Tempo hari, saya
diajak menghadiri sebuah tabligh akbar yang mendatangkan seorang habib asal
Indonesia. Jamaah yang hadir cukup banyak, satu gedung penuh. Teman yang
mengajak saya tersebut tiba-tiba berceletuk kepada saya.
“Mas, kenapa toh di Muhammadiyah tidak ada habib
kayak di NU?”
“Kata siapa di
Muhammadiyah tidak ada habib?”
“Saya lihat di
tiap-tiap tabligh akbar yang diadakan oleh Muhammadiyah, tidak ada satupun
pembicaranya yang habib. Kalau tidak professor doctor, ya minimal ustadz lah. Itupun pasti ada gelar akademiknya
di belakang atau di depan”
Saya pun
berseloroh menjawab pertanyaannya tersebut.
“Di Muhammadiyah
ada kok habib. Beliau tinggal di
Magelang. Bahkan saya pernah memoderatori beliau saat pengajian di Bengkulu. Namanya [Ustadz] Habib Chirzin. Mantan Ketua
Umum PP Pemuda Muhammadiyah”
“Wah ternyata ada ya mas?” jawabnya
dengan polos
“Iya ada, nama
beliau memang Habib Chirzin. Sesuai dengan nama pemberian orangtua beliau”
Teman sayapun agak menggerutu sambil menampakkan muka
sebal mendengar selorohan dari saya. Tak tega melihatnya begitu, saya pun
menjelaskan mengapa di Muhammadiyah tidak ada ulama-nya yang bergelar habib.
***
Sejak dulu sudah menjadi
langgamnya bahwa di Muhammadiyah tidak mengkultuskan orang. Baik yang sudah
meninggal maupun yang masih hidup. Bahkan sekaliber pendirinya, KH. Ahmad
Dahlan, pun tidak dikultuskan dengan memberi gelar-gelar berlebihan, mengkeramatkan
makamnya, atau menjadikannya sebagai wasilah
doa. Ini semata-mata dilakukan sebagai bentuk ketaatan warga Muhammadiyah pada
ajaran Rasulullah SAW yang memang selama hidupnya pun tidak melakukan hal-hal
tersebut. Sehingga Muhammadiyah berusaha meneladani perilaku yang dicontohkan
oleh nabi.
Di Muhammadiyah
sendiri tidak mengenal istilah “darah biru”, golongan masyarakat yang masih
memiliki tautan darah dengan orang yang dianggap penting di Muhammadiyah, yang
biasanya menempati posisi terhormat. Bagi beberapa organisasi lainnya,
keberadaan darah biru menjadi penting, bahkan bisa menjadi legitimasi
kepemimpinan seseorang. Namun Muhammadiyah berbeda.
Sejak dulu, sudah
menjadi tradisi bahwa untuk menjadi seorang pendakwah / ulama Muhammadiyah,
seseorang “harus” memiliki kapabilitas keilmuan formal. Ini dimaksudkan agar
keilmuan ulama di Muhammadiyah menjadi terstandar. Tradisi ini berimbas pada
jumlah ulama di Muhammadiyah itu sendiri. Tidak semua yang memiliki tautan
darah dengan pendiri Muhammadiyah secara otomatis menjadi ulama, atau setiap
mereka yang lulus dari pondok pesantren langsung menjadi seorang ulama. Biasanya
seseorang akan menempuh minimal jenjang studi S1 pada bidang agama Islam untuk
bisa menjadi seorang ulama di Muhammadiyah. Ini bisa kita lihat di berbagai
pengajian di Muhammadiyah, dimana hampir semua ulama dan pendakwah Muhammadiyah
pasti memiliki gelar akademik. Bahkan, Muhammadiyah sampai khusus mendirikan “perguruan
tinggi khusus” untuk pendidikan ulama tarjih yang merupakan satu-satunya di
Indonesia.
Ketika Ilmu Lebih Utama dari Nasab
Untuk menjadi
ulama di Muhammadiyah, dibutuhkan ilmu, bukan saja nasab. Ini sudah menjadi
pakem sejak awal berdirinya Muhammadiyah. Nasab mungkin bisa menjadi pertimbangan,
tapi bukanlah yang utama. Jika ada 10 syarat menjadi seorang ulama di
Muhammadiyah, bisa jadi nasab adalah syarat nomor 9 atau 10.
Di Muhammadiyah
tidak ada pengistimewaan seseorang berdasarkan nasabnya. Cucu dan cicit seorang
pendiri Muhammadiyah sekalipun diperlakukan yang sama. Namun, jika ia berilmu,
maka istimewalah posisinya di Muhammadiyah, seperti menjadi pengurus ataupun
lainnya.
Saya sendiri
berteman dengan salah seorang cucu dari ulama besar Muhammadiyah, Buya Hamka. Keulamaan
beliau tak diragukan lagi. Tafsir Al-Azhar adalah salah satu bukti keunggulan
ilmu beliau dan menjadi hujjah
keulamaan beliau. Namun sang cucu tidak memilih bidang yang sama dengan
kakeknya tersebut. Ia memilih jalan sebagai seorang akademisi. Ketika di
Taiwan, ia diperlakukan sama dengan kader dan warga Muhammadiyah lainnya. Tidak
ada bedanya. Saat pemilihan Ketua Muhammadiyah Taiwan tahun 2018, tim formatur
tidak menjadikan latarbelakangnya sebagai “keluarga ningrat Muhammadiyah”
sebagai dasar memilihnya sebagai Ketua PCIM Taiwan. Namun karena kesungguhan
dan kepeduliannya mau mengurus Muhammadiyah di ranting dan AUM serta ilmu
organisasinya yang luas, maka ia secara aklamasi dipilih menjadi Ketua PCIM
Taiwan.
Apakah Ada Habib yang Menjadi Kader Muhammadiyah?
Jika yang dimaksud
adalah kader bergelar habib, maka jawabannya tidak ada. Karena seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, di Muhammadiyah tidak lazim menggelari seseorang
karena nasabnya. Tapi jika berbicara apakah ada kader Muhammadiyah yang
merupakan keturunan arab / nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) maka jawabannya ada. Di kantong-kantong pemukiman
warga keturunan arab seperti di Ampel Surabaya, Pantura Jawa Tengah, dan daerah
lainnya, ada juga warga Muhammadiyah berlatarbelakang keturunan arab. Bisa jadi
salah satu diantara mereka masih memiliki garis keturunan dari Nabi yang lazim
digelari Habib. Namun mereka memilih tidak memakai gelar tersebut. Bahkan, KH Ahmad Dahlan sendiri sebenarnya adalah seorang habib, karena nasab beliau sampai pada Rasulullah SAW. Tapi beliau tidak memakainya dan hingga kini para kader dan anggotanya pun tidak menggelari beliau dengan sebutan habib.