Akhir tahun 2018, publik di Indonesia dikejutkan dengan viralnya berita tentang 300 mahasiswa Indonesia yang melakukan kerja paksa dan disuruh makan daging babi di Taiwan. Berita ini menjadi headline di berbagai surat kabar nasional Taiwan maupun di Indonesia. Namun berita ini menjadi simpang siur karena ada beberapa versi dan bantahan dari pihak kampus yang bersangkutan. Lalu bagaimana cerita yang sebenarnya tentang isu ini?
Gambar Ilustrasi (Sumber : pusatinformasibeasiswa.com) |
Kasus ini bermula sebenarnya sejak ditemukannya pelanggaran jam kerja dan jenis pekerjaan bagi peserta kuliah magang dari Sri Lanka, jauh sebelum isu yang terjadi dengan mahasiswa Indonesia. Kala itu ada 40 mahasiswa asal Sri Lanka yang studi di Tainan dipaksa bekerja di rumah pemotongan hewan. Jam kerjanya pun melebihi dari yang seharusnya. Sebagaimana diketahui, seseorang yang memiliki status sebagai resident dan student maka ia hanya diizinkan untuk bekerja selama maksimal 20 jam seminggu. Nah, mahasiswa asal Sri Lanka ini melebihi batas dari waktu bekerja tersebut. Kasus ini sempat mencuat di media daring Taiwan, namun tidak sampai membuat gaduh seperti yang terjadi di awal tahun 2019 ini. Para mahasiswa yang menjadi korban ini, lantas trauma untuk melanjutkan studinya di Taiwan dan memilih untuk pulang ke Sri Lanka.
Kemudian yang terjadi di akhir 2018 pada mahasiswa asal Indonesia ini adalah informasi yang dibeberkan oleh salah satu anggota DPR Taiwan dari Partai Kuo Min Tang. Dia melakukan inspeksi ke salah satu pabrik di Kota Taipei dan mendapati ratusan mahasiswa Indonesia sedang bekerja disana dalam program kuliah magang. Beberapa dari mereka ada yang curhat mereka bekerja melebihi batas maksimal yang seharusnya mereka lakukan. Beberapa dari mereka juga mengeluh tentang minimnya uang yang mereka peroleh dari hasil bekerja tersebut karena harus dipotong untuk biaya kuliah mereka disini.
Lantas, bagaimana kelanjutannya?
Saya dan teman-teman Muhammadiyah Taiwan bergerak cepat merespon kasus ini. Sebenarnya sejak awal tahun 2018, kami di Muhammadiyah Taiwan sudah mulai menyelidiki tentang program ini karena ada sebagian alumni sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ditawari untuk ikut program ini. Mereka meminta bantuan untuk mengecek kebenaran dan pelaksanaan program ini di Taiwan. Singkat kata, kami bersepakat untuk merekomendasikan tidak mengambil program ini karena ada beberapa hal teknis di Indonesia yang pelaksanaannya menyimpang dari yang seharusnya. Namun di kasus akhir tahun 2018, kami meresponnya dengan membentuk tim khusus untuk melakukan pencarian fakta terhadap kasus ini. Dan berikut adalah beberapa fakta yang terjadi di Taiwan.
1.Kampus di Taiwan diprediksi banyak yang akan tutup
Di Taiwan terdapat 156 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Taiwan. Dari 156 perguruan tinggi tersebut, diprediksi akan ada sekitar 15-30 perguruan tinggi akan tutup dalam 5 tahun mendatang. Ini disebabkan karena rendahnya populasi Taiwan yang masuk ke perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa tingkat kelahiran di Taiwan hanya sebesar 1-2 %. Ini berimbas ke jumlah generasi mudanya. Banyak sekolah dan perguruan tinggi yang kembang kempis untuk mempertahankan eksistensi institusinya karena minimnya peserta didik baru yang masuk. Ini tidak hanya terjadi pada institusi swasta saja, namun banyak juga dialami oleh institusi pemerintah / negeri. Dalam kesempatan yang lain, saya mendapatkan informasi bahwa beberapa kampus negeri di Taiwan akan di merger untuk efektifitas dan efisiensi. Pun demikian dengan kampus-kampus swasta. Pilihannya adalah merger dengan institusi lain atau tutup selamanya.
