Gerakan kepanduan di Indonesia berkembang dengan dimensi historis dan aspirasi yang khas, seiring dengan perjalanan panjang bangsa ini dalam meraih kemerdekaan dan mendefinisikan identitasnya. Di tengah keberagaman ini, terdapat dua entitas yang menyita perhatian: Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan yang berakar dari pendidikan Muhammadiyah dan Gerakan Pramuka yang merupakan manifestasi kepanduan nasional. Penyelarasan antara kedua gerakan ini tidak hanya menyoal integrasi dalam ranah pendidikan, tetapi juga implikasi sosio-kultural dan simbolisme gerakan yang merentang dari masa lalu hingga masa depan bangsa Indonesia.
Gerakan kepanduan di Indonesia tidak terlepas dari semangat nation-building — pembangunan bangsa — yang telah menjadi poros sejarah bangsa ini. Berawal dari mimpi para pendiri bangsa dalam mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, dan memiliki identitas yang kuat, gerakan kepanduan dijadikan medium untuk menanamkan nilai-nilai patriotisme, kemandirian, serta kepribadian yang tangguh. Di sinilah Hizbul Wathan (HW) dan Pramuka, dua entitas kepanduan dengan roh yang sama namun manifestasi yang berbeda, berasal.
Dibentuk pada 1918 oleh KH Ahmad Dahlan, Hizbul Wathan adalah cerminan dari nilai-nilai Muhammadiyah yang mendukung pendidikan karakter melalui format kepanduan. HW memiliki kurikulum yang khusus dirancang untuk melahirkan generasi muda yang cakap, memiliki kecerdasan spiritual, serta komitmen terhadap keadilan sosial. Ini merupakan gabungan dari prinsip kepanduan tradisional dengan nilai-nilai Islam yang moderat.
Sedangkan terbentuknya Gerakan Pramuka di tahun 1961 mencerminkan kebutuhan Indonesia dalam menyediakan wadah yang uniform dan integratif yang mengakomodasi aspirasi kepanduan dari berbagai elemen bangsa. Menjadi bagian dari kurikulum pendidikan nasional, Pramuka tidak hanya menjadi wadah bagi pemuda untuk mengasah keterampilan dan kepemimpinan tetapi juga menjadi simbol kesatuan di tengah keragaman Indonesia.
Pada tingkat implementasi, tantangan hadir ketika sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah dihadapkan pada peraturan yang mewajibkan peserta didik untuk mengikuti Gerakan Pramuka. Di satu sisi, ini menimbulkan dilema bagi identitas dan kemandirian HW. Di sisi lain, keharusan ini juga mengancam akan mengikis kekhasan yang menjadi ciri dari pendidikan Muhammadiyah. Soalnya, bagaimana caranya HW dapat berkembang sambil masih menjalankan fungsi dan tujuannya yang unik di dalam lingkungan yang menuntut konformitas?
***
Pentingnya identitas dan kekhasan dalam pendidikan Muhammadiyah melalui HW tidak bisa dipandang sebelah mata. Gerakan ini tidak hanya mendidik dengan kurikulum yang sesuai dengan ajaran Islam, namun juga memperkaya keragaman pendidikan kepanduan di Indonesia dengan perspektifnya yang unik. Namun, argumentasi akan kebutuhan integrasi dan uniformitas dalam Gerakan Pramuka juga berdasarkan pandangan bahwa ketika bangsa ini berupaya memperteguh pondasi kebangsaan, perbedaan harus bisa dikelola tanpa meniadakan kekhasan masing-masing entitas.
Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh oleh HW adalah mengejar pengakuan dan keanggotaan dalam aliansi kepanduan dunia seperti World Organization of the Scout Movement (WOSM). Langkah ini menuntun HW tidak hanya ke pentas internasional, tetapi juga menawarkan peluang kolaborasi dan pertukaran pengalaman yang berharga dengan gerakan kepanduan lain di dunia.
***
Memandang ke depan, memungkinkan HW dan Pramuka berjalan beriringan secara sinergis adalah pilihan yang bijaksana. Melakukan penyesuaian kebijakan untuk memperbolehkan siswa Muhammadiyah berpartisipasi aktif dalam HW, dengan tetap menjaga nilai-nilai yang Pramuka bawa sebagai gerakan kepanduan nasional, akan menjadi solusi yang inklusif. Dengan demikian, sinergi ini menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan kepanduan yang pluralistik namun tetap bersatu dalam semangat kebangsaan.
Kedua entitas kepanduan ini mempunyai akar yang mendalam dalam sejarah dan jati diri bangsa Indonesia. Baik Hizbul Wathan maupun Pramuka, keduanya berdiri di atas komitmen untuk menciptakan generasi muda yang dapat membentuk masa depan bangsa yang gemilang. Lebih dari sekedar wacana, integrasi HW dalam kancah kepanduan nasional dan internasional menyiratkan kebutuhan dialog terus-menerus antara tradisi dan modernitas, antara kekhasan dan integrasi, serta antara identitas Islam dan kebangsaan Indonesia. Sekali lagi, seperti halnya Indonesia dengan keberagaman sukunya, agama, dan budayanya, gerakan kepanduan Hizbul Wathan dan Pramuka dapat menjelma menjadi simbol harmoni dan kesatuan - seiring dan sejalan menuju masa depan.