Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Gerakan kepanduan di Indonesia berkembang dengan dimensi historis dan aspirasi yang khas, seiring dengan perjalanan panjang bangsa ini dalam meraih kemerdekaan dan mendefinisikan identitasnya. Di tengah keberagaman ini, terdapat dua entitas yang menyita perhatian: Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan yang berakar dari pendidikan Muhammadiyah dan Gerakan Pramuka yang merupakan manifestasi kepanduan nasional. Penyelarasan antara kedua gerakan ini tidak hanya menyoal integrasi dalam ranah pendidikan, tetapi juga implikasi sosio-kultural dan simbolisme gerakan yang merentang dari masa lalu hingga masa depan bangsa Indonesia.

Gerakan kepanduan di Indonesia tidak terlepas dari semangat nation-building — pembangunan bangsa — yang telah menjadi poros sejarah bangsa ini. Berawal dari mimpi para pendiri bangsa dalam mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, dan memiliki identitas yang kuat, gerakan kepanduan dijadikan medium untuk menanamkan nilai-nilai patriotisme, kemandirian, serta kepribadian yang tangguh. Di sinilah Hizbul Wathan (HW) dan Pramuka, dua entitas kepanduan dengan roh yang sama namun manifestasi yang berbeda, berasal.

Dibentuk pada 1918 oleh KH Ahmad Dahlan, Hizbul Wathan adalah cerminan dari nilai-nilai Muhammadiyah yang mendukung pendidikan karakter melalui format kepanduan. HW memiliki kurikulum yang khusus dirancang untuk melahirkan generasi muda yang cakap, memiliki kecerdasan spiritual, serta komitmen terhadap keadilan sosial. Ini merupakan gabungan dari prinsip kepanduan tradisional dengan nilai-nilai Islam yang moderat.

Ilustrasi anggota Pramuka dan Hizbul Wathan (Gambar : MTS N 2 Tegal / Instagram)

Sedangkan terbentuknya Gerakan Pramuka di tahun 1961 mencerminkan kebutuhan Indonesia dalam menyediakan wadah yang uniform dan integratif yang mengakomodasi aspirasi kepanduan dari berbagai elemen bangsa. Menjadi bagian dari kurikulum pendidikan nasional, Pramuka tidak hanya menjadi wadah bagi pemuda untuk mengasah keterampilan dan kepemimpinan tetapi juga menjadi simbol kesatuan di tengah keragaman Indonesia.

Pada tingkat implementasi, tantangan hadir ketika sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah dihadapkan pada peraturan yang mewajibkan peserta didik untuk mengikuti Gerakan Pramuka. Di satu sisi, ini menimbulkan dilema bagi identitas dan kemandirian HW. Di sisi lain, keharusan ini juga mengancam akan mengikis kekhasan yang menjadi ciri dari pendidikan Muhammadiyah. Soalnya, bagaimana caranya HW dapat berkembang sambil masih menjalankan fungsi dan tujuannya yang unik di dalam lingkungan yang menuntut konformitas?

***

Pentingnya identitas dan kekhasan dalam pendidikan Muhammadiyah melalui HW tidak bisa dipandang sebelah mata. Gerakan ini tidak hanya mendidik dengan kurikulum yang sesuai dengan ajaran Islam, namun juga memperkaya keragaman pendidikan kepanduan di Indonesia dengan perspektifnya yang unik. Namun, argumentasi akan kebutuhan integrasi dan uniformitas dalam Gerakan Pramuka juga berdasarkan pandangan bahwa ketika bangsa ini berupaya memperteguh pondasi kebangsaan, perbedaan harus bisa dikelola tanpa meniadakan kekhasan masing-masing entitas.

Salah satu langkah strategis yang dapat ditempuh oleh HW adalah mengejar pengakuan dan keanggotaan dalam aliansi kepanduan dunia seperti World Organization of the Scout Movement (WOSM). Langkah ini menuntun HW tidak hanya ke pentas internasional, tetapi juga menawarkan peluang kolaborasi dan pertukaran pengalaman yang berharga dengan gerakan kepanduan lain di dunia.

***

Memandang ke depan, memungkinkan HW dan Pramuka berjalan beriringan secara sinergis adalah pilihan yang bijaksana. Melakukan penyesuaian kebijakan untuk memperbolehkan siswa Muhammadiyah berpartisipasi aktif dalam HW, dengan tetap menjaga nilai-nilai yang Pramuka bawa sebagai gerakan kepanduan nasional, akan menjadi solusi yang inklusif. Dengan demikian, sinergi ini menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan kepanduan yang pluralistik namun tetap bersatu dalam semangat kebangsaan.

Kedua entitas kepanduan ini mempunyai akar yang mendalam dalam sejarah dan jati diri bangsa Indonesia. Baik Hizbul Wathan maupun Pramuka, keduanya berdiri di atas komitmen untuk menciptakan generasi muda yang dapat membentuk masa depan bangsa yang gemilang. Lebih dari sekedar wacana, integrasi HW dalam kancah kepanduan nasional dan internasional menyiratkan kebutuhan dialog terus-menerus antara tradisi dan modernitas, antara kekhasan dan integrasi, serta antara identitas Islam dan kebangsaan Indonesia. Sekali lagi, seperti halnya Indonesia dengan keberagaman sukunya, agama, dan budayanya, gerakan kepanduan Hizbul Wathan dan Pramuka dapat menjelma menjadi simbol harmoni dan kesatuan - seiring dan sejalan menuju masa depan.