2.Kampus bersaing untuk mendapatkan mahasiswa asing
Dengan adanya fakta bahwa jumlah mahasiswa lokal Taiwan yang semakin sedikit jumlahnya, membuat beberapa kampus mengalihkan fokusnya untuk menarik mahasiswa asing agar masuk ke kampus mereka. Nah, pemerintah Taiwan sejak 2015 meluncurkan program kebijakan baru ke arah selatan, dimana mereka fokus untuk mengembangkan kerjasama di berbagai bidang, salah satunya adalah pendidikan, ke negara-negara di Asia Selatan yang salah satunya adalah negara-negara di kawasan ASEAN. Negara-negara ini memiliki populasi angkatan muda yang cukup tinggi dan potensial untuk didatangkan ke Taiwan. Sehingga, munculah program kuliah magang ini untuk memfasilitasi mahasiswa-mahasiswa dari Asia Selatan agar bisa kuliah di Taiwan dengan skema kuliah sambil bekerja paruh waktu sehingga tidak merepotkan orang tua di negara asal terkait dengan pembiayaan kuliah yang juga tidak murah ini.
Strategi ini cukup berhasil menarik banyak mahasiswa asing dari Indonesia, Thailand, Vietnam, Sri Lanka dan beberapa mahasiswa asing lainnya. Terdapat lebih dari 8 kampus di Taiwan yang membuka program semacam ini. Prinsipnya adalah para mahasiswa tidak perlu membayar memakai biaya sendiri untuk biaya kuliahnya. Mereka hanya cukup bekerja paruh waktu yang kemudian biayanya dibayarkan ke kampus. Dan ini cukup sukses memperpanjang usia kampus yang dimaksud karena mendapat mahasiswa-mahasiswa baru.
3.Program ini gratis, namun mahasiswa harus bekerja
Dalam pemberitaan yang beredar, program ini sebenarnya tidak memungut biaya pendaftaran apapun kepada calon mahasiswa. Mereka hanya dikenakan biaya untuk pengurusan paspor, pemeriksaan kesehatan, visa, dan pesawat. Namun pada pelaksanaannya banyak agen-agen di Indonesia yang justru mengenakan biaya hingga puluhan juta rupiah. Ini adalah hal teknis pertama yang sudah tidak sesuai dengan prosedur yang dikeluarkan oleh pemerintah Taiwan. Agen-agen ini berdalih bahwa biaya puluhan juta tersebut digunakan untuk pengurusan dokumen dan banyak hal. Padahal jika kita mengurus sendiri ke kantor perwakilan Taiwan di Jakarta, biayanya akan jauh lebih terjangkau. Gambarannya kurang lebih begini :
- Medical Check Up : Rp. 600.000
- Biaya Pembuatan Paspor : Rp. 350.000
- Biaya Pembuatan Visa : Rp. 700.000
- Pesawat dari Indonesia - Taiwan : berkisar antara Rp. 1.500.000 hingga
Rp. 4.000.000 tergantung maskapai yang digunakan
Faktanya ada mahasiswa yang harus membayar hingga Rp. 20.000.000 untuk mengikuti program ini. Kemudian, saat disini, mahasiswa sebenarnya baru boleh bekerja setelah satu tahun disini. Di tahun pertama mereka fokus untuk kuliah. Namun ternyata dalam pelaksanaannya banyak yang melenceng. Dari pertama kali tiba di Taiwan, mereka sudah bekerja di pabrik-pabrik yang bekerjasama dengan kampus. Bahkan beberapa dari mereka mengakui bekerja lebih dari 20 jam seminggu. Mengapa begitu? Ini dikarenakan uang yang didapat tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-sehari.
Para mahasiswa yang bekerja paruh waktu, mendapatkan gaji TWD 150 per jamnya. Sehingga dalam seminggu mereka mendapatkan gaji (jika 20 jam) sebesar TWD 3,000. Dan selama sebulan berarti akan mendapat total gaji TWD 12,000. Faktanya adalah dari jumlah gaji tersebut, mereka masih harus menyisihkan gaji mereka untuk membayar SPP yang mencapai TW 40,000 persemesternya. Ditambah asuransi kesehatan, biaya asrama / tempat tinggal, dan makan. Sehingga gaji TWD 12,000 dirasa tidak mencukupi untuk hidup sebulan. Alhasil tidak jarang yang berusaha bekerja lebih dari 20 jam seminggu sebagai upaya bertahan hidup disini walaupun ini sebenarnya melanggar peraturan kerja dari pemerintah Taiwan.
4.Mahasiswa bekerja di pabrik yang tidak sesuai perjanjian
Saat di Indonesia, para mahasiswa ini dijanjikan akan bekerja paruh waktu di pabrik-pabrik yang sesuai dengan jurusan yang mereka ambil di Taiwan. Namun faktanya banyak dari mereka yang bekerja tidak sesuai dengan perjanjian tersebut. Bahkan tak jarang yang melenceng jauh. Misalkan mereka kuliah di jurusan teknik elektro. Ternyata saat bekerja mereka justru ditempatkan di rumah pemotongan hewan. Kebanyakan dari mereka tidak berani memprotes penempatan ini karena mereka takut dipulangkan ke Indonesia, takut tidak diurusi oleh agensi disini, selain juga mereka masih sangat muda dan berada di negeri asing. Wajar kemudian banyak yang diam saja terhadap pelanggaran penempatan kerja ini.
Selain tempat bekerja, beberapa dari mereka juga mengalami pelanggaran dalam hal kampus dan jurusan. Kampus dan jurusan yang mereka pilih saat di Indonesia tidak sesusai dengan yang mereka dapat di Taiwan. Misalkan mereka memilih teknik elektro, namun disini justru dimasukkan dalam jurusan manajemen industri. Belum lagi saat di Indonesia, mereka memilih universitas A, namun saat disini mereka justru ditempatkan di universitas C. Setelah kami telusuri, ini dikarenakan kuota yang diberikan oleh kampus yang bersangkutan tidak berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa yang masuk. Banyak yang sudah over kuota karena banyaknya peminat program ini. Sehingga mereka dipindahkan ke kampus yang lain yang juga membuka program serupa.
5.Waktu kuliah yang tidak sesuai peraturan
Di peraturan yang ada, mereka sebenarnya hanya boleh bekerja saat akhir pekan saja atau bisa di saat hari bekerja namun porsi waktu belajarnya lebih banyak. Disebutkan bahwa seharusnya mereka itu 4 hari kuliah, 2 hari bekerja, dan 1 hari libur. Namun di lapangan ada beberapa mahasiswa yang justru terbalik waktunya. 2 hari kuliah, 4 hari kerja, dan 1 hari libur. Ini yang kemudian menjadi temuan bahwa program ini banyak yang tidak sesuai prosedur yang ada.
6.Pemerintah Indonesia menghentikan [sementara] pengiriman mahasiswa Indonesia untuk program kuliah magang ke Taiwan
Merespon kejadian ini, pemerintah Indonesia bergerak cepat dengan berkoordinasi dengan berbagai pihak (pemerintah Taiwan, perwakilan Indonesia di Taiwan, dan organisasi pelajar Indonesia) untuk mengatasi persoalan ini. Dan pada bulan februari, pemerintah Indonesia secara resmi menghentikan sementara pengiriman mahasiswa untuk mengikuti program ini hingga pemerintah Taiwan memperbaiki regulasi dan pengawasan yang ada agar kejadian sebelumnya tidak terulang lagi.
***
Taiwan sebenarnya memiliki puluhan institusi pendidikan yang bagus dan bereputasi. Dan mereka memiliki komitmen yang tinggi terhadap menjaga kualitas civitas akademikanya. Pun demikian soal beasiswa. Hampir setiap kampus di Taiwan menawarkan beasiswa kampus yang walaupun nominalnya tidak terlalu tinggi, namun cukup untuk bisa survive di Taiwan sebagai mahasiswa. Sehingga mahasiswa bisa cukup fokus untuk kuliah dan mengembangkan keilmuan mereka di universitas.
Adanya kasus yang sempat booming ini menjadi percikan percikan kecil bagi pemerintah Taiwan untuk terus bekerja dan berinovasi dalam menaikkan kualitas pendidikan mereka. Ditengah hambatan semakin menurunnya jumlah populasi Taiwan, pemerintah Taiwan selalu berusaha untuk terus berkomitmen memberikan pelayanan terbaiknya kepada para mahasiswa asing ini agar mereka nyaman belajar dan tinggal di Taiwan, hingga merasa kerasan dan menjadikan Taiwan sebagai ‘rumah kedua’ mereka.
Saya pribadi meyakini bahwa adanya kasus ini tidak mengurangi minat mahasiswa untuk studi di Taiwan. Saya menyarankan gunakanlah jalur resmi melalui pendaftaran langsung di universitas yang dituju dan carilah beasiswa melalui pemerintah, kampus, maupun pihak ketiga lainnya. Taiwan adalah negara yang tepat untuk mengembangkan diri dalam hal keilmuan, karena Taiwan merupakan salah satu core dalam industri dunia.