sendiri. Kami lalu berjalan bertiga. Ngobrol sambil terus melangkah. Obrolannya macam-macam. Mulai dari mahasiswa, penelitian, sampai tugas administrasi yang tidak pernah selesai.

Putaran kelima terasa lebih cepat karena sambil bercerita. Putaran keenam terasa paling berat. Mungkin karena kami sudah mulai gobyos. Tapi, justru di saat itu tubuh terasa lebih hidup. Keringat seperti membersihkan kepala. Ada rasa lega yang muncul tiap kali Minggu pagi saya habiskan seperti ini.

Sambil pendinginan, mata saya menangkap lapak kecil di pojok. Lapak kukusan. Kukusan di sini bukan kue mewah. Isinya sederhana sekali. Pisang kukus. Ubi kukus. Jagung kukus. Singkong kukus. Filosofi jajanan sehat yang diproses selembut mungkin, tapi tetap membuat tenaga pulih. Asapnya mengepul dari panci besar yang berada di atas kompor kecil. Meja sederhana menopang semuanya. Dulu hanya meja polos dengan spanduk kecil. Pagi ini saya melihat ia sudah punya tulisan nama lapaknya. Lebih rapi. Lebih meyakinkan.

Saya mendekat. Ada aroma khas kukusan yang membuat saya seperti kembali ke masa kecil. Penjualnya mengangkat kepalanya, lalu tersenyum. Tak lupa ia menyalami tangan saya. Ia mengenali saya duluan. Ferdi. Mantan mahasiswa saya. Pernah ikut kelas yang saya ajar. Pernah saya bimbing saat magang. Pernah tanya banyak hal soal dunia kerja. Kini ia berdiri di hadapan saya, bukan sebagai mahasiswa, tapi sebagai pelaku usaha.

Saya senang melihatnya. Ada kebanggaan kecil yang muncul tanpa saya sadari. Lapak ini ia mulai sejak September. Sebulan sebelum ia wisuda. Saya jadi ingat bagaimana ia dulu cukup rajin di kelas. Tidak paling pintar. Tidak paling vokal. Tapi serius. Anak jenis ini biasanya memproses hal dalam-dalam, lalu bergerak tanpa banyak kata.

Saat pertama kali ia buka lapak, ia hanya membawa meja kecil. Kukusan seadanya. Kompor kecil. Dan banner kecil. Tanpa branding. Pagi ini lapaknya berbeda. Masih kecil. Masih sederhana. Tapi sudah punya identitas. Ada tulisannya. Ada penyusunan produk lebih rapi. Ada kesan bahwa ia terus memperbaiki.

Saya tanya bagaimana penjualannya. Ia bilang cukup bagus. Kadang habis sebelum jam sembilan. Kadang sisa sedikit. Bahkan pas saya datang, tinggal sisa beberapa saja. Saya melihat matanya berbinar. Energi seorang pemilik usaha kecil yang masih mencintai proses. Belum lelah oleh hitung-hitungan besar. Masih menikmati tiap pembeli yang datang.

Saya membeli 1 bungkus. Kombinasi Pisang, ubi, dan singkong. Ferdi melayani cepat. Tangannya cekatan. Saya sempat mengamati caranya membungkus. Ada kebiasaan tersendiri. Setiap pembungkusannya dilakukan dengan teliti. Tidak asal. Mungkin karena ia menyadari pembeli pagi ini baru selesai olahraga. Mereka ingin makan yang bersih, sehat, dan tidak ribet. Dan seperti biasa, jika saya yang beli pasti diberi lebih. Pernah saya tegur jangan sering-sering ngasih lebih karena ini jualan, dia bilang tidak apa-apa.

Anak istri saya ikut menghampiri. Anak-anak langsung mengambil jagung kukus. Istri mencicipi ubi. Mereka bilang enak. Saya tersenyum. Ada kepuasan tersendiri melihat keluarga saya menikmati hasil kerja mantan mahasiswa saya sendiri.

Saya lalu cerita ke istri bahwa semester ini saya mengajar lima kelas bisnis dan kewirausahaan dari 3 program studi berbeda. Di beberapa kelas saya sering menjadikan Ferdi contoh. Saya tunjukkan bagaimana ia melihat peluang. Bagaimana ia memilih lokasi. Bagaimana ia tidak malu menjual kukusan. Saya bilang ke mahasiswa bahwa kewirausahaan tidak selalu berarti aplikasi digital, startup, pitching, dan inkubator. Kadang hanya berarti membaca situasi dan mengambil langkah kecil.

Ferdi membaca gelombang gaya hidup sehat yang sedang melanda kota. Ia melihat bahwa Balai Buntar adalah salah satu titik teramai di Bengkulu untuk olahraga. Selain Pantai Panjang. Selain Stadion Sawah Lebar. Ia hitung kemungkinan. Ia perkirakan kebutuhan orang. Ia pikirkan jajanan apa yang cocok dikonsumsi setelah olahraga. Dan ia pilih kukusan.

Saya sering bilang ke mahasiswa, peluang datang ke mereka yang tangannya bergerak. Ke mereka yang bangun lebih pagi. Ke mereka yang tidak menunggu posisi prestisius dengan meja dan AC. Ferdi memilih jalur itu. Ia tidak terjebak gengsi sarjana. Ia tidak malu menjual makanan sederhana. Orang seperti ini biasanya bertahan lebih lama.

Melihat Ferdi pagi ini membuat saya ingat mahasiswa saya yang lain. Lulus tahun 2017. Membangun bisnis wahana bermain anak. Jenis hiburan yang sering ada di lapangan atau ruang terbuka. Saya pernah melihatnya. Ada odong-odong. Ada trampolin. Ada permainan bola warna-warni. Usahanya terlihat sederhana, tapi ternyata tidak kecil.

Suatu hari saya berbincang dengan karyawannya. Saya tanya omzet. Angkanya membuat saya terdiam. Jauh lebih besar dari karyawan kantoran yang terlihat meyakinkan. Bahkan ketika Lebaran, omzetnya melonjak berkali lipat. Si pemiliknya bercerita bahwa ia sering ditanya orang kenapa mau mengurusi wahana anak seperti itu. Ia jawab bahwa ia malu jika tidak bekerja. Ia malu jika bergantung pada orang lain.

Pola pikir yang sama saya lihat pada Ferdi. Tidak menunggu. Tidak menunda. Tidak overthinking. Mulai saja. Jalan dulu. Perbaiki sambil berjalan. Keringat pagi membuat langkahnya lebih tajam. Embun di Balai Buntar menjadi saksi usaha kecil yang bisa tumbuh besar jika ketekunan mengiringinya.

Saya berdiri agak lama di depan lapak Ferdi. Saya lihat satu per satu pembeli datang. Ada ibu-ibu baru selesai senam. Ada bapak-bapak baru selesai lari enam putaran seperti saya. Ada remaja yang sekadar beli satu porsi pisang untuk dibawa pulang. Ferdi melayani semua dengan ramah.

Anak muda seperti dia membuat saya yakin bahwa masa depan kota ini tidak kurang orang rajin. Mereka mungkin tidak muncul di baliho. Tidak naik panggung. Tidak bicara soal visi besar. Tapi mereka bekerja. Mereka bangun lebih pagi. Mereka mengukus panganan sederhana untuk orang yang berolahraga.

Olahraga saya pagi itu selesai lebih cepat dari biasanya. Tapi saya merasa mendapat lebih banyak. Tidak hanya keringat. Tapi juga pengingat. Bahwa keberanian wirausaha bukan soal modal. Bukan soal status. Bukan soal gelar. Tapi soal siapa yang berani mulai.

Balai Buntar memang gedung pertemuan. Gedung yang ramai hanya saat pernikahan Sabtu–Minggu. Tapi bagi saya, Balai Buntar pagi tadi berubah menjadi ruang kuliah terbuka. Tanpa absen. Tanpa proyektor. Tanpa dosen berdiri di depan. Pengajarnya adalah Ferdi. Materinya adalah keberanian memulai.

Seusai membeli kukusan, saya pamit ke Ferdi. Ia tersenyum. Saya juga tersenyum. Kami tidak lama bicara. Tapi cukup memberi saya bahan renungan untuk seharian. Sebelum pergi saya ajak dia berfoto di depan lapaknya. Saya berjalan kembali ke istri dan anak-anak. Melihat mereka menikmati pagi membuat saya merasa Minggu ini lengkap.

Sebelum pulang, saya sempatkan melihat lagi halaman Balai Buntar dari kejauhan. Lapangan itu penuh gerak. Penuh suara tawa. Penuh semangat orang-orang yang memulai Minggu dengan langkah kecil tapi penting. Dan di sudut itu, lapak kecil Ferdi terus mengepul. Menandai keberanian seorang anak muda menghadapi hidup.

Setiap Minggu pagi, Balai Buntar seperti mengajarkan hal yang sama. Bahwa rezeki itu mengikuti langkah. Bahwa hidup bergerak bersama keputusan kecil yang kita ambil. Bahwa keberanian tidak harus besar untuk terlihat. Kadang ia muncul dalam bentuk pisang kukus dan panci kecil.

Untuk para sarjana muda, jangan takut berwirausaha. Jangan menunggu semuanya siap. Jangan menunggu dunia memberi tempat dulu. Mulailah dari yang kecil. Dari yang bisa dilakukan hari ini. Karena langkah kecil itulah yang suatu hari menjadi pondasi langkah besar.

Dan siapa tahu, pada suatu Minggu pagi, orang-orang berhenti di depan lapak Anda. Lalu berkata, seperti saya berkata pada Ferdi pagi tadi: “Kamu hebat. Kamu sudah memulai.”

Tulisan ini lahir dari kegelisahan yang sudah lama menggantung seperti kabel listrik tua di tiang pinggir kampung, terlihat biasa tapi menyisakan bahaya. Setiap kali saya masuk kelas, selalu muncul tanya yang sama soal metode penelitian, seperti ritual akademik yang tak selesai sejak zaman Comte dan Durkheim. Mahasiswa mengira penelitian hanya punya dua pintu, kuantitatif atau kualitatif, dan mereka merasa wajib memilih salah satunya seperti memilih kubu dalam pertikaian keluarga besar. Saya melihat wajah mereka tegang, seolah salah pilihan akan membuat proposal mereka dikubur hidup-hidup. Aneh sekali karena dunia penelitian sudah lama meninggalkan dikotomi ini. Saya ingin mengajak pembaca melihat duduk persoalannya. Pelan saja, tetapi tetap tegas agar jalan keluar terlihat lebih terang.

Ketika saya menengok perjalanan metodologi, saya menemukan pola unik yang sudah diwariskan bertahun-tahun di kampus. Dua kubu itu awalnya hanya lahir dari kebutuhan pedagogis, bukan dari hukum alam atau wahyu ilmiah. Durkheim berdiri di satu sisi dengan positivismenya, lalu Boas dan Geertz berdiri di sisi lain dengan tafsir budaya. Lama-lama keduanya dianggap sebagai dua jalan besar yang tak boleh ditembus. Padahal para pelopornya sendiri tidak pernah berniat mengikat peneliti generasi berikutnya dengan ikatan besi. Penjelasan sederhana lalu berubah menjadi perintah mutlak. Kita pun mewarisi mitos itu tanpa bertanya ulang.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Setiap tahun saya membaca karya metodolog internasional dan selalu menemukan kalimat bernada sama. Creswell mengingatkan sejak 2009 bahwa dunia penelitian tak sesempit itu. Ia menulis bahwa dikotomi kualitatif dan kuantitatif sudah usang dan penelitian nyata selalu mencampurkan pendekatan. Babbie menambahkan bahwa metode sosial lebih mirip garis kontinu, bukan dua kotak berkotak-kotak. Tashakkori dan Teddlie, tokoh mixed methods, bahkan menolak anggapan bahwa data hanya punya dua warna. Denzin dan Lincoln menguatkan pandangan itu. Semua ini menunjukkan bahwa kita ketinggalan kereta yang sudah berangkat lebih dulu.

Kadang saya membayangkan perdebatan metodologi kita seperti seseorang yang tetap memuja mesin tik saat orang lain sudah memotret dokumen dengan ponsel. Kita terlalu lama memegang cara lama yang membelah dunia menjadi dua bagian. Padahal penelitian modern memberi klasifikasi lebih kaya. Peneliti internasional memilih jenis penelitian berdasarkan tujuan. Ada eksploratif, deskriptif, eksplanatori, evaluatif, prediktif, dan intervensi. Pembagian dua kubu tidak muncul sama sekali di sini.

Kalau kita bicara tentang data, situasinya lebih jelas. Dunia penelitian tidak hanya mengenal angka atau narasi. Ada data observasi, audio visual, arsip, dan dokumentasi. Semua ini memiliki karakter yang berbeda dan tak mungkin dimasukkan ke satu laci saja. Data administrasi juga makin sering dipakai dalam riset sosial kontemporer. Peneliti kini menggabungkan semuanya untuk mendapat gambaran utuh. Pemisahan dua kubu terasa makin rapuh.

Saya selalu tertarik saat membaca daftar metode dalam buku metodologi modern. Ada survei, etnografi, studi kasus, eksperimen, desain kuasieksperimental, analisis dokumen, penelitian historis, mixed methods, dan bibliometrik. Semua ini lahir untuk menjawab kebutuhan penelitian yang bermacam-macam. Sulit membayangkan pembagian dua kubu bisa menampung keragaman ini. Metode tumbuh sesuai masalah. Karena itu, pembagian lama terasa tidak imbang.

Bila dikaitkan dengan paradigma epistemologis, perdebatan makin panjang. Ada positivisme, post-positivisme, interpretivisme, konstruktivisme, kritikal, pragmatisme, fenomenologi, etnometodologi, dan critical realism. Semua ini mengandung cara pandang yang berbeda soal realitas dan cara mengenalinya. Anehnya, kubu kualitatif dan kuantitatif tidak muncul sebagai kategori di sini. Dunia epistemologi jauh lebih rumit dari perdebatan biner. Namun kampus kita tetap sibuk dengan kotak lama.

Setiap kali mahasiswa datang meminta bimbingan, saya bertanya apa tujuan penelitiannya. Banyak yang langsung menjawab bahwa mereka ingin meneliti secara kualitatif. Jawaban itu membuat saya menghela napas. Mereka mengira metode adalah identitas, bukan alat. Mereka ingin merasa “aman” di salah satu kubu. Padahal penelitian tidak berjalan seperti itu. Tujuan harus menentukan jalan, bukan sebaliknya.

Kita harus akui, dikotomi lama memang membantu mahasiswa pemula. Dengan dua pilihan, dunia terasa lebih sederhana. Mereka merasa lebih mudah memulai. Tapi penyederhanaan itu menjadi masalah ketika bertahun-tahun kemudian mereka masih menganggap dua kubu itu sebagai kebenaran absolut. Penyederhanaan berubah menjadi dogma. Dogma membuat pikiran berhenti bertanya.

Di ruang kelas, saya sering menjelaskan bagaimana dikotomi itu membingungkan. Banyak mahasiswa menganggap data nonangka otomatis kualitatif. Mereka mengira angka otomatis kuantitatif. Lalu mereka salah kaprah memahami makna konteks, narasi, atau deskripsi. Mereka memaksa penelitian berjalan dengan logika dua kotak. Ini membuat proposal banjir revisi. Kita bisa mencegah hal ini jika sejak awal memahami masalahnya.

Kampus yang masih mempertahankan pembagian lama biasanya menjadi tempat subur bagi miskonsepsi. Dosen pun kadang mengajarkan metodologi seperti kitab suci yang tidak boleh disentuh. Mahasiswa hanya menyalin pola itu tanpa keberanian mempertanyakan. Padahal literatur internasional sudah lama mengubah arah. Kita seperti terjebak di ruang yang pintunya tidak pernah dibuka. Kita perlu keberanian untuk mulai menggesernya.

Saya pikir perlu kejujuran untuk mengakui bahwa cara kita mengajar metodologi berada dalam fase stagnan. Banyak dosen yang bertahun-tahun memakai slide lama. Banyak buku lokal juga hanya mendaur ulang pola yang sama. Penelitian berubah, tetapi cara mengajar tidak ikut berubah. Ketimpangan ini besar sekali. Kitalah yang harus mengejar ketertinggalan.

Dalam konteks global, penelitian sosial berkembang cepat. Mixed methods tumbuh, analisis big data muncul, etnografi digital tersebar, penelitian evaluatif makin terstandar, dan bibliometrik menjadi arus utama. Sementara itu, mahasiswa Indonesia masih berkutat memilih “kualitatif atau kuantitatif” seperti memilih paket makan siang. Dunia bergerak; kita tidak. Ketertinggalan tidak akan selesai jika kita tetap nyaman.

Beberapa kali saya mengikuti konferensi internasional dan menemukan pola menarik. Tidak ada sesi yang berbicara tentang dua kutub metodologi. Para peneliti mengulas metode sesuai kebutuhan riset, bukan identitas data. Mereka sibuk memperbaiki desain penelitian, bukan memperdebatkan apakah penelitian mereka kualitatif. Saya pulang dari konferensi dengan kesan kuat bahwa kita harus berubah. Perubahan tidak sulit jika kita mau memulai.

Saya sering mencontohkan pada mahasiswa bagaimana sebuah penelitian bisa memakai banyak jenis data. Observasi bertemu survei. Wawancara bertemu dokumentasi. Statistik bertemu narasi. Semuanya dipakai secara fungsional. Mereka terkejut karena selama ini diajarkan bahwa metode harus murni di salah satu kubu. Mereka merasa ada pintu baru terbuka. Pintu itu perlu dijaga agar tetap terbuka.

Banyak kasus di mana penelitian gagal bukan karena datanya buruk, tetapi karena pemahaman metodologinya sempit. Mahasiswa memaksakan data naratif menjadi model kuantitatif. Atau sebaliknya, data angka diperlakukan seperti cerita panjang. Kesalahan ini muncul akibat dikotomi lama. Kita perlu menata ulang cara berpikir. Penelitian butuh fleksibilitas.

Saya merasa penting menggarisbawahi posisi teoritik yang sehat. Jenis penelitian ditentukan oleh tujuan, sifat data, metode pengumpulan data, dan paradigma yang dipakai. Empat hal ini membantu kita menentukan langkah penelitian secara logis. Empat hal ini juga lebih konsisten dengan literatur internasional. Jika kita mengajarkan ini, mahasiswa lebih mudah memahami gambaran besar. Gambaran besar lebih penting dari sekat sempit.

Dalam banyak kelas, saya melihat bagaimana mahasiswa mulai memahami jalan baru ketika diberi contoh konkret. Mereka merasa lebih bebas, tetapi juga lebih terarah. Mereka tahu alasan memilih metode, bukan hanya mengikuti tradisi. Mereka belajar menyusun argumen, bukan sekadar memungut istilah yang mereka sendiri tidak pahami. Perubahan kecil ini memberi dampak besar. Kita perlu memperluasnya.

Saya teringat percakapan dengan seorang mahasiswa yang terjebak dalam asumsi bahwa semua penelitian kualitatif harus memakai wawancara mendalam. Ia tidak tahu bahwa dokumentasi atau observasi pun bagian dari kualitatif. Ia mengira model biner itu seperti undang-undang. Saya menjelaskan perlahan. Ia mengangguk sambil tertawa kecil. Semacam pencerahan sederhana.

Ada pula mahasiswa yang merasa penelitian kuantitatif selalu harus uji pengaruh X terhadap Y. Mereka sibuk mencari variabel hanya karena merasa itu “standar”. Mereka tidak sadar bahwa penelitian deskriptif atau prediktif juga bagian dari kuantitatif. Kesalahan ini terjadi bukan karena mereka malas. Mereka hanya diajarkan dengan cara lama. Cara itu sudah tidak sesuai konteks.

Dalam diskusi kelompok, saya selalu mendorong mahasiswa untuk membaca literatur metodologi terbaru. Mereka menemukan istilah baru yang tidak pernah diajarkan. Mereka melihat keragaman yang menandakan bahwa penelitian terus berkembang. Mereka sadar bahwa dikotomi lama hanyalah titik awal, bukan tujuan. Pemahaman ini memberi mereka ruang berpikir. Ruang itu penting untuk kreativitas.

Di titik ini, kita perlu tegas menyatakan bahwa dikotomi itu sudah gugur. Ia bukan gugur kemarin atau tahun lalu. Ia gugur sejak puluhan tahun lalu. Dunia akademik internasional tidak lagi memakai pembagian biner. Ia hanya hidup di beberapa kampus Asia Selatan dan sebagian Afrika. Indonesia termasuk wilayah yang masih memegangnya erat. Kita harus keluar dari pola ini.

Saya ingin menekankan bahwa perubahan tidak harus heroik. Kita cukup mulai mengubah cara mengajar dan cara memahami metodologi. Kita cukup membuka akses pada literatur yang lebih luas. Kita cukup menantang asumsi yang sudah terlanjur dianggap suci. Perubahan kecil ini bisa menciptakan dampak besar. Kita tinggal memulainya.

Dalam praktik, banyak mahasiswa merasa lebih nyaman ketika saya berkata bahwa tidak masalah memakai lebih dari satu jenis data. Mereka merasa seperti diberi izin untuk bernapas lebih lega. Mereka tidak lagi terikat pada batasan sempit. Mereka mulai memahami logika di balik metode. Pemahaman ini penting dalam penelitian.

Setelah beberapa tahun mengajar, saya menyadari bahwa kebingungan metodologi adalah masalah struktural. Masalah ini hidup di kurikulum, buku ajar, dan tradisi kampus. Ia membuat ratusan mahasiswa setiap tahun bekerja dengan kerangka yang tidak lengkap. Jika kita tidak memperbaikinya, kita akan melahirkan peneliti yang tidak siap menghadapi dunia riset internasional. Kita harus menata ulang dari akar.

Dalam obrolan santai dengan beberapa kolega, saya mendengar keluhan sama. Mereka merasa penelitian mahasiswa kurang kreatif. Mereka menyalahkan kemampuan analisis atau minat baca. Padahal sumber masalahnya ada pada pemahaman metodologi yang sempit. Pikiran yang dibatasi dua kubu tidak akan mampu melahirkan ide yang beragam. Kita harus memperluas batas itu. Kita harus memberi ruang.

Ketika membaca proposal mahasiswa, saya sering menemukan standar lama yang sudah tidak relevan. Mereka menulis metode hanya untuk memenuhi syarat administrasi. Mereka tidak memahami alasan di baliknya. Mereka mengulang pola yang diajarkan. Pola itu harus diperbarui. Pembaruan ini akan berdampak pada kualitas penelitian.

Jika kita ingin mengejar standar internasional, langkah awalnya sederhana. Kita berhenti mengajarkan metodologi dengan pola dua kubu. Kita mulai memperkenalkan klasifikasi berdasarkan tujuan, data, metode, dan paradigma. Kita membiasakan mahasiswa dengan cara berpikir kontinu. Cara berpikir ini lebih sehat. Cara ini juga lebih sesuai dengan perkembangan dunia.

Saya yakin banyak dosen di Indonesia yang memahami perkembangan metodologi ini. Masalahnya, perubahan tidak selalu didukung struktur institusi. Beberapa kampus tetap memakai buku ajar lama. Beberapa tidak memberi ruang untuk pembaruan kurikulum. Perubahan akhirnya bergerak lambat. Tapi lambat pun lebih baik daripada berhenti.

Di tahap ini, saya ingin mengajak pembaca membayangkan situasi yang lebih baik. Kita punya ruang kelas yang memberi pemahaman metodologi secara komprehensif. Mahasiswa memahami alasan memilih metode. Dosen lebih fleksibel dalam membimbing. Penelitian menjadi lebih kreatif. Gambaran ini tidak mustahil.

Ada satu hal penting yang perlu terus diingat. Penelitian bukan pertarungan antara dua kubu. Ia adalah proses mencari pemahaman paling tepat sesuai pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang baik akan membawa kita ke data yang tepat. Data yang tepat akan membawa kita ke metode yang sesuai. Proses ini tidak butuh dikotomi lama.

Tulisan ini ingin memberi dorongan agar kampus Indonesia mulai menata ulang cara memahami metodologi. Kita memiliki tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan dunia. Kita tidak boleh terlalu nyaman dengan pola lama. Kenyamanan hanya membuat kita tertinggal. Kita harus mulai bergerak.

Saya percaya mahasiswa Indonesia mampu mengikuti perkembangan ini. Mereka hanya butuh panduan yang lebih mutakhir. Mereka butuh ruang untuk bereksperimen. Mereka butuh kebebasan intelektual yang tidak dibatasi sekat biner. Ruang seperti ini penting untuk masa depan penelitian.

Pada akhirnya, perubahan metodologi bukan soal mode akademik. Ia soal cara kita memandang ilmu pengetahuan. Jika kita memandang penelitian sebagai proses yang terus berkembang, kita akan meninggalkan dikotomi lama. Jika kita tetap memegang dua kubu, kita akan berjalan di tempat. Pilihannya ada pada kita.

Tulisan ini saya tutup dengan satu kalimat sederhana. Kita perlu keluar dari perangkap dua kubu metodologi. Perangkap itu sudah terlalu lama membatasi pikiran mahasiswa. Dunia penelitian bergerak jauh. Kita harus bergerak bersama. Kita tidak boleh ketinggalan.
Bengkulu kembali macet. Tapi bukan macet seperti Jakarta. Tidak ada klakson. Tidak ada lampu merah. Tidak ada motor zig-zag. Macetnya Bengkulu itu lebih sunyi. Tidak ada yang bergerak karena tidak ada bensin. Kota terasa seperti ditahan napasnya. Jalan nampak lebih lengang, tapi wajah orang-orang tegang. Inilah jenis kemacetan yang tidak butuh polisi, tapi butuh solusi.
Ilustrasi Antrian BBM di Bengkulu (Gambar : AI Generated)

Malam tadi saya ke toko sayur langganan. Kulkas sudah kosong. Biasanya kami suka masak sendiri kalau malam. Tapi dua malam terakhir, makan malam harus pesan lewat Grab. Kata istri, “Sudahlah, toh sayur juga tidak ada.” Saya pikir hanya stok di rumah yang habis. Ternyata stok di gudang toko sayur juga habis.

Saya tanya ke penjualnya, “Bawang merahnya mana, Mbak?” Ia tersenyum kecut. Katanya, “Lagi tidak bisa kirim dari gudang, Pak. Sopirnya tidak bisa jalan. Katanya tidak ada BBM.” Ia cerita sudah telepon berkali-kali, tapi jawabannya sama. Truk tidak bisa berangkat. SPBU kosong.

Sudah hampir seminggu katanya. Mobil barang banyak yang parkir di pinggir jalan, menunggu BBM datang. Tapi BBM tak kunjung datang. Sementara di Jakarta, berita BBM malah ramai karena isu baru: Pertalite diganti etanol 10 persen.

Saya heran. Negara ini bisa bicara tentang BBM nabati, BBM hijau, BBM etanol. Tapi di Bengkulu, BBM fosil pun tidak sampai. Rasanya seperti menonton dua Indonesia. Yang satu sibuk bicara masa depan energi. Yang satu sibuk mencari bensin agar bisa kerja besok pagi.

Jarak Jakarta ke Bengkulu tidak sampai seribu kilometer. Tapi dalam hal distribusi, terasa seperti sepuluh ribu kilometer. Waktu kirim logistik terasa seperti ekspedisi ke luar negeri. Sering saya pikir, apa jarak kita bukan soal kilometer, tapi soal perhatian.

Pernah satu pagi saya iseng melihat berita sebelum berangkat ke kampus. Menteri A bicara soal efisiensi etanol. Menteri B bicara soal kedaulatan energi. Menteri C bilang kendaraan lama mogok karena bahan bakar baru. Semuanya tampak sibuk di layar. Tapi tidak ada satu pun bicara tentang SPBU di Bengkulu yang kering.

Sementara itu, di tayangan lain, muncul penemu BBM nabati dengan RON 98. Katanya lebih ramah lingkungan. Katanya siap membangun SPBU se-Indonesia. Saya tersenyum pahit. Kalau di Bengkulu, jangankan BBM RON 98. RON 92 saja sudah seperti barang mewah.

Antrian di SPBU sekarang panjang. Mobil mengular seperti ular lapar. Sopir-sopir duduk di bawah pohon. Ada yang sambil merokok, ada yang tidur. Semua pasrah. Kadang antre hingga lima jam, lalu petugas bilang: habis. Orang-orang tertawa getir. Sudah biasa.

Untuk mobil dibatasi 25 liter. Motor hanya boleh beberapa liter. Tidak cukup untuk kerja seminggu. Tapi masyarakat sudah terbiasa diatur begitu. Mungkin karena sudah sering dilatih kecewa.

Anehnya, selalu ada pengecer yang punya stok. Jeriken hijau berderet di pinggir jalan. Dijual dengan harga suka-suka. Di depan SPBU yang kosong, pengecer itu seperti pahlawan sekaligus penjahat. Orang marah, tapi tetap beli.

Saya tidak tahu mereka dapat dari mana. Pertamina bilang stok aman. Pemerintah bilang distribusi lancar. Tapi jeriken-jeriken itu bercerita lain. Ada sesuatu di jalur distribusi yang tidak jujur.

Gubernur sempat marah. Katanya Pertamina harus minta maaf. Bahkan harus bikin video permintaan maaf. Katanya, masyarakat panik karena komunikasi Pertamina buruk. Saya setuju. Tapi saya pikir, bukan cuma komunikasi yang buruk. Distribusinya juga.

Dalam dunia korporat, komunikasi adalah bahan bakar kedua setelah produk. Kalau produknya macet, minimal komunikasinya harus lancar. Supaya publik tahu, ini masalah di mana. Bukan diam seperti batu.

Perusahaan besar tidak boleh alergi pada krisis. Karena krisis adalah ujian reputasi. Kalau dalam keadaan normal semua bisa, tapi dalam krisis, hanya yang punya sistem yang kuat yang bisa bertahan.

Seharusnya Pertamina membentuk tim cepat tanggap. Datangi langsung SPBU, libatkan media lokal, buka hotline 24 jam. Transparansi lebih penting daripada seremonial. Masyarakat bukan butuh janji, tapi informasi.

Kalau ada kekurangan pasokan, bilang saja. Kalau karena kapal terlambat, jelaskan. Kalau karena jalur distribusi terganggu, tunjukkan datanya. Kejujuran membuat publik tenang. Diam membuat rumor tumbuh.

Krisis itu seperti kebocoran pipa. Kalau ditutup dengan tangan, tekanan akan naik di tempat lain. Kalau dibiarkan, bocornya makin besar. Satu-satunya cara adalah perbaiki pipa itu, dan beritahu semua orang bahwa sedang diperbaiki.

Saya lihat di kota ini, banyak usaha kecil terhenti. Ojek online parkir. Penjual sayur libur. Angkot tidak jalan. Rantai ekonomi putus hanya karena satu hal: bensin tidak ada. Begitu rapuhnya sistem ekonomi kita.

Padahal Bengkulu bukan kota kecil. Ia punya pelabuhan, punya bandara, punya tambang batu bara. Tapi tetap seperti bukan prioritas dalam hal distribusi BBM. Selalu terakhir, selalu terlambat.

Saya kadang berpikir, apa benar dulu Inggris menukar Bengkulu dengan Singapura karena malaria? Atau karena logistiknya bikin pusing? Bayangkan kalau hari ini masih ada Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu. Mungkin dia pun didemo warga karena SPBU kosong.

Koran mungkin akan menulis: “Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu dikepung massa karena antrian BBM.” Lucu, tapi tidak mustahil. Karena dari dulu sampai sekarang, masalahnya tetap sama: distribusi.

Bengkulu punya sejarah panjang. Dari Fort Marlborough sampai Soekarno diasingkan di sini. Tapi seolah tidak ada yang belajar dari sejarah itu. Infrastruktur dibangun, tapi tidak tuntas. Jalan dibuka, tapi suplai tidak lancar.

Pemerintah pusat sibuk dengan proyek besar. Ibu Kota Baru, kereta cepat, tol laut. Tapi daerah seperti Bengkulu tetap bergantung pada kapal yang datang dua minggu sekali.

Padahal, semua orang tahu, energi adalah darah ekonomi. Kalau darah tersumbat, organ-organ lain mati. Dan di Bengkulu, darah itu tidak mengalir lancar.

Saya jadi ingat waktu listrik di Jawa padam total beberapa tahun lalu. PLN langsung bikin konferensi pers. Menjelaskan penyebabnya. Minta maaf. Berjanji memperbaiki. Dalam hitungan jam, reputasi mereka pulih. Pertamina harusnya belajar dari itu.

Kalau perusahaan sebesar Pertamina tidak bisa menjelaskan kekosongan BBM di satu provinsi kecil, lalu bagaimana mau bicara soal BBM hijau dan kemandirian energi nasional?

Saya percaya, masalah ini bukan di produksi. Tapi di distribusi dan manajemen krisis. Ini bukan soal kilang. Ini soal logistik, integritas, dan koordinasi.

Kalau terus seperti ini, Bengkulu tidak akan pernah maju. Energi habis sebelum ekonomi jalan. BBM datang setelah semangat orang habis.

Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Tapi saya tahu siapa yang paling rugi: rakyat kecil yang harus antre bensin setiap minggu.

Sementara di layar TV, para pejabat masih berdebat soal etanol. Di Bengkulu, orang-orang cuma ingin satu hal: bisa mengisi bensin tanpa drama. Itu saja.

Dan mungkin, kalau Inggris tahu betapa ribetnya distribusi BBM ke Bengkulu, mereka akan bersyukur dulu sempat menukar Bengkulu dengan Singapura. Mereka selamat dari antrian panjang di SPBU.

Kemarin sore saya mampir ke tukang remote dan kunci kendaraan. Sudah seminggu saya menunda. Remote kendaraan saya mulai rewel, tombolnya susah ditekan. Setiap kali mau kunci pintu, harus dipencet agak keras. Saya selalu lupa mampir. Sampai akhirnya kemarin, sehabis ngajar dan menjemput anak sekolah, saya belok juga ke tempat kecil di pinggir jalan itu. Hanya bilik kecil, dua kursi plastik, dan satu meja berisi kabel, solder, dan alat-alat kecil yang membuat saya heran bagaimana semua itu bisa menghasilkan solusi.

Masnya menyambut dengan senyum. Dia langsung paham begitu saya tunjukkan remote-nya. Ia buka casing-nya, lihat dalamannya, lalu bilang, “Bantalan tombolnya aus, Pak.” Ia bicara tenang, tidak sok tahu, dan langsung ke inti masalah. Saya tanya bisa diperbaiki? Ia angguk, tapi dengan catatan: “Umurnya sudah uzur, Pak. Saya bisa akali dulu, tapi nanti sebaiknya ganti baru.” Ia lalu potong karet kecil, tempel di bagian tombol, dan mengelas sedikit bagian bawahnya. Tangannya lincah, matanya fokus, dan mulutnya diam. Hanya suara solder dan aroma plastik yang terbakar tipis.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Tak sampai sepuluh menit, remote itu hidup lagi. Saya tekan tombolnya, dan kendaraan di luar langsung menyala lampunya. Saya tersenyum. Ia juga. “Berapa?” tanya saya. Ia jawab, “Terserah Bapak saja.” Jawaban yang membuat saya malu. Saya tahu pekerjaan itu terlihat sepele. Tapi kalau saya yang disuruh mengerjakannya, saya pasti akan merusaknya. Saya keluarkan tiga lembar rupiah. Ia menolak sebentar, lalu menerimanya sambil senyum. “Terima kasih, Pak.” Saya balas, “Saya yang terima kasih.”

Sepanjang perjalanan pulang saya berpikir, betapa sering kita menilai orang bukan dari keahliannya, tapi dari tempat ia bekerja. Padahal, di depan saya tadi, ada seorang profesional sejati. Ia tahu masalahnya di mana, tahu batas kemampuan alatnya, dan tahu cara memperpanjang usia pakai. Bukankah itu inti dari kompetensi? Cepat mendiagnosis, tepat memberi solusi, dan tahu kapan berhenti. Semua itu tidak lahir dari sekadar coba-coba. Tapi dari jam terbang dan ketekunan.

Teman saya pernah punya masalah serupa. Ia ke bengkel resmi. Jawabannya standar: “Ganti baru, Pak.” Biayanya hampir sejuta. Padahal masalahnya hanya di bantalan kecil itu. Di tangan si tukang jalanan, masalah itu selesai dengan karet potongan. Bedanya, satu belajar dengan sistem, satunya belajar dari pengalaman. Tapi hasil akhirnya, siapa yang lebih efisien? Siapa yang lebih solutif? Saya tidak sedang membandingkan, tapi dunia ini sering tidak adil terhadap mereka yang belajar tanpa gelar.

Kejadian kemarin membuat saya teringat sebuah cerita yang ramai di media sosial. Seorang dosen, lulusan universitas ternama di luar negeri, menulis tentang pengalamannya menjadi pembicara di acara seminar. Ia satu panel dengan seorang influencer. Dosen itu dibayar 300 ribu rupiah. Sedangkan influencer itu dibayar jutaan, plus fasilitas penginapan dan permintaan khusus. “Rasanya lucu,” tulisnya. “Saya menyiapkan materi berhari-hari, membaca banyak referensi, menyusun data, sementara si influencer hanya datang dengan gaya bicara menarik.”

Bukan soal iri. Ia tahu posisi influencer sekarang sedang naik daun. Tapi di balik tulisannya, ada rasa getir. Tentang bagaimana bangsa ini menghargai kompetensi. Tentang bagaimana pengetahuan sering kalah oleh popularitas. Tentang bagaimana kerja otak sering kalah dari kerja kamera. Dan tentang bagaimana keringat panjang yang ditempa bertahun-tahun kalah oleh dua menit bicara yang viral di TikTok.

Saya membaca tulisan itu dengan senyum tipis. Karena saya tahu perasaan itu. Dulu, waktu masih sering diundang bicara, saya juga tidak pernah tahu berapa honor yang pantas diminta. Kadang saya dibayar besar, kadang tidak sama sekali. Tapi bukan itu poinnya. Yang saya lihat adalah bagaimana pihak pengundang menilai pekerjaan kita. Ada yang melihat isi, ada yang melihat nama. Ada yang menghitung jam, ada yang menghitung pamor. Dunia jasa memang aneh. Harga bukan ditentukan oleh waktu kerja, tapi oleh persepsi.

Di luar negeri, profesi yang berbasis kompetensi punya posisi yang jelas. Di Jepang, tukang yang bisa memperbaiki jam antik bisa dihargai lebih tinggi dari lulusan universitas. Di Jerman, mekanik mesin bisa punya penghasilan lebih besar dari pegawai kantoran. Karena di sana, keahlian dihargai setara dengan ilmu. Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi. Orang tahu bahwa skill tidak jatuh dari langit, tapi dari proses panjang belajar dan gagal berkali-kali.

Sementara di sini, kita masih terjebak pada simbol. Gelar, jabatan, pangkat. Semuanya menjadi ukuran nilai seseorang. Tapi begitu bicara tentang harga jasa, semua jadi serba murah. Guru les dibayar per jam seadanya. Dosen diundang bicara dibayar setara makan siang. Padahal di balik itu ada waktu yang tersita, pikiran yang terkuras, dan pengalaman yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Seolah pengetahuan itu tidak punya nilai tukar.

Saya kadang bertanya-tanya, sejak kapan bangsa ini kehilangan rasa hormat pada kompetensi? Dulu, seorang guru dianggap tokoh. Sekarang, sering dianggap pengisi waktu luang. Di acara resmi, sering mereka duduk di kursi belakang. Di panggung, yang utama adalah nama-nama yang ramai di media sosial. Entah sejak kapan ukuran kualitas digantikan oleh jumlah pengikut.

Masalahnya bukan hanya soal uang. Tapi juga tentang mindset. Kita terbiasa berpikir bahwa pekerjaan intelektual itu tidak perlu dihargai tinggi, karena dianggap pengabdian. Akibatnya, banyak orang pintar justru enggan berbagi. Mereka lelah menjelaskan hal yang tidak dihargai. Mereka muak melihat orang yang berbicara tanpa isi, tapi mendapat sorotan. Sementara mereka, yang belajar serius, tenggelam dalam sunyi.

Saya tidak menyalahkan panitia yang mengundang dosen itu. Mungkin mereka berpikir, influencer lebih laku dijual. Karena orang datang bukan untuk belajar, tapi untuk berfoto. Seminar sudah bergeser menjadi hiburan. Orang tidak butuh isi, tapi butuh dokumentasi. Itulah pasar. Dan pasar selalu mengikuti selera, bukan kualitas. Maka wajar jika yang populer lebih mahal daripada yang kompeten.

Tapi di titik tertentu, pasar juga butuh keseimbangan. Karena tanpa orang-orang kompeten, dunia akan penuh tipu daya. Siapa yang akan memastikan informasi yang beredar benar? Siapa yang akan menulis, meneliti, dan mengajar dengan dasar ilmu? Kalau semua hanya bergantung pada popularitas, maka kebenaran akan tergeser oleh kehebohan. Dan kehebohan, seperti yang kita tahu, umurnya pendek.

Di Taiwan dulu, saya sering melihat bagaimana universitas menghargai dosen tamu. Mereka tidak melihat titel, tapi kontribusi. Seorang pengrajin bambu bisa diundang untuk mengajar desain produk, dan dibayar sama dengan profesor. Karena yang dilihat adalah kompetensi, bukan status. Saya kagum pada cara berpikir itu. Semua orang punya nilai, asalkan ia tahu apa yang ia kuasai, dan bisa membaginya dengan orang lain.

Di sisi lain, ada budaya malu di antara kaum intelektual kita untuk bicara soal honor. Seolah uang membuat kerja mereka kehilangan makna. Padahal, tidak ada salahnya profesional dihargai sesuai kapasitasnya. Dokter dibayar mahal bukan karena rakus, tapi karena tanggung jawabnya besar. Dosen, peneliti, konsultan, atau bahkan tukang remote, semua punya tanggung jawab di bidangnya. Dan setiap tanggung jawab butuh penghargaan yang pantas.

Saya percaya, bangsa akan maju jika menghargai keahlian. Bukan sekadar popularitas. Tapi bagaimana cara mengubah cara pandang ini? Harus dimulai dari diri kita. Dari cara kita membayar tukang, guru, pembicara, penulis, atau siapa pun yang bekerja dengan otak dan tangannya. Jangan minta murah hanya karena mereka terlihat sederhana. Harga bukan soal rupa, tapi soal proses.

Saya jadi ingat, di Korea Selatan, seorang montir yang mampu memperbaiki mobil impor dengan efisien mendapat gelar “engineer,” bukan “tukang.” Gelar itu bukan formalitas. Tapi penghormatan atas kemampuan. Mereka sadar, negara maju tidak bisa berdiri di atas teori saja. Ia butuh orang-orang yang bisa mengeksekusi, memperbaiki, mencipta, dan menyelesaikan masalah nyata.

Mungkin itu juga yang hilang dari kita. Kita terlalu sibuk mengagumi gelar, tapi lupa menghargai keterampilan. Padahal, semua bangsa besar berdiri di atas dua kaki: ilmu dan keahlian. Ilmu tanpa keahlian hanya wacana. Keahlian tanpa ilmu hanya kebetulan. Dan dua-duanya harus diberi ruang yang sama, termasuk dalam hal penghargaan.

Saya sering bertemu orang-orang lapangan yang lebih bijak dari lulusan universitas. Mereka tidak banyak bicara, tapi tahu apa yang harus dilakukan. Mereka tidak hafal teori, tapi paham logika. Mereka tidak punya gelar, tapi punya kemampuan. Orang seperti itu sering luput dari perhatian, padahal merekalah yang menjaga dunia tetap berjalan.

Harga sebuah kompetensi tidak selalu bisa diukur dengan uang. Tapi uang tetap penting sebagai bentuk penghargaan. Karena manusia hidup dengan kebutuhan. Menghargai keahlian orang lain bukan berarti menyanjung, tapi memberi imbalan yang wajar atas waktu dan pengetahuan yang ia bagi. Itu etika, bukan sekadar transaksi.

Saya ingin bangsa ini belajar menghormati keahlian sejak dini. Dari rumah, dari sekolah. Jangan ajarkan anak untuk hanya jadi terkenal. Ajarkan mereka untuk jadi ahli di bidangnya. Karena ketika semua berlomba menjadi terkenal, akan semakin sedikit orang yang tahu cara memperbaiki sesuatu yang rusak.

Kembali ke si tukang remote itu. Ia tidak tahu teori ekonomi, tapi ia paham nilai waktu. Ia tidak baca buku motivasi, tapi ia bekerja dengan hati. Ia tidak minta tarif, tapi memberi solusi. Dan di situlah pelajaran berharga itu: kompetensi tidak berisik. Ia bekerja dalam diam, tapi hasilnya berbicara.

Kadang, penghargaan yang paling tulus bukan datang dari angka di kertas, tapi dari rasa hormat di hati. Tapi kalau bisa dua-duanya? Menghargai dengan hormat, dan membayar dengan pantas. Dunia ini akan terasa lebih adil.

Karena pada akhirnya, harga sebuah kompetensi bukan ditentukan oleh siapa yang melihat, tapi oleh siapa yang menghargai.

Ada satu kebiasaan baru di dunia kampus Indonesia yang kalau dipikir-pikir agak absurd tapi nyata, dosen sekarang bukan lagi sibuk ngajar atau riset di lapangan, tapi sibuk nyari jurnal. Iya, nyari jurnal. Bukan nyari ilmu, bukan nyari murid, tapi nyari tempat di mana tulisannya bisa dimuat, terutama kalau ada logo kecil bertuliskan indexed by Scopus. Logo itu sekarang sudah seperti tanda tangan Tuhan di dunia akademik. Kalau ada, maka dosen dianggap suci.

Obrolan di ruang dosen pun berubah. Dulu masih bisa santai ngomongin resep gulai, gosip mahasiswa, atau ngerumpi tentang rektor baru. Sekarang topiknya cuma satu: Scopus. Kalau tidak ngomong Scopus, ya ngomong Sinta. Dua kata yang terdengar seperti nama orang tapi bisa menentukan hidup-matinya seorang dosen. Kadang saya pikir, kalau Scopus dan Sinta itu benar-benar manusia, mungkin mereka sudah jadi tamu kehormatan setiap rapat senat universitas.
Ilustrasi Industri Index Jurnal (Gambar : AI Generated)

Saya pernah mendengar satu cerita. Ada seorang dosen muda, belum genap dua tahun ngajar, tapi sudah seperti pejuang yang kehilangan arah. Ia berkata lirih, “Mas, saya capek. Semua orang nyuruh saya publikasi Scopus. Saya belum sempat meneliti, tapi sudah dituntut publikasi.” Saya cuma bisa menepuk bahunya dan bilang, “Sabar, Nak. Di dunia ini, tidak semua yang terindeks Scopus itu benar-benar berguna.”

Sekarang ini, setiap dosen seperti hidup dalam sistem yang diciptakan untuk membuat mereka terus berlari, tapi tidak tahu tujuannya ke mana. Mau naik jabatan? Scopus. Mau naik pangkat? Scopus. Mau jadi guru besar? Scopus. Bahkan mau makan di kantin pun, topik obrolannya tetap Scopus. Dosen yang tidak punya publikasi Scopus itu sekarang seperti warga kelas dua. Sekalipun dia mengajar dengan hati dan mengubah hidup banyak mahasiswa, tetap saja dianggap kurang “bermutu.”

Masalahnya, Scopus ini sudah jadi industri. Bukan sekadar platform indeks. Ia sudah berubah jadi sistem ekonomi tersendiri. Ada jurnal yang menawarkan publikasi cepat, ada yang buka jalur khusus fast track, ada pula yang terang-terangan minta “biaya pemrosesan.” Dunia akademik pun pelan-pelan berubah jadi dunia perniagaan. Di kampus, pengetahuan diperdagangkan seperti gorengan di pinggir jalan. Bedanya, gorengan bisa dimakan.

Lucunya lagi, para dosen jadi seperti pekerja lepas di pabrik tulisan. Ada yang rela begadang seminggu penuh demi satu paper. Ada yang rela jual motor demi bayar biaya publikasi. Ada juga yang rajin ikut webinar internasional, bukan untuk menambah ilmu, tapi untuk numpang nama di proceeding. Semua ini dilakukan demi satu hal: index Scopus. Kalau Scopus adalah agama, mungkin para dosen ini sudah dianggap jamaah paling taat.

Saya pernah ikut satu seminar dosen muda. Di sana ada pembicara yang bilang, “Sekarang ini bukan lagi era siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling cepat publish.” Kalimat itu disambut tawa getir. Sebab semua tahu, sekarang kecepatan lebih penting daripada kedalaman. Penelitian tidak lagi tentang apa yang ditemukan, tapi di mana dimuat.

Industri ini akhirnya menciptakan lingkaran setan. Kampus menuntut dosen untuk punya publikasi internasional. Dosen pun berbondong-bondong mencari jurnal cepat terbit. Jurnal cepat terbit melihat peluang dan menaikkan tarif. Muncullah jurnal predator, yang tidak peduli isi riset, asal bayar. Dan yang lucu, kadang justru jurnal seperti inilah yang paling ramai diminati. Karena mudah, cepat, dan maaf, tidak peduli mutu.

Ada satu dosen yang saya kenal, wajahnya selalu terlihat letih tiap kali rapat. Ia bilang, “Mas, saya sampai lupa rasanya mengajar dengan tenang. Setiap kali masuk kelas, yang saya pikirkan cuma belum nulis, belum submit, belum accepted.” Dosen ini sudah lebih mirip buruh pabrik artikel. Bedanya, buruh pabrik dapat lembur. Ia tidak.

Sementara itu, mahasiswa hanya jadi penonton. Mereka melihat dosennya sibuk sendiri. Ada yang dosennya sekarang jarang datang karena lagi ngejar publikasi. Ada yang tugas akhirnya mandek karena pembimbingnya masih menunggu peer review. Dunia kampus yang dulu hidup karena interaksi kini perlahan terasa dingin. Dosen sibuk ngejar Scopus, mahasiswa sibuk ngejar dosen.

Ironisnya, sebagian besar hasil riset itu bahkan tidak pernah kembali ke masyarakat. Penelitian tentang petani yang tidak pernah dibaca petani. Kajian tentang UMKM yang tidak pernah diketahui pelaku UMKM. Paper yang ditulis dengan semangat mengubah dunia, tapi hanya berakhir di repositori kampus. Dunia akademik jadi seperti pabrik mobil yang tidak pernah mengeluarkan mobilnya ke jalan.

Kalau semua penelitian hanya berakhir pada angka-angka dan indeks, untuk apa semua ini dilakukan? Bukankah tujuan ilmu pengetahuan itu seharusnya untuk kehidupan yang lebih baik? Tapi nyatanya, sekarang kita hidup di era di mana pengetahuan hanya penting kalau bisa diindeks, bukan kalau bisa dirasakan.

Dosen yang aktif menulis di media massa sering kali dianggap “tidak ilmiah.” Dosen yang rajin terjun ke masyarakat dianggap “tidak akademis.” Padahal justru mereka yang paling banyak memberi manfaat langsung. Tapi sistem kita tidak mengukur itu. Sistem kita hanya menghitung angka sitasi, bukan dampak sosial.

Saya tidak menyalahkan Scopus sepenuhnya. Ia hanyalah alat. Masalahnya adalah cara kita memperlakukannya. Di tangan kita, Scopus berubah jadi berhala. Dihormati, ditakuti, disembah. Tapi lupa bahwa berhala, betapapun besar, tetap tidak bisa memberi makna.

Kadang saya berpikir, apa jadinya kalau Socrates atau Al-Ghazali hidup di era ini? Mungkin mereka tidak akan dianggap ilmuwan besar, karena tidak punya publikasi Scopus. Padahal ilmu mereka sudah mengubah peradaban. Mereka menulis untuk manusia, bukan untuk reviewer anonim di luar negeri yang bahkan tidak tahu mereka makan apa hari itu.

Industri ini juga menciptakan hierarki baru. Dosen yang “Scopus-nya banyak” kini dipuja seperti selebritas. Dosen yang belum punya publikasi dianggap belum matang. Padahal belum tentu. Ada banyak dosen yang mengajar dengan hati, membimbing mahasiswa sampai sukses, tapi tak pernah merasa perlu memublikasikan risetnya. Ilmunya nyata, meski tidak terindeks.

Saya pernah ditanya seorang mahasiswa, “Pak, kenapa Bapak jarang nulis Scopus?” Saya jawab santai, “Karena saya lebih suka menulis yang bisa dibaca manusia, bukan mesin.” Anak itu tertawa, mungkin tidak paham, tapi setidaknya saya lega bisa jujur. Kadang, kejujuran kecil seperti itu lebih menenangkan daripada seribu kutipan.

Masalahnya, sistem ini tidak memberi ruang bagi kejujuran semacam itu. Dosen akhirnya berpura-pura sibuk riset, padahal hanya sibuk mencari tempat publish. Mereka tidak punya waktu untuk berpikir. Mereka hanya punya waktu untuk mengejar deadline submission.

Industri ini juga menciptakan pasar baru. Ada bimbingan nulis Scopus berbayar. Ada workshop publikasi cepat. Ada lembaga yang menjual “template sukses submit.” Semua menguangkan kegelisahan dosen. Dunia akademik berubah jadi pasar malam. Penuh lampu, ramai sua22ra, tapi intinya cuma satu, jualan.

Kadang saya heran, bagaimana ilmu yang seharusnya membebaskan, kini justru menjerat para pencarinya. Dosen jadi seperti pekerja di tambang data. Menggali angka, bukan makna. Dan yang paling sedih, banyak dari mereka tidak sadar sedang dieksploitasi oleh sistem yang mereka sendiri pertahankan.

Seorang dosen senior pernah bilang pada saya, “Dulu, kami meneliti untuk menjawab pertanyaan hidup. Sekarang, kalian meneliti untuk memenuhi target kinerja.” Saya hanya bisa tertunduk. Karena beliau benar. Ilmu kini tidak lagi lahir dari rasa ingin tahu, tapi dari rasa takut tidak naik pangkat.

Saya tidak menolak publikasi internasional. Dunia memang butuh keterbukaan. Tapi yang perlu kita ingat, ilmu pengetahuan itu seharusnya bukan soal berapa kali dikutip, tapi berapa banyak hidup yang berubah karenanya. Karena sehebat-hebatnya Scopus, ia tidak pernah tahu rasanya membantu satu desa keluar dari krisis air bersih.

Kalau boleh jujur, saya rindu masa di mana dosen dikenal bukan karena jumlah sitasinya, tapi karena muridnya yang sukses. Karena di situlah sejatinya fungsi pendidikan. Bukan soal publish or perish, tapi teach and flourish.

Mungkin, sudah saatnya kita berhenti memuja Scopus dan mulai memuliakan manusia. Karena sehebat apapun artikel yang kita tulis, kalau tidak berdampak pada siapa pun di luar ruang akademik, maka semua itu tidak lebih dari karya tanpa nyawa. Dan dunia ini, sudah cukup ramai dengan karya seperti itu.

Kalau ada hal yang paling sering dilakukan orang Indonesia selain makan nasi tiga kali sehari dan update status di Instagram, mungkin jawabannya adalah bersumpah. Iya, bersumpah. Saking seringnya, saya kadang curiga jangan-jangan bangsa ini sudah jadi negara dengan “jumlah sumpah per kapita” tertinggi di dunia. Dikit-dikit sumpah. Dikit-dikit janji di atas kitab suci. Mulai dari siswa SMA yang baru lulus sampai pejabat yang baru dilantik, semua dimulai dengan kalimat “Demi Tuhan saya bersumpah…”. Tapi anehnya, entah kenapa negara yang paling sering bersumpah ini juga jadi negara yang paling sering melanggar sumpahnya.

Saya dulu pikir, bersumpah itu sesuatu yang sakral. Begitu seseorang mengucapkan sumpah, langit jadi hening, malaikat menunduk, dan dosa takut mendekat. Tapi di Indonesia, sumpah sudah seperti teh manis, terlalu sering disajikan sampai kehilangan rasa spesialnya. Orang sumpah bukan lagi karena takut Tuhan, tapi karena takut nggak dilantik. Karena kalau nggak bersumpah, nanti dianggap tidak sah. Maka sumpah pun berubah jadi semacam formalitas belaka, semacam password yang harus diucapkan sebelum masuk jabatan.

Ilustrasi Pejabat sedang Disumpah (Gambar : AI Generated)

Bayangkan, dari sejak muda saja kita sudah dikenalkan dengan sumpah. Ada Sumpah Siswa, Sumpah Mahasiswa, Sumpah Sarjana, Sumpah Profesi, Sumpah ASN, sampai Sumpah Kepala Desa hingga Presiden. Kalau Ketua RT juga bisa disumpah, pasti juga harus disumpah. Pokoknya hidup di Indonesia ini kalau dikumpulkan dari awal sampai akhir bisa kayak buku doa lintas profesi: penuh sumpah. Bahkan ada yang belum kerja pun sudah bersumpah, padahal gaji belum tentu datang, tapi janji sudah berderet.

Saya ingat waktu wisuda dulu, ketua angkatan saya memimpin pembacaan sumpah sarjana. Semua berdiri, tangan kanan diangkat, wajah dibuat khusyuk. Kalimatnya indah: “Saya bersumpah akan menjunjung tinggi nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab…” dan seterusnya. Tapi begitu keluar dari auditorium, baru parkir motor, sudah ada yang bohongin tukang parkir dengan bilang “Sebentar, Pak, cuma ambil jas toga.” Eh, nggak balik lagi.

Lucunya, sumpah di negeri ini sering diucapkan dengan wajah penuh keyakinan, tapi dijalankan dengan hati penuh alasan. Pejabat bersumpah tidak akan korupsi, tapi kalau ketahuan, bilangnya “saya khilaf”. Dokter bersumpah menolong sesama, tapi kalau pasien nggak mampu, kadang disuruh pulang dulu. Politisi bersumpah demi rakyat, tapi malah sibuk demi proyek. Kalau sumpah itu punya perasaan, mungkin dia sudah lelah.

Saya kadang mikir, kenapa sih kita ini begitu hobi bersumpah? Apakah karena kita bangsa yang religius, atau karena kita bangsa yang seremonial? Mungkin dua-duanya. Kita suka yang megah, yang sakral, yang bikin khidmat. Kita suka upacara, kita suka foto bareng setelah sumpah, kita suka naruh tangan di dada dengan gaya patriotik. Tapi setelah itu? Ya, selesai. Sumpah tinggal di ruangan itu, nggak ikut pulang.

Saya jadi ingat, dulu waktu masih mahasiswa, pernah ikut demo yang salah satunya meneriakkan “Sumpah Mahasiswa Indonesia.” Namanya keren, kayak mau mendirikan negara baru. Isinya pun gagah: “Kami mahasiswa Indonesia bersumpah untuk menegakkan keadilan, melawan penindasan…” dan seterusnya. Tapi kenyataannya, besoknya tetap antre minta tanda tangan dosen, dan kalau nggak ditandatangani, langsung nyumpahin dosennya juga. Sumpahnya belum sehari, sudah dilanggar dengan sumpah serapah.

Kalau di luar negeri, saya perhatikan, orang tidak banyak bersumpah. Mereka tidak terlalu sering janji demi Tuhan. Tapi etos kerja mereka tinggi, rasa malu mereka besar, dan tanggung jawab mereka nyata. Di Jepang, tidak ada sumpah pegawai negeri. Tapi coba lihat, jam kerja mereka sampai lupa istirahat. Di Finlandia, tidak ada sumpah dosen. Tapi pendidikan mereka terbaik di dunia. Sementara kita? Sumpah ada di mana-mana, tapi kejujuran masih langka seperti sinyal 4G di pegunungan.

Saya pernah melihat ada pejabat yang bersumpah dua kali. Pertama saat dilantik, kedua saat tertangkap KPK. Dua-duanya pakai kitab suci. Bedanya, yang pertama di podium, yang kedua di ruang sidang. Kalau kitab sucinya bisa bicara, mungkin dia akan bilang: “Mas, tolong deh, jangan sering-sering bawa saya kalau ujungnya begini.”

Saya tidak menentang sumpah. Tapi saya sedih melihat sumpah kita kehilangan makna. Sumpah di sini lebih sering jadi “event” daripada “komitmen”. Kalau di dunia hiburan, mungkin sumpah ini sudah seperti launching album. Heboh di awal, hilang di tengah, dilupakan di akhir. Padahal sumpah itu seharusnya seperti lagu yang terus dinyanyikan dalam hati, bukan hanya saat ada penonton.

Lucunya lagi, kita ini suka menguji kejujuran orang lain dengan sumpah. “Kalau kamu jujur, sumpah deh!” Kalimat itu sering keluar di sinetron, kadang juga di dunia nyata. Tapi kalau sumpah benar-benar jadi alat ukur kebenaran, mungkin separuh orang Indonesia sudah disambar petir.

Saya kadang berpikir, kalau semua sumpah yang pernah kita ucapkan itu bisa dikumpulkan dan ditagih, mungkin Tuhan sudah bingung harus menagih yang mana dulu. Dari sumpah jabatan sampai sumpah setia waktu pacaran. Dua-duanya sering dilanggar dengan alasan “situasi tidak memungkinkan.”

Lucunya lagi, sebagian orang masih bangga karena sering dilantik, padahal setiap pelantikan berarti satu sumpah lagi yang harus dijaga. Saya kadang ingin bertanya: apa nggak capek hidup dengan tumpukan janji? Kalau semua sumpah itu dibaca ulang, mungkin satu orang pejabat saja sudah cukup untuk bikin Tuhan geleng-geleng kepala.

Saya jadi ingat satu teman yang bilang, “Bangsa kita ini suka mengulang janji, tapi lupa menepati.” Dan mungkin itu benar. Kita terbiasa bersuara keras di awal, tapi pelan-pelan hilang di tengah jalan. Dari sumpah kemerdekaan, sumpah jabatan, sampai sumpah netralitas menjelang pemilu. Semua diucapkan dengan lantang, tapi dijalankan dengan pelan-pelan.

Di sisi lain, mungkin kita juga harus akui, sumpah itu seperti cermin. Semakin sering kita melihatnya, semakin sadar betapa jauh jarak antara ucapan dan tindakan. Tapi ya itu tadi, di Indonesia, cermin lebih sering jadi pajangan daripada alat introspeksi.

Saya membayangkan, kalau setiap orang benar-benar menjalankan sumpahnya, mungkin negara ini akan jadi surga kecil. Pejabat jujur, guru disiplin, dokter melayani dengan tulus, mahasiswa belajar dengan sungguh-sungguh, dan rakyat tidak mudah ditipu. Tapi sayangnya, surga itu masih di atas kertas sumpah, belum di bumi kenyataan.

Jadi mungkin, sudah saatnya kita mengurangi acara sumpah-sumpahan dan mulai menambah acara menepati sumpah. Karena kalau terus begini, sumpah tinggal jadi hiburan tahunan. Bahkan kalau bisa, setiap kali mau bersumpah, kita tanya dulu ke diri sendiri: “Sanggup nggak?” Kalau nggak sanggup, ya jangan sumpah dulu.

Dan di antara sekian banyak sumpah yang pernah lahir di negeri ini, ada satu yang rasanya paling jujur - Sumpah Pemuda. Entah kenapa, sumpah yang satu itu terasa lebih tulus. Mungkin karena diucapkan oleh mereka yang belum punya jabatan, belum punya kepentingan, dan belum punya proyek. Hanya punya satu hal, cinta pada negeri.

Sumpah Pemuda adalah sumpah yang tidak diulang-ulang tapi terus hidup. Tidak dilantunkan di podium tapi bergaung di dada. Tidak dikawal media tapi dikenang sejarah. Sumpah yang tidak butuh tepuk tangan, tapi sampai hari ini tetap membuat kita berdiri tegak.

Jadi, kalau nanti ada yang tanya, sumpah mana yang paling bermanfaat di Indonesia? Jawaban saya sederhana: bukan sumpah jabatan, bukan sumpah profesi, tapi Sumpah Pemuda. Karena hanya sumpah itu yang benar-benar kita rasakan manfaatnya sampai hari ini. Yang lain? Ya... mungkin masih dalam proses belajar menepati.


Menarik kalau dipikir. Hari ini di Samarkand, bahasa Indonesia berbicara ke dunia. Dua abad lalu di tepi Sungai Nil, sebuah batu ditemukan di reruntuhan benteng tua. Batu itu diam, hitam, berat. Tapi di permukaannya ada tiga tulisan. Tiga bahasa. Salah satunya Yunani kuno, yang sudah dikenal. Dua lainnya tidak. Batu itu kemudian diberi nama Rosetta Stone.

Batu Rosetta itu mengubah sejarah manusia. Karena dari batu itu, manusia akhirnya bisa membaca hieroglif Mesir kuno - bahasa yang sebelumnya terkunci ribuan tahun. Bayangkan, seluruh peradaban besar, seluruh pemikiran, hukum, filsafat, teknologi pertanian, astronomi, seni, dan ritual Mesir kuno. semua terkunci hanya karena satu hal: bahasa. Dunia buta pada masa lalu karena tidak tahu bagaimana membaca. Hingga Champollion, seorang filolog Prancis, berhasil membandingkan ketiga tulisan di batu itu, dan membuka pintu pengetahuan baru.

Ilustrasi Batu Rosetta Nusantara (Gambar : AI Ilustrated)

Saya jadi berpikir, hari ini yang kita rayakan di Tashkent bukan sekadar upacara bahasa. Ini mirip peristiwa Rosetta versi Indonesia. Ketika bahasa kita naik menjadi bahasa resmi UNESCO, artinya dunia mulai membuka diri untuk membaca kita. Tapi lebih dari itu, ini kesempatan bagi kita untuk membaca dunia dengan bahasa kita sendiri. Karena selama ini, banyak ilmu dan wacana global hanya tersedia dalam bahasa asing. Artinya hanya segelintir orang yang bisa membacanya. Sisanya, hanya menunggu terjemahan yang sering tidak lengkap.

Dengan pengakuan UNESCO ini, posisi bahasa Indonesia berubah. Bahasa kita bukan lagi penerima, tapi pengirim. Kita tidak hanya menerjemahkan ilmu dari luar ke dalam, tapi bisa juga menulis ilmu kita sendiri untuk dunia luar. Seperti Batu Rosetta yang membuka peradaban Mesir, bahasa Indonesia punya potensi membuka pengetahuan dunia bagi rakyatnya sendiri.

Saya teringat satu hal yang sering saya lihat di lapangan. Banyak orang pandai di desa-desa, petani, guru, nelayan, punya pengalaman dan kearifan luar biasa. Tapi semua terjebak karena tidak tersambung dengan bahasa ilmu pengetahuan modern. Buku-buku riset, hasil konferensi, jurnal internasional, semuanya dalam bahasa asing. Akibatnya, ilmu berhenti di meja akademisi. Tidak turun ke tangan rakyat. Seperti prasasti yang tidak terbaca. Seperti peradaban Mesir sebelum Batu Rosetta ditemukan.

Kalau bahasa Indonesia terus berkembang jadi bahasa ilmu pengetahuan, kita akan punya Rosetta kita sendiri. Bahasa yang bisa menjembatani laboratorium dan sawah. Bahasa yang bisa menjelaskan algoritma dan akhlak dalam kalimat yang sama. Bahasa yang bisa menjelaskan riset AI, tapi juga bisa menjelaskan filosofi gotong royong dengan presisi ilmiah. Karena inti dari semua bahasa adalah kemampuan mengubah pengetahuan menjadi pemahaman.

Hari ini Prof. Abdul Mu’ti (Mendikdasmen RI) akan berpidato di UNESCO dalam bahasa Indonesia. Pidato itu bukan hanya simbol politik, tapi pernyataan budaya: bahwa kita siap bicara dalam bahasa kita sendiri. Kita siap menyampaikan ide kita dengan kosakata kita. Kita tidak lagi hanya mendengar terjemahan dunia, tapi ikut menulis kalimatnya. Ini langkah yang kecil di mata politik, tapi besar dalam sejarah pemikiran.

Rosetta Stone dulu ditemukan secara kebetulan oleh tentara Napoleon. Tapi efeknya luar biasa. Ia membuka mata manusia terhadap masa lalu. Bahasa Indonesia di UNESCO mungkin bukan kebetulan, tapi hasil perjuangan panjang. Efeknya juga bisa luar biasa. Ia bisa membuka masa depan. Ia bisa membuka akses masyarakat terhadap ilmu. Ia bisa membuat ilmu tidak lagi terkurung di ruang elit.

Selama ini banyak anak muda takut membaca jurnal ilmiah. Bukan karena tidak pintar, tapi karena bahasanya asing. Banyak petani takut membaca laporan riset pertanian. Banyak perawat bingung membaca laporan medis global. Kalau semua itu tersedia dalam bahasa Indonesia yang kuat, yang kaya istilah ilmiah, maka bangsa ini tidak lagi menunggu diterjemahkan. Bangsa ini akan membaca langsung. Berpikir langsung. Berinovasi langsung.

Bahasa adalah alat membaca dunia. Batu Rosetta memberi manusia kunci untuk membaca masa lalu. Bahasa Indonesia, jika dikuatkan, bisa jadi kunci untuk membaca masa depan. Dan yang menarik, ini bukan tentang nasionalisme kosong. Ini tentang efisiensi pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan tidak bekerja lewat kebanggaan, tapi lewat pemahaman. Dan pemahaman hanya datang kalau bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipahami.

Saya ingin melihat nanti bagaimana UNESCO mencatat pidato Mendikdasmen. Apakah mereka akan menulis “Speech delivered in Bahasa Indonesia” di arsipnya. Karena kalimat itu sederhana, tapi maknanya dalam. Sama dalamnya dengan tulisan kecil di batu Rosetta yang dulu dianggap remeh tapi kemudian mengubah arah sejarah.

Kalau dulu dunia belajar memahami Mesir karena bahasa, sekarang dunia bisa belajar memahami Indonesia juga lewat bahasa. Dan lebih penting lagi, rakyat Indonesia bisa memahami dunia lewat bahasanya sendiri. Tidak perlu menunggu orang lain menuliskannya untuk kita. Tidak perlu menunggu terjemahan yang datang terlambat. Kita akan membaca sendiri. Kita akan menulis sendiri. Kita akan membuka peradaban kita sendiri.

Begitulah cara peradaban tumbuh: dimulai dari bahasa. Dan hari ini, di Tashkent, pintu itu mulai terbuka.

Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • WAHYU KEPRABON DI ERA DIGITAL
  • FERDI DAN KEBERANIAN BERWIRAUSAHA
  • PARADIGMA YANG TERKURUNG DUA KUBU
  • KESEPIANNYA PARA ORANG TUA DI KALA SENJA

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar