Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Gebrakan QRIS di panggung global finansial mengingatkan kita pada teori "Techno-Nationalism" yang digagas oleh Suzanne Berger dari MIT. Dalam bukunya Making in America, Berger menjelaskan bagaimana teknologi bisa menjadi alat kedaulatan ekonomi di era modern. Persis seperti yang terjadi dengan QRIS hari ini - sebuah sistem pembayaran yang lahir dari kebutuhan domestik tetapi mampu bersaing di tingkat global.  

Yang menarik dari perkembangan QRIS adalah bagaimana sistem ini berhasil menciptakan ekosistem pembayaran yang benar-benar berbasis kebutuhan riil masyarakat. Berbeda dengan sistem kartu kredit yang dikembangkan berdasarkan logika bisnis perusahaan multinasional, QRIS justru tumbuh dari bawah, menyelesaikan masalah nyata pedagang kecil dan konsumen biasa.  

Di Thailand, pemerintah melalui Bank of Thailand mengadopsi sistem serupa bernama PromptPay. Namun yang membedakan, adopsi QRIS di Indonesia jauh lebih masif karena didorong oleh tingginya penetrasi smartphone dan kebutuhan akan solusi pembayaran yang praktis. Data menunjukkan 72% populasi dewasa Indonesia kini telah menggunakan pembayaran digital, angka yang terus meningkat pesat.  
Ilustrasi (Foto : GeneratedAI)
Keunggulan utama QRIS terletak pada arsitektur sistemnya yang terbuka namun terstandarisasi. Ini berbeda dengan model tertutup seperti Apple Pay atau Google Pay yang hanya bisa diakses melalui platform tertentu. Pendekatan inklusif inilah yang membuat QRIS cepat diterima berbagai lapisan masyarakat.  

Tantangan terbesar justru datang dari dalam negeri sendiri. Masih banyak pelaku usaha yang enggan beradaptasi karena kebiasaan bertransaksi tunai. Di sinilah peran pemerintah dan regulator diperlukan untuk terus mendorong edukasi dan insentif bagi merchant yang beralih ke QRIS.  

Pengalaman Korea Selatan patut kita jadikan pelajaran. Negeri Ginseng itu berhasil membuat sistem pembayaran digital nasional bernama ZeroPay setelah melalui proses edukasi massif selama bertahun-tahun. Kini, 78% UMKM di Korea telah menggunakan sistem tersebut.  

Yang sering dilupakan banyak orang adalah dampak makroekonomi dari sistem seperti QRIS. Dengan mengurangi ketergantungan pada uang tunai, pemerintah bisa lebih efektif memantau perputaran uang, memerangi korupsi, dan meningkatkan basis pajak. Di India, sistem serupa UPI berhasil meningkatkan rasio pajak terhadap PDB sebesar 1,2% dalam tiga tahun.  

Di balik kesuksesan QRIS, tersimpan ironi yang pahit. Sementara kita berbangga dengan pencapaian ini, faktanya banyak komponen teknologi pendukungnya masih bergantung pada infrastruktur asing. Mulai dari server cloud hingga chip di perangkat pembaca QR. Ini menjadi pekerjaan rumah berikutnya bagi industri teknologi dalam negeri.  

Pelajaran dari Singapura menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pembayaran digital tidak bisa lepas dari dukungan infrastruktur digital yang kuat. Negeri Lion itu menghabiskan bertahun-tahun membangun jaringan 5G dan fiber optik sebelum meluncurkan PayNow. Indonesia harus mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung semacam ini.  

Yang paling menggembirakan dari kesuksesan QRIS adalah munculnya generasi baru teknolog finansial lokal. Startup seperti LinkAja, DANA, dan OVO tidak hanya menjadi operator, tetapi juga mengembangkan fitur-fitur inovatif di atas platform QRIS. Ini menciptakan ekosistem yang sehat dan kompetitif.  

Di tataran global, QRIS telah menjadi contoh nyata bagaimana negara berkembang bisa menciptakan standar teknologi sendiri. WHO bahkan memasukkan QRIS sebagai salah satu studi kasus dalam laporan mereka tentang inovasi finansial di negara berkembang.  

Namun kita harus tetap kritis. Kesuksesan QRIS tidak boleh membuat kita lengah terhadap potensi risiko sistemik. Bank for International Settlements (BIS) telah memperingatkan tentang bahaya ketergantungan berlebihan pada satu sistem pembayaran nasional tanpa backup yang memadai.  

Pengalaman Brazil dengan sistem PIX mereka menunjukkan bahwa skema pembayaran instan nasional bisa menjadi sasaran empuk bagi kejahatan siber. Dalam enam bulan pertama peluncuran, terjadi peningkatan 300% kasus penipuan digital terkait sistem tersebut.  

Di sinilah pentingnya membangun sistem keamanan berlapis untuk QRIS. Tidak hanya sekadar enkripsi data, tetapi juga mekanisme verifikasi transaksi yang lebih ketat tanpa mengurangi kemudahan penggunaan.  

Yang patut diapresiasi adalah langkah Bank Indonesia yang mulai membangun jaringan QRIS lintas negara dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura. Ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat posisi tawar Rupiah di kawasan ASEAN.  

Kita juga perlu belajar dari kegagalan sistem pembayaran digital di beberapa negara Afrika. Meski memiliki ide brilian, banyak proyek yang gagal karena kurangnya koordinasi antara regulator, perbankan, dan penyedia teknologi.  

Masa depan QRIS sebenarnya bisa lebih cerah lagi jika diintegrasikan dengan sistem identitas digital nasional. Bayangkan jika satu QR code tidak hanya untuk pembayaran, tetapi juga bisa menjadi alat verifikasi KTP digital, kartu vaksin, bahkan tiket transportasi.  

Tantangan terberat mungkin justru datang dari perubahan perilaku masyarakat. Survei terbaru menunjukkan bahwa 65% konsumen Indonesia masih merasa nyaman dengan uang tunai untuk transaksi kecil. Mengubah kebiasaan ini membutuhkan waktu dan pendekatan kultural yang tepat.  

Di sisi lain, keberhasilan QRIS telah memicu optimisme baru di kalangan pengembang lokal. Jika bisa sukses di bidang pembayaran digital, bidang apa lagi yang bisa kita kuasai? Cloud computing? Kecerdasan artifisial? Sistem operasi mandiri?  

Pada akhirnya, QRIS bukan sekadar tentang teknologi pembayaran. Ini tentang kemampuan bangsa untuk menentukan jalan ekonominya sendiri, tanpa harus selalu mengikuti kemauan negara-negara maju. Seperti kata ekonom Mariana Mazzucato, "Inovasi sejati adalah ketika suatu bangsa berani menciptakan pasar baru, bukan hanya mengikuti pasar yang sudah ada."  

Kita telah membuktikan bahwa dengan political will yang kuat, sumber daya manusia yang mumpuni, dan ekosistem yang mendukung, Indonesia mampu menciptakan solusi teknologi kelas dunia. QRIS hanyalah permulaan. Masih banyak lompatan inovasi lain yang bisa kita wujudkan.  

Yang perlu kita lakukan sekarang adalah konsolidasi kekuatan. Memperkuat infrastruktur pendukung, meningkatkan literasi digital, dan yang terpenting - menjaga semangat percaya diri bahwa kita mampu bersaing di panggung global.  

Sejarah akan mencatat QRIS sebagai salah satu momen penting kebangkitan teknologi Indonesia. Tapi ingat, ini baru babak pertama. Pertarungan sebenarnya masih panjang, dan kemenangan sesungguhnya adalah ketika kita tidak hanya menjadi pengguna, tetapi pencipta standar-standar teknologi baru dunia. 

Satu video mampir ke beranda saya, datang dari salah satu akun berbagi informasi di Bengkulu. Isinya menggemaskan sekaligus mengerikan: seorang warga sedang melakukan tindakan kompresi dada—semacam CPR—pada penumpang kapal yang baru saja tenggelam dalam musibah kapal karam. Ombak dan angin barangkali sedang tidak mood hari itu, lalu memutuskan menjungkalkan kapal yang terbuat seluruhnya dari kayu itu ke dalam laut. Tapi yang paling bikin saya tercekat bukan soal tragedi airnya, melainkan tangan si penolong yang satunya lagi. Ia tak hanya sibuk menyelamatkan nyawa, tapi juga sibuk mengatur sudut kamera. Seolah nyawa manusia yang sedang dikompresi itu, adalah tambahan bumbu untuk sebuah vlog.

Dalam situasi genting, di mana manusia seharusnya saling menguatkan dalam kegentingan, kita justru menemukan manusia yang menunggu timing terbaik untuk memencet tombol "rekam". Saya menduga, tak main-main, orang ini adalah bagian dari generasi Facebook Pro yang sekarang tengah menancapkan kuku-kukunya dalam-dalam di dunia maya. Mereka adalah generasi yang meyakini bahwa setiap momen, bahkan yang mengandung darah dan napas terakhir, bisa didandani menjadi konten. Sebuah konten yang bisa diuangkan—meski recehan—tapi tetap memabukkan.

Ilustrasi Orang Sedang Menolong Korban Tenggelam di Laut tapi Sambil Merekam untuk Konten (Gambar : AI Generated)

Bila dulu kita diajari bahwa kemanusiaan itu di atas segalanya, sekarang sepertinya ajaran baru sedang menyalip dari kanan. Ajaran bahwa segala hal bisa jadi komoditas. Facebook Pro menyediakan karpet merah bagi mereka yang mau sedikit 'nakal', sedikit 'nekat', dan tak punya urat malu. Semua hal bisa dibikin konten. Dari tukang tambal ban sampai kematian tetangga. Semua bisa masuk timeline.

Saya tidak akan mempermasalahkan orang yang mencari nafkah dengan cara terhormat, termasuk jadi konten kreator. Tapi persoalannya, banyak yang sekarang tak lagi bisa membedakan antara cuan dan adab. Norma dikorbankan di altar algoritma. Etika diremukkan di kolom komentar. Martabat dijadikan narasi clickbait. Dan semua itu terjadi dalam satu aplikasi biru yang dulu cuma dipakai buat update status galau.

Mari kita kembali ke video CPR tadi. Orang-orang di sekeliling tidak terlihat panik. Tidak juga tampak cemas. Mereka seperti sedang nonton pertunjukan jalanan. Ada yang pakai HP dengan dua tangan. Ada juga yang lebih niat, membawa gimbal. Gimbal, Bung! Seolah sudah tahu akan ada pertunjukan berdarah dan mereka tak mau kehilangan angle terbaik. Saya tidak tahu apa yang lebih gila dari ini. Mungkin kalau nanti ada yang live sambil bilang, “Jangan lupa like, komen, dan subscribe ya. Kita lagi nyelametin orang nih...”

Fenomena ini bukan cuma soal perubahan teknologi. Ini soal perubahan cara berpikir. Dulu, orang mengabadikan momen untuk dikenang. Sekarang, orang menciptakan momen agar bisa diabadikan. Perbedaannya tipis tapi tajam. Dan Facebook Pro adalah ladang basah bagi orang-orang yang sudah kehilangan kemampuan membedakan antara aksi nyata dan gimmick.

Kita berada di zaman ketika tragedi tak lagi menuntut empati, tapi eksposur. Ketika suara tangisan dikalahkan oleh suara notifikasi. Dan ketika kematian bisa menjadi peluang untuk "engagement". Ini bukan soal satu-dua orang. Ini sudah menjadi gerakan massal. Gerakan diam yang didorong oleh algoritma dan disemangati oleh dolar.

Pernah lihat konten orang berantem di pinggir jalan, yang direkam sambil diberi narasi dramatis? Atau suami yang mengunggah video istri sedang ngamuk, lalu diberi caption jenaka? Itu semua hasil dari satu mentalitas yang sama: apapun bisa dijadikan tontonan, asal bisa menghasilkan. Facebook Pro tidak memberi batasan tegas soal apa yang layak atau tidak. Ia hanya peduli pada jumlah viewer dan durasi tonton.

YouTube, walau juga sama-sama berorientasi pada uang, masih punya pagar etika yang agak tinggi. Monetisasi tidak diberikan sembarangan. Konten harus lulus banyak aturan: dari soal hak cipta, kekerasan, eksploitasi, bahkan hingga tampilan thumbnail. Facebook, sebaliknya, justru seperti pasar malam yang semua boleh asal rame. Boleh kasar, asal rame. Boleh jorok, asal rame. Dan yang penting, rame = uang.

Dalam Facebook Pro, kita seperti diajak kembali ke zaman manusia purba, tapi dengan gadget di tangan. Orang bisa memvideokan orang sekarat tanpa rasa bersalah. Bisa menonton orang dipermalukan tanpa rasa jijik. Bisa membagikan itu semua dengan caption: “Semoga jadi pelajaran.” Padahal yang dia harapkan bukan pelajaran, tapi share dan like.

Yang lebih mengerikan, anak-anak muda mulai menjadikan ini sebagai role model. Mereka mulai percaya bahwa profesi paling keren adalah “konten kreator Facebook Pro”. Tidak perlu bakat. Tidak perlu pendidikan. Cukup kuota dan sedikit kepekaan untuk mencari momen tragis. Makin tragis, makin manis.

Saya tidak ingin menyamaratakan semua. Masih banyak konten kreator yang punya hati dan nurani. Tapi kalau Anda mau jujur buka Facebook sekarang, apa yang lebih sering Anda lihat? Video prank norak? Keluarga bertengkar di depan kamera? Atau orang sakit yang direkam tanpa blur? Jangan-jangan kita memang sedang menikmati realitas yang sudah ambyar ini.

Dunia digital punya kuasa ajaib: ia bisa membungkus kekejian menjadi hiburan. Membuat kita tertawa atas kesedihan orang. Dan membuat kita merasa tak bersalah karena hanya “menonton”. Tapi lupa bahwa dengan menonton dan membagikan, kita ikut mendukung produksi konten semacam itu.

Konten bukan dosa. Tapi konten yang menjadikan manusia sebagai bahan bakarnya, itu sudah menjurus ke neraka etik. Kita harus mulai bertanya: sampai sejauh mana kita akan membiarkan ini terjadi? Apakah nanti akan ada orang sekarat yang disuruh ulang adegan supaya dapat angle yang lebih bagus?

Mungkin kita sudah terlalu lelah memperdebatkan soal etika di era digital. Tapi bukan berarti kita harus menyerah. Harus tetap ada suara yang berkata: “Ini salah.” Harus ada yang berani berkata: “Tolong, ini sudah gila.”

Kalau tidak, kita semua akan menjadi seperti mereka. Bukan penonton, bukan pelaku, tapi bagian dari mesin besar yang memproduksi tontonan keji dan menertawakannya bersama-sama.

Saya percaya media sosial diciptakan bukan untuk membuat kita mati rasa. Tapi kini, tiap hari kita dicekoki konten-konten yang memaksa kita untuk menertawakan luka orang lain, hingga akhirnya kita tidak lagi merasa bersalah.

Ketika konten sudah menjadi candu, kita lupa bahwa manusia bukan bahan baku. Kita lupa bahwa empati tak bisa dijadikan format video pendek. Kita lupa bahwa ada nyawa di balik layar yang mungkin sedang benar-benar berjuang untuk hidup.

Facebook Pro bisa jadi ladang emas. Tapi juga bisa jadi ladang yang menumbuhkan gulma-gulma tak beretika. Dan jika kita tidak mulai membersihkan gulma itu, maka sebentar lagi kita sendiri akan ditelan.

Tidak semua hal harus direkam. Tidak semua tragedi harus diberi caption. Ada hal-hal yang cukup disaksikan dengan air mata, bukan dengan kamera. Ada nyawa yang layak ditolong dengan dua tangan penuh, bukan satu tangan dan satu kamera.

Kita mungkin tidak bisa menghentikan kegilaan ini dalam semalam. Tapi kita bisa memilih untuk tidak ikut dalam arus. Bisa memilih untuk tidak menonton. Tidak menyukai. Tidak membagikan.

Dan mungkin, dengan itu, kita sedang menyelamatkan satu nyawa: nyawa empati yang sedang sekarat dalam diri kita sendiri.

Pada senja yang mencium ujung pelipis langit,
ketika angin memetik harpa di pucuk-pucuk cemara,
duduklah aku, seorang ayah,
dengan kedua putri kembarku
yang wajahnya laksana cermin memantul cahaya surya
namun jiwanya menjelma dua padma yang berbeda warna.

I. Sang Sulung: Sarah Zaheen Shanaya

Wahai putriku, engkau kunamai:
Sarah — nama ibunda para nabi,
dari tanah pasir dan doa Ibrahim,
yang di rahimnya tumbuh takdir bagi bangsa-bangsa.
Ia bukan sekadar istri,
tapi matriarka ilahi,
lambang kesabaran dan kekuatan perempuan yang bijak.

Lalu kupasangkan padamu nama: Zaheen,
dari lembah Persia yang arif,
artinya kecerdasan yang tajam bagai bilah mimpi.
Wahai buah hatiku,
biarlah otakmu berpendar seperti permata
yang menyala dalam gelap dunia,
dan tuturmu menjadi mantram yang meneduhkan bathin banyak jiwa.

Dan kuakhiri dengan nama: Shanaya,
dari akar-akar bhāratīya,
yang artinya: "terhormat, agung dalam cahaya".
Bagai jyoti yang menari di cakrawala,
engkau, wahai Shanaya,
adalah putri dari fajar,
yang berjalan di bumi membawa jejak Sarasvatī.

II. Sang Bungsu: Aisha Fatheen Kanaya

Dan engkau, wahai putri kembarku yang kedua,
kuberi nama: Aisha,
nama istri Rasul yang hidup dalam percakapan sejarah,
yang cerdas, kuat, dan penuh pesona.
Di sana ada hidup, ada gerak,
sebab ‘Aisha’ adalah nafas perempuan yang menyala
dalam rumah tangga wahyu.

Lalu kusematkan padamu nama: Fatheen,
dari Persia yang sama,
artinya: “bijak, tajam dalam nalar.”
Wahai engkau si penanya soal-soal langit,
semoga pikiranmu seperti titik-titik bindu,
yang mengurai semesta menjadi makna,
dan matamu menangkap rahasia di balik kelopak waktu.

Terakhir, kau kunamai: Kanaya,
dari bahasa ibumu yang lahir dari kitab purba,
artinya: putri yang elok, cahaya dewi, perhiasan bumi.
Wahai Kanaya, engkau adalah ratna,
batu mulia dalam guci hati ayahmu.
Setiap langkahmu adalah mantra yang bergema
dalam mandala kasih yang kuanyam dalam doa-doaku.

III. Sabda Sang Ayah

Maka, wahai Sarah dan Aisha,
Zaheen dan Fatheen,
Shanaya dan Kanaya —
enam nama, satu jiwa, dua cahaya.
Engkau bukan hanya buah rahim ibumu,
engkau adalah aksara suci yang kuukir di atas langit-langit batin,
agar dunia tahu,
bahwa cinta ayahmu bukan sekadar warisan darah,
tapi warisan makna,
yang hidup dalam sanskriti,
dalam budaya, dalam doa, dan dalam harapan.

Jadilah engkau candrikā—bulan yang memantulkan cahaya cinta,
Jadilah engkau kumudvatī—teratai yang mekar di tengah arus zaman.
Sebab dalam dirimu telah kusematkan
tiga peradaban: Arab, Persia, dan Nusantara,
agar kelak bila dunia bertanya,
mengapa ayahmu memilih nama itu,
kau bisa menjawab:
“Sebab kami adalah puisi yang ditulis dalam tiga bahasa,
namun dibaca dalam satu cinta.”

 

Dulu, nenekku punya kebiasaan menaruh cermin kecil di ambang jendela depan rumah. Katanya, supaya sinar pagi memantul dan memberi isyarat pada pak pos bahwa rumah ini ada yang menunggu surat. Aku kecil tak mengerti maksudnya, tapi kini aku paham: menunggu surat itu bukan sekadar menanti kabar, melainkan berharap pada semesta agar seseorang di tempat jauh masih mengingatmu.

Di kampung kami, suara klakson motor pak pos adalah simfoni paling ditunggu. Anak-anak akan berhenti bermain, ibu-ibu menghentikan tumbukan bumbu di dapur, dan kakek-kakek menoleh dari kursi malas mereka. Semua berharap sepucuk kabar datang untuk mereka. Anehnya, walau tahu surat itu bukan untukku, hatiku selalu ikut deg-degan.
Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Surat pernah menjadi alasan seseorang bangun pagi, mandi lebih awal, dan duduk manis di depan rumah, hanya untuk melihat adakah sepucuk amplop berwarna cokelat di tangan pak pos. Kadang kosong, kadang penuh. Tapi yang selalu hadir adalah harapan, setia menempel di hati seperti perangko.

Aku masih ingat surat pertama yang kuterima: dari saudara yang bekerja di kota. Tulisannya agak miring, tintanya sedikit pudar, tapi setiap hurufnya seperti bisikan di telingaku. "belajar yang rajin ya" katanya. Aku membacanya seperti doa, dan menyimpannya dalam kotak kayu kecil yang kini sudah usang.

Kini zaman berubah. Tak ada lagi cermin kecil di jendela, tak ada lagi bel sepeda. Kotak surat di pagar sudah penuh dengan selebaran iklan. Tapi jantungku tetap bisa berdebar untuk sebuah pesan, meskipun ia datang lewat notifikasi di layar ponsel. Meski bentuknya digital, rindu yang mengantarnya tetap sama nyatanya.

Kadang aku berpikir, apa rindu bisa merambat melalui kabel serat optik? Atau apakah cinta bisa bertahan dalam format PDF? Tapi kenyataannya, satu email dari seseorang yang lama tak menyapamu, bisa membuatmu tersenyum sepanjang hari. Sungguh, esensi surat tak berubah, hanya medianya saja yang berganti rupa.

Aku punya satu folder di inbox yang kuberi nama “Surat Emas.” Di sana, kusimpan semua pesan yang membuat hatiku hangat. Ada dari guru lamaku, dari teman sepenulisan, dan dari orang-orang yang pernah berjumpa walau sesaat. Mereka bukan lagi deretan huruf biasa. Mereka adalah pelita kecil di hari yang kelabu.

Tapi tidak semua surat membawa kabar baik. Ada surat yang menjadi palu godam, menghantam dadamu tanpa aba-aba. Surat penolakan beasiswa, surat pengunduran diri dari seseorang yang kau anggap rekan abadi, atau email singkat yang berkata, “Maaf, kami memilih kandidat lain.” Sakitnya terasa, walau tak ada perangko yang menempelkannya.

Minggu lalu, aku menunggu email penting. Sebuah peluang yang kutunggu bertahun-tahun. Mereka janji akan kirim kabar hari Senin. Aku bangun lebih pagi, menyeduh kopi, duduk di depan layar. Tapi kotak masukku diam. Seperti hutan kosong setelah badai.

Hari berlalu. Selasa datang tanpa suara. Rabu pun demikian. Aku mulai membuka spam folder, siapa tahu surat itu nyasar. Tapi yang kutemukan hanyalah penawaran aneh: pelangsing herbal, pinjaman cepat, dan warisan dari pangeran Afrika yang tidak kukenal. Dunia benar-benar telah berubah.

Di tengah semua kecanggihan ini, kita jadi mudah tersesat dalam kerumitan harapan. Dulu, ketika surat datang terlambat, kita bisa menyalahkan hujan, banjir, atau jalan rusak. Tapi kini? Kita menyalahkan sistem, menyalahkan algoritma. Atau lebih sering: menyalahkan diri sendiri.

Pernah suatu malam, aku bermimpi menerima surat dengan amplop biru. Ketika kubuka, isinya hanya satu kalimat: “Maaf, kami tidak bisa menerimamu.” Anehnya, aku terbangun bukan karena sedih, tapi karena merasa lega. Seolah ketidakpastian lebih menyiksa daripada penolakan itu sendiri.

Aku mencoba menghibur diri. Mungkin surat itu sedang dalam perjalanan panjang, menyeberangi samudra data, tersesat di antara server. Atau mungkin petugas pengirimnya sedang kelelahan, dan aku hanya perlu sedikit lebih sabar. Tapi waktu adalah ular yang licin. Ia tak pernah bisa kita genggam.

Ibu pernah bilang, “Kadang, surat yang tak kunjung datang adalah cara semesta menyelamatkan kita dari kabar yang tidak siap kita terima.” Aku mengangguk saja waktu itu. Tapi kini, kalimat itu terngiang kembali, saat aku duduk memandangi kotak masuk yang hening seperti malam tanpa jangkrik.

Dalam penantian ini, aku belajar banyak tentang diriku sendiri. Bahwa aku adalah manusia yang mudah berharap. Bahwa hatiku lembut, terlalu percaya pada janji-janji. Dan bahwa aku, seperti nenekku dulu, masih ingin menaruh cermin di jendela—meskipun tak ada pak pos lagi.

Aku membaca ulang surat-surat lama yang kusimpan. Bahkan surat elektronik sepuluh tahun lalu masih bisa membuatku berlinang. Ternyata waktu tidak bisa membunuh rasa, ia hanya mengarsipkannya. Kadang, kita hanya perlu membuka folder yang tepat.

Di kampus, aku mengajar tentang sistem digital. Tapi dalam hatiku, aku tahu: pesan yang paling menyentuh tidak selalu berasal dari teknologi tercanggih. Kadang, ia datang dari tulisan tangan di kertas murah, atau dari kata sederhana seperti “apa kabar?”

Temanku bilang, “Jangan terlalu berharap dari surat. Lebih baik tak menunggu.” Tapi aku tahu, itu bukan tentang hasilnya. Menunggu itu sendiri adalah proses mencintai, tanpa syarat. Seperti menanam pohon yang mungkin tak akan sempat kita panen.

Aku mencoba menulis surat balasan untuk email yang belum datang. Isinya? “Terima kasih sudah membuatku menunggu.” Karena menunggu surat mengajarkan kita tentang kesabaran, dan diam-diam, tentang iman.

Kadang aku merasa surat yang tak kunjung datang itu seperti cinta tak berbalas. Kita tahu kehadirannya, kita yakini kemungkinan datangnya, tapi entah mengapa, tak juga tiba. Lalu kita belajar menerima, dengan cara paling manusiawi: menangis dalam diam.

Suatu sore, aku duduk di taman kota, membawa laptop. Wifi gratis menyala, notifikasi berdenting. Bukan kabar yang kutunggu, tapi sapaan dari sahabat lama. Seketika, aku lupa surat yang tak datang. Ternyata, hidup selalu punya kejutan, meski tak selalu sesuai agenda kita.

Surat bisa saja datang terlambat. Bisa jadi, kabar yang mestinya dikirim bulan lalu baru muncul minggu depan. Tapi hidup memang begitu: tidak selalu tepat waktu, tapi selalu punya cara.

Aku menulis jurnal harian, dan di setiap halaman, aku beri catatan kecil: “Masih menunggu surat itu.” Seperti mantra, aku berharap kalimat itu mengundang datangnya kabar baik. Walau dalam hati, aku tahu, tak semua mantra bekerja.

Kawanku pernah bilang, “Mungkin surat itu tak datang karena belum waktunya.” Kalimat sederhana itu membuatku terdiam. Barangkali benar. Semesta punya cara merapikan hidup kita, bahkan dengan cara menyembunyikan kabar.

Malam ini, aku membuka laptop tanpa harap. Tapi entah kenapa, jari ini tetap mengecek kotak masuk. Masih kosong. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Hatiku tak lagi berat. Mungkin karena aku mulai belajar menerima ketidakpastian sebagai bagian dari hidup.

Di depan kantor pos, aku melihat seorang wanita membaca surat cetak. Matanya berbinar, sesekali tertawa kecil. Aku hampir ingin menanyakan siapa pengirimnya. Tapi tak perlu. Wajahnya cukup jadi jawaban: surat, betapapun ringkasnya, bisa mengubah hari seseorang.

Kadang, surat yang tidak kita terima justru membentuk kita. Ia menjadi jeda yang mengajarkan kita tentang nilai sebuah harapan. Dan dalam sunyi itu, kita mengenal suara hati sendiri.

Mungkin surat yang kutunggu bukanlah kabar yang diketik dan dikirim melalui sistem. Mungkin ia adalah pesan dari Tuhan, yang datang lewat peristiwa, lewat pertemuan, lewat kesadaran. Bukan sekadar informasi, tapi hikmah.

Maka malam ini, aku menulis satu surat untuk diriku sendiri. Isinya: “Kau telah menunggu dengan baik. Tak apa jika surat itu tak datang. Yang penting, kau tetap membuka jendela, tetap menaruh cermin kecil, dan tetap percaya pada cahaya pagi yang akan datang.”
Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh anak-anak muda yang baru saja lulus. Mereka riang gembira coret-coret baju, konvoi naik motor, bahkan ada yang berendam di kolam ikan kampus. Saya melihatnya sambil menyeruput kopi dan berpikir: “Apa cuma aku yang tidak pernah merasakan semua itu?” Rasanya seperti menonton kehidupan orang lain dari balik kaca tebal. Saya tidak iri, tentu saja tidak. Tapi ada semacam rasa asing yang perlahan-lahan tumbuh, seperti orang desa yang melihat barongsai lewat di jalan depan rumah: heran dan bingung harus ikut tepuk tangan atau diam saja.

Waktu saya lulus SD, tidak ada pengumuman, tidak ada upacara, apalagi pesta kecil-kecilan. Kami hanya diberi rapor di ruang guru, lalu disuruh pulang. Ibu saya menyambut saya di rumah seperti biasa, tidak ada nasi kuning, tidak ada syukuran, hanya gorengan tempe yang memang sudah jadi menu sore. Saya pun tidak mengeluh. Kala itu, lulus SD terasa seperti melewati satu sungai kecil, bukan seperti menyeberangi samudra kehidupan.
Ilustrasi Konvoi Kelulusan Anak SMA (Gambar : GeneratedAI)

SMP pun tak jauh beda. Tahun itu, sistem ujian nasional berubah. Dari Ebtanas ke UAN, lalu jadi UAS. Nama berubah, rumus berubah, tapi rasa tetap sama: deg-degan dan pasrah. Pengumuman kelulusan dilaksanakan di lapangan sekolah. Anak-anak dikumpulkan seperti sedang apel pagi. Kepala sekolah menyebut bahwa yang hadir berarti lulus, yang tidak datang sudah diberitahu untuk tidak usah datang. Begitu saja. Tidak ada drum band, tidak ada konvoi. Beberapa teman saya coret-coret baju, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan sebagian besar memang sudah terkenal karena menjadi pasien langganan guru BK.

Saya menyaksikan perayaan itu dari jauh. Tidak ikut. Bukan karena saya alim atau suci, tapi karena saya merasa tidak perlu. Lulus SMP bukanlah momen yang membuat saya ingin melukis seragam dengan spidol permanen. Saya lebih suka pulang cepat, lalu pergi ke warung untuk beli mie goreng bungkus. Merayakan kelulusan dengan makan sendiri di pojokan rumah sambil nonton televisi tabung yang gambarnya masih bergaris-garis.

SMA memberikan sedikit harapan. Beberapa teman mulai bersemangat merencanakan konvoi. Ada yang menyewa pick-up, ada juga yang siap dengan kaleng-kaleng bekas diikat di belakang motor. Tapi saya sudah berikrar dari awal: tidak akan ikut coret-coret, tidak akan ikut pawai. Bukan karena saya ingin jadi pahlawan moral, melainkan karena saya tahu perjuangan saya untuk lulus tidak sederhana. Sistem ujian berubah lagi, dan kali ini lebih rumit. Lulus terasa seperti bisa bernafas lagi setelah ditahan di dalam air selama dua menit.

Hari pengumuman, saya pergi ke panti asuhan. Saya tidak sedang jadi malaikat atau ingin pamer kebaikan. Saya hanya merasa perlu berbagi sesuatu. Kalau saya bahagia, kenapa tidak menularinya sedikit? Teman-teman saya mungkin sedang memutari kecamatan dengan baju penuh coretan. Saya tidak iri, saya hanya merasa bahagia dengan cara yang berbeda. Mungkin memang saya tidak pernah jadi bagian dari ritual kelulusan yang ramai, tapi saya juga tidak merasa kehilangan.

S1 saya jalani di kampus swasta di pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk. Tidak seperti anak-anak Teknik yang punya tradisi arak-arakan, kami di fakultas saya lebih senang makan bersama di warung burjo. Ketika wisuda, saya bahkan diminta menjadi perwakilan wisudawan untuk menyampaikan pidato. Sebuah kehormatan, tentu saja. Tapi setelah itu? Pulang, melepas toga, lalu makan bersama keluarga. Tidak ada arak-arakan. Hanya senyum tipis dan rasa syukur yang tertahan.

Momen kelulusan memang penting, apalagi setelah bertahun-tahun bergelut dengan skripsi. Tapi saya, entah kenapa, justru merasa lebih nyaman kalau semua ini cepat selesai. Saya lulus, saya bahagia, tapi saya tidak ingin merayakannya terlalu meriah. Barangkali karena saya selalu merasa bahwa setiap pencapaian adalah titik koma, bukan titik akhir.

S2 saya jalani di Taiwan. Negeri orang, budaya asing, bahasa yang belum sepenuhnya saya kuasai saat itu. Wisuda diadakan secara kolektif. Semua mahasiswa, baik S1, S2, maupun S3, dikumpulkan dalam satu upacara besar. Bagi mahasiswa magister dan doktoral, wisuda hanyalah formalitas. Sebagian besar bahkan belum sidang. Saya sendiri belum sidang waktu itu. Tapi tetap diminta hadir. Jadi ya saya hadir, duduk, mendengar pidato rektor dalam bahasa Mandarin, lalu berfoto sebentar. Tidak ada konvoi, tidak ada coret-coret baju. Hanya toga, kamera, dan langit cerah yang khas musim panas.

S3 saya jalani dengan lebih sepi. Karena sidang dilakukan pada bulan Januari, maka saya tidak ikut wisuda yang digelar 6 bulan kemudian. Saya hanya meminta tolong teman sebagai fotografer, mengenakan toga, dan berfoto di taman kampus. Itu saja. Tidak ada sambutan, tidak ada pidato. Hanya saya dan fotografer yang sesekali memberi arahan gaya. Saya tersenyum dalam foto, tapi dalam hati ada kekosongan kecil: “Oh, jadi begini rasanya lulus S3?”

Saya tidak bermaksud mengeluh. Hidup memang tidak perlu selalu gemerlap. Tapi tetap saja, saat melihat anak-anak SMA coret-coret baju sambil berteriak kegirangan, saya bertanya-tanya: kenapa saya tidak pernah mengalami itu? Apakah saya terlalu serius menjalani hidup? Atau memang takdir saya adalah menjadi penonton dari balik kaca, sementara pesta digelar di luar sana?

Kadang saya berpikir, mungkin saya adalah bagian dari generasi yang terlalu hemat dalam merayakan. Hidup kami diajarkan untuk selalu bersikap sewajarnya. Tidak usah terlalu senang, tidak usah terlalu sedih. Lulus ya lulus, lalu lanjut hidup. Padahal merayakan itu penting. Bukan karena hasilnya, tapi karena prosesnya yang layak dikenang.

Tapi bisa juga karena saya tumbuh di desa. Tempat di mana arak-arakan dianggap norak, dan coret-coret baju dianggap pemborosan. Kami dibesarkan untuk menyimpan baju dengan baik, supaya bisa diwariskan ke adik. Mencorat-coret seragam dianggap seperti menghina perjuangan orang tua yang membeli baju itu dengan susah payah. Jadi ya wajar kalau saya tidak pernah ikut tradisi semacam itu. Bahkan sampai sekarang, saya masih menyimpan beberapa seragam SMA saya dalam kondisi cukup layak.

Kini, saat saya sudah menjadi bapak-bapak, saya kadang bertanya-tanya: apakah saya akan mengizinkan anak saya konvoi kelulusan nanti? Apakah saya akan memarahinya kalau dia mencoret-coret bajunya sendiri? Entahlah. Barangkali saya akan diam saja, atau malah ikut mencoret. Dunia sudah terlalu cepat berubah, dan saya mulai merasa ketinggalan kereta.

Tapi kalau dipikir-pikir, tidak semua perayaan harus berupa sorak-sorai. Kadang, perayaan terbaik adalah duduk tenang di beranda, ditemani kopi, dan hati yang lapang. Tidak semua kegembiraan harus berisik. Ada gembira yang tenang, yang dalam, dan yang cukup diketahui oleh kita sendiri.

Saya menulis ini bukan untuk mengajak kalian berhenti konvoi. Silakan, rayakanlah. Dunia ini sudah cukup suram untuk tidak diisi oleh tawa. Tapi jika ada di antara kalian yang merasa tidak pernah merayakan kelulusan seperti orang-orang, ketahuilah: kamu tidak sendirian. Saya pun begitu. Dan saya baik-baik saja.

Mungkin kelulusan adalah tentang memahami diri. Tentang menutup satu babak dan bersiap untuk babak selanjutnya, tanpa harus mengibarkan bendera. Mungkin, saya ulangi, mungkin... kita terlalu sibuk menulis hidup kita dalam diam, sampai lupa memberi tahu dunia bahwa kita telah selesai menyeberang satu jembatan.

Dan jika kamu pernah merasa aneh, karena tidak ikut coret-coret, tidak ikut arak-arakan, tidak punya foto wisuda yang “instagramable”—tak perlu risau. Kadang hidup kita memang berjalan di jalur sepi. Tapi bukan berarti kita tidak sampai.

Mereka yang berisik belum tentu lebih bahagia. Dan kita yang diam belum tentu kalah. Setiap orang punya caranya sendiri dalam merayakan hidup. Ada yang pakai cat semprot, ada yang pakai sepiring mie goreng. Keduanya sah.

Jadi, apa cuma aku? Mungkin tidak. Mungkin banyak di luar sana yang senasib. Tapi memang tidak semua orang merasa perlu bercerita. Saya saja baru kali ini menuliskannya.

Siapa tahu, tulisan ini bisa menemani kamu yang dulu juga tak pernah merasa “lulus” dalam pengertian umum. Kita mungkin tidak punya foto-foto penuh tawa. Tapi kita punya cerita. Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Senja tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tahu diri, bahwa cahayanya tak pantas menyaingi malam. Di antara desir angin yang menggugurkan daun tua, ia pamit dalam bias jingga. Di jalanan kota, pekerja menggulung harapan dalam tas ransel yang usang. Mereka pulang membawa sisa tenaga, bukan kemenangan. Sebab hidup tak selalu harus menang; kadang cukup selamat saja.

Pernah satu kali aku mengejar senja dari atas sepeda ontel. Aku kayuh sambil menggumam lagu kenangan, berharap bisa menambatkan waktu. Tapi senja, seperti cinta, hanya bisa dinikmati, bukan dikejar. Ia tak menunggu siapa pun, apalagi aku yang telat sadar. Maka aku berhenti di jembatan tua, sembari menatap matahari tergelincir dengan tenang. Di sana aku belajar: pergi tak selalu menyakitkan.
Senja di Balai Buntar Bengkulu (Foto : Dokumen Pribadi)
Orang-orang sibuk memotret langit saat senja menyala. Tapi siapa yang memotret raut wajah ibu yang menanti nasi di atas dandang? Di sela keindahan yang diburu, sering kali ada yang terlupa. Bahwa senja bukan hanya tentang warna, tapi tentang waktu yang seharusnya disedekahkan kepada Tuhan. Aku pernah terpaku di jalan, padahal azan magrib telah menggetarkan angkasa. Dan saat itu aku malu, karena memuja ciptaan lebih dari Pencipta.

Langit merah, langit yang sedang mengucapkan selamat tinggal. Tetapi manusia sering kali mengartikan itu sebagai pemandangan indah belaka. Padahal, ia adalah pertanda: malam sedang berjalan dari ufuk timur. Aku mendengar desir langkah waktu yang menua, perlahan, tapi pasti. Senja adalah undangan, bukan untuk pesta, tapi untuk perenungan. Sebab tak semua keindahan harus dirayakan dengan tepuk tangan—kadang cukup dengan sujud.

Di antara suara motor dan klakson yang bertalu-talu, ada satu waktu yang seharusnya sakral. Senja. Ia hadir untuk memberi isyarat: cukup, berhentilah. Tapi seringkali kita terlalu keras kepala untuk mendengar bahasa langit. Kita terus menambal ambisi di jalan yang retak. Dan lupa, bahwa tubuh punya hak untuk diam, dan hati punya hak untuk kembali.

Dulu aku pikir senja adalah hadiah. Tapi kini aku tahu, ia adalah pengingat. Pengingat bahwa segala yang terang akan padam, dan segala yang kuat akan rehat. Ia membelai bumi dengan warna hangat, tapi pesannya dingin: waktu habis. Aku duduk sendiri di warung kopi yang menghadap sawah, menanti kegelapan datang tanpa tergesa. Di antara isak langit dan sunyi desa, aku merasa ditatap oleh Tuhan.

Ada orang yang menyukai senja karena estetikanya, tapi aku menyukai senja karena kejujurannya. Ia tak pernah bohong tentang perpisahan. Ia selalu datang dengan batas, bukan janji. Tak seperti pagi yang menjanjikan banyak hal, senja hanya datang untuk menutup. Dan justru karena itu, ia terasa lebih bisa dipercaya.

"Sudah dulu, ya," kata senja kepada hari. Tapi manusia, entah kenapa, selalu merasa belum cukup. Masih ada pekerjaan, masih ada target, masih ada perasaan yang belum tuntas. Padahal, tidak semua hal harus selesai dalam satu waktu. Bahkan bunga pun tak mekar dalam sehari. Maka biarlah senja mengajarkan sabar—dengan warna, bukan kata.

Senja itu seperti ibu yang memanggil anaknya pulang sebelum malam terlalu larut. Ia tidak menghardik, hanya memberi isyarat lewat langit yang memerah malu. Tapi anak-anak zaman kini terlalu sibuk bermain, sampai lupa arah rumah. Mereka menunda pulang, sampai malam kehilangan kesabaran. Lalu ketika gelap benar-benar datang, mereka menangis mencari terang. Tapi senja sudah tak bisa kembali.

Dalam tiap salat magrib, ada percakapan sunyi antara hamba dan Tuhannya. Bukan sekadar ritual, tapi pengakuan bahwa waktu ini milik-Nya. Aku sering terlambat, sering kalah oleh deretan hal duniawi. Tapi saat aku benar-benar hadir dalam sujud itu, senja terasa lebih dalam. Ia bukan cuma langit merah, tapi pintu. Pintu menuju kesadaran, bahwa dunia tak harus dipeluk erat-erat.

Tak jarang aku mendengar seseorang berkata, "Ah, aku lebih suka malam." Tapi mereka lupa, bahwa malam hanya ada karena senja memberi jalan. Tak ada gelap yang tak melalui jingga lebih dulu. Maka mencintai malam tanpa memahami senja, seperti mencintai dewasa tanpa melewati luka. Dan di antara luka dan lega, senja menjadi jembatan yang paling jujur.

Pulang adalah kata paling indah diucapkan saat senja. Bukan hanya soal rumah, tapi soal kembalinya jiwa dari kebisingan dunia. Di kursi kayu depan rumah, ayahku biasa duduk dengan teh dan diam. Tidak ada obrolan, hanya anggukan perlahan. Aku baru paham, diam ayah saat senja itu adalah bentuk terima kasih kepada waktu.

Kau tahu, bahkan burung pun pulang saat senja datang. Tapi kita? Kita malah terbang lebih jauh, menantang malam dengan ambisi. Hingga kadang tersesat di gelap yang kita buat sendiri. Senja ingin kita pulang, tapi kita malah menambah langkah. Hingga saat sadar, rumah hanya tinggal alamat yang tak kita ingat.

Mereka yang meninggalkanmu di waktu senja, bukan berarti tak cinta. Mungkin mereka hanya tahu kapan harus berhenti. Seperti senja yang tahu dirinya tak bisa menggantikan malam, ia pergi dengan elegan. Perpisahan tak selalu menyakitkan jika kau tahu alasannya. Dan pergi bukan berarti menghilang, kadang hanya memberi ruang untuk rindu tumbuh.

Senja mengajarkanku satu hal yang tak pernah diajarkan sekolah: cukup itu indah. Tak harus sempurna, tak harus panjang, tak harus menang. Cukup hadir, cukup sadar, cukup pulang. Maka bila suatu hari aku pergi, biarlah aku pergi seperti senja. Tidak mengejutkan, tapi dikenang.
Panggung kekuasaan itu hangat. Setiap langkah terasa penting, setiap ucapan dicatat, dan setiap keputusan membawa dampak besar. Maka tak heran bila banyak orang sulit beranjak ketika masa jabatannya selesai. Ada semacam magnet psikologis yang menahan mereka untuk tetap berada di titik pusat, walau sebetulnya panggung telah berubah. Begitu lampu sorot dipadamkan, sebagian tak sanggup duduk di bangku penonton. Mereka ingin tetap bicara, ikut mengatur alur cerita, bahkan kalau perlu—menulis ulang naskahnya.

Ada ironi yang sering muncul: mereka yang dahulu lantang bicara tentang regenerasi dan keterbukaan, justru menjadi penghalang terbesar ketika harus memberi ruang bagi pengganti. Mereka tak rela jika keputusan diambil tanpa “minta izin” kepadanya. Bahkan dalam hal-hal kecil, ia ingin dilibatkan, seolah pengganti hanyalah pelaksana teknis dari pikirannya. Bukan karena mereka tidak percaya, tapi karena mereka tak siap melepaskan. Di sinilah post power syndrome menyelinap, bukan sebagai penyakit, tapi sebagai kebiasaan yang tak disadari.
Ilustrasi Post Power Syndrome (Gambar : GeneratedAI)
Saya sering mendengar cerita dari para pemimpin muda yang menggantikan tokoh senior. Mereka bercerita bagaimana bayangan pemimpin sebelumnya terus hadir: dalam rapat, dalam kebijakan, bahkan dalam pergaulan internal. Sang mantan tak benar-benar pergi. Ia hanya bergeser posisi, tapi tetap mencengkeram. Ketika keputusan baru dibuat, selalu ada komentar, kritik, dan bisikan: "Dulu saya tidak begitu." Apa dampaknya? Inovasi terhambat, tim merasa terbelah, dan sang pemimpin baru seperti berjalan di atas garis tipis.

Ada kebutuhan manusiawi yang sangat mendasar yang sering terabaikan di sini: kebutuhan untuk merasa penting. Kekuasaan, selain memberi akses dan pengaruh, juga menjadi penanda identitas. Maka ketika jabatan hilang, rasa "siapa saya sekarang?" muncul dengan nyaring. Tak semua siap menjawabnya. Banyak yang kemudian berusaha mengganti kekosongan itu dengan menghidupkan kembali peran lamanya. Mereka jadi komentator atas keputusan-keputusan yang bukan lagi miliknya. Bahkan dalam forum sosial, mereka tetap ingin disebut dengan gelar kekuasaan yang sudah selesai.

Lucunya, fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat atas. Kepala sekolah yang pensiun pun bisa mengalami hal serupa. Ia masih merasa berhak menata ruang guru, mengatur jadwal, bahkan menegur staf baru. Semua itu dilakukan bukan karena niat buruk, tapi karena keterikatan emosional yang belum terurai. Kekuasaan telah menyatu dengan identitasnya. Dan melepaskannya sama sulitnya seperti memisahkan daun dari ranting yang telah lama kering.

Banyak orang menyangka post power syndrome hanya dialami oleh mereka yang ambisius. Tidak selalu. Justru kadang mereka yang paling tulus mengabdi, yang paling lama mengurus, yang paling mencintai pekerjaannya—adalah yang paling sulit melepas. Bagi mereka, jabatan bukan semata status, tapi rumah kedua. Maka ketika harus meninggalkannya, ada perasaan kehilangan yang dalam. Sama seperti orang tua yang harus melepas anaknya menikah—penuh restu tapi diam-diam menyimpan cemas.

Ada yang menyikapinya dengan terus hadir di lingkungan lama. Mereka datang ke kantor, duduk di ruang tamu, ikut makan siang. Kadang ikut nimbrung rapat meski tak diundang. Semuanya dilakukan dengan alasan “kangen suasana”. Tapi lama-lama, keberadaan itu menjadi beban. Bayangan masa lalu menghambat langkah masa kini. Dan pengganti pun merasa terus diawasi, bukan diberi ruang.

Saya percaya, seseorang tak perlu menduduki posisi untuk tetap memberi makna. Banyak pemimpin besar yang lebih dihormati setelah turun dari panggung, justru karena mereka tahu kapan harus mundur. Mereka menepi, bukan karena kalah, tapi karena sadar: saatnya yang lain tampil. Mereka tetap berkontribusi, tapi lewat cara yang berbeda—menulis, berbicara, memberi nasihat hanya ketika diminta.

Tantangannya adalah: tidak semua orang bisa membedakan antara kontribusi dan intervensi. Mereka yang terjebak dalam post power syndrome sering mengira campur tangan mereka adalah bentuk peduli. Mereka merasa sedang menjaga warisan, padahal sedang menghambat pertumbuhan. Mereka lupa bahwa setiap pemimpin baru punya konteks yang berbeda. Situasi berubah, tantangan berganti. Maka cara lama tak selalu relevan.

Sering kali, perasaan “saya masih tahu yang terbaik” muncul karena kesalahan dalam mengelola egonya sendiri. Ego yang dulu digunakan untuk memimpin, kini justru menjadi tembok yang menutupi kenyataan. Padahal, semakin tinggi posisi seseorang dulu, seharusnya semakin besar pula kebesaran hatinya untuk mundur. Tapi itu tidak mudah. Sebab yang ditinggalkan bukan hanya jabatan, tapi juga rasa dihormati, disambut, dan dituruti.

Budaya kita juga berperan dalam memperpanjang fenomena ini. Kita terlalu mudah menyanjung masa lalu dan enggan mengoreksi ketidaksesuaian. Kita masih suka memanggil mantan pejabat dengan gelarnya, masih memberi kursi khusus di forum-forum diskusi, dan masih meminta pendapat atas isu yang sudah tidak lagi menjadi wilayahnya. Tanpa sadar, kita ikut memelihara ilusi bahwa kekuasaan bisa diwariskan secara informal.

Tak salah menghormati mereka yang dulu berjasa. Tapi salah bila itu membuat sistem tidak berjalan sehat. Pemimpin baru perlu ruang. Ia butuh kebebasan untuk mengambil keputusan, gagal, belajar, dan tumbuh. Bila setiap langkahnya dibayang-bayangi penilaian orang lama, maka perubahan sulit terjadi. Dan organisasi hanya akan berjalan di tempat, seperti roda yang berputar tanpa bergerak.

Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Ini soal pemahaman. Soal kesiapan mental untuk menyambut babak baru dalam hidup. Ketika seseorang gagal menata fase pasca-kekuasaan, maka ia akan terjebak dalam nostalgia yang tidak produktif. Hidupnya diisi dengan mengomentari masa kini, bukan menjalani masa depan. Ia tak sadar, bahwa semakin ia mendikte, semakin ia kehilangan pengaruh.

Di sisi lain, tidak sedikit juga yang berhasil melewati fase ini dengan elegan. Mereka bertransformasi menjadi penasehat, mentor, atau pelaku sosial. Mereka tidak ngotot didengarkan, tapi justru semakin dihormati karena sikap bijaknya. Mereka hadir bukan untuk bersaing dengan pengganti, tapi untuk menjadi sumber refleksi. Mereka menghidupi peran barunya, tanpa mengaitkan semua pada masa kejayaannya.

Mereka tahu, kemuliaan seorang pemimpin tidak terletak pada berapa lama ia berkuasa, tetapi pada bagaimana ia mengakhiri kekuasaannya. Apakah ia mundur dengan kepala tegak dan hati lapang, ataukah ia terus menggantung di balik layar, menolak ditinggal pergi oleh zamannya? Pilihan ini menentukan apakah ia akan dikenang sebagai tokoh, atau hanya sebagai bayang-bayang yang mengganggu.

Kita perlu membangun kultur baru: bahwa setiap jabatan itu ada waktunya, dan setiap orang akan punya panggungnya sendiri. Perubahan adalah keniscayaan. Yang tidak berubah hanyalah kebutuhan untuk terus memberi makna. Maka, daripada terus berada di pinggir ring, lebih baik turun dan melatih petinju baru. Ajari mereka teknik, beri mereka semangat, lalu beri mereka ruang bertarung sendiri.

Saya percaya, bangsa yang sehat adalah bangsa yang tidak bergantung pada satu tokoh. Ia tumbuh karena ekosistemnya mendukung. Karena setiap generasi belajar dari yang lama, tapi tidak diikat olehnya. Karena pemimpin-pemimpin terdahulu legowo melepas kendali dan percaya pada estafet kepemimpinan.

Bila kita ingin sistem yang kuat, kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus pergi. Yang tidak memaksakan cara lama untuk zaman baru. Yang tidak memonopoli kebenaran. Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling lama memimpin, tapi siapa yang paling bijak mengakhiri kepemimpinannya.
Hari ini, cahaya pagi seperti lebih lembut dari biasanya. Matahari menyelinap pelan lewat celah jendela, seolah enggan membangunkan dua bidadari kecil yang masih terlelap di kasurnya. Mereka bernapas bersamaan, tenang, tanpa beban dunia yang belum sepenuhnya mereka pahami. Lima tahun telah berlalu sejak tangisan pertama mereka pecah di ruang bersalin rumah sakit Taiwan, mengalahkan suara ramai pasien di luar jendela hari itu. Dan sungguh, tak ada yang lebih ajaib dari hari ketika cinta tumbuh menjadi dua tubuh mungil yang kini kupanggil: Sarah dan Aisha.

Waktu, seperti biasa, tak pernah mau menunggu. Ia berlari, bahkan kadang melompat, meninggalkan jejak-jejak kenangan yang bahkan belum sempat disentuh sepenuhnya. Baru kemarin rasanya aku menggenggam tangan ibumu yang berkeringat dingin menunggu masuk ruang operasi, wajahnya pucat menahan rasa sakit yang tak mungkin aku bagi. Di antara mesin-mesin medis dan protokol pandemi yang ketat, dua nyawa kecil memilih turun ke dunia, dengan keberanian yang belum sempat mereka sadari. Lahir bukan hanya sebagai bayi, tapi sebagai harapan, sebagai pelita dalam musim yang gelap.
#SarahAisha (Foto : Dokumen Pribadi)
Ingatanku tentang detik-detik itu masih jernih. Suara perawat, suara tangisan pertama kalian yang serempak, seolah sudah sepakat sejak di dalam rahim untuk tidak saling mendahului. Seseorang pernah bilang, anak kembar punya bahasa rahasia, dan aku percaya itu. Sejak dalam perut, kalian sudah saling berbagi ruang, saling dengar detak jantung satu sama lain, saling menyampaikan pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang datang dari surga berdua-dua.

Hari ini, kalian lima tahun. Angka yang barangkali kecil di mata dunia, tapi besar dalam hatiku yang menyaksikan tiap jejak pertumbuhan kalian. Lima tahun berarti lima musim penuh keajaiban. Lima tahun berarti puluhan cium selamat tidur, ratusan tawa tak tertahankan, ribuan pertanyaan lucu yang kadang membuatku terdiam mencari jawaban. Lima tahun berarti aku tak lagi menjadi manusia yang sama—karena kalian mengubahku, tanpa pernah memintanya.

Sarah, Aisha, kalian datang bukan hanya sebagai anak, tapi sebagai puisi. Puisi yang tidak ditulis dengan kata-kata, tapi dengan pelukan hangat, tangis lapar, dan tawa tanpa alasan.

Ibu kalian, ah, dia perempuan paling tabah yang pernah kutahu. Melahirkan kalian bukan sekadar urusan medis, tapi ritual suci antara kehidupan dan kematian. Ia menahan sakit kontraksi sambil mengejar deadline disertasi, ia menyusui kalian sambil membaca jurnal internasional. Ibu kalian adalah bukti bahwa cinta bisa menjadi tenaga yang lebih dahsyat dari apapun di bumi ini. Tanpa dia, kalian tak akan punya cahaya yang begitu lembut seperti sekarang.

Di tahun pertama, kalian nyaris tak bisa kubedakan. Aku harus memberi pita kecil di pergelangan tangan kalian dengan warna yang berbeda. Tapi lama-lama, aku bisa mengenali Sarah dari caranya memeluk boneka, dan Aisha dari matanya yang lebih sering menatap lurus, dalam, seolah tahu sesuatu yang belum aku tahu. Kalian kembar, ya. Tapi kalian juga unik. Dua jiwa dengan dua nada, menyanyikan lagu yang berbeda tapi tetap harmoni.

Ada banyak yang membantu kami saat itu. Dokter, perawat, sahabat-sahabat yang bahkan hanya bisa mengirimkan dukungan lewat layar ponsel. Mereka adalah jembatan-jembatan tak terlihat yang membuat kami tidak tenggelam dalam rasa cemas. Hari ini, di ulang tahun kalian, mari kita kirimkan doa yang dalam untuk mereka semua. Karena tanpa mereka, mungkin cerita ini tidak pernah ada.

Ulang tahun, dalam budaya kita, kadang dirayakan dengan kue, lilin, dan nyanyian. Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin ulang tahun kalian menjadi perayaan tentang syukur. Syukur karena kalian ada, karena kalian tumbuh, karena kalian sehat, dan karena kalian mengajarkan aku arti baru tentang waktu: bahwa detik-detik kecil adalah tempat keajaiban sembunyi.

Aku masih menyimpan baju pertama kalian, mungil, dengan noda susu yang tak bisa hilang. Aku masih menyimpan suara pertama kalian menyebut 'Ayah', terekam dalam file audio yang kadang kudengar diam-diam saat rindu. Waktu memang tak bisa kembali, tapi kenangan bisa disimpan, dipeluk, dan dijadikan bahan bakar untuk terus melangkah ke depan.

Sarah, Aisha, kalian mungkin belum memahami sepenuhnya arti hari ini. Tapi suatu saat, kalian akan membaca ini dan mengerti. Bahwa ulang tahun bukan hanya milik kalian, tapi milik kami juga—aku dan bunda kalian. Karena lima tahun lalu, kami juga lahir kembali. Menjadi orang tua, menjadi versi terbaik dari diri kami, karena kehadiran kalian.

Ada malam-malam di mana kalian demam tinggi, dan aku duduk di samping ranjang, menggenggam tangan kalian sambil membaca sabda Tuhan dalam hati. Aku ingin menjadi rumah yang selalu bisa kalian pulang, bahkan saat dunia di luar terlalu bising, terlalu tajam. Aku ingin menjadi langit yang tak pernah marah jika kalian terbang terlalu tinggi, asalkan kalian tahu cara kembali.

Dan kini, di usia lima, kalian sudah bisa berhitung, membaca sedikit, bernyanyi banyak. Kalian punya dunia sendiri: boneka, kertas gambar, dan pertengkaran kecil tentang siapa yang lebih dulu memakai sepatu. Tapi yang membuatku takjub adalah cinta kalian satu sama lain. Seperti ada janji rahasia yang tidak pernah kalian lupakan sejak dalam kandungan.

Aku sering bertanya-tanya, seperti apa kalian nanti di usia sepuluh, dua puluh, tiga puluh. Tapi aku cepat-cepat menepisnya, karena aku tahu, bagian terbaik dari menjadi ayah adalah menyaksikan satu hari saja. Hari ini. Memandangi wajah kalian saat meniup lilin, saat tertawa, saat menghapus  dari pipi masing-masing.

Dunia ini, nak, kadang tak ramah. Tapi selama kalian saling menggenggam, saling menguatkan, kalian akan baik-baik saja. Kalian punya satu sama lain. Kalian punya cerita yang sama sejak dalam rahim. Dan itu, jauh lebih kuat dari segala jenis badai yang mungkin datang.

Aku akan selalu di sini. Menjadi saksi diam yang bahagia saat kalian tumbuh. Aku tidak akan bisa melindungi kalian dari semua luka, tapi aku akan selalu menambal sepatu kalian jika tali sepatunya putus. Aku akan terus berjalan di belakang, memastikan kalian tidak jatuh terlalu keras.

Hari ini ulang tahun kalian, tapi hadiah sejatinya adalah untuk kami. Hadiah berupa tawa-tawa kecil kalian, cium pagi-pagi, dan pertanyaan polos yang kadang lebih tajam dari filsuf. Terima kasih telah memilih kami sebagai rumah kalian.

Selamat ulang tahun, #SarahAisha. Lima tahun bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk membuat kami percaya pada keajaiban. Cukup untuk membuat hidup ini penuh warna. Cukup untuk membuat kami belajar mencintai tanpa syarat.

Dan hari ini, biarkan kami menyanyikan lagu ulang tahun itu bukan hanya dengan suara, tapi dengan air mata haru dan syukur yang tak terhingga.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • ENGGANO DI UJUNG TANDUK
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • EKSISTENSI DUA FORUM

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar