Andi Azhar
  • Beranda
  • Mimbar
    • Khazanah Islam
    • Kolak Pisang
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
    • Bengkulu
    • Bisnis
  • Lakon
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • Interlokal
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Pariwara
    • Competition
    • Endorsement
    • Komiku
  • Jejak
  • Sangu
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Membincangkan wilayah 3T seperti Enggano sesungguhnya berbicara tentang keadilan pembangunan yang tak kunjung tiba. Pulau kecil yang menjorok ke Samudra Hindia ini kerap menjadi citra tentang tepi NKRI yang masih menanti sentuhan negara secara nyata. Selama puluhan tahun, status Enggano sebagai kecamatan di bawah kabupaten menandakan bahwa negara hadir, namun sekadar secara administratif.

Tak dapat dimungkiri, skema birokrasi yang kaku dan hierarkis justru sering memperpanjang jarak antara kebutuhan nyata warga dengan solusi kebijakan yang diharapkan. Dalam banyak kasus, keputusan strategis tentang layanan publik, infrastruktur, bahkan penanganan bencana, kerap kali harus menunggu proses panjang yang melibatkan lintas tingkatan pemerintahan. Tidak jarang, hasil akhirnya justru tak menyentuh akar persoalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Bila menilik lebih dalam, model pemerintahan kecamatan di wilayah seperti Enggano ternyata lebih banyak menghadirkan batasan daripada peluang. Kewenangan yang terbatas serta anggaran yang serba pas-pasan menambah rumit upaya memajukan wilayah yang sudah sejak awal berangkat dari posisi tidak setara.

Banyak warga dan pelaku pembangunan di Enggano mengakui bahwa tantangan terbesar adalah pada kecepatan dan ketepatan respons pemerintah. Seringkali, ada jarak waktu yang sangat lama antara pengajuan kebutuhan masyarakat dengan realisasi program pemerintah. Dalam konteks ini, wilayah terluar seperti Enggano nyaris selalu menjadi prioritas kedua setelah kebutuhan daerah pusat atau kabupaten.

Ketika pembangunan berjalan lamban, masyarakat lokal harus menerima fakta bahwa akses kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur tetap tersendat. Bahkan, dalam kondisi krisis, seperti saat pandemi atau bencana alam, respons pemerintah menjadi ujian nyata bagi tata kelola wilayah terpencil. Keadaan ini semakin menegaskan bahwa model birokrasi lama tidak sanggup menjawab kompleksitas kebutuhan wilayah 3T.

Ada pertanyaan yang mengemuka, mengapa negara belum berani mendesain ulang model pemerintahan untuk wilayah dengan tantangan unik seperti Enggano? Jawaban yang sering muncul adalah kekhawatiran akan inkonsistensi kebijakan serta potensi tumpang tindih kewenangan. Namun, jika stagnasi dibiarkan, wilayah seperti Enggano akan semakin jauh tertinggal.

Pengalaman masa lalu, di mana pemerintah pusat pernah bereksperimen dengan berbagai model pemerintahan khusus, menjadi pembelajaran penting. Model otorita Batam, otonomi khusus Papua dan Aceh, hingga keistimewaan DIY, merupakan upaya negara untuk menjawab tantangan lokalitas, meski dengan motivasi yang beragam. Namun, belum ada model yang benar-benar didedikasikan khusus bagi wilayah 3T yang berkarakter geografis dan sosial unik seperti Enggano.

Kalau kita bicara mengenai pengelolaan wilayah khusus, Batam memang sering disebut sebagai contoh otorita yang efektif. Namun, Batam adalah kawasan ekonomi strategis yang berbeda orientasinya dengan wilayah 3T. Sementara itu, Aceh dan Papua diberi otonomi khusus karena sejarah konflik dan identitas. Lalu, di mana posisi Enggano dan puluhan wilayah 3T lain yang bukan kawasan industri, bukan pula wilayah dengan status politik khusus?

Banyaknya tantangan itu memperlihatkan bahwa upaya membangun wilayah 3T harus dimulai dari desain tata kelola yang benar-benar baru dan tidak sekadar hasil adaptasi dari model lama. Justru, keberanian untuk keluar dari zona nyaman model birokrasi konvensional menjadi syarat utama agar wilayah seperti Enggano mampu mengejar ketertinggalan.

Sebagai pengajar, saya kerap mendapati bahwa logika “one size fits all” dalam tata kelola pemerintahan justru memperparah ketimpangan antarwilayah. Enggano hanyalah salah satu dari banyak wilayah yang menjadi korban generalisasi kebijakan yang tidak peka pada konteks. Sudah saatnya, negara berani mendesain sistem yang benar-benar tailor-made.

Jika menilik Undang-Undang Pemerintahan Daerah, memang ada ruang untuk pembentukan entitas administratif baru. Namun, realisasi di lapangan masih sangat minim. Salah satu sebabnya, tidak adanya model yang benar-benar relevan bagi kebutuhan wilayah 3T seperti Enggano—yang, sekali lagi, bukan wilayah industri, bukan pula kantong konflik, melainkan pulau terdepan dengan segala keterbatasannya.

Merumuskan Otorita Khusus Terintegrasi

Atas dasar refleksi panjang atas kegagalan model lama, saya menawarkan satu gagasan baru: Otorita Khusus Terintegrasi (OKT). OKT adalah model pemerintahan yang tidak sekadar menambah struktur birokrasi, namun mendesain ulang secara radikal cara negara hadir dan bekerja di wilayah-wilayah ekstrem seperti Enggano.

Dalam skema OKT, wilayah seperti Enggano dikelola oleh sebuah otorita yang bertanggung jawab langsung kepada kementerian, khususnya Kementerian Dalam Negeri. Mandat yang diberikan luas dan terintegrasi, mulai dari pengelolaan layanan publik, pengembangan infrastruktur, hingga penyusunan kebijakan pembangunan. Kepala Otorita diangkat Presiden, sehingga stabilitas kepemimpinan lebih terjaga.

Dengan model ini, tidak lagi terjadi tumpang tindih atau tarik-ulur kepentingan antara kabupaten, provinsi, maupun pusat. Otorita Khusus Terintegrasi diberi kewenangan penuh dalam hal perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, namun tetap dengan mekanisme pengawasan ketat dari pusat dan lembaga audit independen.

OKT juga memiliki karakteristik utama, yaitu fleksibilitas dan keterbukaan dalam merekrut tenaga profesional serta ASN dari seluruh Indonesia. Model pengelolaan sumber daya manusia ini memungkinkan wilayah 3T mendapatkan SDM terbaik dengan insentif yang kompetitif dan sistem merit yang jelas.

Lebih jauh, Otorita Khusus Terintegrasi diberikan kewenangan fiskal khusus. Anggaran yang dialokasikan tidak lagi terfragmentasi, melainkan berbentuk block grant yang dapat dikelola secara mandiri, disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas nyata di lapangan. Ini membuka ruang bagi inovasi dalam pengelolaan keuangan daerah.

Berbicara tentang regulasi, tentu pembentukan OKT membutuhkan dasar hukum yang kuat, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun revisi undang-undang terkait. Namun, urgensi pembentukan OKT dapat lebih cepat dijawab dengan mengadopsi semangat “affirmative action” untuk wilayah 3T. Dengan demikian, proses hukum berjalan seiring dengan eksekusi nyata di lapangan.

Melalui OKT, Enggano diharapkan bisa menjadi lokomotif percepatan pembangunan di wilayah 3T. Semua program dan proyek strategis bisa langsung dirancang, diputuskan, dan dieksekusi oleh Otorita, tanpa harus menunggu restu dari level pemerintahan di atasnya. Hal ini akan sangat membantu percepatan layanan publik dan pembangunan infrastruktur dasar.

Model serupa sudah diterapkan di beberapa negara lain dengan karakteristik wilayah terpencil dan terluar. Misalnya, Northern Territory di Australia dan Nunavut di Kanada, yang mendapatkan kewenangan administratif langsung dari pemerintah pusat. Keberhasilan dua wilayah itu dalam menata pelayanan publik dan infrastruktur menjadi referensi penting, meski tentunya harus diadaptasi dengan konteks Indonesia.

Perlu dicatat, meski langsung di bawah kementerian, Otorita Khusus Terintegrasi tidak boleh menjadi lembaga yang tertutup. Harus ada ruang partisipasi masyarakat dan mekanisme checks and balances. Proses perumusan kebijakan, penyusunan anggaran, hingga pelaksanaan program harus terbuka bagi publik dan melibatkan pemangku kepentingan lokal.

Selain pengawasan internal dan audit eksternal, pelibatan universitas, lembaga riset, dan organisasi masyarakat sipil akan memperkuat tata kelola OKT. Mereka berperan tidak hanya sebagai mitra pembangunan, tetapi juga sebagai watchdog yang kritis terhadap pelaksanaan kebijakan di lapangan.

Pada titik ini, transformasi digital juga menjadi pilar utama. Dengan kondisi geografis Enggano yang menantang, pengelolaan layanan publik berbasis digital akan sangat membantu transparansi, efisiensi, dan kecepatan layanan. Sistem e-government bisa dioptimalkan untuk manajemen keuangan, administrasi kependudukan, hingga layanan kesehatan dan pendidikan.

Tentu saja, keberhasilan Otorita Khusus Terintegrasi sangat bergantung pada komitmen politik pemerintah pusat. Alokasi dana, kejelasan kewenangan, serta konsistensi pengawasan harus benar-benar dijaga. Jangan sampai model baru ini hanya menjadi nama tanpa substansi, atau justru menjadi ruang baru bagi praktik-praktik penyimpangan.

Di sisi lain, teori administrasi negara klasik yang dikemukakan Max Weber tentang birokrasi memang menekankan pentingnya struktur hierarkis dan rasionalitas aturan. Namun, dalam konteks wilayah 3T seperti Enggano, model weberian ini acap kali justru menghadirkan hambatan baru, sebagaimana dikritik Herbert Simon lewat gagasan bounded rationality—di mana pengambilan keputusan dalam organisasi publik tidak pernah sepenuhnya rasional karena terbatasnya informasi dan sumber daya di lapangan. Dalam prakteknya, keterbatasan tersebut semakin nyata di wilayah terpencil, sehingga diperlukan lembaga yang lebih luwes dan adaptif. Menarik untuk dicermati, Elinor Ostrom pernah menegaskan bahwa kelembagaan publik harus dibangun secara tailor-made, sesuai konteks sosial dan lingkungan lokal, agar dapat benar-benar menjawab kebutuhan warga.

Kemudian, konsep governance dari James Rosenau serta pendekatan collaborative governance yang diusung Ansell dan Gash mempertegas urgensi sinergi multi-aktor dalam tata kelola publik, terutama untuk wilayah-wilayah yang kompleks seperti 3T. Keduanya menyebut bahwa pemerintahan yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung masyarakat sipil dan dunia usaha, bukan hanya negara. Sementara itu, Christopher Hood dalam konsep new public management menekankan perlunya efisiensi, akuntabilitas, dan inovasi dalam organisasi publik—suatu prinsip yang sangat sesuai dengan semangat Otorita Khusus Terintegrasi yang penulis tawarkan. Dengan mengadopsi pemikiran para ahli tersebut, desain OKT bagi Enggano dan wilayah 3T lain dapat benar-benar berakar pada landasan teoritik kuat, sekaligus tetap adaptif terhadap dinamika zaman.

Menyusun Jalan Baru Wilayah 3T

Setiap kebijakan baru selalu berpotensi menimbulkan resistensi. Tidak terkecuali OKT. Penolakan bisa datang dari birokrasi lama yang merasa kehilangan kewenangan, atau dari elite lokal yang khawatir kehilangan pengaruh. Oleh sebab itu, komunikasi publik yang jujur dan dialogis sangat diperlukan sejak awal.

Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif dalam proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan OKT. Mereka harus didengarkan aspirasinya, diberi ruang dalam pengawasan, dan diberdayakan dalam pelaksanaan program. Dengan demikian, keberadaan Otorita benar-benar menjadi milik bersama, bukan sekadar proyek dari atas.

Pemberdayaan masyarakat lokal juga menjadi kunci dalam memastikan keberlanjutan program. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur atau layanan publik, namun juga membangun kapasitas warga agar mampu mengelola, merawat, dan mengembangkan hasil pembangunan secara mandiri di masa depan.

Penguatan identitas dan budaya lokal menjadi bagian integral dari OKT. Setiap kebijakan pembangunan harus menghargai dan merangkul kearifan lokal, memastikan Enggano tidak kehilangan identitasnya di tengah derasnya arus modernisasi dan pembangunan.

Dalam konteks geopolitik, pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi juga menjadi bukti nyata kehadiran negara di wilayah perbatasan. Ini sangat penting dalam mempertegas kedaulatan dan integrasi nasional, khususnya di tengah meningkatnya dinamika kawasan regional.

Tidak kalah penting, pembangunan OKT harus berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. Setiap proyek pembangunan wajib memastikan perlindungan ekosistem pulau, mengingat Enggano adalah wilayah yang sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan. Pelibatan ahli lingkungan dan komunitas lokal mutlak diperlukan.

Di sisi lain, ekonomi lokal harus menjadi prioritas. Otorita perlu mendorong pengembangan sektor-sektor potensial, seperti perikanan, pariwisata berbasis alam, dan pertanian organik yang sesuai dengan daya dukung pulau. Dukungan teknologi tepat guna dan akses pasar juga harus menjadi agenda strategis.

Agar pelayanan publik benar-benar berkualitas, penempatan guru, tenaga kesehatan, dan ASN profesional di Enggano perlu diberikan insentif khusus dan perlakuan afirmatif. Dengan demikian, wilayah 3T tidak lagi menjadi tempat “buangan” ASN, melainkan menjadi lokasi pengabdian yang bergengsi.

Selanjutnya, sinergi dengan perguruan tinggi dan dunia usaha akan mempercepat transfer teknologi dan inovasi. Enggano bisa menjadi laboratorium inovasi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kolaborasi dengan universitas akan membuka peluang riset terapan dan pengembangan kapasitas lokal yang berkelanjutan.

Dalam hal pembiayaan, Otorita perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas anggaran. Seluruh proses perencanaan dan penggunaan dana harus terbuka, dengan sistem pelaporan daring yang dapat diakses publik dan diaudit oleh lembaga independen. Ini menjadi pondasi utama membangun kepercayaan masyarakat dan mencegah praktik korupsi.

Tak kalah penting adalah membangun indikator keberhasilan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warga. Indeks kebahagiaan, kesehatan, pendidikan, dan pelestarian lingkungan menjadi ukuran utama keberhasilan OKT di masa depan.

Setiap proses perubahan membutuhkan waktu dan adaptasi. Oleh karena itu, pembentukan OKT harus diiringi dengan mekanisme monitoring dan evaluasi yang rutin. Setiap kebijakan yang tidak berjalan efektif harus segera dievaluasi dan diperbaiki, dengan melibatkan masukan dari masyarakat dan para ahli.

Akhirnya, yang terpenting dari semua ini adalah memastikan bahwa Otorita Khusus Terintegrasi bukan sekadar solusi teknokratis, tetapi benar-benar menjadi jalan baru bagi keadilan pembangunan di wilayah 3T. Enggano harus menjadi contoh nyata bagaimana negara hadir, bukan sekadar di atas kertas, tetapi juga dalam realitas keseharian warga.

Pembentukan OKT tidak boleh dianggap sebagai proyek sementara. Ini harus menjadi komitmen jangka panjang negara dalam menuntaskan ketimpangan pembangunan. Setiap perubahan yang terjadi harus berpihak pada masyarakat, bukan pada elit atau kelompok tertentu.

Dengan kehadiran OKT, diharapkan wilayah 3T seperti Enggano tak lagi terpinggirkan. Sebaliknya, mereka justru bisa tumbuh menjadi pusat-pusat inovasi yang menginspirasi wilayah lain. Negara tidak lagi hadir sebagai “tamu”, melainkan benar-benar menjadi “tuan rumah” di rumahnya sendiri.

Afirmasi Komitmen dan Argumen Kunci

Pada akhirnya, gagasan pembentukan Otorita Khusus Terintegrasi adalah refleksi dari tanggung jawab negara yang sesungguhnya. Inilah saatnya membuktikan bahwa keadilan pembangunan tidak berhenti di pulau-pulau besar, melainkan menjangkau hingga ke pulau terluar seperti Enggano.

Argumen utama yang harus dipegang adalah tidak ada satupun wilayah yang boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa uluran tangan negara. OKT menjadi instrumen nyata mewujudkan janji keadilan sosial dalam konstitusi dan cita-cita Nawacita yang digadang-gadang selama ini.

Kita belajar dari kegagalan masa lalu bahwa tata kelola birokrasi lama tidak sanggup melayani kebutuhan unik wilayah 3T. Kini, keberanian dan inovasi kebijakan adalah jawaban. Dengan OKT, negara bisa melompat lebih cepat, tanpa dibelenggu pola lama yang justru menghambat.

Dengan modal desain kelembagaan yang adaptif, komitmen politik yang kuat, dan pengawasan publik yang ketat, OKT sangat mungkin menjadi lokomotif baru pembangunan di wilayah 3T. Tentu, kesuksesannya membutuhkan gotong royong semua pihak—masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Justru, menunda berarti memperdalam jurang ketimpangan dan menambah beban masa depan bangsa. Enggano dan puluhan wilayah 3T lainnya pantas memperoleh keadilan yang telah lama mereka nanti-nantikan.

Referensi dalam tulisan ini cukup sebagai penguat argumen utama, bukan sebagai ornamen akademik. Pengalaman Batam, praktik otonomi di negara lain, serta pengalaman Indonesia dalam membangun kawasan khusus menjadi bahan pembelajaran yang memperkaya argumentasi.

Saya percaya, kehadiran Otorita Khusus Terintegrasi akan menjadi babak baru dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Model ini bukan sekadar solusi teknis, tetapi sekaligus bukti kehadiran negara yang lebih adil, responsif, dan berpihak pada yang paling membutuhkan.

Semoga Enggano, dan wilayah 3T lain, segera merasakan perubahan nyata dari keberanian negara dalam mendesain ulang tata kelola wilayahnya. Hanya dengan cara inilah, Indonesia benar-benar hadir dan berdaulat di setiap jengkal tanah airnya.
Enggano bukan nama asing bagi sebagian besar pejabat pusat. Pulau ini sering disebut dalam berbagai forum strategis, masuk dalam dokumen RPJMN, dan bahkan sampai memunculkan Inpres No. 12 Tahun 2025. Tapi di balik nama yang cantik itu, ada luka yang tak terlihat dari atas meja rapat: isolasi. Selama ini, kita menyangka pembangunan telah menjamah ke seluruh pelosok negeri. Kita bangga dengan narasi "dari Sabang sampai Merauke." Namun Enggano menunjukkan bahwa realitas di lapangan sering kali tak seindah dokumen resmi. Pulau ini kini benar-benar di ujung tanduk, tercekik oleh dua krisis sekaligus: macetnya distribusi hasil bumi dan kelangkaan BBM.

Di tengah gempita pembangunan nasional, Enggano tertinggal sendirian. Bayangkan sebuah pulau yang punya sumber daya alam melimpah, hasil laut segar, dan hutan yang belum banyak terjamah. Tapi semua itu tak berarti jika tidak ada jalan keluar. Selama empat bulan terakhir, alur laut menuju Pelabuhan Pulau Baai di Bengkulu mengalami pendangkalan parah. Dampaknya sangat nyata: tak ada kapal logistik yang bisa masuk atau keluar. Warga tidak bisa menjual kelapa, ikan, atau pisang. Semua menumpuk dan rusak di tempat.
Demonstrasi Menyuarakan Kondisi Darurat Enggano (Foto : AMAN Bengkulu)

Saya pernah bilang, bangsa ini bisa besar jika konektivitasnya utuh. Tapi konektivitas bukan hanya jalan tol atau bandara megah. Konektivitas adalah ketika warga di ujung Enggano bisa menjual hasil bumi ke Bengkulu tanpa harus menunggu kapal yang tak kunjung datang. Ketika pasokan BBM datang tepat waktu, bukan menunggu dua minggu hingga genset mati dan listrik padam. Ketika harga BBM bukan Rp 13 ribu per liter untuk pertalite, atau Rp 6 ribu untuk solar. Konektivitas adalah urusan nyawa dan masa depan. Dan di Enggano, konektivitas kini menjadi kemewahan.

Sebagian orang mungkin menganggap ini masalah teknis. Bahwa pengerukan pelabuhan sedang dilakukan oleh Pelindo II dan butuh waktu. Bahwa kapal logistik akan kembali beroperasi setelah alur laut kembali normal. Tapi bagi warga Enggano, ini bukan sekadar soal teknis. Ini tentang ekonomi rumah tangga yang lumpuh. Tentang anak-anak yang tak bisa belajar karena listrik padam. Tentang nelayan yang bingung harus bagaimana karena hasil lautnya tidak bisa dibawa ke darat. Ini tentang negara yang absen, meski dalam dokumen terlihat hadir.

Saya tidak sedang mengkritik siapa-siapa. Saya hanya ingin kita semua membuka mata. Apa yang terjadi di Enggano adalah gambaran telanjang dari gagalnya sistem distribusi logistik kita di wilayah terluar. Kita sering bicara soal transformasi digital, tapi lupa bahwa ada warga yang bahkan tak punya sinyal. Kita bicara ekonomi hijau, tapi lupa bahwa hasil bumi tidak bisa keluar dari pulau. Kita bicara soal ketahanan energi, tapi lupa bahwa PLTD di Enggano mati karena solar tidak masuk. Bukankah ini ironi?

Sejak Inpres 12/2025 dikeluarkan, harapan sebenarnya tumbuh. Tapi sayangnya, pelaksanaan di lapangan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan sistemik. Tidak ada kapal pengangkut hasil bumi. Tidak ada SPBU darurat. Tidak ada trayek logistik tetap. Padahal, dalam 3 hari saja, langkah-langkah cepat sebenarnya bisa dilakukan. Mengapa belum? Mungkin karena Enggano terlalu jauh dari Jakarta. Mungkin karena laporan belum lengkap. Tapi alasan-alasan itu tidak layak lagi.

Bila kita mau, sebenarnya solusinya ada di depan mata. Kita bisa segera aktifkan kapal LCT berkapasitas dangkal untuk melayani trayek Enggano-Bengkulu secara mingguan. Tidak butuh infrastruktur mewah. Kita hanya butuh koordinasi cepat antarinstansi. Kita bisa bangun gudang transit untuk mengonsolidasikan hasil bumi. Kita bisa tugaskan koperasi atau BUMDes menjadi agregator komoditas. Pemerintah daerah punya SDM, pemerintah pusat punya anggaran. CSO dan warga juga siap.

Saya bertemu banyak kepala daerah yang frustrasi. Mereka ingin bergerak cepat, tapi terbentur birokrasi. Padahal krisis seperti ini tak bisa diatasi dengan mekanisme biasa. Perlu perlakuan luar biasa. Perlu pendekatan darurat. Ketika alur laut tertutup, jangan menunggu surat resmi untuk bertindak. Ketika listrik mati, jangan tunggu rapat koordinasi nasional. Ini soal keberpihakan. Kita harus berani membuat keputusan yang melompat.

Tentu saja, kita tidak sedang bicara tentang solusi jangka panjang hari ini. Itu penting, tapi yang lebih penting adalah menjamin bahwa warga Enggano bisa hidup layak mulai minggu depan. Listrik menyala, hasil bumi bisa dijual, dan BBM bisa dibeli dengan harga wajar. Maka, seharusnya sekarang pemerintah pusat menetapkan status "darurat distribusi logistik Enggano." Dengan begitu, anggaran bisa cair lebih cepat, dan kewenangan lintas instansi bisa digunakan secara luwes.

Setelah itu, kita bisa bicara tentang jangka menengah. Tentang pengerukan permanen alur Pulau Baai. Tentang penempatan SPBU mini permanen di Enggano. Tentang insentif bagi operator logistik yang mau masuk ke rute sulit ini. Bahkan tentang pembentukan BUMN Logistik 3T yang secara khusus melayani kawasan terluar. Tapi semua itu tidak akan terjadi kalau kita tidak memulai dari sekarang.

Saya sering ditanya, apa sih yang paling dibutuhkan di wilayah seperti Enggano? Jawabannya sederhana: kepastian. Kepastian bahwa kapal datang tiap minggu. Kepastian bahwa listrik menyala tiap hari. Kepastian bahwa harga BBM tidak melonjak setiap bulan. Kepastian bahwa warga tidak harus menunggu bantuan atau belas kasihan. Mereka butuh sistem, bukan hanya simpati.

Sebagai bangsa, kita tak bisa terus bergantung pada belas kasihan alam. Apalagi dengan iklim yang makin tak menentu. Kita butuh sistem logistik yang tahan terhadap guncangan. Maka, penting untuk menggabungkan kekuatan logistik, energi, dan transportasi dalam satu sistem respons darurat. Bukan sektoral, bukan ego kementerian, tapi terintegrasi. Enggano adalah panggilan untuk membentuk sistem itu.

Saya paham, kita sedang dalam masa transisi pasca Pemilu. Banyak yang fokus pada konstelasi politik. Tapi di sisi lain, rakyat di Enggano tidak bisa menunggu. Anak-anak tetap harus belajar. Warga tetap butuh makan. Kalau listrik mati, kalau BBM habis, maka pemerintahan apapun tak akan berarti bagi mereka. Di mata mereka, negara itu hadir ketika mereka bisa hidup wajar.

Kalau kita ingin Enggano menjadi contoh keberhasilan pembangunan wilayah terluar, maka kita harus serius hari ini. Kita tidak bisa hanya menjadikan pulau ini sebagai bahan presentasi atau indikator pencapaian politik. Kita harus menjadikannya laboratorium kebijakan konektivitas dan layanan dasar. Karena kalau Enggano saja bisa hidup normal, pulau-pulau lain pun pasti bisa.

Kita juga harus belajar dari kesalahan. Pendangkalan alur laut tidak bisa lagi dianggap sebagai kejadian biasa. Kita perlu sistem pemantauan alur pelabuhan yang real-time. Kita perlu standar minimum akses logistik untuk pulau terluar. Harus ada sistem alarm dini yang membuat kapal pengganti otomatis bergerak begitu jalur utama terganggu. Ini teknologi sederhana, tinggal kemauan politiknya.

Saya ingin tegaskan satu hal: warga Enggano tidak minta dibantu. Mereka hanya minta haknya dikembalikan. Hak atas energi, atas akses, atas pasar, atas layanan publik. Hak untuk merasa menjadi bagian dari Indonesia. Ini bukan soal bantuan, tapi soal kewajiban negara. Jadi, jangan salah tempatkan simpati. Tempatkan ia dalam kebijakan.

Tentu saya tidak menutup mata bahwa pengerukan alur itu butuh waktu. Tapi bukan berarti semua harus menunggu. Kita bisa melakukan solusi paralel. Kirim kapal kecil sekarang. Kirim solar sekarang. Bangun koordinasi darurat sekarang. Sekecil apapun gerakannya, asal terukur dan terjadwal, akan terasa dampaknya.

Mari kita ingat, Enggano bukan sekadar pulau terpencil. Ia adalah wajah Indonesia di batas terluar. Jika kita gagal di sana, kita akan kehilangan wajah kita sendiri. Pembangunan tak boleh berhenti di Sumatera. Ia harus melampaui, menjangkau, dan merangkul.

Saya percaya bangsa ini besar bukan karena kota-kota megapolitan, tapi karena kita mau menjaga desa-desa kecil, pulau-pulau sepi, dan orang-orang yang tinggal jauh dari pusat. Justru dari merekalah kita belajar apa arti keadilan sosial dan pembangunan inklusif. Enggano adalah pengingat, bukan penghalang.

Kalau hari ini kita biarkan Enggano sendiri, maka besok akan datang pulau lain yang senasib. Jangan tunggu satu per satu jatuh baru kita bergerak. Mari jadikan Enggano sebagai momentum untuk memperbaiki sistem kita. Bukan sekadar tambal sulam, tapi perubahan cara pandang dan pola tindak.

Dalam setiap perubahan besar, selalu ada satu krisis kecil yang menggerakkan semuanya. Mungkin, Enggano-lah krisis kecil itu. Jangan kita lewatkan.
Saya mengenal sekolah alam seperti mengenal kembali sebuah bentuk rumah yang lama hilang dari peta. Ia bukan rumah yang sempurna, tetapi terasa betul bahwa di dalamnya anak-anak bisa tumbuh, bukan hanya diasuh. Pertemuan pertama saya dengan sekolah alam terjadi belasan tahun lalu, ketika saya ikut pelatihan calon Pengajar Muda Gerakan Indonesia Mengajar. Kami diajak mengunjungi sekolah alam di Jawa Barat, dan saat itu, entah mengapa, hati saya tenang. Seperti menemukan sebuah konsep pendidikan yang selama ini hanya hadir sebagai desah kesal di dalam kepala: pendidikan yang tidak memaksa anak untuk jadi seragam. Di sekolah ini, saya melihat pendidikan bukan sebagai lintasan lomba, tapi sebagai perjalanan yang boleh pelan, boleh belok-belok, dan boleh istirahat.

Waktu itu saya belum punya anak. Tapi dalam hati saya menanam niat seperti menanam biji: “Kelak, aku akan menyekolahkan anakku di sekolah semacam ini.” Bukan karena sekolah ini keren. Bukan karena katanya berbasis alam. Tapi karena di tempat seperti itu, saya merasa anak-anak tidak perlu berpura-pura jadi siapa-siapa hanya untuk membuat orang dewasa bangga. Mereka cukup jadi anak-anak saja. Lucu, penasaran, kadang nakal, kadang diam-diam mengamati semut di tanah tanpa merasa bersalah.
Ilustrasi (Gambar : Foto Pribadi + Poles AI)

Bertahun kemudian, hidup membawa saya ke Bengkulu. Saya menikah, membangun keluarga kecil, dan punya dua anak kembar yang rasanya seperti matahari ganda: terang dua kali, riuh dua kali, repot dua kali. Tapi ketika Sarah dan Aisha, nama anak kembar saya, akhirnya masuk usia sekolah, saya ingat lagi niat lama itu. Dan ternyata, Bengkulu juga punya sekolah alam. Tidak sepopuler yang saya kunjungi dulu, tapi semangatnya sama. Sekolah ini tidak menjual mimpi jadi juara olimpiade, tapi menawarkan ruang untuk menjadi manusia utuh.

Saya tahu, banyak orang tua yang mendambakan sekolah dengan target-target tinggi: anak usia lima tahun sudah lancar membaca, anak TK sudah bisa menulis tegak bersambung, anak SD harus bisa jadi juara kelas. Tapi saya pernah belajar satu hal penting: perkembangan anak bukan lomba cepat-cepatan. Dan sekolah bukan tempat pabrikasi kecerdasan buatan. Maka saya membiarkan Sarah dan Aisha belajar sesuai ritmenya. Tidak saya paksa. Tidak saya cemas-cemaskan. Saya biarkan mengalir.

Waktu rapor tiba, saya deg-degan bukan karena ingin tahu nilai anak, tapi karena penasaran: bagaimana guru memandang proses anak saya? Bukan hasilnya, tapi langkah-langkah kecilnya. Dan ketika saya membaca rapor Sarah dan Aisha, saya seperti sedang membaca catatan perjalanan. Ada cerita tentang keberaniannya menyapa dan bersosialisasi dengan teman baru, ada observasi tentang kemandiriannya dalam makan dan pergi ke kamar mandi, ada pujian kecil tentang bagaimana ia mulai suka mendengarkan. Rapor itu seperti surat cinta dari guru yang ditulis dengan mata hati, bukan dengan kalkulator.

Saya terharu. Terharu karena sekolah ini tidak mempermalukan anak yang belum bisa membaca dan mengeja. Tidak memberi label “bodoh” pada anak yang menulis huruf kebalik. Tidak mencap “bermasalah” pada anak yang masih suka bengong memandangi pepohonan saat pelajaran berlangsung. Sekolah ini percaya bahwa proses lebih penting dari produk. Dan bahwa menjadi anak-anak adalah tahap penting yang tak boleh dicuri.

Saya pernah membaca analogi yang sangat menampar: jangan mengajarkan ikan untuk memanjat pohon. Itu bukan kegagalan ikan, tapi kegagalan sistem yang tidak mau mengenali keberagaman. Anak-anak bukan barang produksi, mereka adalah benih yang tumbuh dengan cara berbeda. Bahkan pohon yang sama pun bisa punya cabang dan arah tumbuh yang tidak identik. Jadi kenapa kita masih suka menyeragamkan anak-anak dalam satu kotak yang sama sempitnya?

Saya bersyukur, sekolahnya Sarah dan Aisha tidak memberi ranking. Tidak membuat piala plastik bertuliskan “juara satu” sebagai syarat merasa berhasil. Karena di usia TK, keberhasilan bukan soal bisa membaca dua halaman buku. Tapi bisa mengenal dirinya sendiri, bisa mengelola emosi, bisa bilang “maaf” ketika salah. Ranking dan pujian semu bisa menipu banyak hal. Tapi karakter? Itu investasi jangka panjang yang efeknya terasa seumur hidup.

Saya tahu sistem pendidikan kita masih belum berubah banyak. Masih banyak guru dan kepala sekolah yang lebih sibuk mendandani angka di raport daripada memperbaiki cara mendengarkan anak-anak. Tapi saya percaya, perubahan bisa dimulai dari ruang-ruang kecil. Dari kelas kecil di sekolah alam, dari guru-guru yang memutuskan untuk menilai anak dengan kata-kata, bukan angka. Dari orang tua yang mulai sadar bahwa prestasi anak tidak bisa disamakan seperti membandingkan jeruk dan apel.

Saya pernah mendengar curhat guru SD yang merasa frustrasi. Ia bilang, “Anak-anak sekarang pintar, tapi cepat stres.” Saya tidak heran. Karena sejak kecil mereka diajari bahwa nilai buruk adalah aib, bukan sinyal untuk belajar. Mereka ditakut-takuti dengan ujian, dibebani PR dari tiga mata pelajaran sekaligus, dan dipaksa duduk diam selama 4 jam seolah mereka robot pabrik. Anak-anak itu kehilangan haknya untuk merasa nyaman dengan proses.

Di sekolah Sarah dan Aisha, saya tidak melihat itu. Mereka memang belajar. Tapi juga berkebun, membuat kerajinan dari daun, berjalan-jalan ke banyak tempat baru, memasak bersama. Mereka membawa hewan peliharaan ke sekolah dan mengenal rasa tanggung jawab dari sana. Saya melihat Aisha, kini bisa bercerita panjang dengan diksi yang mengejutkan saya. Katanya, “Ayah, ayah berhentilah dulu nyopir. Dari tadi ayah menguap terus. Bahaya. Ayah belilah kopi biar tidak mengantuk", ucapnya secara spontan. Saya tidak tahu dari mana ia dapat kata-kata itu. Tapi saya yakin, sekolahnya menyuburkan kosakata instruksionalnya.

Rapor anak-anak di sekolah alam ini tidak hanya menilai “pencapaian belajar”, tapi juga menarasikan perjalanan batin mereka. Ada catatan tentang bagaimana anak menghadapi konflik dengan temannya, bagaimana ia belajar sabar ketika mainannya diambil, atau bagaimana ia mulai belajar mengantre tanpa merengek. Saya tidak tahu apakah semua orang tua merasa itu penting. Tapi saya, sebagai ayah, merasa itu adalah bagian paling krusial dari pendidikan.

Saya sering membayangkan begini: andai kita dulu diajari mengelola rasa marah, diajari untuk mengenali diri sendiri, diajari untuk menghargai proses, mungkin kita tidak akan tumbuh menjadi generasi yang gampang baper hanya karena beda pendapat di media sosial. Mungkin kita tidak akan cepat lelah menghadapi tekanan. Mungkin kita akan lebih siap menghadapi dunia yang keras dengan hati yang tetap lembut.

Memang, tidak semua sekolah bisa seperti ini. Tidak semua guru mau repot menulis narasi hingga berlembar-lembar untuk satu anak. Tidak semua orang tua menganggap penting catatan tentang “bagaimana anak bersikap saat kegiatan makan bersama”. Tapi jika kita bicara pendidikan anak usia dini, maka hal-hal semacam itu justru yang paling penting. Karena dasar karakter dibentuk dari hal-hal remeh yang dilakukan berulang.

Saya tidak anti dengan angka. Tapi saya yakin, angka tidak bisa menceritakan segalanya. Bahkan IPK tinggi pun kadang tidak menjamin seseorang punya rasa empati yang baik. Maka ketika rapor anak saya tidak menampilkan angka, saya tidak merasa kehilangan. Saya malah merasa mendapatkan lebih banyak: cerita, perhatian, dan arah.

Anak-anak saya memang belum bisa mengeja huruf dengan lancar. Tapi mereka bisa menyapa para petugas kebersihan di kampus saya dengan sopan. Mereka bisa bilang “terima kasih” tanpa disuruh. Mereka bisa memungut sampah dan meletakkannya ke tempat sampah tanpa drama. Buat saya, itu rapor yang nilainya paling tinggi.

Saya pernah menjadi siswa dengan rapor berisi tinta merah. Dulu saya malu. Sekarang saya sadar, tinta merah itu bukan luka, tapi alarm bahwa saya butuh pendekatan lain. Sayangnya dulu tak ada guru yang bisa membaca alarm itu. Sekarang, saya berharap anak saya tidak perlu mengalami hal yang sama.

Di hari pembagian rapor, saya tidak membawa pulang angka. Saya membawa pulang narasi. Saya membaca catatan guru seperti membaca jurnal kehidupan anak saya. Saya mencermati tiap kalimat seperti mencermati puisi. Saya tahu, guru yang menulis itu tidak sedang menilai, tapi sedang menemani. Dan itu adalah pekerjaan yang tidak semua orang bisa lakukan.

Saya percaya, sekolah seharusnya tempat anak merasa aman untuk tumbuh, bukan tempat takut untuk gagal. Maka saya bahagia melihat anak saya senang berangkat ke sekolah. Tidak ada drama pura-pura sakit. Tidak ada tangisan karena PR yang tak selesai. Mereka pulang dengan cerita, bukan keluhan.

Kita sering lupa: yang paling diingat anak dari masa sekolah bukan soal berapa nilai matematikanya, tapi bagaimana ia diperlakukan oleh gurunya. Apakah ia diterima, dihargai, didengarkan? Atau justru dibanding-bandingkan, dibentak, dan dijadikan kambing hitam?

Rapot anak saya kali ini tak membuat saya sombong. Tapi membuat saya semakin rendah hati: bahwa mendidik anak itu bukan lomba antar orang tua, tapi kerja sama penuh sabar antara keluarga dan sekolah. Kerja sunyi, yang hasilnya baru tampak setelah belasan tahun.

Saya tahu, kelak anak-anak saya akan bersekolah di tempat lain. Mungkin mereka akan masuk sistem yang tidak seideal sekarang. Tapi saya percaya, bekal karakter yang sedang mereka bangun di sekolah ini, akan menjadi kompas yang menuntun mereka saat nanti tersesat.

Maka hari ini, saya hanya ingin berterima kasih. Kepada para umi, sebutan untuk guru-guru di sekolah anak saya, yang sudah memilih menilai dengan kasih sayang, bukan hanya dengan angka. Yang sudah percaya bahwa tiap anak adalah makhluk unik, bukan bahan baku standar.

Dan tentu saja, terima kasih untuk anak-anak saya. Yang setiap hari memberi saya pelajaran tentang bagaimana menjadi ayah yang lebih baik. Yang kadang marah tanpa alasan, tapi juga bisa memeluk saat saya lelah. Terima kasih karena sudah tumbuh, meski pelan. Sudah berproses, meski belum sempurna.

Sekolah alam ini bukan tempat yang sempurna. Tapi ia memberi ruang untuk anak-anak jadi manusia. Dan buat saya, itu cukup.
Kalau hidup ini kayak naskah pidato pengukuhan guru besar, mungkin saya bakal bikin judul yang nggak biasa. Bukan tentang kapitalisme global atau sistem fiskal modern, tapi tentang “Teologi Uang sebagai Landasan Kebijakan Ekonomi Spiritual.” Ya, kedengarannya memang kayak campuran antara khutbah Jumat dan Rapat Komisi XI DPR, tapi sebenarnya ini judul yang serius tapi santai. Saya nggak bercanda. Saya serius mikir, kalau jadi guru besar, saya pengin ngomongin soal uang, tapi bukan sekadar uang di dompet. Uang yang sering dianggap benda mati padahal tiap harinya ngatur hidup orang. Uang yang bisa jadi ibadah, bisa juga jadi bencana. Uang yang kita anggap duniawi, padahal spiritualitasnya lebih tinggi dari harapan netizen pada giveaway TikTok.

Kita ini, mau diakui atau tidak, hidup dalam masyarakat yang ibadahnya diatur dompet. Mau umroh butuh duit. Mau nikah butuh mahar. Bahkan sedekah pun butuh transfer bank. Uang jadi sarana, tapi kadang juga jadi tujuan. Dan di titik itulah, saya merasa perlu untuk memperlakukan uang nggak cuma sebagai alat tukar atau simbol kekayaan, tapi sebagai entitas teologis. Bukan dalam arti disembah kayak dewa, tapi sebagai objek tafsir spiritual. Kalau orang bisa bikin “teologi penderitaan” atau “teologi pembebasan,” kenapa saya nggak bisa bikin “teologi uang”?
Ilustrasi Cover Naskah Pidato Guru Besar (Gambar : Bikinan Sendiri)
Saya tahu, ini pasti akan dianggap nyeleneh sama sebagian akademisi. Tapi bukankah justru ilmu itu lahir dari keisengan yang serius? Dulu siapa yang nyangka teori relativitas itu lahir dari orang yang bengong liat jam kereta? Nah, saya juga begitu. Aku sering banget bengong tiap habis narik uang di ATM, sambil mikir, “Apa dosa-dosa dompetku hari ini?” Dari situ saya kepikiran, bahwa uang nggak cuma berdampak ke ekonomi, tapi juga ke cara kita berdoa, mencintai, bahkan membenci.

Kita seringkali menilai moralitas orang dari cara dia pakai uang. Kalau dia dermawan, dibilang mulia. Kalau dia pelit, dibilang kikir. Tapi kita jarang tanya, kenapa dia pelit? Mungkin dia punya trauma masa kecil. Mungkin dia takut miskin. Atau mungkin dia pernah dikhianati orang yang dia pinjami uang. Dan di titik itulah, saya merasa uang bukan cuma soal angka, tapi soal iman, rasa aman, dan luka batin yang tidak ditanggung oleh saldo.

Saya nggak mau bikin pidato yang kayak baca jurnal. Saya maunya pidato yang kalau dibacain, orang-orang bisa bilang, “Iya ya, saya juga pernah ngerasain itu.” Karena buatku, jadi guru besar bukan cuma soal ngasih ilmu ke orang, tapi soal bikin orang merasa dimengerti. Maka dari itu, saya pengin ngebahas uang dari sisi yang lebih manusiawi, lebih spiritual, dan tentu saja, lebih filosofis.

Uang itu seperti mantan. Dikenang tapi bikin sakit hati. Dikejar malah menjauh. Disimpan terlalu lama malah bikin curiga. Tapi, di saat-saat terjepit, dia satu-satunya yang kita cari. Maka penting untuk punya pemahaman yang sehat tentang uang. Bukan cuma sehat secara ekonomi, tapi juga sehat secara rohani. Di sinilah aku merasa, perlu ada teologi uang. Supaya kita bisa berdamai dengan dompet sendiri.

Ada orang yang rajin banget ibadah tapi masih hobi ngemplang utang. Ada juga yang nggak pernah ke masjid tapi tiap bulan nyumbang ke panti asuhan. Kita sering bingung, mana yang lebih spiritual? Padahal bisa jadi dua-duanya sedang menjalani spiritualitas dengan cara masing-masing. Teologi uang ngajarin kita bahwa spiritualitas itu nggak selalu berbentuk ritual. Kadang berbentuk keputusan finansial yang bijak, adil, dan bertanggung jawab.

Waktu kecil, saya kira orang kaya itu pasti bahagia. Tapi setelah gede, saya baru sadar, banyak orang kaya yang hidupnya kayak kalkulator rusak—nggak pernah tenang karena terus dihitungin. Saya jadi mikir, jangan-jangan uang itu bukan sumber bahagia, tapi alat ukur rasa cukup. Nah, di titik inilah spiritualitas uang bekerja. Uang ngajarin kita bahwa hidup itu soal cukup, bukan soal banyak.

Kalau suatu saat nanti saya dikasih mimbar pidato pengukuhan, saya bakal cerita soal bagaimana uang bisa merusak ibadah. Ada orang yang salatnya lima waktu, tapi habis salat langsung ngitung fee korupsi. Ada juga yang kerja di judol, tiap hari ngitung uang haram, tapi selalu nyisihin rejeki buat orang tua. Hidup ini kompleks. Teologi uang ngajarin kita buat tidak gampang nge-judge orang cuma dari dompetnya.

Dalam dunia akademik, saya pengin bikin cabang keilmuan baru. Namanya, “Ekonomi Spiritual.” Isinya bukan cara cepat kaya menurut hadis, tapi lebih ke bagaimana orang bisa hidup damai secara finansial. Bukan sekadar bebas utang, tapi juga bebas dari rasa bersalah saat belanja. Ilmu ini akan menggabungkan ilmu ekonomi, psikologi keuangan, dan nilai-nilai spiritual. Kayak nasi magelangan: nasi, mie, telur, saos—berantakan tapi enak.

Teologi uang ini juga bisa dipakai untuk ngaji ulang hadis-hadis tentang harta. Bukan buat menjustifikasi kekayaan atau kemiskinan, tapi buat memahami konteks zaman dan rasa. Contohnya, kenapa Nabi bilang “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”? Jangan-jangan ini bukan sekadar anjuran buat dermawan, tapi juga tentang martabat manusia saat memberi dan menerima.

Saya juga pengin ngomongin soal mental budgeting umat. Gimana caranya supaya kita bisa beli kebutuhan, tanpa dikendalikan keinginan. Ini penting, karena kadang kita lebih takut saldo nol daripada hati kosong. Padahal, ketenangan hidup kadang datang bukan dari gaji, tapi dari rasa syukur yang diangsur tiap hari.

Di masyarakat, ada mitos bahwa orang religius itu nggak boleh cinta dunia. Tapi gimana caranya nggak cinta dunia kalau kita hidup di dunia? Nah, teologi uang ngajarin bahwa mencintai dunia itu sah, selama tahu batas dan arah. Uang bisa dipakai buat membangun masjid, tapi juga bisa dipakai buat nyewa buzzer. Jadi, soal niat dan tanggung jawab.

Saya juga kepikiran buat ngajarin anak-anak muda biar nggak gampang silau sama flexing. Di Instagram, semua orang keliatan kaya. Tapi di dunia nyata, banyak yang pusing bayar cicilan. Teologi uang ngajarin bahwa yang penting bukan tampilan, tapi ketahanan batin. Bisa tenang walau saldo tinggal lima belas ribu, itu ilmu tingkat dewa.

Penting juga ngomongin soal utang. Di kampus, nggak ada mata kuliah “Manajemen Utang dan Pertobatan Finansial.” Padahal ini masalah semua orang. Teologi uang bisa jadi jalan tengah buat ngajarin cara berutang yang sehat, dan cara memaafkan diri dari kesalahan finansial masa lalu. Karena kadang, kita lebih tega sama orang lain daripada sama dompet sendiri.

Saya tahu, teologi uang ini bakal jadi bahan tertawaan. Tapi bukankah semua ide besar dulu pernah diketawain? Dulu orang yang bilang bumi itu bulat dianggap gila. Sekarang yang gila justru yang percaya bumi datar. Jadi, saya sih bodo amat. Yang penting saya punya keyakinan bahwa uang bukan sekadar kertas atau angka, tapi juga cerita dan doa yang kita bisikkan dalam hati.

Uang itu seperti makhluk spiritual. Dia bisa mempertemukan orang, tapi juga bisa memisahkan. Bisa jadi sumber pahala, tapi juga sumber dosa. Bisa menyejukkan, bisa juga membakar. Maka dari itu, penting buat punya ilmu yang bisa bikin kita sadar bahwa setiap transaksi adalah ibadah kecil, dan setiap pengeluaran adalah bentuk cinta atau ego.

Kalau kamu tanya, kenapa saya milih nama “teologi uang”? Jawabannya sederhana. Karena terlalu banyak orang yang belajar ekonomi tapi nggak belajar empati. Terlalu banyak yang bisa ngitung bunga, tapi nggak bisa ngitung luka. Terlalu banyak yang tahu investasi, tapi nggak tahu introspeksi. Ilmu tanpa rasa itu kayak teh tanpa gula—pahit dan bikin males.

Saya juga pengin ngajak lembaga zakat dan bank syariah buat ikut diskusi. Biar nggak cuma ngomongin nisab dan riba, tapi juga soal rasa takut, cemas, dan harapan yang melekat pada uang. Supaya zakat bukan cuma angka yang dipotong, tapi jadi pengingat bahwa rezeki itu bukan soal kerja keras semata, tapi juga tentang belas kasih Tuhan dan rejeki orang lain yang dititipkan di dompet kita.

Dan akhirnya, saya cuma pengin bilang, jadi guru besar itu bukan soal gelar. Tapi soal keberanian untuk bercerita dari sudut yang tak biasa. Kalau orang lain bercerita soal pasar global, aku akan bercerita soal pasar tradisional. Kalau orang lain ngomongin kebijakan fiskal, saya akan ngomongin isi dompet emak-emak. Karena di situlah ilmu bertemu kenyataan. Di antara sisa kembalian dan doa dalam hati.

Jadi kalau nanti ada orang yang nanya, “Kok judul pidato pengukuhanmu aneh banget?” saya akan jawab dengan senyum, “Karena hidup ini lebih butuh pengertian spiritual tentang uang, daripada seminar investasi yang diakhiri dengan penawaran member platinum.”

Dan semoga saja, suatu hari nanti, dompet kita nggak cuma penuh isi, tapi juga penuh makna
Tinggal di Bengkulu itu rasanya seperti menjalin hubungan dengan mantan yang dulu pernah baik, penuh kenangan, tapi akhirnya kita tahu: ini bukan tempat untuk ambisi besar. Bukan karena Bengkulu tidak punya potensi, tapi karena ia terlalu sabar, terlalu tenang, terlalu ikhlas untuk dikejar-kejar target. Kau bisa betah di sini, asal tidak berharap menjadi pusat perhatian. Seperti mantan yang diam-diam masih mengingat ulang tahunmu, tapi tidak pernah lagi mengucapkannya secara langsung. Ia hadir, tapi tidak menuntut.

Setiap pagi, kota ini bangun dengan santai. Matahari muncul seperti enggan-enggan, lalu menerangi jalanan yang tidak pernah benar-benar macet. Di warung sarapan, obrolan masih soal harga sawit dan anak tetangga yang kerja di Jakarta. Semua terasa seperti kaset lama yang diputar ulang—nada yang sama, tapi tetap bikin nyaman. Tidak ada yang terburu-buru, tidak ada yang benar-benar gila kerja. Seperti hubungan yang sudah melewati masa-masa drama.
Ilustrasi menikmati sore di pantai di Bengkulu (Gambar : AI Generated)

Saya pindah ke Bengkulu sebelas tahun lalu. Awalnya hanya karena pekerjaan, tapi lama-lama saya betah seperti orang yang kejebak nostalgia. Bukan karena semuanya indah, justru karena kekurangannya bisa dipahami. Kota ini tidak menjual mimpi-mimpi palsu seperti kota besar. Dia hanya bilang: "Kalau kamu capek, duduklah sebentar di Pantai Panjang. Lihat laut. Jangan pikirin hidup terlalu keras."

Kalau ditanya apa yang paling saya suka dari Bengkulu, saya selalu jawab: diamnya. Ini kota yang tidak merasa perlu membuktikan dirinya ke siapa-siapa. Tidak ada ambisi menjadi seperti Yogyakarta atau Bandung. Dia tahu posisinya, dan dia tidak minder. Ada daya tarik yang lahir dari kelegaan itu—seperti mantan yang sudah move on tapi tetap bisa ngobrol baik-baik sama kita di warung kopi.

Orang bilang Bengkulu sepi. Saya tidak membantah. Tapi saya juga tidak akan menyebutnya membosankan. Karena kadang yang kita butuhkan bukan keramaian, tapi ruang untuk mendengar diri sendiri. Kota ini memberi itu. Ia menyediakan jeda. Memberi kita alasan untuk berhenti sejenak dari sibuk yang seringkali tidak jelas tujuannya.

Tentu, Bengkulu bukan tanpa kekurangan. Di beberapa titik, kota ini seperti lupa untuk berkembang. Beberapa proyek mangkrak, beberapa gedung dibiarkan jadi rumah laba-laba. Tapi seperti mantan yang kita tahu tidak sempurna, kita tetap menyukainya karena ia membuat kita merasa cukup. Bukan karena tidak bisa dapat yang lebih baik, tapi karena tahu: tenang juga adalah bentuk bahagia.

Saya suka jalan menelusuri sore di kota ini. Melewati jalan danau dendam tak sudah yang pinggirnya sawah, atau menyusuri kawasan tepi pantai malabero yang seperti tidak pernah kehabisan senja. Di Jakarta, ini semua pasti sudah dipagari dan dikomersilkan. Di sini, laut tetap milik siapa saja yang ingin diam di hadapannya tanpa harus bayar parkir mahal. Seperti mantan yang tetap menyisakan playlist Spotify bersama, walau hubungan sudah tamat.

Ada rasa aman di Bengkulu yang sulit dijelaskan. Bukan aman dari kejahatan, tapi aman secara batin. Aman untuk merasa gagal. Aman untuk jadi orang biasa. Aman untuk tidak keren-keren amat. Ini kota yang tidak akan mengolok-olokmu kalau kamu belum punya rumah. Tidak akan mengejekmu kalau masih pakai motor butut. Ia menerima, tanpa komentar.

Pernah satu kali saya iseng jalan-jalan malam ke Simpang Lima dan berputar ke kawasan Stadion Semarak saat musim durian. Suasananya seperti nonton konser band indie yang lupa dipromosikan. Lampu-lampu ada, suara-suara juga terdengar, tapi tidak ada desakan. Semua orang duduk, ngobrol, sambil menikmati buah durian fresh langsung dari kebun yang dijajakan para penjual di pinggir jalan. Tidak ada yang merasa perlu kelihatan paling keren. Saya duduk di situ cukup lama, hanya untuk menikmati absurditas: kota ini benar-benar tidak berusaha jadi sesuatu.

Dan mungkin itu yang bikin Bengkulu terasa tulus. Karena ia tidak berakting. Tidak mencoba meniru. Tidak ingin jadi viral. Ia cukup dengan apa adanya. Seperti mantan yang tidak lagi berusaha terlihat bahagia di media sosial, tapi kamu tahu dari caranya senyum: dia damai. Ada kedewasaan yang tidak bisa dibeli di toko, hanya bisa ditempa oleh waktu dan penerimaan.

Anak-anak muda di sini juga punya cita-cita. Tapi mereka tahu, lari terlalu cepat bisa bikin kepleset. Mereka belajar bersiasat, tidak memaksa. Menggelar lapak kecil, bikin konten, jualan kopi atau seblak. Saya lihat semangat itu tumbuh, pelan-pelan. Tidak seperti startup di kota besar yang dibakar investor. Di sini, bara kecil dirawat dengan napas panjang.

Kadang saya berpikir, Bengkulu tidak akan pernah jadi kota tujuan. Ia akan tetap jadi kota persinggahan. Tempat orang datang untuk belajar tenang, lalu pergi ketika sudah rindu hiruk-pikuk. Tapi justru karena itu ia jadi penting. Seperti mantan yang dulu membuatmu sadar: tidak semua cinta harus berujung pesta pernikahan. Ada yang cukup tinggal di hati.

Bengkulu punya laut, punya kopi, punya pendap, punya cerita-cerita tua tentang Soekarno yang dibuang tapi malah jatuh cinta. Tapi yang paling dia punya adalah ruang. Ruang untuk diam. Ruang untuk pulih. Ruang untuk jadi manusia yang tidak diukur dari seberapa sering nongol di Instagram explore. Ini kota yang memanusiakan manusia dengan cara yang sangat sederhana.

Saya tahu tidak semua orang cocok tinggal di sini. Ada yang akan gelisah karena terlalu sepi. Ada yang merasa mandek karena ritme yang lambat. Tapi buat saya, ini bukan soal cocok atau tidak. Ini soal apa yang kita cari dalam hidup. Kalau yang kamu cari adalah ruang untuk berpikir ulang, Bengkulu menyediakan itu, dengan senyuman yang tidak memaksa.

Saya pernah berpikir akan meninggalkan kota ini. Tapi setiap kali saya coba membayangkannya, selalu ada yang menahan. Mungkin bukan kota ini, tapi rasa damai yang dia tawarkan. Rasa yang sulit dicari di tempat lain. Rasa yang seperti pelukan lama—hangat tapi tidak posesif.

Bengkulu, pada akhirnya, adalah tempat yang tidak akan membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi jika kau beri waktu, ia akan merayap perlahan ke hatimu. Seperti lagu lama yang baru terasa indah setelah berkali-kali didengar. Ia tidak mencolok, tapi menetap. Dan itu, bagi saya, lebih dari cukup.
Beberapa hari lalu, saya sedang makan pecel lele bersama anak saya di dekat kampus, tempat langganan kalau sedang ditinggal istri ke luar kota yang praktis saya kadang jadi jarang masak. Warungnya tidak besar, hanya sepetak dengan kursi plastik warna-warni dan banner yang mulai pudar warnanya. Tapi yang bikin saya tertarik justru namanya: Putra Lampung. Sebuah nama yang menimbulkan rasa penasaran. Saya tanya ke penjualnya, siapa yang dari Lampung. Dengan logat yang saya kenal betul sebagai logat PUJAKESUMA (Putra Jawa Kelahiran Sumatera / Transmigran Jawa di Sumatera), dia menjawab, "Saya, Mas. Dari Metro." Dan seperti layaknya sesama perantau yang tiba-tiba merasa ketemu sepupu jauh, obrolan kami pun mengalir ngalor-ngidul.

Ada semacam kode tak tertulis bahwa kalau dua perantau ketemu, apalagi dari daerah yang sama, maka batas-batas antara "penjual" dan "pembeli" akan luluh pelan-pelan. Kami ngobrol tentang banyak hal, mulai dari cerita kapan mulai tinggal di Bengkulu sampai soal harga sembako yang terus naik. Tapi obrolan menjadi lebih dalam ketika kami membahas soal lebaran. Bukan cuma Idul Fitri, tapi juga Idul Adha. Dua-duanya sama-sama menyisakan rasa sepi di dada perantau.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Saya ingat betul, beberapa kali saya shalat ied di perantauan, habis salam terakhir imam, orang-orang langsung bubar. Tak ada salaman panjang yang biasanya membuat kita berdiri berlama-lama, tak ada suara anak kecil yang tertawa sembari berlarian dengan baju baru, tak ada aroma opor dari rumah tetangga yang menguar pelan-pelan menyiksa penciuman. Yang ada hanyalah deretan kendaraan yang buru-buru balik ke rumah, atau lebih tepatnya, ke kontrakan.

Lucunya, kue-kue lebaran pun tetap dibeli. Padahal bukan untuk menyambut tamu, karena memang tidak ada tamu yang datang. Biasanya kue-kue itu akan dimakan sendiri, atau paling banter ditawarkan ke teman sesama perantau sebelah rumah yang juga sedang leyeh-leyeh di depan kipas angin. Mungkin ini cara perantau bertahan secara mental. Seolah dengan membeli kue lebaran, kita sedang meyakinkan diri bahwa ini memang lebaran.

Saya sempat nanya ke si pemilik warung, bagaimana dia biasanya merayakan Idul Adha. Dia tertawa kecil, semacam tawa getir. "Ya gitu, Mas. Kalau lagi ramai pesanan, habis shalat ied langsung buka warung. Soalnya momen kayak gitu justru yang banyak orang nyari makan di luar. Pada nggak masak." Rasanya semacam ironi, saat di kampung halaman, orang-orang pada sibuk membagikan daging kurban, di sini kita sibuk membakar lele buat orang yang lapar tapi bukan karena habis potong kambing.

Saya juga mengalami hal serupa. Beberapa kali Idul Adha lewat tanpa suara kambing. Tak ada petugas masjid yang keliling membagikan kupon, tak ada anak-anak yang ribut minta bagian jeroan, tak ada ibu-ibu yang ngomel karena plastik daging bocor di ember. Yang ada hanyalah notifikasi WhatsApp, dan itu pun kadang saya baca sambil ngopi sendirian di warung kopi yang tetap buka saat lebaran.

Kadang-kadang saya mikir, lebaran di tanah rantau ini seperti lebaran dalam film bisu. Semua elemen ada—takbir, salat ied, kue-kue, dan kadang daging—tapi tak ada suara latarnya. Tak ada riuh keluarga, tak ada gumam bapak, tak ada sendok garpu berdenting. Hanya ada kita dan kesunyian yang pelan-pelan menjadi kebiasaan.

Saya pernah mencoba pulang kampung saat Idul Adha, tapi tiket mahal dan waktu cuti yang mepet membuat pilihan itu menjadi kemewahan tersendiri. Jadilah saya lebih sering bertahan di kota, menjadi saksi betapa banyak perantau yang memilih tidak pulang, bukan karena tak rindu, tapi karena rindu itu lebih murah kalau dipendam daripada dibiayai.

Lalu, saya kembali mengenang lebaran kurban di kampung. Ada semacam kehangatan yang tidak bisa dibeli di kota. Suasana masjid yang ramai, teriakan panitia yang bingung membagi daging, dan senyum-senyum tetangga yang menyapa meski jarang ketemu. Semuanya kini seperti kenangan yang disimpan dalam toples kaca—terlihat, tapi tak bisa disentuh.

Yang membuat sedih, bukan karena tidak ada kambing yang disembelih, tapi karena tidak ada yang bisa kita bagi. Di perantauan, bahkan membagikan senyum pun terasa mahal karena orang-orang terlalu sibuk bertahan hidup. Kita menjadi pribadi-pribadi soliter yang menabung kebahagiaan untuk nanti, entah kapan dan di mana.

Pernah suatu waktu saya iseng beli daging kambing potongan kecil di pasar, lalu saya masak gulai. Cuma biar terasa seperti lebaran. Rasanya? Biasa saja. Yang luar biasa justru rasa kosongnya. Saya makan sendiri di dapur, dengan suara kipas angin sebagai teman. Tidak ada sendok cadangan, tidak ada canda. Hanya ada saya, nasi, dan rasa yang pelan-pelan hambar.

Saya pikir, mungkin begini memang nasib para perantau. Kita menggantungkan makna pada apa yang ada, bukan apa yang seharusnya. Kita ciptakan sendiri atmosfer lebaran, meski palsu, meski sementara. Karena kalau tidak begitu, kita bisa gila memikirkan betapa hidup ini ternyata sangat sepi saat yang lain berkumpul.

Saya tanya ke si pemilik warung, pernah gak kurban di sini? Dia mengangguk pelan. "Pernah, Mas. Tapi nyumbang patungan sama teman-teman. Nanti disembelih bareng, terus dagingnya dimasak di kos." Saya senyum mendengar jawabannya. Setidaknya, masih ada cara agar lebaran tak sekosong itu. Bahwa kurban bukan hanya soal menyembelih kambing, tapi juga menyambung rasa.

Kadang-kadang saya iri melihat video orang mudik lebaran. Mereka yang turun dari bus dengan peluh dan senyum, dijemput bapaknya yang membawa motor Supra tua. Mereka yang pulang membawa cerita, membawa uang, membawa rindu yang sudah mengendap lama. Saya yang nonton hanya bisa menunduk, pura-pura sibuk dengan HP.

Ada hal-hal yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang tinggal di rumah. Bukan rumah dalam arti fisik, tapi rumah yang benar-benar rumah: tempat pulang, tempat ditunggu, tempat disediakan teh hangat dan cerita. Sementara kita para perantau, tinggal di tempat tidur yang bisa digulung dan dipindah kapan saja.

Suatu malam, saya lihat seekor kambing digiring masuk ke pekarangan masjid kecil dekat kosan. Ternyata itu persiapan Idul Adha. Saya dekati kambing itu. Diam. Matanya seperti tahu bahwa esok dia akan jadi makanan. Saya diam juga. Kami sama-sama menyadari, nasib kadang tak bisa ditawar.

Ada bagian dari hidup ini yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti rasa ingin pulang tapi tidak bisa. Seperti menyalakan kompor pagi-pagi untuk menggoreng ketupat instan. Seperti menyeka mata saat mendengar takbir lewat dari pengeras suara. Semuanya seperti sedang bercanda, tapi tanpa tawa.

Besoknya, saya tidak ikut salat ied. Bukan karena tidak mau, tapi karena tubuh saya terlalu berat. Bukan oleh lelah, tapi oleh sepi. Saya tidur lebih lama, berharap bangun-bangun semua sudah selesai. Tapi justru ketika bangun, sepinya makin tebal. Bahkan suara burung pun seperti malas bersuara.

Kadang saya berpikir, mungkin lebaran di perantauan ini adalah cara Tuhan mengajari kita arti kehilangan. Bahwa yang kita rindukan bukan dagingnya, bukan makanannya, tapi kebersamaan yang menghangatkan dada. Sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh Grab atau promo makanan.

Saya bertanya lagi pada pemilik warung, "Besok buka, Mas?" Dia menjawab, "Ya buka. Mau tutup juga bingung ngapain." Kami tertawa pelan. Tertawa yang bukan karena lucu, tapi karena sama-sama paham: bahwa di perantauan, bahkan hari raya pun harus tetap dijalani seperti hari biasa.

Saya pulang dari warung itu dengan perasaan yang aneh. Campur aduk. Di satu sisi, saya merasa kuat karena tetap bisa bertahan. Tapi di sisi lain, saya merasa rapuh karena tak punya apa-apa untuk dibagi. Saya hanya punya cerita. Dan itu pun hanya bisa saya ceritakan lewat tulisan ini.

Malamnya, saya tulis catatan pendek di notes HP: “Lebaran ini saya tidak akan menangis.” Lalu saya tidur sambil mendengarkan lagu lawas Ebiet G. Ade. Di perantauan, musik kadang jadi obat paling manjur untuk luka yang tak berdarah.

Lebaran kurban memang bukan sekadar soal daging yang dibagi. Tapi tentang siapa yang datang membawa tawa. Dan kalau tidak ada yang datang, setidaknya kita bisa menyapa diri sendiri. Mengucapkan Selamat Lebaran, bro. Kau sudah bertahan sejauh ini.
Beberapa hari terakhir jagat media sosial dan ruang-ruang redaksi diramaikan oleh berita yang tak hanya menggelitik nalar publik, tetapi juga membuat banyak profesional mengernyitkan dahi. Beberapa nama yang sebelumnya duduk sebagai menteri dan wakil menteri, kini dilantik menjadi komisaris di sejumlah BUMN besar. Salah satunya bahkan diketahui tidak menamatkan pendidikan S1-nya, namun ditunjuk menjadi komisaris di perusahaan plat merah yang berperan strategis dalam perekonomian nasional. Lebih menarik lagi, latar belakangnya adalah seorang musisi band, bukan pebisnis, bukan ekonom, apalagi orang dengan pengalaman manajerial. Paling tinggi pengalaman manajerialnya adalah pimpinan partai kelas medioker.

Ini bukan sekadar guyonan dunia maya. Ini soal serius. Sebab ketika jabatan komisaris dijadikan tempat menampung tim sukses, loyalis, bahkan artis, maka arah tata kelola perusahaan negara berada di jalur yang salah. Kita semua tahu, komisaris bukan jabatan simbolik. Mereka adalah penjaga gawang, pengawas strategis yang menentukan apakah perusahaan berjalan sesuai arah atau justru tergelincir karena keputusan yang asal-asalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Saya tidak sedang mempermasalahkan latar belakang profesi seseorang. Banyak seniman dan musisi yang cerdas dan memiliki wawasan luas. Tapi menjadi komisaris BUMN itu bukan soal pintar bernyanyi atau punya banyak followers. Ini soal kemampuan memahami strategi bisnis, risiko pasar, dinamika ekonomi global, hingga tata kelola korporat yang sehat. Kalau hanya sekadar populer atau dekat dengan kekuasaan, lantas siapa yang akan menjaga integritas dan keberlanjutan perusahaan?

Bayangkan jika kita memilih pilot pesawat bukan karena kemampuannya menerbangkan pesawat, tapi karena dia sering ikut kampanye dan loyal pada partai tertentu. Apa kita rela hidup kita dipertaruhkan di tangan orang yang salah? Logika yang sama harusnya berlaku dalam dunia bisnis, terlebih ketika yang dipertaruhkan adalah uang rakyat.

BUMN bukan milik pemerintah. Mereka milik negara. Ada perbedaan besar antara “pemerintah” dan “negara”. Pemerintah bisa berganti tiap lima tahun, tapi negara adalah entitas yang harus dijaga lintas generasi. Maka, pejabat yang duduk di struktur BUMN seharusnya dipilih bukan karena kedekatannya dengan kekuasaan, tetapi karena kemampuannya menjaga aset publik ini agar terus tumbuh, kompetitif, dan memberi manfaat luas.

Satu hal yang sering dilupakan: jabatan komisaris bukan “hadiah” politik. Ia adalah posisi strategis yang menentukan hidup matinya sebuah perusahaan. Komisaris harus mampu membaca laporan keuangan, memahami portofolio bisnis, mengawasi proyek-proyek strategis, dan memastikan perusahaan taat pada prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance). Jika tidak, maka yang terjadi bukan BUMN yang maju, melainkan BUMN yang dikerjai.

Saya khawatir, dalam praktik seperti ini, yang terjadi bukan meritokrasi tapi mediokritas. Orang-orang yang seharusnya duduk karena kompetensi, tersingkir karena tidak punya kedekatan dengan elite politik. Akibatnya, talenta-talenta terbaik bangsa memilih berkarier di luar negeri atau di sektor swasta. Padahal, kita membutuhkan mereka untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dari dalam.

Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, komisaris kan hanya duduk manis, datang rapat sesekali.” Justru itu masalahnya. Karena persepsi bahwa komisaris hanya posisi “titipan”, maka pengawasan menjadi lemah. Banyak kasus korupsi di BUMN terjadi karena pengawasan yang tidak efektif. Dan itu terjadi karena komisarisnya tidak berfungsi sebagai pengawas strategis, melainkan sekadar pelengkap struktur.

Di mata publik, BUMN adalah etalase negara. Ketika masyarakat melihat orang yang tak relevan secara keahlian menduduki posisi strategis di sana, maka kepercayaan publik ikut runtuh. Dan saat kepercayaan runtuh, maka apapun yang dilakukan BUMN akan dipandang dengan sinis, bahkan kalau itu sebenarnya adalah langkah baik.

Saya selalu percaya bahwa organisasi yang baik dibangun di atas fondasi profesionalisme. Kita bisa menengok ke belakang, ke era ketika Bank Mandiri, BNI, hingga BRI mulai bertransformasi bukan karena orang-orangnya dekat dengan penguasa, tetapi karena mereka membawa keahlian, rekam jejak, dan visi jangka panjang.

Kita bisa ambil pelajaran dari perusahaan-perusahaan global yang kuat bukan karena afiliasi politik, tapi karena struktur kepemimpinannya berisi para profesional terbaik. Apakah Apple, Toyota, atau Siemens menunjuk komisaris hanya karena mereka populer di TikTok atau aktif di partai politik? Tidak. Mereka tahu bahwa profesionalisme bukan pilihan, tapi keharusan.

Namun saya juga tidak naif. Politik adalah realitas. Saya paham bahwa dalam sistem demokrasi, selalu ada semacam “utang politik” yang ingin dibayar pasca kemenangan. Tapi membayar utang politik tidak harus merusak sistem yang sudah dibangun dengan susah payah. Ada banyak posisi yang lebih cocok untuk itu—di luar urusan bisnis negara.

Yang perlu kita tanyakan hari ini: mau kita bawa ke mana BUMN kita? Apakah kita ingin mereka menjadi pemain global, menciptakan inovasi, menguasai teknologi, membuka lapangan kerja luas? Atau kita biarkan mereka menjadi ladang balas jasa dan tempat parkir politik?

Masalahnya bukan hanya pada siapa yang duduk, tapi pada budaya dan sistem yang mengizinkan itu terjadi. Kita butuh sistem rekrutmen yang transparan, berbasis kompetensi, dan diawasi publik. Penunjukan komisaris seharusnya melewati proses seleksi terbuka, dengan uji kelayakan, bukan hanya sekedar rapat terbatas di ruangan elit.

Mari kita belajar dari masa lalu. Dulu, banyak BUMN jadi sarang korupsi dan kerugian. Salah satu penyebabnya adalah karena jabatan strategis diisi oleh orang yang tidak kapabel. Mereka tidak paham bisnis, tidak paham risiko, tapi ikut menandatangani keputusan strategis. Hasilnya: kerugian triliunan, dan akhirnya negara juga yang menalangi.

Anak muda hari ini makin kritis. Mereka tahu siapa yang layak duduk di posisi strategis dan siapa yang hanya “nebeng kekuasaan.” Kalau negara tidak segera memperbaiki pola rekrutmen ini, jangan salahkan generasi muda kalau mereka makin apatis terhadap politik dan pemerintahan.

Saya tahu, tulisan ini mungkin tidak populer bagi sebagian kalangan. Tapi ini harus dikatakan. Karena mencintai bangsa bukan berarti membiarkan kesalahan terus berulang. Justru karena cinta, kita harus berani bicara. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Pekerjaan rumah kita bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur etika dan profesionalisme. Tanpa itu, maka gedung-gedung tinggi dan proyek-proyek megah tidak akan berarti. Kita butuh pemimpin dan pengawas yang bisa dipercaya, bukan sekadar terkenal.

Satu pertanyaan penting untuk para pengambil kebijakan: apakah kalian ingin tercatat dalam sejarah sebagai pembangun fondasi, atau sebagai perusak sistem? Sejarah akan mencatat. Dan rakyat, perlahan tapi pasti, mulai menyadari siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya numpang nama.

Saya percaya, kita masih punya harapan. Tapi harapan itu hanya akan hidup jika kita punya keberanian untuk memperbaiki yang salah. Dan perbaikan itu dimulai dari siapa yang kita percayakan untuk mengelola aset publik. Bukan karena dia tim sukses, tapi karena dia ahli dan layak.

Mari berhenti menjadikan komisaris sebagai jabatan pelengkap. Jadikan mereka mitra strategis yang memperkuat bisnis, bukan sekadar stempel kekuasaan. Kalau tidak, kita akan terus berada di lingkaran setan kegagalan.

Karena pada akhirnya, bukan hanya BUMN yang gagal. Tapi kepercayaan rakyat yang hilang. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar laporan keuangan merah.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKU

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • KALAU MAU KAYA, JANGAN JADI DOSEN
  • WAHYU KEPRABON DI ERA DIGITAL
  • BLUE COLLAR GEN-Z (BLUE-Z)
  • MENGAPA TIDAK ADA HABIB DI MUHAMMADIYAH?

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar