Pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019 tinggal hitungan bulan. Para calon anggota legislatif (Caleg), calon presiden dan wakil presiden, serta para calon senator sudah mulai mengkampanyekan diri mereka dengan beragam cara. Dari mulai penggunaan cara konvensional (seperti spanduk, poster, kalender dsb), hingga cara-cara terbarukan melalui iklan di media sosial. Semua saling mempromosikan dirinya masing-masing untuk meraih simpati masyarakat.
Sebagai WNI yang tinggal dan menetap di luar negeri, saya hanya bisa mengamati proses kampanye ini melalui media sosial, pemberitaan media massa, hingga diskusi dengan teman-teman yang terlibat dalam proses politik itu sendiri. Secara garis besar, kampanye yang dilakukan masih terlihat sama dan monoton seperti kampanye tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada cara yang baru, unik, fresh, apalagi out of the box. Parahnya lagi, kampanye tahun ini lebih banyak diwarnai bumbu isu hoax yang makin merajarela.
Ilustrasi (Gambar : nu.or.id)
Para caleg masih memakai metode-metode usang seperti pemakaian diksi merakyat, bersih, amanah, dan sebagainya. Rasa-rasanya masyarakat sudah overdosis dengan slogan-slogan semacam ini. Apalagi ditambah dengan pemakaian wardobe yang bertolakbelakang dengan kesehariannya yang banyak dimunculkan dalam spanduk dan poster. Sungguh ini sebuah metode usang yang, sekali lagi, bisa menjadi boomerang bagi si caleg itu sendiri apabila ia tidak segera merubah cara kampanyenya.
Caleg Miskin Gagasan
Kontestasi pemilu 5 tahunan yang diadakan di Indonesia ini sesungguhnya adalah proses pencarian calon negarawan yang cerdik pandai dan bisa mewakili masyarakat untuk bersama-sama memikirkan hal ihwal permasalahan bangsa ini. Tentunya permasalahan yang dipikirkan bukanlah persoalan-persoalan remeh temeh alias kelas teri. Skup persoalan yang diurus sudah tentu perihal nasib keberlangsungan bangsa ini kedepannya dalam berbagai sektor. Sehingga, menjadi anggota legislatif itu bukan hanya sekedar mengurusi jalan rusak atau sumber pendanaan untuk proposal-proposal nyeleneh yang tidak jelas target, capaian, dan signifikansi manfaat yang diperoleh.
Saat seseorang memutuskan untuk maju dalam kontestasi ini, sebaiknya ia sudah harus bisa memantaskan diri menjadi seorang calon anggota legislatif yang kaya akan gagasan, ide, serta paham akan masalah serta solusi yang bisa menjadi opsi. Bukan sekedar menawarkan janji-janji surga untuk meraup suara masyarakat saja. Apalagi menawarkan rupiah untuk satu suara yang dihargai tak lebih mahal dari kebutuhan pokok sehari.
Memantaskan diri ini bisa dilakukan dengan banyak cara, misalnya, mengolah aspirasi konstituennya selama masa kampanye menjadi sebuah gagasan orisinil, tertarget, dan solutif terhadap permasalahan yang ada. Contohnya adalah gagasan tentang UU Desa yang disahkan menjelang pemilu tahun 2014 sebagai wujud aspirasi para perangkat desa seluruh Indonesia. Undang-Undang ini melihat bahwa pengelolaan desa (sebelum disahkannya UU Desa) masih menekankan aspek desa sebagai objek. Padahal menurutnya salah satu faktor yang bisa membuat desa itu maju adalah perubahan cara berpikir secara mendasar tentang pengelolaan desa itu sendiri. Desa harus menjadi subjek dari pembangunan. Jika dulu pembangunan menggunakan pola top down maka melalui UU Desa ia mencoba menggagas pembangunan yang bottom up. Ini adalah salah satu contoh bagaimana seorang Caleg berkampanye dengan menawarkan gagasan konkrit dan solutif terhadap permasalahan yang ada di masyarakat. Contoh lainnya misalkan caleg menawarkan semacam konsep model bisnis bagi BUMDes di daerah pemilihannya. Sebagai calon legislator, bisa saja ia menginisiasi konsep Perda (untuk tingkat daerah) atau UU (tingkat pusat) untuk mengawal gagasan model bisnis untuk BUMDes tadi. Itu baru 2 contoh saja. Ada banyak ide dan gagasan baru dan solutif dengan kondisi yang ada yang sebenarnya bisa di tawarkan oleh para caleg kepada konstituennya agar tidak melulu menawarkan slogan-slogan basi dan kadaluarsa.
Miskinnya gagasan yang dimiliki oleh seorang caleg bisa jadi karena mereka menggunakan aji mumpung dalam proses pencalegan. Hanya bermodalkan massa, pengaruh, hingga harta, tanpa melalui proses pemahaman tentang bagaimana menjadi seorang anggota legislatif yang sebenarnya. Wajar saja saat tahun 2016, muncul wacana adanya sekolah parlemen sebagai solusi terhadap permasalahan kualitas anggota dewan yang tidak merata kala itu.
#2019HarusBeda
Dalam pemilu 2019 ini, masyarakat harus mulai berani kritis terhadap para caleg yang berkampanye memperebutkan suara mereka. Masyarakat harus mulai menempatkan nalar kritisnya sebagai prioritas saat menyeleksi caleg mana yang akan mereka pilih. Ini bukan sekedar mencoblos lalu usai. Ini adalah tentang bagaimana nasib kita 5 tahun mendatang, apakah akan begini-begini saja atau berubah. Selama ini ada atau tidak ada anggota legislatif, masyarakat tidak merasakan perbedaannya. Mereka hanya hadir menjelang pemilu saja. Oleh karena itu, momentum pemilu 2019 harus dimanfaatkan secara maksimal untuk memilih para caleg yang kaya gagasan dan ide agar keterpilihan mereka membawa manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Semoga pemilu 2019 ini benar-benar menjadi ajang pesta demokrasi yang sesungguhnya. Semoga !
Di Taiwan terdapat
129 perguruan tinggi (negeri dan swasta) yang tersebar di seluruh kota di
Taiwan. Taiwan sendiri terkenal dengan kemajuan teknologi dan risetnya di
bidang sains. Ini yang kemudian mempengaruhi warna dari Pendidikan tinggi di
Taiwan. Dari keseluruhan universitas yang ada, hampir 90 % nya memiliki
jurusan-jurusan di bidang sains dan teknologi seperti Ilmu komputer, Teknik
elektro, dan jurusan-jurusan sains lainnya. 10 % diantaranya fokus sebagai
perguruan tinggi di bidang kesehatan dan kedokteran.
Bagi mahasiswa
dari Asia Tenggara, utamanya dari Indonesia, agak susah mencari jurusan ilmu sosial, khususnya ilmu politik, di
Taiwan. Selain karena tidak banyak universitas yang memiliki jurusan ini, juga
tidak banyak universitas yang memiliki jurusan ini justru tidak membuka kelas
internasionalnya, sehingga membuat peluang untuk studi politik di Taiwan
semakin kecil. Namun, dibalik minimnya jurusan politik ini, sebenarnya ada
cerita mengapa Taiwan lebih condong mengembangkan studi-studi di bidang ilmu
sains dan teknologi. Dan ini tidak banyak diketahui oleh public.
Kebijakan
Pendidikan Tinggi Oleh Jepang
Taiwan dijajah
oleh Jepang selama 50 tahun, mulai tahun 1895 hingga tahun 1945. Selama masa
penjajahan tersebut, Taiwan benar-benar dibawah control Jepang yang menempatkan
19 gubernurnya untuk memerintah di Taiwan. Selama masa penjajahan tersebut,
Jepang membuat sebuah kebijakan terkait Pendidikan di Taiwan yang mengizinkan
untuk didirikan universitas-universitas dengan catatan tidak boleh membuka
jurusan politik, hukum, dan filsafat.
Alasan mengapa
mereka melarang dibuka ketiga jurusan ini adalah karena mereka tidak ingin
masyarakat Taiwan menjadi aktivis dan memberontak kepada pemerintah Kolonial.
Sejarah sudah banyak mencatat, ada banyak revolusi, reformasi, dan penggulingan
kekuasaan di berbagai negara terjadi karena masyarakatnya yang melek politik. Kesadaran terhadap
politik akan mengakibatkan kesadaran untuk memerdekakan diri dari penjajah. Dan
ini tidak diinginkan oleh pemerintah kolonial di Taiwan.
Hingga Jepang
meninggalkan Taiwan pada tahun 1945, tidak ada satupun institusi Pendidikan
tinggi di Taiwan yang membuka ketiga jurusan tersebut. Baru pada medio tahun 70’an Taiwan memiliki universitas yang
membuka jurusan politik, padahal banyak universitas-universitas di Taiwan yang
sudah berdiri sejak tahun 1900 an.
Alhasil, sejak awal Taiwan mencoba concern
di bidang sains dan teknologi guna mensiasati agar masyarakat Taiwan mampu
bersaing dan maju. Yang paling kentara adalah jurusan Teknik dan pertanian,
dimana Taiwan sangat maju dalam kedua bidang ini, selain juga bidang
kedokteran.
Taiwan
Post Colonialism
Taiwan adalah
negeri merdeka yang tidak diakui. Sebelum tahun 1971, Taiwan yang nama resminya
adalah Republic of China (ROC)
merupakan negara resmi yang diakui oleh dunia dan tercatat sebagai salah satu
pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kala itu, di Taiwan (ROC) terdapat
satu partai politik yang didirikan oleh Bapak Bangsa China, Dr. Sun Yat Sen.
Perjuangan mempertahankan pengakuan dunia terhadap ROC sebagai China yang sah
pada akhirnya harus berakhir pada tahun 1971 saat PBB secara resmi mengalihkan
pengakuannya pada China daratan (People
Republic of China / PRC) dan diikuti oleh berbagai negara di dunia.
Sejarahnya munculnya 2 China ini (ROC dan PRC) akibat dari kekalahan yang di
dera oleh ROC dalam perang sipil pimpinan Chiang Kai Sek melawan pasukan komunis
pimpinan Mao Zhe Dong yang pada akhirnya menyingkirkan pemerintahan ROC ke
Taiwan. Dan sejak saat itu berdirilah China daratan yang menganut paham
komunis.
Perjuangan politik
Taiwan sendiri semakin sulit pasca tahun 1971, dimana dunia hanya mengakui
adanya satu China, People Republic of
China, dan Taiwan dianggap sebagai bagian dari China daratan. Alhasil,
sejak tahun tersebut, kesadaran untuk meningkatkan pemahaman politik masyarakat
semakin meningkat dan ini ditindaklanjuti dengan pembukaan berbagai universitas
yang membuka jurusan politik. Hingga akhir tahun 2018, terdapat 16 universitas
yang memiliki jurusan ilmu politik, diplomasi, dan kebijakan publik.
Ilustrasi (Foto : Istimewa)
Sejak partai DPP
resmi didirikan tahun 1986 untuk mengimbangi partai Kuomintang (KMT), kutub
studi politik Taiwan semakin menarik. Ada semacam rahasia umum tentang dua
partai ini dan lembaga think tank
nya. Partai KMT memfokuskan studi gerakan dan kebijakannya di salah satu kampus
di Taipei (Taiwan Utara) dan partai DPP memfokuskan studi kebijakannya di salah
satu kampus di Kaohsiung (Taiwan Selatan). Benar atau tidaknya, entahlah. Namun
warna dari 2 kampus ini sangat terasa dari 2 kutub partai yang ada di Taiwan
ini.
“Tahukah kamu orang-orang
yang mendustakan Agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan fakir miskin. Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat
ria, dan enggan mengulurkan pertolongan/bantuan secara berhasil guna dan
berdaya guna” (Q.S. Al Ma’un ayat 1-7)
Muhammadiyah, sebagai organisasi muslim termodern dan
terbesar dalam hal asset dana amal usahanya, tahun ini memuncaki usianya yang ke
108 tahun. Sebuah usia yang tak lazim bagi sebuah organisasi modern yang mampu
bertahan dalam pusaran zaman. Muhammadiyah telah melampaui masa sebelum
Indonesia lahir, kemerdekaan, hingga era reformasi. Bahkan di usinya yang
beranjak ke abad keduanya, Muhammadiyah dihadapkan pada suatu masa yang disebut
sebagai era disruptif dengan teknologi sebagai topik pembicaraan utama di semua
lini kehidupan. Saat berbicara tentang Muhammadiyah, maka kita juga akan
membicarakan tentang Surat Al-Maun, salah satu surat dalam Al Quran, yang
menjadi spirit pendirian organisasi Muhammadiyah. Dalam sejarahnya, KH. Ahmad
Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, mengajarkan berulang-ulang surat Al Maun ini
kepada murid-muridnya yang jika belum diamalkan, maka belum boleh berpindah ke
surat lainnya. Seiring berjalannya waktu, semangat ini lantas mengkristal
menjadi sebuah istilah baru yang bernama Teologi Al Maun yang dipopulerkan oleh
Muslim Abdurrahman, salah seorang intelektual Muhammadiyah.
Sayyid Quth (dalam Tafsir
fi Zhilalil Qur’an Vol. 24) menjelaskan bahwa surat pendek ini mampu
memecahkan hakikat besar yang mendominasi pengertian iman dan kufur secara
total. Boleh jadi definisi iman dan kufur di sini sangat berbeda bila
dibandingkan definisi tradisional. Karena kufur (mendustakan agama) di sini
diartikan sebagai menghardik anak yatim dan atau menyakitinya (Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin).
Logika kufur muncul karena seharusnya saat iman seorang sudah mantap di hati,
niscaya anak-anak yatim dan orang miskin tentu tidak akan diterlantarkan.
Pada dasarnya, Allah tidak hanya menghendaki
pernyataan-pernyataan dari manusia. Tetapi menghendaki pernyataan itu disertai
dengan amalan-amalan sebagai pembuktiannya. Kalau tidak, pernyataan tersebut
tidak lebih hanya debu yang tidak ada bobotnya di sisi Allah. Karena memang,
islam bukanlah agama simbol dan lambang semata. Iman akan tidak berwujud bila
tidak direfleksikan ke dalam gerakan amal shaleh.
Surat Al Maun ini mengajarkan bahwa
ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Pemaknaan
social ini lantas diejawantahkan oleh KH Ahmad Dahlan dan murid-muridnya dengan
mencari orang paling miskin yang bisa ditemui di masyarakat, kemudian
memandikannya dan menyuapinya. Ini adalah implementasi paling awal dari
pemahaman semangat Al Maun yang diyakini oleh generasi awal Muhammadiyah.
Lantas dengan digandengnya Budi Utomo dan Kraton Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan
mendirikan sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan.
Seiring perkembangan zaman, semangat dalam teologi Al
Maun ini lantas menjadi trilogi-trilogi baru yang menjadi arah gerak
Muhammadiyah untuk mengambil perannya sebagai organisasi dakwah Islam. Di babak
awal Muhammadiyah, trilogi tersebut didefinisikan sebagai healing (pelayanan kesehatan), schooling
(pendidikan), dan feeding (pelayanan
sosial). Dalam hal pelayanan kesehatan, Muhammadiyah meyakini bahwa umat Islam
harus sehat dan selalu kuat. Nabi Muhammad SAW sendiri telah bersabda bahwa
orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada Muslim
yang lemah. Karena itu, disamping kuat dari segi ilmu pengetahuan, umat juga
harua kuat secara fisik.
Dalam hal pendidikan, Muhammadiyah meyakini bahwa pendidikan
sangat penting karena akan melahirkan kesadaran, sehingga umat bisa bangkit dan
berjuang untuk mengaktualisasikan dirinya. Sedangkan dalam hal pelayanan
social, Muhammadiyah yakin bahwa salah satu poin penting dalam narasi Al Maun
adalah melakukan pelayanan social kepada kaum papa yang kala itu tidak terperhatikan. Memperhatikan kaum papa merupakan salah satu ibadah
utama yang pemaknaannya berasal dari surat Al-Maun.
Metomonia Semangat
Al-Maun di Taiwan
Muhammadiyah mulai bergeliat di Taiwan sejak masa-masa
awal mahasiswa Indonesia membanjiri Taiwan untuk studi. Di periode 2007-2010,
Muhammadiyah di Taiwan baru sebatas wacana yang menjadi topik hangat diskusi antar
kader melalui milis email. Muhammadiyah mulai benar-benar menjadi sebuah
gerakan di medio tahun 2013 saat 6 kader Muhammadiyah memulai dakwahnya melalui
jejaring dunia maya. Lalu tahun 2014 mewujud menjadi organisasi resmi sebagai
cabang istimewa ke-14 dari Persyarikatan Muhammadiyah.
Sejak awal berdirinya Pimpinan Cabang Istimewa
Muhammadiyah Taiwan (selanjutnya disebut sebagai Muhammadiyah Taiwan), para assabiqunal awwalun nya telah merumuskan
trilogi dan trisula Muhammadiyah Taiwan sebagai ciri khas gerakan Muhammadiyah
di bumi Formosa berdasarkan teologi Al-Maun yang terbagi dalam dua gerakan mendasar,
yaitu gerakan liberasi dan emansipasi. Gerakan liberasi ini dimaknai sebagai gerakan
untuk membebaskan umat dari keterbelakangan, dari kebodohan, dan dari
ketidakberdayaan. Karena itu Muhammadiyah Taiwan sedari awal berdiri berusaha
focus pada upaya melakukan pembangunan dalam bidang pendidikan (non-formal)
bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Taiwan, kesehatan, dan menjadikan
umat (dalam hal ini adalah para PMI) agar lebih berdaya sekembalinya ke
Indonesia. Sedangkan gerakan emansipasi dimaknai dengan upaya mengangkat harkat
dan martabat umat sebagai manusia. Jadi umat bukan hanya menjadi taat secara
ritual tapi juga menjadikan umat itu terangkat harkat dan martabatnya.
Dari pemahaman akan teologi Al Maun tersebut,
Muhammadiyah Taiwan lantas menjabarkannya menjadi sebuah trilogi yang menjadi
ciri khas gerakan bagi Muhammadiyah di Taiwan. Trilogi tersebut adalah gerakan
filantropi, gerakan pemberdayaan TKI, dan gerakan dakwah maya.
Gerakan Filantropi (Al-Khairat)
Di Taiwan, terdapat kurang lebih 261.782 warga negara
Indonesia yang kuliah, kerja, dan tinggal di Taiwan. Dari jumlah tersebut,
6.000 orang adalah berstatus mahasiswa, 50.000 orang bekerja di pekerja kerah biru, 70.000 orang menikah dengan
orang Taiwan, dan selebihnya bekerja sebagai PMI di berbagai sector (formal dan
informal). Jumlah tenaga kerja yang fantastis ini cukup dimaklumi seiring
adanya kenaikan gaji yang juga fantastis bagi para PMI. Semakin baiknya jumlah
gaji bagi para pekerja asing di Taiwan ini ternyata juga diimbangi dengan
tingginya semangat berbagi dari para pekerja untuk berbagai hal, seperti
sedekah, bantuan bencana, dan lain sebagainya. Sehingga Muhammadiyah Taiwan
mencoba memfasilitasi niat baik dari para migran Indonesia di Taiwan ini untuk
menyalurkannya melalui program pemanfaatan yang tepat guna. Muhammadiyah Taiwan
melalui lembaga zakatnya menawarkan berbagai program filantropis yang bisa
diikuti oleh para WNI yang menetap di Taiwan dengan berbagai program nyata,
seperti sedekah dakwah, sedekah bencana alam di Indonesia dan dunia, sedekah
untuk Palestina, Kurban untuk Palestina, Zakat dan Infaq untuk mereka yang
berhak, serta sedekah pembangunan masjid di Indonesia maupun di Taiwan. Sejak hadir
pertama kalinya di tahun 2014 hingga kini, gerakan filantropis Muhammadiyah
Taiwan mampu mengumpulkan dan menyalurkan dana mencapai 1 Miliar rupiah yang
kesemuanya disalurkan melalui program tepat guna bekerjasama dengan berbagai
pihak / lembaga.
Bahkan di tahun 2016, melalui gerakan ini pula,
Muhammadiyah Taiwan berhasil mengumpulkan dana puluhan juta rupiah untuk
membantu pembangunan salah satu masjid di Taiwan yang dikelola oleh rekan-rekan
dari Nahdhatul Ulama (NU) Taiwan. Muhammadiyah Taiwan berusaha selalu hadir
untuk membantu siapapun yang memerlukan bantuan tanpa membedakan organisasi,
suku, agama, ras, bahkan kewarganegaraan. Semangat dari Al-Maun senantiasa dipupuk
untuk terus tumbuh diantara semua kader Muhammadiyah Taiwan agar terus bergerak
memberikan manfaat bagi sesama melalui gerakan filantropi.
Gerakan Pemberdayaan PMI (At-Tanmiyah)
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, di Taiwan
terdapat ratusan ribu WNI yang bekerja sebagai PMI di sector formal dan
informal. Banyaknya jumlah dari WNI ini juga berimbas pada berbagai masalah
yang timbul dan dihadapi. Salah satunya adalah kemandirian pasca selesai
kontrak kerja di Taiwan. Tidak sedikit para PMI yang pada akhirnya harus
kembali ke Taiwan untuk bekerja sekembalinya ke Indonesia. Ada banyak factor yang
melatarbelakanginya, salah satunya adalah ketidakmampuan mereka dalam mengelola
gaji yang telah mereka dapat agar menjadi kegiatan ekonomi yang lebih produktif.
Banyak juga yang pada akhirnya menghabiskan gaji mereka untuk hal-hal konsumtif
yang itu justru tidak menghasilkan dan tidak bisa digunakan untuk menopang
ekonomi keluarga. Ketiadaan softskill untuk
mengelola asset semacam ini adalah problem yang jamak ditemui diantara para PMI
Purna. Alhasil, pasca habis, mereka banyak yang kembali ke Taiwan. Namun ada
juga factor lain yang mendasari mengapa mereka kembali lagi ke Taiwan sebagai
PMI.
Sudah banyak wacana yang dikembangkan tentang
pemberdayaan PMI purna yang telah kembali ke Indonesia. Namun nyatanya,
hasilnya masih sangat minim. Dan Muhammadiyah Taiwan melihat ini sebagai
peluang untuk bisa hadir mengambil peran yang lebih riil untuk bersama-sama
menyelesaikan masalah yang ada.
Melalui Majelis yang khusus membidangi pemberdayaan
ini, Muhammadiyah Taiwan berusaha untuk memfasilitas berbagai pelatihan life skill, economic skill, management skill
dan banyak hal lainnya bagi para PMI. Dakwah-dakwah Muhammadiyah Taiwan
berusaha menyasar problem-problem yang riil dihadapi oleh para PMI ini. Bagi Muhammadiyah
Taiwan, semangat Al Maun berusaha diejawantahkan dengan semangat untuk terus
menjadikan para PMI berdaya dan mandiri sepulangnya ke Indonesia. Muhammadiyah
Taiwan berkeyakinan bahwa gerakan liberasi dan emansipasi daeri Al Maun salah
satunya mewujud saat para PMI ini mampu melanjutkan hidupnya di Indonesia
dengan lebih baik tanpa harus kembali ke Taiwan untuk bekerja sebagai PMI. Dengan
mereka mampu berdaya dan mandiri di Indonesia, ini akan memberikan efek
karambol bagi orang sekelilingnya. Sebagai contoh, saat seorang ibu tidak perlu
lagi bekerja sebagai PMI dan bisa berdaya serta mandiri di daerah asalnya, maka
aka nada anak-anak, suami, dan keluarga yang merasakan kasih sayang secara
langsung dari seorang ibu dan istri. Ini akan berbeda saat seorang ibu harus
pergi jauh bekerja di Taiwan dan tidak bisa mendampingi proses tumbuh kembang
anak dan menjadi tempat yang paling nyaman bagi suami dan keluarganya.
Oleh karena itu, Muhammadiyah Taiwan berkeyakinan,
menjadikan PMI Purna sebagai masyarakat yang berdaya dan mandiri adalah sebuah jalan baik dari sebuah gerakan dakwah
yang terinspirasi dari semangat Al Maun.
Gerakan Dakwah Maya (Ad-Da’wah)
Secara geografis, Taiwan bukanlah negara yang berpulau-pulau
dan terpisah-pisah seperti di Indonesia. Mayoritas masyarakatnya tinggal di
kota-kota dan desa yang masih bisa diakses melalui transportasi darat yang sangat
nyaman. Namun, sayangnya kemudahan ini tidak bisa dinikmati secara bebas [dalam
artian lain] bagi para WNI yang menetap di Taiwan. Kultur kerja di Taiwan
mensyaratkan profesionalitas bekerja, yang artinya jam kerja di Taiwan sangat strik dan ketat. Banyak para PMI dan
mahasiswa yang baru bisa selo diatas
jam 8 malam setiap harinya. Tentu ini menjadi tantang tersendiri bagi sebuah
organisasi dakwah.
Sedari awal Muhammadiyah Taiwan hadir, selalu berusaha
mensiasati kondisi ini dengan menghadirkan program-program dakwah melalui
internet. Di masa-masa awal, dikenal KOMAT (Kajian Online Muhammadiyah Taiwan)
yang senantiasa hadir tiap minggunya dengan berbagai narasumber yang kompeten. Kajian
ini tidak mempertemukan antar personal. Tak jarang narasumber berasal dari
Mesir, Russia, Turki, dan Indonesia sendiri. Sedangkan moderator/pembawa acara
berada di Taiwan. Dan jamaah cukup mendengarkannya via radio streaming yang
bisa diakses melalui handphone mereka
masing-masing. Tanpa harus bersusah payah keluar dari rumah atau cuti kerja,
para jamaah bisa tetap ngaji dari
tempat mereka berada dengan cukup bermodalkan gadget dan koneksi internet. Inilah yang kemudian di patenkan oleh Muhammadiyah Taiwan sebagai
ciri khas dakwahnya guna mensiasati kondisi yang ada disini.
Tak hanya itu, Muhammadiyah Taiwan pun selalu berusaha
memberikan inovasi-inovasi dakwahnya melalui jaringan internet, seperti membuka
Pesantren Virtual, Tadarus Online, hingga bimbingan membaca Al Quran secara
online bagi para pemula. Keterbatasan kondisi yang ada tak lantas membatasi
arah gerak dakwah Muhammadiyah Taiwan. Muhammadiyah Taiwan meyakini bahwa
perkembangan zaman harus selalu dilihat dari segi positifnya dan berusaha
menariknya dalam konteks gerakan dakwah, sehingga Muhammadiyah Taiwan mampu
mengikuti perkembangan zaman dan memanfaatkannya sebagai senjata untuk mencapai misi dakwah Islam yang diemban oleh
Muhammadiyah Taiwan.
Ilustrasi grafis metomonia gerakan Muhammadiyah di Taiwan
Trisula Muhammadiyah Taiwan
Dari
trilogi Muhammadiyah Taiwan, kemudian diturunkan lagi menjadi sebuah trisula bagi
gerakan dakwah Muhammadiyah Taiwan. Seperti namanya, trisula yang berarti
sebuah senjata yang sakti, maka trisula ini merupakan senjata-senjata yang
dimiliki oleh Muhammadiyah Taiwan guna mencapai tujuan akhir untuk mewujudkan
misi dakwah Islam yang didasari semangat Al Maun. Masing-masing trisula
dikelompokkan berdasarkan sifat gerakannya seperti yang sudah dijelaskan di
poin sebelumnya. Trisula ini berwujud majelis dan lembaga dibawah naungan
Muhammadiyah Taiwan.
Trisula ini masing-masing adalah
Gerakan Filantropi --> Lembaga Amil Zakat Infaq dan Sodaqoh Muhammadiyah (LazisMu Taiwan), Lembaga
Pengembangan Ranting, Ortom, dan AUM (LPROA)
Gerakan Pemberdayaan PMI --> Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM), Majelis Pelayanan Sosial (MPS), Majelis
Pembina Kesehatan Umum (MPKU), Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO)
Gerakan Dakwah Maya --> Lembaga Informasi Komunikasi dan Kerjasama Internasional (LIKKI), Majelis Tabligh
dan Dakwah Khusus (MTDK), Lembaga Hikmah Kebijakan Publik dan Advokasi (LHKPA),
Majelis Pendidikan Kader (MPK).
Selain dari yang sudah disebutkan sebelumnya,
trisula-trisula Muhammadiyah Taiwan juga mewujud dalam berbagai Amal Usaha
Muhammadiyah (AUM) dan organisasi otonom (Ortom) yang dikembangkan di Taiwan
yang jumlahnya tak kurang dari 7 AUM dan 2 Ortom. Keberadaan mereka ini semata-mata
untuk menyokong dakwah Muhammadiyah Taiwan di berbagai bidang, baik ekonomi, social,
budaya, dan lainnya. Adanya AUM, secara lebih spesifik, memberikan sokongan
dalam hal ekonomi untuk berjalannya program-program dakwah yang dilakukan. Bagi
Muhammadiyah Taiwan, ada dua hal yang menjadi kunci agar kegiatan dakwah
Muhammadiyah Taiwan senantiasa hidup dan berjalan. Dua hal tersebut adalah
amanah dan kemandirian. Dalam upaya menerapkan kemandirian ini, maka
Muhammadiyah Taiwan berusaha membangun AUM nya sendiri untuk terus menyokong
kegiatan dakwah tanpa membebani pihak lain. Sedangkan dalam hal amanah,
Muhammadiyah Taiwan senantiasa berusaha memberikan keterbukaan, laporan, dan
informasi terhadap amanah dari masyarakat yang dititipkan melalui Muhammadiyah
Taiwan agar terbangun rasa saling percaya, aman, dan memberikan rasa nyaman
bagi para pemberi amanah.
***
Waktu terus berlalu dan zamanpun senantiasa berganti. Akan
selalu ada kader dan simpatisan yang datang dan pulang [ke Taiwan] silih
berganti. Namun satu hal yang pasti dan tetap akan selalu ada, bahwa Muhammadiyah Taiwan akan terus
berusaha menyesuaikan gerakannya dengan zaman dan eranya tanpa harus menggeser
semangat dasar yang dimilikinya. Muhammadiyah Taiwan lahir bukan karena sebuah
paksaan, melainkan dari sebuah harapan agar mampu menjadi katalis bagi umat untuk mencapai ma’rifat sebagai muslim yang sebenar-benarnya.
Indonesia sedang diguncang prahara besar minggu ini.
Bukan kudeta politik maupun korupsi, melainkan pemberlakuan aturan baru dari
BPOM tentang pelarangan penyebutan kata susu untuk produk kental manis karena
disebutkan bahwa tidak ada/sedikit sekali kandungan susu dalam produk kental
manis. Yang dominan adalah gula. Bagi sebagian orang, kabar ini seolah
menyentakkan kesadaran mereka bahwa ternyata selama ini mereka merasa dibohongi
oleh iklan dan gaya marketing nya.
Bahkan ada sebagian orang di media sosial mewacanakan untuk menuntut ganti rugi
atas penipuan puluhan tahun melalui produk susu kental manis. Tentu wacana ini
sebenarnya hanya bentuk kekesalan karena kekecewaan mereka terhadap apa yang
mereka pahami selama ini terhadap produk susu kental manis yang nyatanya
berbeda.
Sebelum berbicara
lebih jauh tentang prahara ini, saya coba sarikan aturan dan pengertian susu
yang berlaku di Indonesia. Jika berbicara tentang susu, maka ada banyak varian
dari produk susu itu sendiri, ada susu segar dan ada juga susu murni. Mengacu
pada aturan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3141- 1998 yang merupakan revisi dari SNI
01-3141-1992 mengenai standar susu segar, maka pengertian susu murni adalah
cairan yang berasal dari kambing serta sapi sehat dan bersih, yang diperoleh
dengan cara yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah
sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan apapun. Sedangkan pengertian susu
segar adalah susu murni yang disebutkan diatas dan tidak mendapat perlakuan
apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya.
Kalau melihat definisi diatas, sudah tentu susu kental
manis tidak masuk dalam 2 kategori susu yang yang disebut diatas. Definisi susu
kental manis sendiri diatur khusus dalam SNI 2971:2011 yang merupakan revisi
dari SNI 01-2971-1998 yang juga revisi dari aturan awal tentang susu kental
manis yang terdapat dalam SNI01-2971-1992. Di dalam standar ini, disebutkan bahwa susu kental manis
adalah produk susu yang terdiri dari bahan baku utama (susu segar dan/atau susu
bubuk, air, gula); bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan
untuk produk susu sesuai dengan ketentuan tentang bahan tambahan pangan. Di
aturan ini juga, susu kental manis didefinisikan sebagai produksusuberbentukcairankentalyangdiperolehdaricampuransusudanguladengan menghilangkansebagianairnyahinggamencapaitingkatkepekatantertentuatauhasil rekonstitusisusububukdenganpenambahanguladengan/atautanpapenambahanbahan pangan lain dan
bahan tambahan pangan yang diizinkan.
Dari definisi aturan diatas, sangat jelas disebutkan
bahwa susu kental manis merupakan produk susu yang harus mengandung susu yang
bisa berasal dari susu bubuk, susu skim maupun susu segar. Pertanyaan
berikutnya lantas apakah susu kental manis yang saat ini beredar di Indonesia benar-benar
mengandung susu atau tidak, seperti yang banyak diisukan dan viral di media
social?
Susu kental manis sendiri memiliki beberapa varian,
seperti susu kental manis, susu skim kental manis, susu skim sebagian kental
manis, dan susu kental manis tinggi lemak. Dalam table syarat mutu, disebutkan
bahwa kandungan protein (Nx6,38) yang notabenenya berasal dari susu, jumlahnya
bervariasi, mulai dari 4,8 % hingga 6,8 % tergantung varian susu kental manis
tersebut. Pun begitu dengan kandungan gulanya. Dalam satu takaran saji,
kandungan gula/sakarosa yang diizinkan dalam susu kental manis adalah sebanyak
43-48 % untuk semua varian susu kental manis.
Faktanya, untuk 2 merek susu kental manis yang paling
terkenal di Indonesia, jika kita membaca informasi nilai gizi (label gizi) yang
terdapat dalam label produk tersebut, maka sudah sesuai dengan aturan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Sebagai contoh dalam susu kental manis indomilk,
disebutkan bahwa per sajian 40 gram, terdapat kandungan gula sebanyak 19 gram
atau sebanyak 48 %, dan protein sebanyak 1 gram atau sekitar 3 %. Sedangkan
untuk merek Frisian Flag, disebutkan
bahwa per sajian 40 gram terdapat 18 gram kandungan gula/sukrosa atau sekitar
45 %. Kemudian terdapat pula 3 % persen kandungan protein. Dari kedua merek
yang sudah dikenal luas oleh masyarakat tersebut, kita bisa menarik kesimpulan
bahwa kandungan yang ada sudah disesuaikan dengan aturan yang ada, walaupun ada
juga yang perlu kita kritisi tentang perbedaan sekitar 1,8 % dari kandungan
protein yang ada di produk kedua brand tersebut
dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Lalu dimana letak masalahnya?
Rendahnya Nutrition Literacy
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di jurnal Preventing Chronic Disease, disebutkan
bahwa Nutrition literacy atau
literasi gizi dipahami sebagai tingkat di mana orang memiliki kapasitas untuk
memperoleh, memproses, dan memahami informasi gizi dasar. Sebagus dan sekomplit
apapun sebuah perusahaan dalam menyajikan informasi nilai kandungan gizi dalam
produknya, namun jika tingkat kemauan masyarakat untuk mencari tahu dan
membacanya (atau lebih populer disebut dengan literasi) kurang, maka akan sia-sia
saja. Kapasitas ini penting untuk menggerakkan seseorang agar mau membaca dan
mencari tahu tentang kandungan nilai gizi terhadap makanan / minuman yang akan
dikonsumsi. Biasanya tingkat literasi gizi ini erat kaitannya dengan tingkat
pendidikan. Seseorang yang memiliki tingkat literasi gizi yang tinggi, tidak
sembarangan mengkonsumsi makanan dan minuman, karena ia akan memeriksanya
terlebih dahulu. Jika tingkat literasi gizi ini rendah, maka masyarakat akan
mudah untuk termakan iklan, promosi, maupun ucapan orang. Padahal tidak
selamanya hal-hal tersebut selalu benar.
Secara umum, tingkat literasi Indonesia memang cukup
rendah. Dalam daftar yang dikeluarkan oleh PISA, Indonesia berada di peringkat
64 dari 72 negara. Sedangkan dalam daftar yang dikeluarkan oleh The World Most
Literate Nation Study, Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara. Sebuah
peringkat yang kiranya perlu menjadi perhatian bersama untuk segera diatasi.
Pada prakteknya, masyarakat enggan untuk membaca
informasi nilai gizi yang sudah ditempel dan disajikan oleh produsen dalam
produknya. Bisa saja keengganan ini muncul karena Bahasa yang dipakai terlalu ilmiah. Namun bisa juga karena
masyarakat merasa bahwa informasi seperti ini dirasa kurang penting untuk
dibaca. Saya sendiri cenderung fokus ke alasan kedua. Sehingga wajar saat ramai
pemberitaan tentang kandungan susu kental manis yang disebutkan bahwa ternyata
setengahnya adalah mengandung gula, masyarakat ramai-ramai membahasnya,
seolah-olah baru tahu dan tersadarkan, padahal produsen sudah menyediakan
informasi ini sejak awal. Andai saja masyarakat mau membacanya, menanyakannya,
dan lebih kritis terhadap informasi kandungan gizi ini, tentu heboh susu kental
manis tidak akan terjadi seperti saat ini.
False Advertising Dalam Iklan Susu Kental Manis
Kemauan untuk mencari tahu dan keinginan untuk membaca
suatu informasi secara utuh penting diperlukan untuk membangun masyarakat yang
cerdas dan tidak mudah termakan oleh isu dan berita hoax, termasuk false
advertising.
Dalam kamus marketing “American Marketing
Association”, disebutkan bahwa False Advertising
adalah suatu penggunaan informasi yang salah, menyesatkan, atau tidak terbukti yang
digunakan untuk mengiklankan sebuah produk kepada konsumen, serta iklan yang
tidak mengungkapkan sumbernya. Salah
satu bentuk iklan palsu ini adalah mengklaim bahwa suatu produk memiliki
manfaat kesehatan atau mengandung vitamin atau mineral yang sebenarnya tidak
ada.
Kita bisa melihat bagaimana iklan-iklan susu kental
manis di Indonesia di asosiasikan dengan minuman susu yang diminum oleh
anak-anak. Padahal di label yang tertera dalam kemasan jelas menyebutkan bahwa
susu kental manis tidak cocok untuk balita. Namun karena iklan yang ditampilkan
memakai anak-anak sebagai pemerannya, bisa jadi masyarakat kemudian menggeneralisirnya
bahwa susu kental manis bisa diminum oleh semua umur, tak terkecuali oleh
balita. Tidak terbacanya peringatan ini bisa jadi masih erat kaitannya dengan
rendahnya literasi gizi dalam masyarakat kita.
Di iklan-iklan susu kental manis juga di tampilkan
bagaimana produk ini bisa dikonsumsi dengan cara dibuat minuman yang dilarutkan
dalam air dan diminum. Padahal fungsi dari susu kental manis ini hanyalah
sebagai campuran (filling dan topping)
untuk makanan seperti kue, bukan untuk diminum seperti susu segar maupun susu
bubuk. Kesalahan konten iklan ini bisa jadi berasal dari produsen dari
produknya tersebut atau bisa juga berasal dari production house yang membuat iklan tersebut yang salah dalam
mengartikulasikan produk susu kental manis dalam Bahasa dan konten untuk
iklannya.
Jika kita melihat iklan-iklan susu kental manis di
negara lain, tidak kita ketemukan iklan susu kental manis yang menampilkan
anak-anak sedang meminum segelas susu kental manis. Anehnya ini terjadi di
Indonesia.Selain iklan, ada juga
kesalahan yang cukup fatal dalam mengkomunikasikan produk susu kental manis ini
kepada masyarakat, yaitu gambar pada label kemasan. Ada brand susu kental manis yang justru sengaja memasang gambar anak
sedang meminum segelas susu kental manis. Sehingga membuat konsumen percaya
bahwa susu kental manis bisa disajikan dengan cara tersebut.
Iklan-iklan dan cara marketing seperti ini nyatanya terbukti
cukup ampuh untuk menyihir masyarakat agar mau mengkonsumsi susu kental manis
tidak sesuai peruntukannya. Jika saja badan / lembaga pemerintah yang memiliki
kewenangan untuk melakukan filter
terhadap iklan-ikan yang tayang (tidak hanya dilihat dari konten SARA /
Pornografi dan Pornoaksinya saja, melainkan juga isi dari iklan tersebut),
tentu ribut-ribut seperti ini tidak perlu terjadi.
Kurang Maksimalnya
Peran Akademisi Dalam Mengedukasi Masyarakat
Kalau kita merunut siapa yang harus bertanggungjawab terhadap
fenomena susu kental manis ini, maka disana ada peran akademisi yang perlu
dipertanyakan perannya selama ini. Kita tidak bisa pungkiri bahwa akademisi
memiliki peran penting dalam control terhadap masyarakat, termasuk
makanan/minuman/produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai kelompok
masyarakat terdidik, akademisi memiliki kelebihan berupa keilmuan yang mumpuni
dan sumber daya – sumber daya yang lain yang bisa menunjang aktifitas control
tersebut.
Sebagai contoh adalah akademisi di bidang gizi. Di
Indonesia, terdapat 45 perguruan tinggi yang membuka program D3 Gizi, 20
Perguruan Tinggi untuk D4 Gizi, dan 45 Perguruan Tinggi yang membuka S1 Gizi. Jika
saja setiap tahun ada 100 ahli gizi yang diwisuda, artinya ada 11.000 ahli gizi
yang lulus tiap tahunnya. Itu baru akademisi yang bidang ilmunya spesifik dalam
hal gizi. Ini belum termasuk akademisi / ahli dari bidang lain seperti dokter,
bidan, dan ahli kesehatan masyarakat lainnya yang masih relevan dalam
mengedukasi masyarakat dalam hal kegizian. Tentunya ini hanya sebagai contoh
kalkulasi kasar semata. Tugas edukasi adalah tugas semua akademisi dengan tidak
membatasi bidang ilmunya secara spesifik. Namun tetap memperhatikan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Jika saja semua sumber daya akademisi yang disebutkan
tadi dimaksimalkan dalam hal edukasi soal nilai gizi, tentu akan menjadi
gerakan yang luar biasa. Dampaknya akan meningkatkan tingkat pengetahuan
masyarakat terhadap isu-isu penting seperti kandungan nilai gizi dalam susu
kental manis. Namun faktanya, para lulusan perguruan tinggi justru asik dengan
dirinya sendiri. Tidak ada semacam pertanggungjawaban moral terhadap keilmuan
yang ia dapatkan untuk kemaslahatan masyarakat. Kalaupun ada, hanya segelintir
saja. Tidak banyak.
Pernah satu waktu teman saya menanyakan kepada salah
seorang warga mengapa ia memberikan susu kental manis untuk konsumsi anaknya
yang masih balita. Padahal teman saya tersebut sudah mencoba menginformasikan
tentang fungsi susu kental manis yang sebenarnya. Apa jawaban si warga
tersebut? “Bu Bidannya saja mengizinkan
kok”. Sungguh jawaban yang membuat kita terbelalak antara miris dan
khawatir.
Dari cerita teman saya tersebut, kita bisa paham bahwa
ternyata masyarakat sangat percaya apa yang disebutkan dan diucapkan oleh
tenaga kesehatan / orang berpendidikan. Namun nyatanya justru si tenaga
kesehatan tersebut entah tidak tahu atau justru malas mencari tahu dan
mengedukasi masyarakatnya tentang kandungan gizi susu kental manis yang
sebenarnya tidak cocok untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Masih ada banyak
cerita-cerita lain sebenarnya yang bisa menjadi justifikasi bahwa peran
akademisi, tenaga kesehatan, dan orang-orang terdidik lainnya belum
memaksimalkan perannya dalam hal edukasi kesehatan masyarakat.
***
Lantas apakah dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh
BPOM saat ini sudah efektif dan tepat untuk mengatasi hal ini? Jawabannya bisa
iya, bisa juga tidak. Yang perlu menjadi perhatian adalah susu kental manis
sudah terlanjur terstigma oleh masyarakat sebagai susu yang bisa rutin diminum
harian dan mengandung kandungan gizi seperti susu. Dan ini sudah berlangsung
puluhan tahun. Tentu akan menjadi PR besar untuk merubah stigma tersebut.
Satu hal mendasar yang perlu dan harus segera
dilakukan oleh semua pihak adalah membentuk masyarakat yang memiliki tingkat
literasi lebih tinggi dengan cara memberikan edukasi. Jika ini bisa dilakukan,
maka kelak akan terbentuk masyarakat yang cerdas terhadap pemilihan
produk-produk makanan/minuman, apapun bentuknya. Sehingga mau bagaimanapun
bentuk iklan produknya, masyarakat tidak akan terlalu terpengaruh dan lebih
serius memperhatikan soal nilai gizinya.
Beberapa
waktu terakhir, saya disibukkan dengan project dari Professor saya yang
bersumber dari ITRI, sebuah lembaga riset plat merah Taiwan. Mereka ingin
mengadakan semacam riset pasar sekaligus pembuatan SOP untuk produk-produk
halal segar, seperti daging mentah atau produk olahan daging. Ini bukan tanpa
alasan, karena sejak Presiden Tsai Ing Wen mencanangkan kebijakan barunya
"New Southbound Policy", isu tentang halal semakin seksi di Taiwan. Ini karena dengan
kebijakannya yang fokus ke negara-negara di Asia Selatan, salah satunya adalah
Indonesia, maka kerjasama di berbagai bidang akan semakin kuat yang salah
satunya adalah ekonomi, ketenagakerjaan, pariwisata dan pendidikan. Menurut
catatan imigrasi Taiwan, terdapat kurang lebih 250 an ribu orang Indonesia yang
bermukim dan bekerja serta belajar di Taiwan. Dan mayoritas adalah muslim.
Karena
project ini juga, pada akhirnya saya harus berkeliling ke beberapa kota di
Taiwan untuk mencari suplier daging halal dan toko/supermarket lokal di Taiwan
untuk diajak bekerjasama menggarap project riset 3 bulan ini. Tulisan ini tidak
akan mengupas tentang project ini, melainkan ingin berbagi cerita hikmah yang
saya dapat ketika bertemu dengan para pelaku ekonomi dan bisnis makanan halal
di Taiwan.
Taiwan Yang Islamophobia?
Saya
bermukim di Taiwan sudah lebih dari 3 tahun sejak 2013. Lingkungan pergaulan
saya adalah kampus dan lingkungan sekitar kampus. Namun saya agak terkejut saat
mendatangi dan menawarkan kepada beberapa pemilik toko / supermarket local
tidak jauh dari tempat tinggal saya yang menolak untuk bekerjasama menjual
daging halal.
Saat
saya tanyakan alasan mengapa mereka menolak, mereka tidak mau menjelaskannya. Oh iya, saya mengajak kolega saya di
kampus yang orang Taiwan tentunya untuk menjadi penerjemah saya. Saya agak bingung dengan penolakan ini,
karena di toko mereka sendiri mereka menjual daging sapi dan babi. Tapi
anehnya, saat kami menjelaskan bahwa ini adalah daging sapi halal, yang artinya
disembelih dengan cara Islam, mereka tiba-tiba menolak.
Contoh daging halal yang sudah dikemas dan siap diedarkan/dijual (Photo : Dokumen Pribadi)
Berselang
sehari, kolega saya menceritakan bahwa sesampainya dia dirumah setelah
mengunjungi toko tersebut, dia menanyakan kepada orangtuanya. Sebagai orang
Taiwan, apakah mereka mempermasalahkan atau tidak, jika ada produk daging dengan
label halal yang notabenenya produk yang bisa dikonsumsi oleh muslim? Dan
orangtuanya menjawab tidak masalah. Selama itu layak dikonsumsi dan aman, bagi
orangtuanya ada atau tidak ada label halal itu tidak menjadi soal.
Ia
melanjutkan ceritanya, ternyata kadangkala ada orang Taiwan (tua) yang sengaja
tidak mau menjual produk yang berbau agama tertentu karena takut dicap negatif
oleh pelanggannya. Saya cukup terhentak mendengarkan penjelasannya dia yang
ini. Masih menurut dia, saat si pemilik toko menjual daging halal yang
notabenenya untuk muslim, para pelanggan akan mencibirnya karena menjual
sesuatu dikarenakan agama. Alhasil, para pelanggannya jadi emoh untuk berbelanja di toko tersebut. Ini yang tidak diinginkan
oleh si pemilik toko tersebut.
Cerita
ini cukup kontras menurut saya terhadap kesan yang saya dapat selama tinggal di
Taiwan sejak 2013. Dalam pandangan saya, Taiwan adalah negara terbuka yang
sangat toleran terhadap semua agama. Bahkan agama benar-benar dipisahkan dari
urusan public dan menjadi domain
pribadi masing-masing. Bisa jadi, yang terjadi kemarin ini adalah special case yang kebetulan saya jumpai.
Saat
saya sampaikan cerita ini kepada professor, dia cukup terkejut. Dia bahkan
meminta saya untuk membawanya menemui si pemilik toko tersebut. Tapi urung
dilakukan, karena masih banyak hal lain yang perlu kami selesaikan daripada
hanya menanyakan soal ini kepadanya. Entahlah,
mungkin benar ini hanya cerita segelintir orang saja. Yang jelas, bagi saya
Taiwan adalah tempat yang nyaman untuk semua agama, tak terkecuali Islam yang
angka pertumbuhannya semakin menggembirakan tiap tahunnya.
Luruskan Niatmu, Maka Allah Akan
Memudahkan Urusanmu
Saya
menemui beberapa orang dalam kurun waktu 2 minggu terakhir ini. Salah satunya
adalah pemilik salah satu penjualan daging halal terbesar di Taiwan. Ia adalah
seorang muallaf yang memulai usaha pemotongan dan penjualan daging halal di
Taiwan sejak tahun 2015. Sejak menjadi muallaf, ia langsung jatuh cinta
terhadap makanan halal. Baginya halal adalah bukan sekedar syarat, melainkan
sebuah gaya hidup. Ada kebaikan di setiap makanan halal yang dikonsumsi.
Berangkat
dari kecintaannya terhadap makanan halal serta semangatnya untuk mengenalkan
makanan halal, terutama daging halal di Taiwan, ia membuka usaha pemotongan dan
penjualan daging halal di Taiwan. Ia tidak menjadikan keuntungan materi sebagai
tujuan utama. Ia hanya ingin menularkan semangat dan kecintaannya pada makanan
halal kepada masyarakat Taiwan yang masih asing dengan konsep halal dalam
Islam.
“Saya
hanya ingin mendapat ridho-Nya, karena sebagai muslim kita memiliki kewajiban untuk
mendakwah Islam, tak terbatas kepada kalangan muslim saja, juga kepada non
muslim, karena Islam turun membawa rahmat serta semangat yang universal”,
ucapnya pada saya.
Baginya
konsep dalam Islam adalah konsep final terbaik bagi umat Islam. Sedikit
menyitir ayat dalam Alquran, bahwa Islam itu diturunkan bukan hanya untuk
kalangan tertentu saja, melainkan untuk semua manusia di dunia.
Proses pengolahan daging halal untuk menjadi produk olahan seperti bakso (Photo : Dokumen Pribadi)
Bisa
jadi Islam secara agama (formal) tidak bisa dipeluk oleh semua manusia yang ada
di dunia, namun Islam secara ajaran bisa menjadi cara hidup bagi semua umat
manusia. Dan halal adalah salah satu ajaran Islam yang bisa menjadi cara hidup
universal, tidak terbatas oleh agama yang dipeluk.
Di
poin inilah, pemilik toko ini meluruskan niatnya agar semata-mata apa yang ia
lakukan saat ini adalah karena Allah. Dan ternyata Allah melunasi janji-Nya.
Dulu, tokonya hanya berukuran beberapa petak saja. Kini dalam kurun waktu 3
tahun saja, ia sudah bisa membuka toko yang cukup besar serta [akan] memiliki
cabang dan Gudang penyimpanan khusus di kota lainnya. Ia juga kini menjadi
salah satu pemasok utama untuk bahan makanan halal ke hotel-hotel di Taiwan.
Berniaga dan Berdakwah
Di
hari yang lain, saya bertemu dengan salah satu pemilik restoran halal yang
cukup besar di kotanya. Ia menceritakan bahwa awalnya ia seperti restoran
lainnya. Ia tidak mengenal konsep halal-haram, walaupun ia adalah seorang
muslim sejak lahir. Baginya haram itu adalah babi, anjing, alcohol dan
sejenisnya. Dan halal itu adalah ayam, sapi, dan kambing. Ia tidak begitu
memahami tentang kehalalan sebuah proses. Ia pun membeli daging-daging untuk
restorannya di pasar Taiwan. Baginya asal daging itu bukan daging yang
diharamkan, terlepas dari disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak, dia
tahunya itu bisa dimakan. Sampai satu waktu Allah mempertemukannya dengan
seorang Muslimah berhijab dari Indonesia.
Ia
datang ke restoran tersebut untuk makan siang. Saat akan mengambil lauk daging,
urung ia lakukan. Ia pun bertanya kepada si pemilik restoran tersebut tentang
status kehalalan daging yang ia jual sebagai lauk.
“Apa
maksud njenengan dengan dagingnya
halal atau haram? Saya rasa ini halal, karena ini adalah daging sapi dan ayam.
Bukan daging babi, celeng, atau sejenisnya”
“Maksud
pertanyaan saya adalah apakah daging ini disembelih dengan mengucap nama Allah ataukah
beli di pasar disini?”
“Saya
belinya dagingnya di pasar”
“Oh
begitu. Baik bu, terimakasih. Saya makan nasi dan sayur saja kalua begitu”
Sejak
kejadian hari itu, si pemilik restoran seperti disadarkan dari kealpaannya terhadap kehalalan proses
sebuah makanan. Halal bukan saja dari kandungannya, melainkan juga cara
memperolehnya, dan cara memprosesnya. Ini menjadi suatu keharusan untuk memastikan
bahwa makanan yang disajikan tidak hanya halal, melainkan juga thoyyib.
Ia
bertanya kepada ustadz-ustadz Indonesia
yang bermukim di Taiwan. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berhenti
berjualan lauk daging yang dibelinya dari pasar. Ia pun memantapkan diri bahwa ia
harus merubah cara berniaganya. Ia tidak mau menjadi penyebab orang berdosa
karena mengkonsumsi makanannya.
Walaupun
kini ia harus membeli daging halal yang sedikit lebih mahal dari daging yang
dijual dipasaran, baginya itu tidak menjadi masalah. Ia meluruskan niatkan agar
niaga yang dilakukannya bisa dihitung menjadi jalan dakwah baginya. Ia sadar
bahwa ia belum sempurna dalam mengamalkan ajaran Islam, namun ia percaya bahwa
pengamalan Islam bisa dilakukan dalam rutinitas kesehariannya, dan apa yang ia
lakukan dengan dakwah niaganya ini, diharapkan mampu menjadi pemberat amalnya
kelak.
Dan
sungguh Allah menepati janji-Nya kepada manusia yang senantiasa beriman dan
bertakwa kepada-Nya. Dulu ia hanya memiliki toko kecil berukuran 4 x 6 meter. Kini
setelah ia memulai menjual makanan halal, rezekinya seolah tidak terputus. Ia
kini menempati sebuah ruko 2 lantai berukuran besar yang didesainnya sebagai
sebuah restoran. Tiap minggu, ada ratusan pengunjung memadati restorannya,
sampai-sampai mereka harus antri untuk makan disana.
Kini,
setelah semua kejadian yang dilaluinya, mata hatinya semakin terbuka bahwa
tantangannya kedepan adalan bukan menjadikan orang non muslim menjadi muslim
saja secara status keagamaan, namun yang paling penting adalah mengenalkan
nilai-nilai keislaman yang sesungguhnya universal bagi semua pemeluk agama. Nilai-nilai
ini dimaknai sebagai bentuk cara hidup yang paripurna yang menjadikan manusia
sebagai manusia seutuhnya.
***
Halal
ternyata masih dimaknai dengan sangat sederhana sekali bagi sebagian kalangan. Asalkan
bukan babi, anjing, atau alcohol, maka itu artinya halal. Padahal jika dimaknai
secara lebih luas, halal itu sendiri merupakan sebuah cara hidup paripurna
seorang muslim. Halal itu erat kaitannya dengan sifat seorang manusia. Kehalalan
bukan sekedar susunan kimia sebuah makanan, melainkan juga sebuah pesan social tentang
bagaimana manusia harus memperlakukan manusian dan makhluk hidup lainnya. Semoga
kita bisa istiqomah menjadikan Islam
dan nilai-nilai Islam sebagai cara hidup kita [dimanapun berada] sebagai bentuk
ketaatan kita pada Sang Pencipta.
Musim
piala dunia 2018 telah dimulai semingguan yang lalu tepat saat muslim di dunia
mengakhiri Ramadhan dan menyambut takbir idul fitri. Ada semacam wabah khusus yang menjangkiti para pecinta
olahraga sepak bola, bahkan yang tidak menyukai sepak bola pun ikut-ikutan kena wabah ini. Wabah yang
hanya terjadi 4 tahun sekali dan menjadi salah satu perhelatan olahraga
terbesar yang pernah ada dan selalu dinanti.
Di
Indonesia (bahkan di berbagai negara), lazim diadakan nobar (nonton bareng) piala dunia yang biasanya diadakan di balai
desa (saat masih jarang yang punya tv), pos ronda, warung kopi, hingga kafe-kafe
yang banyak menjamur di perkotaan. Nobar ini semacam menjadi temporary trend selama piala dunia
berlangsung. Para penonton hanya cukup membeli kopi atau hidangan menu yang ada
di tempat lalu setelahnya mereka bisa ikutan nonton. Tak jarang, ada juga yang
sampai memasang tarif masuk nobar (biasanya ada di café-café besar).
Masyarakat yang sedang nonton bareng (Sumber : Merdeka dot com)
Ruang-ruang
public yang selalu ramai saat musim piala dunia seperti ini menjadi wadah baru
untuk bersosialisasi, bertukar pengalaman, informasi, hingga ajang jual beli
merchandise. Bahkan ruang-ruang public ini tak jarang dijadikan arena diskusi
yang seru antar penggila bola. Saat nonton
bareng, mereka yang hadir tak jarang mengeluarkan celotehan-celotehan komentar,
pujian, bahkan makian saat ada pelanggaran atau gagal memasukkan bola ke
gawang. Semua terangkai seru dalam sebuah ruang public bernama nonton bareng. Namun
ruang ini agaknya mulai bergeser disaat teknologi sudah semakin maju dan
memanjakan penggunanya.
STREAMING DAN CHANNEL TV YANG KAPITALIS
Sudah
menjadi kebiasaan bahwa siaran piala dunia adalah salah satu siaran termahal
yang pernah ada. Stasiun-stasiun TV berebut untuk memperoleh hak siar ini selama
penyelenggaraan. Mereka tak segan membayar dengan biaya yang kadang tak masuk
dalam nalar logika masyarakat awam. Namun dibalik itu semua, sesungguhnya ini
adalah cara lain untuk menambang rupiah melalui iklan di acara 4 tahunan. Mereka
mematok tarif mahal untuk para pengiklan selama pertandingan.
Dampaknya
adalah siaran tv khusus acara piala dunia melalui parabola tidak bisa tayang. Hanya
bisa ditayangkan di jaringan manual / antenna biasa. Padahal tayangan tv melalui
antenna biasa terkadang tidak jernih dan banyak semutnya. Tak jarang yang hanya
Nampak bayangannya saja. Apalagi bagi mereka yang tinggal jauh / terhalang alam
dari stasiun pemancar tv di daerah. Parabola adalah solusi agar mereka tetap
bisa menyaksikan siaran tv. Namun saat seperti ini, maka hanya berita saja yang
bisa mereka saksikan beberapa jam setelah pertandingan berlangsung.
Bagi
para pengusaha warung kopi, café, tempat nongkrong, dengan adanya pembatasan
ini alhasil pilihan mereka adalah menggunakan tv kabel berbayar lebih atau
memanfaatkan tv streaming dari luar negeri. Dengan TV kabel, otomatis
pengeluaran café/warung kopi/tempat nongkrong tersebut akan bertambah. Sehingga
wajar jika mereka mematok tarif masuk, tak sekedar mensyaratkan membeli menu yang
mereka sajikan (yang tak jarang juga harga menunya bisa dikatakan cukup mahal)
Bagi
yang sudah bekerja atau memiliki kemampuan finansial, ini tidak menjadi
masalah. Namun bagi yang pas-pasan
tentu ini akan menyulitkan untuk sekedar menyaksikan hiburan piala dunia ini. Sehingga
kini seiiring majunya teknologi dan semakin murahnya paket data yang ditawarkan
oleh provider-provider kartu GSM di Indonesia, tidak sedikit dari mereka yang
beralih untuk menonton pertandingan piala dunia melalui tv streaming di gadget mereka. Inilah yang kemudian
menjadikan ruang-ruang public yang dulunya rame dan berfungsi ganda, kini
menjadi sepi dan tidak sepopuler sebelumnya. Padahal ruang public ini bisa
menjadi fungsi social, salah satunya menghalau sifat eksklusifisme dan tidak
mau bersosialisasi.
MEDIA SOSIAL DAN ARENA BERKOMENTAR
Sepak
bola tanpa komentar adalah ibarat sayur tanpa royco, kurang gurih. Komentar dalam sepak bola itu keluar secara
alami. Bahkan orang yang gak ngerti
sepakbola sekalipun bisa ikut-ikutan
komentar dan jadi komentator karbitan saat pertandingan piala dunia. Saat tim jagoannya
kalah, tidak sedikit yang berkomentar ala
bekas pemain professional, yang bilang “seharusnya dia itu jadi penyerang,
kenapa dipasang jadi kiper”.
Meme Nonton Bola yang sesungguhnya (Sumber : Istimewa)
Namun
lagi-lagi, dulu arena nobar yang selalu riuh rendah dengan komentar-komentar
para penontonnya, kini beralih ke media social, seperti facebook dan twitter. Di
twitterland, bisa jadi tiap gerakan pemain akan dikomentari dengan twit-twit
ala komentator terkenal. Bagi yang punya follower 3 digit dan aktif, mudah bagi
mereka untuk mendapatkan tanggapan dari penonton lain yang juga ikut berkomentar
di twitter. Bagi yang hanya punya 1 atau 2 digit follower, maka cuitan mereka
bagai monolog di atas panggung yang hanya berucap satu arah saja, tidak ada
yang menanggapi. Ini yang menjadikan media social semacam twitter berubah fungsi
menjadi ruang public baru bagi para penonton piala dunia.
Bahkan
bagi yang sedang nonton bareng sekalipun, komentar mereka yang dahulunya meramaikan,
sekarang sudah berpindah ke media-media social. Nonton bareng terasa jadi anyep tanpa bumbu komentar para
penontonnya. Mata mereka menyaksikan pertandingan di layer tv, fisik mereka ada
di lokasi nobar, namun pikiran dan mulut mereka ada di layar-layar HP dengan
media social yang siap menerima tarian jari mereka.
Belum
lagi bagi yang menyaksikan pertandingan piala dunia melalui tv streaming. Banyak
channel online yang menyediakan arena berkomentar melalui fasilitas live chat untuk menyemarakkan nonton via
streaming. Inilah realita yang saat ini terjadi bahwa ruang-ruang public untuk saling
berkomentar, berpendapat, dan menyampaikan gagasan/ide kita saat ini sudah
berpindah ke dunia maya yang kita kadang tidak tahu dengan siapa kita
berkomentar disana.
***
Realitas
kita saat ini adalah realitas semu dengan hadirnya media-media social. Dalam kajian
politik dan social, masyarakat kita saat ini sedang menuju pada apa yang
disebut post truth era, dimana info-info
dari media social menjadi input bagi cara berpikir masyarakat kita tanpa tahu apakah
info tersebut benar atau tidak.
Dalam
dunia per-nobaran, kita juga disuguhkan dengan realitas bahwa masyarakat kita
saat ini mulai berubah dengan menjadikan media social dan internet sebagai
ruang public baru yang menggantikan nobar yang sesungguhnya. Jikapun masih ada
yang hadir dalam nobar sebagai sebuah ruang public, realitas yang terjadi tidak
sama dengan yang dahulu, dimana fisik dan pikiran juga hadir disana. Ada dunia
lain yang mengiringi kehadiran mereka yang membuat perhatian mereka tak jarang
teralihkan saat pertandingan berlangsung.
Ini
tantangan kita Bersama untuk bagaimana menghadirkan ruang-ruang public yang
nyata yang bisa menjadi tempat berkumpul, bersosialisasi, syukur-syukur menjadi
arena bisnis, sehingga ruang public ini tidak sekedar menjadi fungsi hiburan,
tapi juga bisa menjadi fungsi social. Alangkah indahnya jika kita bisa menjadikan
piala dunia sebagai jembatan untuk kita semakin mengenal dan dikenal masyarakat
sekitar kita, bukan hanya sekedar untuk memuaskan hasrat nonton pribadi.