Aha, Pemilu 2024! Mari kita duduk dengan secangkir kopi hangat, menghirup aroma pahit realitas politik kita – sebuah panggung wayang modern di mana para dalang media sosial menggerakkan para wayangnya dengan cekatan. Jangan salah paham, wayang di sini bukan makhluk tanpa nyawa, melainkan berwujud calon pemimpin masa depan, diwarnai filter Valencia dan #KitaSemuaBersaudara.

Ini kisah tentang para "medsos darling" - para penguasa timeline, jawara retweets, dan sang raja/ ratu story Instagram, serta juragan FYP. Mereka ini, ooh, berkilau bagai permata di kerajaan maya, tapi ternyata bagai kunang-kunang di padang pemilu. Kini kita tahu, ledakan notifikasi tak sekuat dentuman suara di bilik suara.

Ilustrasi Viral (Gambar : Istimewa)

Popularitas semu di media sosial, bagai angin lalu, tak terasa tapi nampak – nampak nampak saja, ya itu-itu saja. Sementara realitas pemilu ibarat pohon jati kokoh di hutan demokrasi, tak goyang oleh komentar pedas maupun like seribu kali. Pohon jati tak ubahnya suara-suara pemilih di bilik suara yang memilih dengan tegas, entah itu berdasarkan apa yang mereka rasakan dari perut yang keroncongan atau kepala yang meraung-raung ingin perubahan.

Mari kita bicara soal jumlah suara – oh, jumlah suara! Ironis, bukan, ketika "follower" jutaan tapi "voter" hanya seribu? Saksi kita bagaimana banyak "medsos darling" berguguran, layaknya daun-daun gugur diterpa angin pilkada. Mereka yang "viral" tak selalu "vital" bagi pemilih, dan algoritma yang membawa mereka ke puncak "trending" tak dapat membawa mereka ke puncak kekuasaan.

Dan apa pesan moral yang kita petik dari kekalahan dramatis tersebut? Ah, sungguh pesan moral yang klasik: bermedsos sewajarnya. Kiranya, bagaikan mengonsumsi junk food, nyaman di lidah namun risiko di akhir. Naiklah dari singgasana maya itu, rajalah persinggungan nyata. Banyakin turun ke bawah, sapa warga dengan senyum dan, ya kalau bisa, sembako.

Wahai sembako! Betapa dahsyatnya daya pikatmu dalam panggung politik kita. Barangkali lebih mudah menjadi influencer ketimbang memberi pengaruh politik. Di dunia maya, cukup tagar dan hastag, sedangkan di dunia nyata, ya tagih dan catat kebutuhan rakyat.

Pada akhirnya, dalam pertarungan realitas dan virtualitas ini, yang nyata kerap lebih memikat. Masyarakat kita, meski terus bergerak menuju 'well-educated', masih butuh solusi nyata akan problem kronis yang dihadapi: "Mau makan apa hari ini?" Pertanyaan sederhana yang membutuhkan jawaban praktis, bukan berupa grafik statistik pertumbuhan ekonomi di layar ponsel.

Masyarakat memilih mereka yang mengetuk pintu bukan hanya dengan janji, tapi juga dengan nasi kotak yang bisa langsung dipegang, dihadiahkan kaos yang bisa langsung dipakai, dan amplop transportasi yang bisa langsung ditukar. Di sinilah konsep idealisme dan pragmatisme beradu judi- kali ini pragmatisme memenangkan pot besar.

Semalam, saya diskusi panjang dengan seorang sahabat sambil mengeluhkan kenapa gelas sudah kosong dan malam sudah terlalu jauh berjalan, sahabat saya yang sedang mendalami teori ekonomi di negeri orang menegaskan: konsep dan gagasan indah memang layak diperjuangkan. Namun, apa artinya bagi mereka yang perutnya berbunyi lebih keras daripada manifesto politik yang mengudara?

Pada akhirnya, Pemilu 2024 mengajarkan bahwa politik media sosial itu layaknya kapal pesiar mewah yang mengarungi lautan maya: penuh gemerlap dan hingar-bingar, tapi tak selalu sampai ke dermaga kemenangan saat badai kenyataan masyarakat menghadang. Barangkali perlu ditambahkan ke dalam manifestonya, bukan hanya tentang infrastruktur digital, tapi juga tentang dapur rakyat yang harap-harap cemas ingin tetap berasap. 

Kiranya tak berlebihan jika dikatakan: dalam politik, 'likes' Anda tak begitu berarti tanpa 'love' dari rakyat yang sebenarnya. Tapi ingat, kasih sayang rakyat tidak bisa dibeli dengan sembako, hanya bisa dimenangkan dengan hati yang melayani. Selamat datang di demokrasi, selamat tinggal di media sosial, selamat berjuang di lapangan nyata!

Dalam lentera keilmuan, berbicara mengenai 'professor' adalah merunut benang merah antara tradisi akademis dan gelar penghormatan. Seiring dendang waktu, debat tentang status 'professor' sebagai jabatan atau gelar terus bergema—sebuah polemik yang merayap dalam bilik-bilik pendidikan tinggi hingga ke ruang publik yang luas.

Pada episentrum diskursus ini, terdapat pertanyaan fundamental yang seringkali terabaikan: "Apa sejatinya esensi dari seorang professor?" Di sinilah pemikiran filosofis berperan, menjamah hakikat yang tersembunyi di balik tabir terminologi.

Gelar professor, bila ditelisik sejarahnya, adalah amanat yang berurat akar pada tradisi akademik. Di zaman Yunani kuno, titel seperti 'Sophist' atau 'Filsuf' dikenakan kepada para pemikir ulung. Tidak sekedar penganugerahan, gelar tersebut adalah pengesahan atas pencapaian intelektual dan sumbangsih nyata bagi kebenaran ilmiah. Di zaman modern, jabatan professor memberi reverb sama: pengakuan institusi atas kejeniusan dan dedikasi untuk pembelajaran serta penelitian. 

Tapi, apakah gelar ini menanda "kejuangan" aktif belaka? Jabatan professorial dianggap sebagai puncak dari sebuah karir akademik, manifestasi dari ekspertise, komitmen, dan sumbangsih signifikan terhadap bidang tertentu. Status ini, secara eksplisit maupun implisit, mengimplikasikan tanggung jawab untuk mengajar, membimbing, dan meneruskan obor keilmuan.

Ilustrasi (Gambar : Medium / Istimewa)

Secara yuridis, dalam koridor pendidikan, professor adalah jabatan yang dijunjung oleh struktur akademik universitas. Menurut lurusnya hukum yang berlaku, jabatan professor diinstitusikan melalui proses penilaian ketat dan kriteria objektif yang mengukuhkan otoritas akademis seseorang. Ini adalah sebuah mandat profesional yang terkandung dalam kontrak kerja dan aturan organisasional—satunya yang dalam argumentasi hukum, terlepas dari seremonial penamaan, akan berakhir ketika seseorang pensiun atau keluar dari dunia akademis. Laksana daun yang gugur ketika masanya tiba, demikianlah jabatan professor menurut baku hukum.

Namun, filosofi pendidikan mengajukan perdebatan lain. Ilmu tidak dapat dipenjara dalam definisi yang rigid. Bila sains dan seni mengalir seperti air, menghanyutkan segala batas yang dicipta manusia, dapatkah kita mengkotak-kotakkan 'professor' sebagai pemegang jabatan sementara saja? Dalam kontemplasi filosofis, gelar professor tidak sekadar pekerjaan; itu adalah panggilan, sebuah identitas yang melekat dalam eksistensi intelektual seseorang.

Sesungguhnya, ilmu pengetahuan adalah perjalanan yang tidak mengenal finish. Maka, professor bukan cuma papan nama di pintu kantor atau sebuah jabatan yang dilepas di hari pensiun. Gelar professor adalah diorama kekekalan, pengakuan abadi terhadap kontribusi seseorang pada kanvas pengetahuan manusia. Seperti karya besar Plato atau Newton yang terus mengajar kita melampaui kematian merek, pengaruh seorang professor sejati berlipat ganda jauh melebihi masa jabatannya.

Di sisi yang berseberangan, menganjurkan pembersihan gelar di masa pensiun terkesan pragmatis, mencerminkan dunia yang begitu terpaku pada struktur dan aturan yang dibuat-buat. Bertutur dalam bahasa hukum, jabatan memang beralih, namun argumen ini tidak mempertimbangkan esensi sebenarnya dari pengetahuan yang tak berkesudahan—karena alam pikiran tidak mengenal batas administratif.

Professor Kehormatan: Apresiasi atau Apropriasi?

Lantas, bagaimanakah dengan gelar 'professor kehormatan' yang sering dihadiahkan kepada politisi atau kepala daerah? Di sini, pemberian gelar professor terasa dilematis; sebuah dilema antara ikonifikasikan pujian atas prestasi eksternal dan pengurangan makna akademisi sesungguhnya. Pemberian ini sering kali dipandang sebagai gestur simbolis atau politis, bukan refleksi sejati dari dedikasi akademik atau pencapaian intelektual yang mendalam.

Dunia pendidikan tinggi harus berani menegur penggunaan gelar ini ketika dilakukan dengan ringan tanpa pertimbangan yang sesuai. Gelar akademik—professor termasuk—harus selalu respek terhadap pengetahuan dan dedikasi ilmiah yang ia wakili. Penanaman gelar ini pada mereka yang tak berkontribusi langsung kepada ranah akademis berisiko mendangkal maknanya, serta mereduksi rasa hormat terhadap dunia pengajaran dan penelitian.

***

Menyebut professor sebagai 'gelar' atau 'jabatan' menjadi perdebatan yang lebih dari sekadar semantik. Di tingkat yang paling dasar, adalah netra kepada realitas pendidikan bahwa "professor" adalah cap yang sekaligus tanggung jawab dan penghormatan.

Menggantungkan status professor pada jabatan belaka adalah tindakan yang mengabaikan substansi ilmiah yang sesungguhnya. Di sisi lain, memberikan gelar professor secara sembarangan kepada mereka yang tidak merintis di kebun akademis adalah penodaan terhadap kehormatan intelektual. Kontroversi ini, di akhirnya, harus membuahkan refleksi bagi sistem pendidikan—untuk mempertegas haluan kita dalam melauti dunia ilmu, memastikan agar keduanya—gelar dan jabatan—tetap terjaga dalam spirit pengetahuan yang asli dan abadi.

Sehingga, ketika kita berbicara 'professor', kita tidak sekadar mengucapkan rangkaian huruf, melainkan kita menumbuhkan kembali penghargaan kepada mereka yang telah menanam pohon keilmuan di plot tanah yang kita tempuh secara bersama—baik sebagai profesi maupun pencapaian hidup. Saat dunia mendeburkan ombak perubahan, ayo kita jaga esa esensi professor sebagai kedua-duanya: jenjang jabatan yang bisa lenyap, dan gelar yang ia simpan dalam keabadian sumbangsih intelektual.

Dalam epik kehidupan bernegara yang penuh dengan set, props, dan para aktor pembuat kebijakan yang berkiprah di panggung politik yang kadang lebih melodramatis daripada sinetron-sinetron di jam 7 malam, terdapat satu tokoh yang kerap luput dari sorotan, padahal, kehadirannya bagaikan penjaga gawang dalam pertandingan sepak bola.

Dialah Hansip atau yang saat ini lebih chic dengan julukan Linmas, yang bukan sekadar penjaga malam tapi juga penguasa 8 elemen dunia, yang terlupakan dalam serbuan berita-berita superhero yang menghiasi layar kaca.

Barisan Hansip / Linmas (Gambar : Merdeka.com/Istimewa)

Elemen-elemen yang dipegangnya bukanlah sembarang elemen. Jika Avatar Aang hanya menguasai air, tanah, udara, dan api, Hansip di sisi lain, menguasai elemen-elemen yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti: elemen gosip, parkir hajatan, pengumuman desa, keamanan ronda, tata tertib, gotong royong, silaturahmi, dan yang paling sering terjadi, elemen penertiban hewan liar.

Di garis terdepan, antara kita – warga yang tidur pulas sambil ngiler – dan potensi kerusuhan malam hari yang bisa datang dari aspek manapun, hansip menjaga. Tengah malam, sambil menyeruput kopi yang pahitnya menandingi pahitnya kenyataan bahwa tidak semua orang sadar akan jasa-jasa mereka, hansip berkeliling, berpadu dengan jangkrik yang berkicau, memastikan ketertiban dan keamanan desa layaknya Captain America minus tameng dan otot kekar.

Sebagian besar masyarakat mungkin beranggapan tugas hansip hanya berlimitasi pada jaga ronda dan jaga TPS saat pemilu. "Oh, itu yang menghitung suara kan?" tanya auntie di warung soto dengan senyum ramah tapi clueless. Namun, jika Anda pikir mereka hanya itulah pekerjaannya, Anda sama kelirunya dengan orang yang percaya bahwa kerja DPR hanya sidang paripurna. 

Memang, di sela kehidupan mereka yang pada dasarnya adalah Avengers lokal minus gaji milyaran dan endorsement, hansip juga menjadi penjaga terpercaya di hajatan-hajatan warga. Siapapun pasti pernah melihat pakde-pakde berbaret ini mengatur parkir dengan whistle yang bertalu-talu layaknya simfoni Beethoven, melambai tangan sambil mengarahkan mobil ke lahan kosong, dan mungkin jika kita beruntung, dengan sekali sapa bisa membuat kantong parkir kita aman dari 'sumbangan' sukarela.

Tapi siapa sangka bahwa di balik seragam loreng dan baret yang kesannya hanya untuk keperluan hajatan itu, hansip adalah bagian resmi dari sistem pertahanan negara. Bukan tokoh komik, bukan figuran dalam film laga, melainkan bagian dari skema pertahanan yang dirancang oleh negara ini. Dalam kegelapan malam, dalam diamnya jalan-jalan desa, hansip adalah pilar pertahanan: silent but deadly, bisa juga diartikan bagaikan silent killer di game Mobile Legends, yang kerap tidak terlihat namun mendominasi permainan.

Dilatih oleh bukan sembarang institusi, tapi oleh TNI-Polri sendiri, para hansip ini diberikan seragam yang lebih dari sekadar kostum Halloween. Mereka dilengkapi dengan keterampilan penanganan konflik paling dasar, pembinaan mental patriotik, dan kemungkinan juga tips tentang bagaimana menangani ibu-ibu yang kekeuh tidak ingin mobilnya diparkir terlalu jauh dari lokasi resepsi.

Dan, oh, tidak semua hansip melakoni tugasnya dengan kerelaan hati belaka. Di beberapa daerah, mereka mendapatkan apa yang dinamakan gaji. Jangan bayangkan langsung melimpah ruah ya, akan tetapi bayaran tersebut adalah bentuk penghargaan atas dedikasi mereka yang juga harus membayar cicilan motor dan menaruh beras dalam rice cooker di rumah.

Namun, sekali dalam lima tahun, saat pemilu usai dan kotak suara telah disimpan, gemuruh kekaguman masyarakat terhadap para hansip mendadak bergaung. "Para hansip kerjanya totalitas!" tulis warganet di media sosial sambil membagikan foto-foto hansip yang setia di TPS dari subuh hingga malam. Tiba-tiba, mereka yang biasanya hanya dianggap figur latar belakang, menjadi bintang horor yang mendadak dibutuhkan ketika kita sadar ada kehadiran asing di lorong-lorong kesunyian.

Dalam drama kehidupan nasional yang kadang-kadang absurd ini, hansip memang mungkin tidak se-flashy ormas yang hobi 'petentang-petenteng' dengan loreng-lorerengan dan sepatu boots yang bikin 'klik-klok' di jalanan. Hansip mungkin tidak akan menampilkan kekerenan dengan marching band dan atraksi gimnastik silat. Tidak, mereka lebih kepada jenis pahlawan yang tidak perlu semua itu. Mereka bekerja di belakang layar, tiba-tiba muncul saat Anda benar-benar membutuhkan seseorang untuk memeluk Anda dan mengatakan, "Tenang, pakde sudah ada di sini."

Namun, disayangkan, dengan semua kelebihan mereka ini, Hansip masih sering dilupakan, tak terlihat seperti bayangan pada siang bolong. Ia tak memiliki serial TV sendiri, tak ada bocoran foto kostumnya di media sosial, dan anak-anak tak memasukkan figur aksinya dalam daftar hadiah ulang tahun mereka.

Oleh karena itu, anggaplah tulisan ini sebagai penghormatan kita kepada 'Avatar' desa, yang setia berjaga ketika kita lena dalam mimpi. Sang Hansip, sang penguasa 8 elemen dunia yang terlupakan, yang mungkin sedang bertugas mengintip dari balik semak-semak menunggu untuk terkenal... suatu hari nanti.

Sampai jumpa di ronda malam nanti, Pak Hansip. Bawakan kami lagi kisah-kisah heroik dan kopi hitam yang tidak akan pernah bisa kami gantikan dengan Starbucks.

Sudah menjadi rahasia umum, jika ada pertunjukan demokrasi, seperti pemilu, maka panggung politik kita akan berubah menjadi bazaar akbar dimana para caleg berlomba-lomba membagi-bagikan janji dan mimpi – kadang juga sembako dan sejumlah uang tunai.

Tidak jarang, panggung tersebut berakhir dengan lakon komedi-tragis seorang politikus yang ketika gagal di atas panggung, mereka seakan bermetamorfosis menjadi penagih utang darurat, dengan wajah masam mengultimatum para pemilih: "Mana bantuan yang kuberikan layaknya cinderamata? Apa sudah kembali dalam bentuk suara?"

Akan tetapi, apakah ini semata-mata karena kita tidak siap berdemokrasi, atau adakah faktor lain – mungkin budaya, atau bahkan rasa tidak rela yang telah mendarah daging dalam setiap sela kehidupan?

Pasang Surut 'Investasi' Caleg

Mula-mula, mari kita renungkan. Pemilu di Indonesia, atau mari kita pakai bahasanya orang awam agar mudah dicerna: 'tukar kado', merupakan momen paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Alasannya, bukan hanya karena dapat menyalurkan hak politik – itu mah bonus – tetapi karena tiba-tiba muncullah Santa Claus lokal yang datang bukan di bulan Desember, melainkan di bulan-bulan strategis menjelang pencoblosan.
Ilustrasi Caleg Gagal (Gambar : Balikpapan Post / Istimewa)

Adakah yang salah dengan ritual ini? Tentu, jika kita melihat bagaimana di negeri orang, caleg-cuma-legend seperti di Taiwan. Ketika mereka kalah, mereka tak pernah tampak meminta 'oleh-oleh' politiknya kembali. Kalah? Ya sudahlah. Besok coba lagi. Mungkin ini yang dinamakan gentleman. Atau mungkin karena sudah ada kesadaran kolektif bahwa politik bukanlah judi berhadiah suara.

Namun, di panggung politik tanah air, mungkin energi untuk bersikap se-sportif mungkin telah terkuras habis setelah masa kampanye yang panjang dan melelahkan – ditambah dengan tekanan 'balik modal'. Jadilah mentalitas 'titip absen' pun tumbuh subur. 

Cekikikan Filsafat dan Depresi Politik

Barangkali fenomena ini bisa kita pahami sebagai bentuk perwujudan dari perspektif epikurianisme terbalik. Bukan mengejar kepuasan yang langgeng, melainkan memaksimalkan 'keuntungan' semu dari rasa senang yang sementara. Maka bila kepuasan itu tak terjadi, rasa sakit hati pun memuncak.

Politikus kita, dengan segala hormat, terkadang terasa layaknya pelaku usaha yang lupa diri. Alih-alih melayani, mereka justru terjebak dalam menuntut pelayanan. Terbalik, bukan? Tidak heran, jika gagal, langkah selanjutnya adalah menarik ulur janji seperti pedagang kaki lima yang mengetahui barang dagangannya tak kunjung laku.

Caleg Bermoral Benturan

Dari perspektif psikologi, ada yang namanya cognitive dissonance, atau disonansi kognitif, yaitu keadaan ketika seseorang memiliki konsistensi antara nilai yang dianut dengan realita yang terjadi. Seorang caleg, yang idealnya adalah pelayan masyarakat, ketika kalah, otaknya terpapar oleh kenyataan pahit yang kontras dengan ambisi dan usaha yang telah diperjuangkan. 

Benturan moral itu begitu keras sampai-sampai diajaknya masyarakat ke dalam pusaran rasa kecewa yang mendalam – 'loh, kenapa kau tak memilih aku?' – seperti anak kecil yang menendang balon karena gagal mendapatkan permen.

Namun, bukan jarang pula disonansi ini menciptakan monster yang lebih menakutkan: politikus yang berbalik memakan amanah yang seharusnya dia berikan. Terdengar seram? Itu kenyataannya.

Kultural Ataukah Struktural?

Bisa jadi, fenomena ini secara mendalam terkait dengan budaya 'saling membutuhkan' yang telah lama terpatri. Kita mempunyai ungkapan ‘ada udang di balik batu’, yang seolah-olah meresapi setiap pertukaran bantuan. Antara masyarakat dan caleg, terjalin hubungan simbiosis mutualisme yang seringkali tak berujung pada kesepakatan 'yang sebenarnya'. 

Budaya memberi dan menerima ini telah malu-malu memakai topeng keikhlasan yang sesungguhnya pura-pura. Ketika caleg membagi 'oleh-oleh', ia sebenarnya menanam benih harapan – 'bantu aku sekarang, besok tak lupa akan jasamu'. Ketika tidak terpilih, ia pun merasa 'investasinya sia-sia'.

Kembali ke Idealisme atau Pendidikan Karakter?

Jika kita ingin mengubah panggung bazaar menjadi forum yang lebih sehat, kita harus kembali ke idealisme awal demokrasi itu sendiri: pelayanan bukan pencitraan; dukungan bukan transaksi. Pendidikan karakter perlu digalakkan, tidak hanya bagi masyarakat luas, namun lebih-lebih bagi para caleg; bahwa politik itu adalah tugas suci bukan sekadar mainan anak yang jika tidak sesuai harapan, permainannya dimusnahkan.

Akhir kata, barangkali saatnya kita semua – masyarakat dan politikus – duduk bersama sambil ngopi, menyegarkan kembali memori atas apa yang seharusnya jadi esensi dari pesta demokrasi. Menanam tanpa harus selalu menunggu hasil, melayani tanpa harus mengharap balas layan. Karena pada akhirnya, panggung demokrasi bukanlah ajang talent show yang menunggu tepuk tangan, melainkan opera kehidupan yang harusnya dipersembahkan untuk kebaikan bersama.

Nah, sampai di sini dulu cerita kita tentang caleg-caleg musiman yang serasa putus cinta setelah Pemilu. Semoga di pemilu-pemilu selanjutnya kisah ini hanya tinggal menjadi saga lawas yang bercokol di pojokan sejarah, sambil kita semua berjalan menuju proses demokrasi yang lebih dewasa. Amin.
Dalam sebuah epik modern yang beraroma asam garam politik Indonesia, sang pelawak, Komeng, telah mencatatkan namanya dalam anals sejarah Pilpres 2024 tidak dengan segepok stand-up comedy, melainkan lewat akrobatik politik yang bikin para penganut realpolitik mengerutkan dahi. Tapi mari kita merenung tentang konstelasi politik sejenak—apakah kemenangan Komeng merupakan suatu anomali semata, ataukah sesungguhnya sebuah representasi dari frustasi kolektif masyarakat kita?
Sebelum kita menelisik lebih dalam, coba kita unravel fenomena ini tak ubahnya membongkar matriks dengan sendok—kalo nggak punya Neo, ya mesti pake logika.

Anomali atau Demonstrasi Antitesis Politikal?

Fenomena Komeng yang terpilih sebagai anggota DPD RI dengan suara membanjir layaknya pasar saat harbolnas rasanya adalah kejutan yang menyerupai pertunjukan tong setan di tengah sedang-seriusnya parade militer. Seorang komedian yang tak sempat pasang baliho lebih besar dari hati para fanatiknya, tidak melangsungkan konser kampanye—atau katakanlah, tak ada drama politis yang biasanya jadi menu perayaan demokrasi.
Foto Komeng di Surat Suara (Foto : detikNews/Istimewa)

Ini bukan tentang bagaimana melucunya foto Komeng di surat suara, tetapi lebih pada apa yang diwakilkan oleh raut wajahnya yang menghela senyum bahagia itu. Bukankan politik soal representasi? Jika yang lain memamerkan pose heroik bak superhero yang hendak menyelamatkan dunia, Komeng tampil apa adanya, menawarkan alternatif bagi rakyat yang—jika boleh jujur—lelah dengan formalitas.

Allegori Keceriaan dalam Arena Singa

Bila politik adalah panggung sandiwara, maka penampilan Komeng adalah lelucon yang telak terasa. Tetapi yang terjadi tidak sekedar lawakan, ini adalah surat cinta untuk rakyat yang bosan dengan janji manis. Ketika seorang komedian terpilih—dan itu pun dengan segelintir modal dan strategi—pertanyaannya kemudian, apakah kita sedang di ambang revolusi politik yang lebih relaks?

Frustasi yang Berbunga Tawa

Masyarakat, barangkali, sudah frustasi dengan narasi serius politisi yang saat di panggung kekuasaan tiba-tiba berubah menjadi penghibur sejati. Paradoksal? Sangat. Lantas, mengapa tidak mencoba komedian asli? Ada gagasan subversif di sini: "Mengapa tak kita uji, apakah komedian akan bertransformasi menjadi politisi serius setelah terpilih?"

Ekonomi Dakwah Politik: Murah Senyum, Murah Strategi

Di satu sisi, ada sebuah tesis keuangan yang hendak dibuktikan oleh Komeng: bahwa politik bukan tentang siapa yang memiliki kas paling tebal, melainkan siapa yang bisa menyentuh hati publik. Di tengah maraknya politik uang dan belanja aset kampanye, Komeng adalah bukti bahwa di mata rakyat, kadang 'cukup' itu lebih dari pada 'lebih' yang berlebihan.

Menata Ulang Tata Nilai Politik Nusantara

Bila setiap caleg adalah cerminan Komeng—ringan dompet namun berat pengaruh—mungkinkah kita akan menyaksikan politik yang tidak lagi menjadi ajang maha-lahar uang dan emosi? Dalam negara yang ideal, politik adalah perayaan, bukan kompetisi kepahitan.

Mengurai Tawa, Memaknai Sentimen

Benar, politik adalah urusan serius. Namun sebenarnya, apa yang lebih serius dari pada membawa tawa dalam kehidupan, termasuk politik? Dan di sanalah masyarakat tampaknya tertawa bersama Komeng—tidak di comedy club—melainkan di bilik suara. Tertawa atas ironi, atas ekspektasi, dan atas penantian yang akhirnya didefinisikan oleh satu wajah nyentrik yang berjanji akan kinerja, bukan hanya retorika.

Menggali Filosofi di Balik Jokes yang Menjadi Kenyataan

Filosofisnya, kemenangan Komeng adalah nostalgia terhadap seni pewayangan dimana Punakawan—representasi rakyat jelata—dapat menjadi tokoh sentral, menggelitik namun penuh hikmah. Ini adalah pengingat bahwa dalam lelucon terdalam, bisa terkandung kebijaksanaan; dan dalam politik terkini, mungkin dibutuhkan seorang Pelawak untuk memulihkan esensi demokrasi.

Tulisan ini bukan bertujuan meremehkan figur politik apapun. Melainkan mengajak publik untuk bercermin; bahwa di antara banyaknya pilihan, mungkin saja yang kita perlukan adalah sebuah anomali inspiratif. Seperti halnya komposisi musik yang diwarnai dengan improvisasi jazz, demokrasi kita perlu dinamika—dan siapa tahu 'anomali' seperti Komeng ini adalah disonansi yang dirindukan.

Dalam palagan politik yang sarat dengan taktik, ekonomi kampanye yang membuat dompet menjerit, dan perang ideologi yang sesekali melelahkan, kemenangan Komeng adalah secercah humor yang mungkin saja, di dalamnya, ada terang masa depan politik Indonesia. Ini bukan sekadar kemenangan komedian, ini adalah motifasi untuk sebuah sistem yang butuh diperbaharui, gaya baru dalam bernegara. Dan pada akhirnya, kita semua menanti, dengan penuh harap dan gurauan, apa yang akan terjadi ketika Komeng—kini bukan hanya raja tawa—melainkan pula sang bintang di senayan yang diharapkan tidak hanya melucu tetapi juga melucuti masalah dengan bijak.

Maka, lipatkan surat suara tersebut dengan senyuman. Dan bila nanti ternyata Komeng bukan hanya anomali, melainkan manifesto yang disuarakan oleh rakyat, mungkin, sejarah akan mencatat bukan hanya sebagai lelucon, melainkan sebuah revolution sang pelawak yang memperlihatkan kepada kita semua wajah asli dari politik Indonesia: bahwa terkadang, untuk serius, kita perlu sedikit bercanda.

Selama ini, dua lembaga pemerintah yang memiliki peran penting dalam mengelola pendapatan negara adalah Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak. Kedua lembaga ini bertanggung jawab dalam pengawasan dan pengumpulan penerimaan negara dari sektor perdagangan dan pajak. Namun, sering kali muncul pertanyaan, apakah sudah saatnya kedua lembaga ini disatukan menjadi satu lembaga baru yang diberi nama Badan Penerimaan Negara? 

Sebelum membahas lebih lanjut apakah merger antara Bea Cukai dan Ditjen Pajak menjadi Badan Penerimaan Negara adalah sebuah langkah yang tepat, kita perlu menggali lebih dalam mengenai fungsi dan peran masing-masing lembaga tersebut.

Ilustrasi (Gambar : SindoNews/Istimewa)

Bea Cukai bertanggung jawab atas pengawasan dan pengaturan barang-barang yang masuk dan keluar dari wilayah Indonesia, serta pengenaan bea masuk dan pajak atas barang-barang tersebut. Sementara itu, Ditjen Pajak memiliki tugas mengumpulkan dan menagih pajak atas penghasilan dan kekayaan masyarakat serta perusahaan. Kedua lembaga ini memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian negara.

Namun, apakah menggabungkan kedua lembaga ini akan membawa banyak manfaat? Sebelumnya, beberapa negara telah mencoba untuk menggabungkan lembaga penerimaan negara mereka, misalnya Amerika Serikat dengan Internal Revenue Service (IRS) yang menggabungkan pengaturan pajak dan bea cukai. Namun, hasilnya tidak selalu sukses. Faktanya, pada tahun 2003, Amerika Serikat kemudian memutuskan untuk memisahkan kembali kedua lembaga ini.

Satu alasan yang sering muncul adalah bahwa menggabungkan dua lembaga ini menjadi satu dapat mengurangi efisiensi dan kinerja mereka. Kedua lembaga ini memiliki tugas dan keterampilan yang berbeda, dan menggabungkannya dapat menciptakan kebingungan dan ketidakjelasan mengenai tugas dan tanggung jawab mereka. Selain itu, adanya potensi konflik kepentingan dan kesulitan dalam mengatur lembaga baru juga menjadi masalah yang sering muncul.

Namun, tidak semua negara memiliki pengalaman buruk dalam menggabungkan lembaga penerimaan negara mereka. Sebagai contoh, Malaysia telah berhasil menggabungkan lembaga penerimaan negara mereka menjadi satu lembaga yang diberi nama Inland Revenue Board of Malaysia. Dengan penggabungan ini, Malaysia berhasil meningkatkan efisiensi dalam pengumpulan pajak dan meningkatkan penerimaan negara secara signifikan.

Penggabungan antara Bea Cukai dan Ditjen Pajak menjadi Badan Penerimaan Negara tidaklah menjadi satu-satunya solusi yang tepat. Lebih tepatnya, kedua lembaga ini perlu untuk memperkuat kerjasama dan sinergi di antara mereka. 

Memperkuat kerjasama antara Bea Cukai dan Ditjen Pajak akan dapat membawa manfaat yang lebih besar, dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan karakteristik masing-masing lembaga. Kerjasama yang baik akan memungkinkan keduanya untuk saling mendukung dalam pengawasan dan pengumpulan pendapatan negara tanpa harus mengorbankan efisiensi dan kinerja mereka.

Selain itu, salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan meningkatkan integrasi teknologi dan sistem informasi antara kedua lembaga. Dengan demikian, Bea Cukai dan Ditjen Pajak dapat bekerjasama dalam memperkuat pengawasan dan pengumpulan pendapatan negara secara efisien dan efektif.

Keputusan untuk menggabungkan Bea Cukai dan Ditjen Pajak menjadi Badan Penerimaan Negara perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Dari berbagai contoh dan praktik sukses maupun yang gagal dari negara lain, penggabungan kedua lembaga ini menjadi satu tidaklah selalu menjadi solusi yang tepat. Lebih pentingnya adalah memperkuat kerjasama dan sinergi di antara keduanya, dengan memperhatikan karakteristik dan kebutuhan masing-masing lembaga. Dengan demikian, penerimaan negara dapat dikelola secara efisien dan efektif untuk mendukung pembangunan ekonomi negara.

Birokrasi ! Kata yang dapat membuat seseorang tiba-tiba merenung dalam-dalam sambil menyesap kopi pahit tanpa gula. Di negeri timur agak jauh ini, 'birokrasi' bukan lagi sebuah kata, tapi sudah menjadi mantra yang dipakai untuk menjelaskan segala keajaiban dan keanehan yang terjadi di negeri ini. Sebuah penyakit? Oh, tidak, tidak! Ini sudah mutasi menjadi DNA, sebuah gen unik yang memastikan setiap individu yang dilahirkan di Tanah Air bakal memiliki keahlian intrinsik menjalani labirin administrasi dengan lancar; atau setidaknya, dengan kesabaran seorang pendekar.

Mari kita mulai eksplorasi kita dengan pertanyaan sederhana: sudahkah Anda mengajukan sesuatu ke instansi pemerintah? Jika ya, selamat! Anda telah bermain dalam sandbox yang sama dengan pasir yang telah digunakan untuk membangun piramida birokrasi yang megah ini. Anda akan jumpa dengan berbagai karakter dalam perjalanan Anda; si penjaga pintu yang maha kuasa, sang petugas loket yang seperti penjaga gerbang antara dunia nyata dan dunia akhirat administrasi, dan, jangan lupakan, tumpukan formulir yang seperti mantra - harus lengkap, harus cap tiga warna, ditandatangani oleh manusia, jin, dan mungkin, jenis-jenis lelembut lainnya.

Ilustrasi Birokrasi yang Ruwet (Gambar : Istimewa)

Tetapi mengapa sih model birokrasi kita sedemikian rupa hingga jadi bahan candaan sekaligus sumber air mata? Apakah ini hasil dari warisan sejarah yang melekat erat seperti nasi tiwul di gigi setelah makan malam? Boleh jadi. Sejarah mencatat, pengaturan birokrasi di Indonesia telah berakar sejak zaman kolonial, ketika sang penjajah Belanda mendirikan sistem administratif yang detil dan lapis demi lapis. Seperti resep gulai kambing warisan leluhur, ternyata sistem ini terlalu nikmat untuk ditinggalkan.

Namun, sebuah sistem yang efektif pada era itu mungkin tidak lagi relevant untuk zaman now yang diwarnai oleh kecepatan digital dan buzzer. Bagaimana mungkin selembar form perizinan membutuhkan tulisan tangan dengan tinta hitam, sedangkan anak SD kini mengirim PR melalui email? Inilah fenomena unik di Indonesia: teknologi maju pesat sementara birokrasi bergerak layaknya kura-kura yang sedang berpuasa.

Ini bukan hanya tentang pengumpulan form saja. Lapisan birokrasi berikutnya adalah serangkaian proses yang begitu labirintik, sehingga Theseus dan Minotaurnya pun akan pensiun menjadi petani setelah mencoba menavigasi sistem ini. Anda kira akan selesai dengan satu kali kunjungan? Oh, tentu tidak. Dalam perjalanan anda mencari tandatangan, Anda akan berkenalan dengan apa yang kita sebut sebagai 'sistem antrian nomor urut' – sebuah ritual sakral bagi seluruh warga yang mencari berkah berupa cap dan tandatangan.

Mari kita bercerita tentang Pak Slamet - bukan nama sebenarnya, sebuah nama generik untuk menghindari pelbagai macam aduan. Pak Slamet adalah seorang pahlawan bagi kita semua, seorang Juru Masak Birokrasi berpengalaman. Beliau memiliki insting tak tertandingi dalam mengendus loket mana yang paling cepat, jasa foto kopi terdekat untuk form yang 'terlupa', dan, paling penting, mana penjaga pintu yang paling bisa 'dipahami' – jika Anda paham maksud saya.

Ah, dan penjaga pintu, pilar penting dari birokrasi kita. Dapat dipastikan, bila ada penjaga surga bagi para birokrat, maka penjaga pintu adalah San Peteronya. Mereka yang memegang akses antara harapan dan keputusasaan, senyum dan tangis, 'silakan mas/mbak, antri di sana' atau 'maaf, sudah tutup'. Dan kalau Anda datang satu menit setelah waktu tutup meskipun Anda telah berjalan kaki selama dua jam di bawah terik matahari, lebih baik Anda persiapkan hati untuk kembali keesokan harinya.

Sebut saja urusan KTP, SIM, pajak, izin usaha, atau bahkan nikah sekalipun; sepertinya tidak ada yang lolos dari cengkeraman birokrasi. Prosesnya? Ibarat main game petualangan – butuh waktu, kesabaran, dan kadang-kadang, in-app purchase berupa kopiah tipis untuk melancarkan 'jalannya'. 

Jangan salah, birokrasi kita juga digerakkan oleh mesin modern. Ada sistem online, ada juga aplikasi untuk antrian, tapi mari kita jujur. Sering kali sistem tersebut seperti pacar yang menjanjikan akan datang ke pertemuan tapi pada akhirnya tidak pernah muncul. Anda masuk ke website, dijanjikan pengisian form mudah, namun pada akhirnya Anda hanya temui server error yang seperti putri duyung, legendaris dan sulit ditemui.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • ENGGANO DI UJUNG TANDUK
  • OTORITA KHUSUS TERINTEGRASI; TEROBOSAN TATA KELOLA UNTUK WILAYAH 3T
  • MERANCANG ULANG NEGARA : WILAYAH 3T DAN URGENSI MODEL TATA KELOLA BARU
  • EKSISTENSI DUA FORUM

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar