Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Tulisan ini lahir dari kegelisahan yang sudah lama menggantung seperti kabel listrik tua di tiang pinggir kampung, terlihat biasa tapi menyisakan bahaya. Setiap kali saya masuk kelas, selalu muncul tanya yang sama soal metode penelitian, seperti ritual akademik yang tak selesai sejak zaman Comte dan Durkheim. Mahasiswa mengira penelitian hanya punya dua pintu, kuantitatif atau kualitatif, dan mereka merasa wajib memilih salah satunya seperti memilih kubu dalam pertikaian keluarga besar. Saya melihat wajah mereka tegang, seolah salah pilihan akan membuat proposal mereka dikubur hidup-hidup. Aneh sekali karena dunia penelitian sudah lama meninggalkan dikotomi ini. Saya ingin mengajak pembaca melihat duduk persoalannya. Pelan saja, tetapi tetap tegas agar jalan keluar terlihat lebih terang.

Ketika saya menengok perjalanan metodologi, saya menemukan pola unik yang sudah diwariskan bertahun-tahun di kampus. Dua kubu itu awalnya hanya lahir dari kebutuhan pedagogis, bukan dari hukum alam atau wahyu ilmiah. Durkheim berdiri di satu sisi dengan positivismenya, lalu Boas dan Geertz berdiri di sisi lain dengan tafsir budaya. Lama-lama keduanya dianggap sebagai dua jalan besar yang tak boleh ditembus. Padahal para pelopornya sendiri tidak pernah berniat mengikat peneliti generasi berikutnya dengan ikatan besi. Penjelasan sederhana lalu berubah menjadi perintah mutlak. Kita pun mewarisi mitos itu tanpa bertanya ulang.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Setiap tahun saya membaca karya metodolog internasional dan selalu menemukan kalimat bernada sama. Creswell mengingatkan sejak 2009 bahwa dunia penelitian tak sesempit itu. Ia menulis bahwa dikotomi kualitatif dan kuantitatif sudah usang dan penelitian nyata selalu mencampurkan pendekatan. Babbie menambahkan bahwa metode sosial lebih mirip garis kontinu, bukan dua kotak berkotak-kotak. Tashakkori dan Teddlie, tokoh mixed methods, bahkan menolak anggapan bahwa data hanya punya dua warna. Denzin dan Lincoln menguatkan pandangan itu. Semua ini menunjukkan bahwa kita ketinggalan kereta yang sudah berangkat lebih dulu.

Kadang saya membayangkan perdebatan metodologi kita seperti seseorang yang tetap memuja mesin tik saat orang lain sudah memotret dokumen dengan ponsel. Kita terlalu lama memegang cara lama yang membelah dunia menjadi dua bagian. Padahal penelitian modern memberi klasifikasi lebih kaya. Peneliti internasional memilih jenis penelitian berdasarkan tujuan. Ada eksploratif, deskriptif, eksplanatori, evaluatif, prediktif, dan intervensi. Pembagian dua kubu tidak muncul sama sekali di sini.

Kalau kita bicara tentang data, situasinya lebih jelas. Dunia penelitian tidak hanya mengenal angka atau narasi. Ada data observasi, audio visual, arsip, dan dokumentasi. Semua ini memiliki karakter yang berbeda dan tak mungkin dimasukkan ke satu laci saja. Data administrasi juga makin sering dipakai dalam riset sosial kontemporer. Peneliti kini menggabungkan semuanya untuk mendapat gambaran utuh. Pemisahan dua kubu terasa makin rapuh.

Saya selalu tertarik saat membaca daftar metode dalam buku metodologi modern. Ada survei, etnografi, studi kasus, eksperimen, desain kuasieksperimental, analisis dokumen, penelitian historis, mixed methods, dan bibliometrik. Semua ini lahir untuk menjawab kebutuhan penelitian yang bermacam-macam. Sulit membayangkan pembagian dua kubu bisa menampung keragaman ini. Metode tumbuh sesuai masalah. Karena itu, pembagian lama terasa tidak imbang.

Bila dikaitkan dengan paradigma epistemologis, perdebatan makin panjang. Ada positivisme, post-positivisme, interpretivisme, konstruktivisme, kritikal, pragmatisme, fenomenologi, etnometodologi, dan critical realism. Semua ini mengandung cara pandang yang berbeda soal realitas dan cara mengenalinya. Anehnya, kubu kualitatif dan kuantitatif tidak muncul sebagai kategori di sini. Dunia epistemologi jauh lebih rumit dari perdebatan biner. Namun kampus kita tetap sibuk dengan kotak lama.

Setiap kali mahasiswa datang meminta bimbingan, saya bertanya apa tujuan penelitiannya. Banyak yang langsung menjawab bahwa mereka ingin meneliti secara kualitatif. Jawaban itu membuat saya menghela napas. Mereka mengira metode adalah identitas, bukan alat. Mereka ingin merasa “aman” di salah satu kubu. Padahal penelitian tidak berjalan seperti itu. Tujuan harus menentukan jalan, bukan sebaliknya.

Kita harus akui, dikotomi lama memang membantu mahasiswa pemula. Dengan dua pilihan, dunia terasa lebih sederhana. Mereka merasa lebih mudah memulai. Tapi penyederhanaan itu menjadi masalah ketika bertahun-tahun kemudian mereka masih menganggap dua kubu itu sebagai kebenaran absolut. Penyederhanaan berubah menjadi dogma. Dogma membuat pikiran berhenti bertanya.

Di ruang kelas, saya sering menjelaskan bagaimana dikotomi itu membingungkan. Banyak mahasiswa menganggap data nonangka otomatis kualitatif. Mereka mengira angka otomatis kuantitatif. Lalu mereka salah kaprah memahami makna konteks, narasi, atau deskripsi. Mereka memaksa penelitian berjalan dengan logika dua kotak. Ini membuat proposal banjir revisi. Kita bisa mencegah hal ini jika sejak awal memahami masalahnya.

Kampus yang masih mempertahankan pembagian lama biasanya menjadi tempat subur bagi miskonsepsi. Dosen pun kadang mengajarkan metodologi seperti kitab suci yang tidak boleh disentuh. Mahasiswa hanya menyalin pola itu tanpa keberanian mempertanyakan. Padahal literatur internasional sudah lama mengubah arah. Kita seperti terjebak di ruang yang pintunya tidak pernah dibuka. Kita perlu keberanian untuk mulai menggesernya.

Saya pikir perlu kejujuran untuk mengakui bahwa cara kita mengajar metodologi berada dalam fase stagnan. Banyak dosen yang bertahun-tahun memakai slide lama. Banyak buku lokal juga hanya mendaur ulang pola yang sama. Penelitian berubah, tetapi cara mengajar tidak ikut berubah. Ketimpangan ini besar sekali. Kitalah yang harus mengejar ketertinggalan.

Dalam konteks global, penelitian sosial berkembang cepat. Mixed methods tumbuh, analisis big data muncul, etnografi digital tersebar, penelitian evaluatif makin terstandar, dan bibliometrik menjadi arus utama. Sementara itu, mahasiswa Indonesia masih berkutat memilih “kualitatif atau kuantitatif” seperti memilih paket makan siang. Dunia bergerak; kita tidak. Ketertinggalan tidak akan selesai jika kita tetap nyaman.

Beberapa kali saya mengikuti konferensi internasional dan menemukan pola menarik. Tidak ada sesi yang berbicara tentang dua kutub metodologi. Para peneliti mengulas metode sesuai kebutuhan riset, bukan identitas data. Mereka sibuk memperbaiki desain penelitian, bukan memperdebatkan apakah penelitian mereka kualitatif. Saya pulang dari konferensi dengan kesan kuat bahwa kita harus berubah. Perubahan tidak sulit jika kita mau memulai.

Saya sering mencontohkan pada mahasiswa bagaimana sebuah penelitian bisa memakai banyak jenis data. Observasi bertemu survei. Wawancara bertemu dokumentasi. Statistik bertemu narasi. Semuanya dipakai secara fungsional. Mereka terkejut karena selama ini diajarkan bahwa metode harus murni di salah satu kubu. Mereka merasa ada pintu baru terbuka. Pintu itu perlu dijaga agar tetap terbuka.

Banyak kasus di mana penelitian gagal bukan karena datanya buruk, tetapi karena pemahaman metodologinya sempit. Mahasiswa memaksakan data naratif menjadi model kuantitatif. Atau sebaliknya, data angka diperlakukan seperti cerita panjang. Kesalahan ini muncul akibat dikotomi lama. Kita perlu menata ulang cara berpikir. Penelitian butuh fleksibilitas.

Saya merasa penting menggarisbawahi posisi teoritik yang sehat. Jenis penelitian ditentukan oleh tujuan, sifat data, metode pengumpulan data, dan paradigma yang dipakai. Empat hal ini membantu kita menentukan langkah penelitian secara logis. Empat hal ini juga lebih konsisten dengan literatur internasional. Jika kita mengajarkan ini, mahasiswa lebih mudah memahami gambaran besar. Gambaran besar lebih penting dari sekat sempit.

Dalam banyak kelas, saya melihat bagaimana mahasiswa mulai memahami jalan baru ketika diberi contoh konkret. Mereka merasa lebih bebas, tetapi juga lebih terarah. Mereka tahu alasan memilih metode, bukan hanya mengikuti tradisi. Mereka belajar menyusun argumen, bukan sekadar memungut istilah yang mereka sendiri tidak pahami. Perubahan kecil ini memberi dampak besar. Kita perlu memperluasnya.

Saya teringat percakapan dengan seorang mahasiswa yang terjebak dalam asumsi bahwa semua penelitian kualitatif harus memakai wawancara mendalam. Ia tidak tahu bahwa dokumentasi atau observasi pun bagian dari kualitatif. Ia mengira model biner itu seperti undang-undang. Saya menjelaskan perlahan. Ia mengangguk sambil tertawa kecil. Semacam pencerahan sederhana.

Ada pula mahasiswa yang merasa penelitian kuantitatif selalu harus uji pengaruh X terhadap Y. Mereka sibuk mencari variabel hanya karena merasa itu “standar”. Mereka tidak sadar bahwa penelitian deskriptif atau prediktif juga bagian dari kuantitatif. Kesalahan ini terjadi bukan karena mereka malas. Mereka hanya diajarkan dengan cara lama. Cara itu sudah tidak sesuai konteks.

Dalam diskusi kelompok, saya selalu mendorong mahasiswa untuk membaca literatur metodologi terbaru. Mereka menemukan istilah baru yang tidak pernah diajarkan. Mereka melihat keragaman yang menandakan bahwa penelitian terus berkembang. Mereka sadar bahwa dikotomi lama hanyalah titik awal, bukan tujuan. Pemahaman ini memberi mereka ruang berpikir. Ruang itu penting untuk kreativitas.

Di titik ini, kita perlu tegas menyatakan bahwa dikotomi itu sudah gugur. Ia bukan gugur kemarin atau tahun lalu. Ia gugur sejak puluhan tahun lalu. Dunia akademik internasional tidak lagi memakai pembagian biner. Ia hanya hidup di beberapa kampus Asia Selatan dan sebagian Afrika. Indonesia termasuk wilayah yang masih memegangnya erat. Kita harus keluar dari pola ini.

Saya ingin menekankan bahwa perubahan tidak harus heroik. Kita cukup mulai mengubah cara mengajar dan cara memahami metodologi. Kita cukup membuka akses pada literatur yang lebih luas. Kita cukup menantang asumsi yang sudah terlanjur dianggap suci. Perubahan kecil ini bisa menciptakan dampak besar. Kita tinggal memulainya.

Dalam praktik, banyak mahasiswa merasa lebih nyaman ketika saya berkata bahwa tidak masalah memakai lebih dari satu jenis data. Mereka merasa seperti diberi izin untuk bernapas lebih lega. Mereka tidak lagi terikat pada batasan sempit. Mereka mulai memahami logika di balik metode. Pemahaman ini penting dalam penelitian.

Setelah beberapa tahun mengajar, saya menyadari bahwa kebingungan metodologi adalah masalah struktural. Masalah ini hidup di kurikulum, buku ajar, dan tradisi kampus. Ia membuat ratusan mahasiswa setiap tahun bekerja dengan kerangka yang tidak lengkap. Jika kita tidak memperbaikinya, kita akan melahirkan peneliti yang tidak siap menghadapi dunia riset internasional. Kita harus menata ulang dari akar.

Dalam obrolan santai dengan beberapa kolega, saya mendengar keluhan sama. Mereka merasa penelitian mahasiswa kurang kreatif. Mereka menyalahkan kemampuan analisis atau minat baca. Padahal sumber masalahnya ada pada pemahaman metodologi yang sempit. Pikiran yang dibatasi dua kubu tidak akan mampu melahirkan ide yang beragam. Kita harus memperluas batas itu. Kita harus memberi ruang.

Ketika membaca proposal mahasiswa, saya sering menemukan standar lama yang sudah tidak relevan. Mereka menulis metode hanya untuk memenuhi syarat administrasi. Mereka tidak memahami alasan di baliknya. Mereka mengulang pola yang diajarkan. Pola itu harus diperbarui. Pembaruan ini akan berdampak pada kualitas penelitian.

Jika kita ingin mengejar standar internasional, langkah awalnya sederhana. Kita berhenti mengajarkan metodologi dengan pola dua kubu. Kita mulai memperkenalkan klasifikasi berdasarkan tujuan, data, metode, dan paradigma. Kita membiasakan mahasiswa dengan cara berpikir kontinu. Cara berpikir ini lebih sehat. Cara ini juga lebih sesuai dengan perkembangan dunia.

Saya yakin banyak dosen di Indonesia yang memahami perkembangan metodologi ini. Masalahnya, perubahan tidak selalu didukung struktur institusi. Beberapa kampus tetap memakai buku ajar lama. Beberapa tidak memberi ruang untuk pembaruan kurikulum. Perubahan akhirnya bergerak lambat. Tapi lambat pun lebih baik daripada berhenti.

Di tahap ini, saya ingin mengajak pembaca membayangkan situasi yang lebih baik. Kita punya ruang kelas yang memberi pemahaman metodologi secara komprehensif. Mahasiswa memahami alasan memilih metode. Dosen lebih fleksibel dalam membimbing. Penelitian menjadi lebih kreatif. Gambaran ini tidak mustahil.

Ada satu hal penting yang perlu terus diingat. Penelitian bukan pertarungan antara dua kubu. Ia adalah proses mencari pemahaman paling tepat sesuai pertanyaan penelitian. Pertanyaan yang baik akan membawa kita ke data yang tepat. Data yang tepat akan membawa kita ke metode yang sesuai. Proses ini tidak butuh dikotomi lama.

Tulisan ini ingin memberi dorongan agar kampus Indonesia mulai menata ulang cara memahami metodologi. Kita memiliki tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan dunia. Kita tidak boleh terlalu nyaman dengan pola lama. Kenyamanan hanya membuat kita tertinggal. Kita harus mulai bergerak.

Saya percaya mahasiswa Indonesia mampu mengikuti perkembangan ini. Mereka hanya butuh panduan yang lebih mutakhir. Mereka butuh ruang untuk bereksperimen. Mereka butuh kebebasan intelektual yang tidak dibatasi sekat biner. Ruang seperti ini penting untuk masa depan penelitian.

Pada akhirnya, perubahan metodologi bukan soal mode akademik. Ia soal cara kita memandang ilmu pengetahuan. Jika kita memandang penelitian sebagai proses yang terus berkembang, kita akan meninggalkan dikotomi lama. Jika kita tetap memegang dua kubu, kita akan berjalan di tempat. Pilihannya ada pada kita.

Tulisan ini saya tutup dengan satu kalimat sederhana. Kita perlu keluar dari perangkap dua kubu metodologi. Perangkap itu sudah terlalu lama membatasi pikiran mahasiswa. Dunia penelitian bergerak jauh. Kita harus bergerak bersama. Kita tidak boleh ketinggalan.
Bengkulu kembali macet. Tapi bukan macet seperti Jakarta. Tidak ada klakson. Tidak ada lampu merah. Tidak ada motor zig-zag. Macetnya Bengkulu itu lebih sunyi. Tidak ada yang bergerak karena tidak ada bensin. Kota terasa seperti ditahan napasnya. Jalan nampak lebih lengang, tapi wajah orang-orang tegang. Inilah jenis kemacetan yang tidak butuh polisi, tapi butuh solusi.
Ilustrasi Antrian BBM di Bengkulu (Gambar : AI Generated)

Malam tadi saya ke toko sayur langganan. Kulkas sudah kosong. Biasanya kami suka masak sendiri kalau malam. Tapi dua malam terakhir, makan malam harus pesan lewat Grab. Kata istri, “Sudahlah, toh sayur juga tidak ada.” Saya pikir hanya stok di rumah yang habis. Ternyata stok di gudang toko sayur juga habis.

Saya tanya ke penjualnya, “Bawang merahnya mana, Mbak?” Ia tersenyum kecut. Katanya, “Lagi tidak bisa kirim dari gudang, Pak. Sopirnya tidak bisa jalan. Katanya tidak ada BBM.” Ia cerita sudah telepon berkali-kali, tapi jawabannya sama. Truk tidak bisa berangkat. SPBU kosong.

Sudah hampir seminggu katanya. Mobil barang banyak yang parkir di pinggir jalan, menunggu BBM datang. Tapi BBM tak kunjung datang. Sementara di Jakarta, berita BBM malah ramai karena isu baru: Pertalite diganti etanol 10 persen.

Saya heran. Negara ini bisa bicara tentang BBM nabati, BBM hijau, BBM etanol. Tapi di Bengkulu, BBM fosil pun tidak sampai. Rasanya seperti menonton dua Indonesia. Yang satu sibuk bicara masa depan energi. Yang satu sibuk mencari bensin agar bisa kerja besok pagi.

Jarak Jakarta ke Bengkulu tidak sampai seribu kilometer. Tapi dalam hal distribusi, terasa seperti sepuluh ribu kilometer. Waktu kirim logistik terasa seperti ekspedisi ke luar negeri. Sering saya pikir, apa jarak kita bukan soal kilometer, tapi soal perhatian.

Pernah satu pagi saya iseng melihat berita sebelum berangkat ke kampus. Menteri A bicara soal efisiensi etanol. Menteri B bicara soal kedaulatan energi. Menteri C bilang kendaraan lama mogok karena bahan bakar baru. Semuanya tampak sibuk di layar. Tapi tidak ada satu pun bicara tentang SPBU di Bengkulu yang kering.

Sementara itu, di tayangan lain, muncul penemu BBM nabati dengan RON 98. Katanya lebih ramah lingkungan. Katanya siap membangun SPBU se-Indonesia. Saya tersenyum pahit. Kalau di Bengkulu, jangankan BBM RON 98. RON 92 saja sudah seperti barang mewah.

Antrian di SPBU sekarang panjang. Mobil mengular seperti ular lapar. Sopir-sopir duduk di bawah pohon. Ada yang sambil merokok, ada yang tidur. Semua pasrah. Kadang antre hingga lima jam, lalu petugas bilang: habis. Orang-orang tertawa getir. Sudah biasa.

Untuk mobil dibatasi 25 liter. Motor hanya boleh beberapa liter. Tidak cukup untuk kerja seminggu. Tapi masyarakat sudah terbiasa diatur begitu. Mungkin karena sudah sering dilatih kecewa.

Anehnya, selalu ada pengecer yang punya stok. Jeriken hijau berderet di pinggir jalan. Dijual dengan harga suka-suka. Di depan SPBU yang kosong, pengecer itu seperti pahlawan sekaligus penjahat. Orang marah, tapi tetap beli.

Saya tidak tahu mereka dapat dari mana. Pertamina bilang stok aman. Pemerintah bilang distribusi lancar. Tapi jeriken-jeriken itu bercerita lain. Ada sesuatu di jalur distribusi yang tidak jujur.

Gubernur sempat marah. Katanya Pertamina harus minta maaf. Bahkan harus bikin video permintaan maaf. Katanya, masyarakat panik karena komunikasi Pertamina buruk. Saya setuju. Tapi saya pikir, bukan cuma komunikasi yang buruk. Distribusinya juga.

Dalam dunia korporat, komunikasi adalah bahan bakar kedua setelah produk. Kalau produknya macet, minimal komunikasinya harus lancar. Supaya publik tahu, ini masalah di mana. Bukan diam seperti batu.

Perusahaan besar tidak boleh alergi pada krisis. Karena krisis adalah ujian reputasi. Kalau dalam keadaan normal semua bisa, tapi dalam krisis, hanya yang punya sistem yang kuat yang bisa bertahan.

Seharusnya Pertamina membentuk tim cepat tanggap. Datangi langsung SPBU, libatkan media lokal, buka hotline 24 jam. Transparansi lebih penting daripada seremonial. Masyarakat bukan butuh janji, tapi informasi.

Kalau ada kekurangan pasokan, bilang saja. Kalau karena kapal terlambat, jelaskan. Kalau karena jalur distribusi terganggu, tunjukkan datanya. Kejujuran membuat publik tenang. Diam membuat rumor tumbuh.

Krisis itu seperti kebocoran pipa. Kalau ditutup dengan tangan, tekanan akan naik di tempat lain. Kalau dibiarkan, bocornya makin besar. Satu-satunya cara adalah perbaiki pipa itu, dan beritahu semua orang bahwa sedang diperbaiki.

Saya lihat di kota ini, banyak usaha kecil terhenti. Ojek online parkir. Penjual sayur libur. Angkot tidak jalan. Rantai ekonomi putus hanya karena satu hal: bensin tidak ada. Begitu rapuhnya sistem ekonomi kita.

Padahal Bengkulu bukan kota kecil. Ia punya pelabuhan, punya bandara, punya tambang batu bara. Tapi tetap seperti bukan prioritas dalam hal distribusi BBM. Selalu terakhir, selalu terlambat.

Saya kadang berpikir, apa benar dulu Inggris menukar Bengkulu dengan Singapura karena malaria? Atau karena logistiknya bikin pusing? Bayangkan kalau hari ini masih ada Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu. Mungkin dia pun didemo warga karena SPBU kosong.

Koran mungkin akan menulis: “Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu dikepung massa karena antrian BBM.” Lucu, tapi tidak mustahil. Karena dari dulu sampai sekarang, masalahnya tetap sama: distribusi.

Bengkulu punya sejarah panjang. Dari Fort Marlborough sampai Soekarno diasingkan di sini. Tapi seolah tidak ada yang belajar dari sejarah itu. Infrastruktur dibangun, tapi tidak tuntas. Jalan dibuka, tapi suplai tidak lancar.

Pemerintah pusat sibuk dengan proyek besar. Ibu Kota Baru, kereta cepat, tol laut. Tapi daerah seperti Bengkulu tetap bergantung pada kapal yang datang dua minggu sekali.

Padahal, semua orang tahu, energi adalah darah ekonomi. Kalau darah tersumbat, organ-organ lain mati. Dan di Bengkulu, darah itu tidak mengalir lancar.

Saya jadi ingat waktu listrik di Jawa padam total beberapa tahun lalu. PLN langsung bikin konferensi pers. Menjelaskan penyebabnya. Minta maaf. Berjanji memperbaiki. Dalam hitungan jam, reputasi mereka pulih. Pertamina harusnya belajar dari itu.

Kalau perusahaan sebesar Pertamina tidak bisa menjelaskan kekosongan BBM di satu provinsi kecil, lalu bagaimana mau bicara soal BBM hijau dan kemandirian energi nasional?

Saya percaya, masalah ini bukan di produksi. Tapi di distribusi dan manajemen krisis. Ini bukan soal kilang. Ini soal logistik, integritas, dan koordinasi.

Kalau terus seperti ini, Bengkulu tidak akan pernah maju. Energi habis sebelum ekonomi jalan. BBM datang setelah semangat orang habis.

Saya tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Tapi saya tahu siapa yang paling rugi: rakyat kecil yang harus antre bensin setiap minggu.

Sementara di layar TV, para pejabat masih berdebat soal etanol. Di Bengkulu, orang-orang cuma ingin satu hal: bisa mengisi bensin tanpa drama. Itu saja.

Dan mungkin, kalau Inggris tahu betapa ribetnya distribusi BBM ke Bengkulu, mereka akan bersyukur dulu sempat menukar Bengkulu dengan Singapura. Mereka selamat dari antrian panjang di SPBU.

Kemarin sore saya mampir ke tukang remote dan kunci kendaraan. Sudah seminggu saya menunda. Remote kendaraan saya mulai rewel, tombolnya susah ditekan. Setiap kali mau kunci pintu, harus dipencet agak keras. Saya selalu lupa mampir. Sampai akhirnya kemarin, sehabis ngajar dan menjemput anak sekolah, saya belok juga ke tempat kecil di pinggir jalan itu. Hanya bilik kecil, dua kursi plastik, dan satu meja berisi kabel, solder, dan alat-alat kecil yang membuat saya heran bagaimana semua itu bisa menghasilkan solusi.

Masnya menyambut dengan senyum. Dia langsung paham begitu saya tunjukkan remote-nya. Ia buka casing-nya, lihat dalamannya, lalu bilang, “Bantalan tombolnya aus, Pak.” Ia bicara tenang, tidak sok tahu, dan langsung ke inti masalah. Saya tanya bisa diperbaiki? Ia angguk, tapi dengan catatan: “Umurnya sudah uzur, Pak. Saya bisa akali dulu, tapi nanti sebaiknya ganti baru.” Ia lalu potong karet kecil, tempel di bagian tombol, dan mengelas sedikit bagian bawahnya. Tangannya lincah, matanya fokus, dan mulutnya diam. Hanya suara solder dan aroma plastik yang terbakar tipis.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Tak sampai sepuluh menit, remote itu hidup lagi. Saya tekan tombolnya, dan kendaraan di luar langsung menyala lampunya. Saya tersenyum. Ia juga. “Berapa?” tanya saya. Ia jawab, “Terserah Bapak saja.” Jawaban yang membuat saya malu. Saya tahu pekerjaan itu terlihat sepele. Tapi kalau saya yang disuruh mengerjakannya, saya pasti akan merusaknya. Saya keluarkan tiga lembar rupiah. Ia menolak sebentar, lalu menerimanya sambil senyum. “Terima kasih, Pak.” Saya balas, “Saya yang terima kasih.”

Sepanjang perjalanan pulang saya berpikir, betapa sering kita menilai orang bukan dari keahliannya, tapi dari tempat ia bekerja. Padahal, di depan saya tadi, ada seorang profesional sejati. Ia tahu masalahnya di mana, tahu batas kemampuan alatnya, dan tahu cara memperpanjang usia pakai. Bukankah itu inti dari kompetensi? Cepat mendiagnosis, tepat memberi solusi, dan tahu kapan berhenti. Semua itu tidak lahir dari sekadar coba-coba. Tapi dari jam terbang dan ketekunan.

Teman saya pernah punya masalah serupa. Ia ke bengkel resmi. Jawabannya standar: “Ganti baru, Pak.” Biayanya hampir sejuta. Padahal masalahnya hanya di bantalan kecil itu. Di tangan si tukang jalanan, masalah itu selesai dengan karet potongan. Bedanya, satu belajar dengan sistem, satunya belajar dari pengalaman. Tapi hasil akhirnya, siapa yang lebih efisien? Siapa yang lebih solutif? Saya tidak sedang membandingkan, tapi dunia ini sering tidak adil terhadap mereka yang belajar tanpa gelar.

Kejadian kemarin membuat saya teringat sebuah cerita yang ramai di media sosial. Seorang dosen, lulusan universitas ternama di luar negeri, menulis tentang pengalamannya menjadi pembicara di acara seminar. Ia satu panel dengan seorang influencer. Dosen itu dibayar 300 ribu rupiah. Sedangkan influencer itu dibayar jutaan, plus fasilitas penginapan dan permintaan khusus. “Rasanya lucu,” tulisnya. “Saya menyiapkan materi berhari-hari, membaca banyak referensi, menyusun data, sementara si influencer hanya datang dengan gaya bicara menarik.”

Bukan soal iri. Ia tahu posisi influencer sekarang sedang naik daun. Tapi di balik tulisannya, ada rasa getir. Tentang bagaimana bangsa ini menghargai kompetensi. Tentang bagaimana pengetahuan sering kalah oleh popularitas. Tentang bagaimana kerja otak sering kalah dari kerja kamera. Dan tentang bagaimana keringat panjang yang ditempa bertahun-tahun kalah oleh dua menit bicara yang viral di TikTok.

Saya membaca tulisan itu dengan senyum tipis. Karena saya tahu perasaan itu. Dulu, waktu masih sering diundang bicara, saya juga tidak pernah tahu berapa honor yang pantas diminta. Kadang saya dibayar besar, kadang tidak sama sekali. Tapi bukan itu poinnya. Yang saya lihat adalah bagaimana pihak pengundang menilai pekerjaan kita. Ada yang melihat isi, ada yang melihat nama. Ada yang menghitung jam, ada yang menghitung pamor. Dunia jasa memang aneh. Harga bukan ditentukan oleh waktu kerja, tapi oleh persepsi.

Di luar negeri, profesi yang berbasis kompetensi punya posisi yang jelas. Di Jepang, tukang yang bisa memperbaiki jam antik bisa dihargai lebih tinggi dari lulusan universitas. Di Jerman, mekanik mesin bisa punya penghasilan lebih besar dari pegawai kantoran. Karena di sana, keahlian dihargai setara dengan ilmu. Tidak ada yang lebih rendah, tidak ada yang lebih tinggi. Orang tahu bahwa skill tidak jatuh dari langit, tapi dari proses panjang belajar dan gagal berkali-kali.

Sementara di sini, kita masih terjebak pada simbol. Gelar, jabatan, pangkat. Semuanya menjadi ukuran nilai seseorang. Tapi begitu bicara tentang harga jasa, semua jadi serba murah. Guru les dibayar per jam seadanya. Dosen diundang bicara dibayar setara makan siang. Padahal di balik itu ada waktu yang tersita, pikiran yang terkuras, dan pengalaman yang dikumpulkan selama bertahun-tahun. Seolah pengetahuan itu tidak punya nilai tukar.

Saya kadang bertanya-tanya, sejak kapan bangsa ini kehilangan rasa hormat pada kompetensi? Dulu, seorang guru dianggap tokoh. Sekarang, sering dianggap pengisi waktu luang. Di acara resmi, sering mereka duduk di kursi belakang. Di panggung, yang utama adalah nama-nama yang ramai di media sosial. Entah sejak kapan ukuran kualitas digantikan oleh jumlah pengikut.

Masalahnya bukan hanya soal uang. Tapi juga tentang mindset. Kita terbiasa berpikir bahwa pekerjaan intelektual itu tidak perlu dihargai tinggi, karena dianggap pengabdian. Akibatnya, banyak orang pintar justru enggan berbagi. Mereka lelah menjelaskan hal yang tidak dihargai. Mereka muak melihat orang yang berbicara tanpa isi, tapi mendapat sorotan. Sementara mereka, yang belajar serius, tenggelam dalam sunyi.

Saya tidak menyalahkan panitia yang mengundang dosen itu. Mungkin mereka berpikir, influencer lebih laku dijual. Karena orang datang bukan untuk belajar, tapi untuk berfoto. Seminar sudah bergeser menjadi hiburan. Orang tidak butuh isi, tapi butuh dokumentasi. Itulah pasar. Dan pasar selalu mengikuti selera, bukan kualitas. Maka wajar jika yang populer lebih mahal daripada yang kompeten.

Tapi di titik tertentu, pasar juga butuh keseimbangan. Karena tanpa orang-orang kompeten, dunia akan penuh tipu daya. Siapa yang akan memastikan informasi yang beredar benar? Siapa yang akan menulis, meneliti, dan mengajar dengan dasar ilmu? Kalau semua hanya bergantung pada popularitas, maka kebenaran akan tergeser oleh kehebohan. Dan kehebohan, seperti yang kita tahu, umurnya pendek.

Di Taiwan dulu, saya sering melihat bagaimana universitas menghargai dosen tamu. Mereka tidak melihat titel, tapi kontribusi. Seorang pengrajin bambu bisa diundang untuk mengajar desain produk, dan dibayar sama dengan profesor. Karena yang dilihat adalah kompetensi, bukan status. Saya kagum pada cara berpikir itu. Semua orang punya nilai, asalkan ia tahu apa yang ia kuasai, dan bisa membaginya dengan orang lain.

Di sisi lain, ada budaya malu di antara kaum intelektual kita untuk bicara soal honor. Seolah uang membuat kerja mereka kehilangan makna. Padahal, tidak ada salahnya profesional dihargai sesuai kapasitasnya. Dokter dibayar mahal bukan karena rakus, tapi karena tanggung jawabnya besar. Dosen, peneliti, konsultan, atau bahkan tukang remote, semua punya tanggung jawab di bidangnya. Dan setiap tanggung jawab butuh penghargaan yang pantas.

Saya percaya, bangsa akan maju jika menghargai keahlian. Bukan sekadar popularitas. Tapi bagaimana cara mengubah cara pandang ini? Harus dimulai dari diri kita. Dari cara kita membayar tukang, guru, pembicara, penulis, atau siapa pun yang bekerja dengan otak dan tangannya. Jangan minta murah hanya karena mereka terlihat sederhana. Harga bukan soal rupa, tapi soal proses.

Saya jadi ingat, di Korea Selatan, seorang montir yang mampu memperbaiki mobil impor dengan efisien mendapat gelar “engineer,” bukan “tukang.” Gelar itu bukan formalitas. Tapi penghormatan atas kemampuan. Mereka sadar, negara maju tidak bisa berdiri di atas teori saja. Ia butuh orang-orang yang bisa mengeksekusi, memperbaiki, mencipta, dan menyelesaikan masalah nyata.

Mungkin itu juga yang hilang dari kita. Kita terlalu sibuk mengagumi gelar, tapi lupa menghargai keterampilan. Padahal, semua bangsa besar berdiri di atas dua kaki: ilmu dan keahlian. Ilmu tanpa keahlian hanya wacana. Keahlian tanpa ilmu hanya kebetulan. Dan dua-duanya harus diberi ruang yang sama, termasuk dalam hal penghargaan.

Saya sering bertemu orang-orang lapangan yang lebih bijak dari lulusan universitas. Mereka tidak banyak bicara, tapi tahu apa yang harus dilakukan. Mereka tidak hafal teori, tapi paham logika. Mereka tidak punya gelar, tapi punya kemampuan. Orang seperti itu sering luput dari perhatian, padahal merekalah yang menjaga dunia tetap berjalan.

Harga sebuah kompetensi tidak selalu bisa diukur dengan uang. Tapi uang tetap penting sebagai bentuk penghargaan. Karena manusia hidup dengan kebutuhan. Menghargai keahlian orang lain bukan berarti menyanjung, tapi memberi imbalan yang wajar atas waktu dan pengetahuan yang ia bagi. Itu etika, bukan sekadar transaksi.

Saya ingin bangsa ini belajar menghormati keahlian sejak dini. Dari rumah, dari sekolah. Jangan ajarkan anak untuk hanya jadi terkenal. Ajarkan mereka untuk jadi ahli di bidangnya. Karena ketika semua berlomba menjadi terkenal, akan semakin sedikit orang yang tahu cara memperbaiki sesuatu yang rusak.

Kembali ke si tukang remote itu. Ia tidak tahu teori ekonomi, tapi ia paham nilai waktu. Ia tidak baca buku motivasi, tapi ia bekerja dengan hati. Ia tidak minta tarif, tapi memberi solusi. Dan di situlah pelajaran berharga itu: kompetensi tidak berisik. Ia bekerja dalam diam, tapi hasilnya berbicara.

Kadang, penghargaan yang paling tulus bukan datang dari angka di kertas, tapi dari rasa hormat di hati. Tapi kalau bisa dua-duanya? Menghargai dengan hormat, dan membayar dengan pantas. Dunia ini akan terasa lebih adil.

Karena pada akhirnya, harga sebuah kompetensi bukan ditentukan oleh siapa yang melihat, tapi oleh siapa yang menghargai.

Ada satu kebiasaan baru di dunia kampus Indonesia yang kalau dipikir-pikir agak absurd tapi nyata, dosen sekarang bukan lagi sibuk ngajar atau riset di lapangan, tapi sibuk nyari jurnal. Iya, nyari jurnal. Bukan nyari ilmu, bukan nyari murid, tapi nyari tempat di mana tulisannya bisa dimuat, terutama kalau ada logo kecil bertuliskan indexed by Scopus. Logo itu sekarang sudah seperti tanda tangan Tuhan di dunia akademik. Kalau ada, maka dosen dianggap suci.

Obrolan di ruang dosen pun berubah. Dulu masih bisa santai ngomongin resep gulai, gosip mahasiswa, atau ngerumpi tentang rektor baru. Sekarang topiknya cuma satu: Scopus. Kalau tidak ngomong Scopus, ya ngomong Sinta. Dua kata yang terdengar seperti nama orang tapi bisa menentukan hidup-matinya seorang dosen. Kadang saya pikir, kalau Scopus dan Sinta itu benar-benar manusia, mungkin mereka sudah jadi tamu kehormatan setiap rapat senat universitas.
Ilustrasi Industri Index Jurnal (Gambar : AI Generated)

Saya pernah mendengar satu cerita. Ada seorang dosen muda, belum genap dua tahun ngajar, tapi sudah seperti pejuang yang kehilangan arah. Ia berkata lirih, “Mas, saya capek. Semua orang nyuruh saya publikasi Scopus. Saya belum sempat meneliti, tapi sudah dituntut publikasi.” Saya cuma bisa menepuk bahunya dan bilang, “Sabar, Nak. Di dunia ini, tidak semua yang terindeks Scopus itu benar-benar berguna.”

Sekarang ini, setiap dosen seperti hidup dalam sistem yang diciptakan untuk membuat mereka terus berlari, tapi tidak tahu tujuannya ke mana. Mau naik jabatan? Scopus. Mau naik pangkat? Scopus. Mau jadi guru besar? Scopus. Bahkan mau makan di kantin pun, topik obrolannya tetap Scopus. Dosen yang tidak punya publikasi Scopus itu sekarang seperti warga kelas dua. Sekalipun dia mengajar dengan hati dan mengubah hidup banyak mahasiswa, tetap saja dianggap kurang “bermutu.”

Masalahnya, Scopus ini sudah jadi industri. Bukan sekadar platform indeks. Ia sudah berubah jadi sistem ekonomi tersendiri. Ada jurnal yang menawarkan publikasi cepat, ada yang buka jalur khusus fast track, ada pula yang terang-terangan minta “biaya pemrosesan.” Dunia akademik pun pelan-pelan berubah jadi dunia perniagaan. Di kampus, pengetahuan diperdagangkan seperti gorengan di pinggir jalan. Bedanya, gorengan bisa dimakan.

Lucunya lagi, para dosen jadi seperti pekerja lepas di pabrik tulisan. Ada yang rela begadang seminggu penuh demi satu paper. Ada yang rela jual motor demi bayar biaya publikasi. Ada juga yang rajin ikut webinar internasional, bukan untuk menambah ilmu, tapi untuk numpang nama di proceeding. Semua ini dilakukan demi satu hal: index Scopus. Kalau Scopus adalah agama, mungkin para dosen ini sudah dianggap jamaah paling taat.

Saya pernah ikut satu seminar dosen muda. Di sana ada pembicara yang bilang, “Sekarang ini bukan lagi era siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling cepat publish.” Kalimat itu disambut tawa getir. Sebab semua tahu, sekarang kecepatan lebih penting daripada kedalaman. Penelitian tidak lagi tentang apa yang ditemukan, tapi di mana dimuat.

Industri ini akhirnya menciptakan lingkaran setan. Kampus menuntut dosen untuk punya publikasi internasional. Dosen pun berbondong-bondong mencari jurnal cepat terbit. Jurnal cepat terbit melihat peluang dan menaikkan tarif. Muncullah jurnal predator, yang tidak peduli isi riset, asal bayar. Dan yang lucu, kadang justru jurnal seperti inilah yang paling ramai diminati. Karena mudah, cepat, dan maaf, tidak peduli mutu.

Ada satu dosen yang saya kenal, wajahnya selalu terlihat letih tiap kali rapat. Ia bilang, “Mas, saya sampai lupa rasanya mengajar dengan tenang. Setiap kali masuk kelas, yang saya pikirkan cuma belum nulis, belum submit, belum accepted.” Dosen ini sudah lebih mirip buruh pabrik artikel. Bedanya, buruh pabrik dapat lembur. Ia tidak.

Sementara itu, mahasiswa hanya jadi penonton. Mereka melihat dosennya sibuk sendiri. Ada yang dosennya sekarang jarang datang karena lagi ngejar publikasi. Ada yang tugas akhirnya mandek karena pembimbingnya masih menunggu peer review. Dunia kampus yang dulu hidup karena interaksi kini perlahan terasa dingin. Dosen sibuk ngejar Scopus, mahasiswa sibuk ngejar dosen.

Ironisnya, sebagian besar hasil riset itu bahkan tidak pernah kembali ke masyarakat. Penelitian tentang petani yang tidak pernah dibaca petani. Kajian tentang UMKM yang tidak pernah diketahui pelaku UMKM. Paper yang ditulis dengan semangat mengubah dunia, tapi hanya berakhir di repositori kampus. Dunia akademik jadi seperti pabrik mobil yang tidak pernah mengeluarkan mobilnya ke jalan.

Kalau semua penelitian hanya berakhir pada angka-angka dan indeks, untuk apa semua ini dilakukan? Bukankah tujuan ilmu pengetahuan itu seharusnya untuk kehidupan yang lebih baik? Tapi nyatanya, sekarang kita hidup di era di mana pengetahuan hanya penting kalau bisa diindeks, bukan kalau bisa dirasakan.

Dosen yang aktif menulis di media massa sering kali dianggap “tidak ilmiah.” Dosen yang rajin terjun ke masyarakat dianggap “tidak akademis.” Padahal justru mereka yang paling banyak memberi manfaat langsung. Tapi sistem kita tidak mengukur itu. Sistem kita hanya menghitung angka sitasi, bukan dampak sosial.

Saya tidak menyalahkan Scopus sepenuhnya. Ia hanyalah alat. Masalahnya adalah cara kita memperlakukannya. Di tangan kita, Scopus berubah jadi berhala. Dihormati, ditakuti, disembah. Tapi lupa bahwa berhala, betapapun besar, tetap tidak bisa memberi makna.

Kadang saya berpikir, apa jadinya kalau Socrates atau Al-Ghazali hidup di era ini? Mungkin mereka tidak akan dianggap ilmuwan besar, karena tidak punya publikasi Scopus. Padahal ilmu mereka sudah mengubah peradaban. Mereka menulis untuk manusia, bukan untuk reviewer anonim di luar negeri yang bahkan tidak tahu mereka makan apa hari itu.

Industri ini juga menciptakan hierarki baru. Dosen yang “Scopus-nya banyak” kini dipuja seperti selebritas. Dosen yang belum punya publikasi dianggap belum matang. Padahal belum tentu. Ada banyak dosen yang mengajar dengan hati, membimbing mahasiswa sampai sukses, tapi tak pernah merasa perlu memublikasikan risetnya. Ilmunya nyata, meski tidak terindeks.

Saya pernah ditanya seorang mahasiswa, “Pak, kenapa Bapak jarang nulis Scopus?” Saya jawab santai, “Karena saya lebih suka menulis yang bisa dibaca manusia, bukan mesin.” Anak itu tertawa, mungkin tidak paham, tapi setidaknya saya lega bisa jujur. Kadang, kejujuran kecil seperti itu lebih menenangkan daripada seribu kutipan.

Masalahnya, sistem ini tidak memberi ruang bagi kejujuran semacam itu. Dosen akhirnya berpura-pura sibuk riset, padahal hanya sibuk mencari tempat publish. Mereka tidak punya waktu untuk berpikir. Mereka hanya punya waktu untuk mengejar deadline submission.

Industri ini juga menciptakan pasar baru. Ada bimbingan nulis Scopus berbayar. Ada workshop publikasi cepat. Ada lembaga yang menjual “template sukses submit.” Semua menguangkan kegelisahan dosen. Dunia akademik berubah jadi pasar malam. Penuh lampu, ramai sua22ra, tapi intinya cuma satu, jualan.

Kadang saya heran, bagaimana ilmu yang seharusnya membebaskan, kini justru menjerat para pencarinya. Dosen jadi seperti pekerja di tambang data. Menggali angka, bukan makna. Dan yang paling sedih, banyak dari mereka tidak sadar sedang dieksploitasi oleh sistem yang mereka sendiri pertahankan.

Seorang dosen senior pernah bilang pada saya, “Dulu, kami meneliti untuk menjawab pertanyaan hidup. Sekarang, kalian meneliti untuk memenuhi target kinerja.” Saya hanya bisa tertunduk. Karena beliau benar. Ilmu kini tidak lagi lahir dari rasa ingin tahu, tapi dari rasa takut tidak naik pangkat.

Saya tidak menolak publikasi internasional. Dunia memang butuh keterbukaan. Tapi yang perlu kita ingat, ilmu pengetahuan itu seharusnya bukan soal berapa kali dikutip, tapi berapa banyak hidup yang berubah karenanya. Karena sehebat-hebatnya Scopus, ia tidak pernah tahu rasanya membantu satu desa keluar dari krisis air bersih.

Kalau boleh jujur, saya rindu masa di mana dosen dikenal bukan karena jumlah sitasinya, tapi karena muridnya yang sukses. Karena di situlah sejatinya fungsi pendidikan. Bukan soal publish or perish, tapi teach and flourish.

Mungkin, sudah saatnya kita berhenti memuja Scopus dan mulai memuliakan manusia. Karena sehebat apapun artikel yang kita tulis, kalau tidak berdampak pada siapa pun di luar ruang akademik, maka semua itu tidak lebih dari karya tanpa nyawa. Dan dunia ini, sudah cukup ramai dengan karya seperti itu.

Kalau ada hal yang paling sering dilakukan orang Indonesia selain makan nasi tiga kali sehari dan update status di Instagram, mungkin jawabannya adalah bersumpah. Iya, bersumpah. Saking seringnya, saya kadang curiga jangan-jangan bangsa ini sudah jadi negara dengan “jumlah sumpah per kapita” tertinggi di dunia. Dikit-dikit sumpah. Dikit-dikit janji di atas kitab suci. Mulai dari siswa SMA yang baru lulus sampai pejabat yang baru dilantik, semua dimulai dengan kalimat “Demi Tuhan saya bersumpah…”. Tapi anehnya, entah kenapa negara yang paling sering bersumpah ini juga jadi negara yang paling sering melanggar sumpahnya.

Saya dulu pikir, bersumpah itu sesuatu yang sakral. Begitu seseorang mengucapkan sumpah, langit jadi hening, malaikat menunduk, dan dosa takut mendekat. Tapi di Indonesia, sumpah sudah seperti teh manis, terlalu sering disajikan sampai kehilangan rasa spesialnya. Orang sumpah bukan lagi karena takut Tuhan, tapi karena takut nggak dilantik. Karena kalau nggak bersumpah, nanti dianggap tidak sah. Maka sumpah pun berubah jadi semacam formalitas belaka, semacam password yang harus diucapkan sebelum masuk jabatan.

Ilustrasi Pejabat sedang Disumpah (Gambar : AI Generated)

Bayangkan, dari sejak muda saja kita sudah dikenalkan dengan sumpah. Ada Sumpah Siswa, Sumpah Mahasiswa, Sumpah Sarjana, Sumpah Profesi, Sumpah ASN, sampai Sumpah Kepala Desa hingga Presiden. Kalau Ketua RT juga bisa disumpah, pasti juga harus disumpah. Pokoknya hidup di Indonesia ini kalau dikumpulkan dari awal sampai akhir bisa kayak buku doa lintas profesi: penuh sumpah. Bahkan ada yang belum kerja pun sudah bersumpah, padahal gaji belum tentu datang, tapi janji sudah berderet.

Saya ingat waktu wisuda dulu, ketua angkatan saya memimpin pembacaan sumpah sarjana. Semua berdiri, tangan kanan diangkat, wajah dibuat khusyuk. Kalimatnya indah: “Saya bersumpah akan menjunjung tinggi nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab…” dan seterusnya. Tapi begitu keluar dari auditorium, baru parkir motor, sudah ada yang bohongin tukang parkir dengan bilang “Sebentar, Pak, cuma ambil jas toga.” Eh, nggak balik lagi.

Lucunya, sumpah di negeri ini sering diucapkan dengan wajah penuh keyakinan, tapi dijalankan dengan hati penuh alasan. Pejabat bersumpah tidak akan korupsi, tapi kalau ketahuan, bilangnya “saya khilaf”. Dokter bersumpah menolong sesama, tapi kalau pasien nggak mampu, kadang disuruh pulang dulu. Politisi bersumpah demi rakyat, tapi malah sibuk demi proyek. Kalau sumpah itu punya perasaan, mungkin dia sudah lelah.

Saya kadang mikir, kenapa sih kita ini begitu hobi bersumpah? Apakah karena kita bangsa yang religius, atau karena kita bangsa yang seremonial? Mungkin dua-duanya. Kita suka yang megah, yang sakral, yang bikin khidmat. Kita suka upacara, kita suka foto bareng setelah sumpah, kita suka naruh tangan di dada dengan gaya patriotik. Tapi setelah itu? Ya, selesai. Sumpah tinggal di ruangan itu, nggak ikut pulang.

Saya jadi ingat, dulu waktu masih mahasiswa, pernah ikut demo yang salah satunya meneriakkan “Sumpah Mahasiswa Indonesia.” Namanya keren, kayak mau mendirikan negara baru. Isinya pun gagah: “Kami mahasiswa Indonesia bersumpah untuk menegakkan keadilan, melawan penindasan…” dan seterusnya. Tapi kenyataannya, besoknya tetap antre minta tanda tangan dosen, dan kalau nggak ditandatangani, langsung nyumpahin dosennya juga. Sumpahnya belum sehari, sudah dilanggar dengan sumpah serapah.

Kalau di luar negeri, saya perhatikan, orang tidak banyak bersumpah. Mereka tidak terlalu sering janji demi Tuhan. Tapi etos kerja mereka tinggi, rasa malu mereka besar, dan tanggung jawab mereka nyata. Di Jepang, tidak ada sumpah pegawai negeri. Tapi coba lihat, jam kerja mereka sampai lupa istirahat. Di Finlandia, tidak ada sumpah dosen. Tapi pendidikan mereka terbaik di dunia. Sementara kita? Sumpah ada di mana-mana, tapi kejujuran masih langka seperti sinyal 4G di pegunungan.

Saya pernah melihat ada pejabat yang bersumpah dua kali. Pertama saat dilantik, kedua saat tertangkap KPK. Dua-duanya pakai kitab suci. Bedanya, yang pertama di podium, yang kedua di ruang sidang. Kalau kitab sucinya bisa bicara, mungkin dia akan bilang: “Mas, tolong deh, jangan sering-sering bawa saya kalau ujungnya begini.”

Saya tidak menentang sumpah. Tapi saya sedih melihat sumpah kita kehilangan makna. Sumpah di sini lebih sering jadi “event” daripada “komitmen”. Kalau di dunia hiburan, mungkin sumpah ini sudah seperti launching album. Heboh di awal, hilang di tengah, dilupakan di akhir. Padahal sumpah itu seharusnya seperti lagu yang terus dinyanyikan dalam hati, bukan hanya saat ada penonton.

Lucunya lagi, kita ini suka menguji kejujuran orang lain dengan sumpah. “Kalau kamu jujur, sumpah deh!” Kalimat itu sering keluar di sinetron, kadang juga di dunia nyata. Tapi kalau sumpah benar-benar jadi alat ukur kebenaran, mungkin separuh orang Indonesia sudah disambar petir.

Saya kadang berpikir, kalau semua sumpah yang pernah kita ucapkan itu bisa dikumpulkan dan ditagih, mungkin Tuhan sudah bingung harus menagih yang mana dulu. Dari sumpah jabatan sampai sumpah setia waktu pacaran. Dua-duanya sering dilanggar dengan alasan “situasi tidak memungkinkan.”

Lucunya lagi, sebagian orang masih bangga karena sering dilantik, padahal setiap pelantikan berarti satu sumpah lagi yang harus dijaga. Saya kadang ingin bertanya: apa nggak capek hidup dengan tumpukan janji? Kalau semua sumpah itu dibaca ulang, mungkin satu orang pejabat saja sudah cukup untuk bikin Tuhan geleng-geleng kepala.

Saya jadi ingat satu teman yang bilang, “Bangsa kita ini suka mengulang janji, tapi lupa menepati.” Dan mungkin itu benar. Kita terbiasa bersuara keras di awal, tapi pelan-pelan hilang di tengah jalan. Dari sumpah kemerdekaan, sumpah jabatan, sampai sumpah netralitas menjelang pemilu. Semua diucapkan dengan lantang, tapi dijalankan dengan pelan-pelan.

Di sisi lain, mungkin kita juga harus akui, sumpah itu seperti cermin. Semakin sering kita melihatnya, semakin sadar betapa jauh jarak antara ucapan dan tindakan. Tapi ya itu tadi, di Indonesia, cermin lebih sering jadi pajangan daripada alat introspeksi.

Saya membayangkan, kalau setiap orang benar-benar menjalankan sumpahnya, mungkin negara ini akan jadi surga kecil. Pejabat jujur, guru disiplin, dokter melayani dengan tulus, mahasiswa belajar dengan sungguh-sungguh, dan rakyat tidak mudah ditipu. Tapi sayangnya, surga itu masih di atas kertas sumpah, belum di bumi kenyataan.

Jadi mungkin, sudah saatnya kita mengurangi acara sumpah-sumpahan dan mulai menambah acara menepati sumpah. Karena kalau terus begini, sumpah tinggal jadi hiburan tahunan. Bahkan kalau bisa, setiap kali mau bersumpah, kita tanya dulu ke diri sendiri: “Sanggup nggak?” Kalau nggak sanggup, ya jangan sumpah dulu.

Dan di antara sekian banyak sumpah yang pernah lahir di negeri ini, ada satu yang rasanya paling jujur - Sumpah Pemuda. Entah kenapa, sumpah yang satu itu terasa lebih tulus. Mungkin karena diucapkan oleh mereka yang belum punya jabatan, belum punya kepentingan, dan belum punya proyek. Hanya punya satu hal, cinta pada negeri.

Sumpah Pemuda adalah sumpah yang tidak diulang-ulang tapi terus hidup. Tidak dilantunkan di podium tapi bergaung di dada. Tidak dikawal media tapi dikenang sejarah. Sumpah yang tidak butuh tepuk tangan, tapi sampai hari ini tetap membuat kita berdiri tegak.

Jadi, kalau nanti ada yang tanya, sumpah mana yang paling bermanfaat di Indonesia? Jawaban saya sederhana: bukan sumpah jabatan, bukan sumpah profesi, tapi Sumpah Pemuda. Karena hanya sumpah itu yang benar-benar kita rasakan manfaatnya sampai hari ini. Yang lain? Ya... mungkin masih dalam proses belajar menepati.


Menarik kalau dipikir. Hari ini di Samarkand, bahasa Indonesia berbicara ke dunia. Dua abad lalu di tepi Sungai Nil, sebuah batu ditemukan di reruntuhan benteng tua. Batu itu diam, hitam, berat. Tapi di permukaannya ada tiga tulisan. Tiga bahasa. Salah satunya Yunani kuno, yang sudah dikenal. Dua lainnya tidak. Batu itu kemudian diberi nama Rosetta Stone.

Batu Rosetta itu mengubah sejarah manusia. Karena dari batu itu, manusia akhirnya bisa membaca hieroglif Mesir kuno - bahasa yang sebelumnya terkunci ribuan tahun. Bayangkan, seluruh peradaban besar, seluruh pemikiran, hukum, filsafat, teknologi pertanian, astronomi, seni, dan ritual Mesir kuno. semua terkunci hanya karena satu hal: bahasa. Dunia buta pada masa lalu karena tidak tahu bagaimana membaca. Hingga Champollion, seorang filolog Prancis, berhasil membandingkan ketiga tulisan di batu itu, dan membuka pintu pengetahuan baru.

Ilustrasi Batu Rosetta Nusantara (Gambar : AI Ilustrated)

Saya jadi berpikir, hari ini yang kita rayakan di Tashkent bukan sekadar upacara bahasa. Ini mirip peristiwa Rosetta versi Indonesia. Ketika bahasa kita naik menjadi bahasa resmi UNESCO, artinya dunia mulai membuka diri untuk membaca kita. Tapi lebih dari itu, ini kesempatan bagi kita untuk membaca dunia dengan bahasa kita sendiri. Karena selama ini, banyak ilmu dan wacana global hanya tersedia dalam bahasa asing. Artinya hanya segelintir orang yang bisa membacanya. Sisanya, hanya menunggu terjemahan yang sering tidak lengkap.

Dengan pengakuan UNESCO ini, posisi bahasa Indonesia berubah. Bahasa kita bukan lagi penerima, tapi pengirim. Kita tidak hanya menerjemahkan ilmu dari luar ke dalam, tapi bisa juga menulis ilmu kita sendiri untuk dunia luar. Seperti Batu Rosetta yang membuka peradaban Mesir, bahasa Indonesia punya potensi membuka pengetahuan dunia bagi rakyatnya sendiri.

Saya teringat satu hal yang sering saya lihat di lapangan. Banyak orang pandai di desa-desa, petani, guru, nelayan, punya pengalaman dan kearifan luar biasa. Tapi semua terjebak karena tidak tersambung dengan bahasa ilmu pengetahuan modern. Buku-buku riset, hasil konferensi, jurnal internasional, semuanya dalam bahasa asing. Akibatnya, ilmu berhenti di meja akademisi. Tidak turun ke tangan rakyat. Seperti prasasti yang tidak terbaca. Seperti peradaban Mesir sebelum Batu Rosetta ditemukan.

Kalau bahasa Indonesia terus berkembang jadi bahasa ilmu pengetahuan, kita akan punya Rosetta kita sendiri. Bahasa yang bisa menjembatani laboratorium dan sawah. Bahasa yang bisa menjelaskan algoritma dan akhlak dalam kalimat yang sama. Bahasa yang bisa menjelaskan riset AI, tapi juga bisa menjelaskan filosofi gotong royong dengan presisi ilmiah. Karena inti dari semua bahasa adalah kemampuan mengubah pengetahuan menjadi pemahaman.

Hari ini Prof. Abdul Mu’ti (Mendikdasmen RI) akan berpidato di UNESCO dalam bahasa Indonesia. Pidato itu bukan hanya simbol politik, tapi pernyataan budaya: bahwa kita siap bicara dalam bahasa kita sendiri. Kita siap menyampaikan ide kita dengan kosakata kita. Kita tidak lagi hanya mendengar terjemahan dunia, tapi ikut menulis kalimatnya. Ini langkah yang kecil di mata politik, tapi besar dalam sejarah pemikiran.

Rosetta Stone dulu ditemukan secara kebetulan oleh tentara Napoleon. Tapi efeknya luar biasa. Ia membuka mata manusia terhadap masa lalu. Bahasa Indonesia di UNESCO mungkin bukan kebetulan, tapi hasil perjuangan panjang. Efeknya juga bisa luar biasa. Ia bisa membuka masa depan. Ia bisa membuka akses masyarakat terhadap ilmu. Ia bisa membuat ilmu tidak lagi terkurung di ruang elit.

Selama ini banyak anak muda takut membaca jurnal ilmiah. Bukan karena tidak pintar, tapi karena bahasanya asing. Banyak petani takut membaca laporan riset pertanian. Banyak perawat bingung membaca laporan medis global. Kalau semua itu tersedia dalam bahasa Indonesia yang kuat, yang kaya istilah ilmiah, maka bangsa ini tidak lagi menunggu diterjemahkan. Bangsa ini akan membaca langsung. Berpikir langsung. Berinovasi langsung.

Bahasa adalah alat membaca dunia. Batu Rosetta memberi manusia kunci untuk membaca masa lalu. Bahasa Indonesia, jika dikuatkan, bisa jadi kunci untuk membaca masa depan. Dan yang menarik, ini bukan tentang nasionalisme kosong. Ini tentang efisiensi pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan tidak bekerja lewat kebanggaan, tapi lewat pemahaman. Dan pemahaman hanya datang kalau bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipahami.

Saya ingin melihat nanti bagaimana UNESCO mencatat pidato Mendikdasmen. Apakah mereka akan menulis “Speech delivered in Bahasa Indonesia” di arsipnya. Karena kalimat itu sederhana, tapi maknanya dalam. Sama dalamnya dengan tulisan kecil di batu Rosetta yang dulu dianggap remeh tapi kemudian mengubah arah sejarah.

Kalau dulu dunia belajar memahami Mesir karena bahasa, sekarang dunia bisa belajar memahami Indonesia juga lewat bahasa. Dan lebih penting lagi, rakyat Indonesia bisa memahami dunia lewat bahasanya sendiri. Tidak perlu menunggu orang lain menuliskannya untuk kita. Tidak perlu menunggu terjemahan yang datang terlambat. Kita akan membaca sendiri. Kita akan menulis sendiri. Kita akan membuka peradaban kita sendiri.

Begitulah cara peradaban tumbuh: dimulai dari bahasa. Dan hari ini, di Tashkent, pintu itu mulai terbuka.

Saya sedang di Solo. Sudah dua hari. Acara kampus. Formal, padat, tapi penuh tawa. Malam ini, usai acara penutupan, saya ingin keluar sebentar. Ingin menikmati Solo tanpa batik dan name tag. Hujan sejak pagi membuat niat itu bolak-balik saya pertimbangkan. Ingin jalan kaki, tapi rintiknya belum berhenti juga. Akhirnya saya menyerah pada teknologi. Saya buka ponsel, pesan Grab.

Awalnya saya pilih Grab Bike. Ingin merasakan semilir udara malam Solo sambil hujan kecil. Tapi nihil. Tak ada yang mau ambil order. Mungkin semua pengemudi sedang berteduh di bawah jembatan atau warung kopi. Lalu saya ganti jadi Grab Car. Tak sampai dua menit langsung disambar. Mobilnya datang cepat. Toyota Agya. Warna hitam.

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Sopirnya ramah. Lelaki paruh baya. Jawa halus. Dari logatnya saya tahu dia wong Solo tulen. Kami langsung klik. Bahasa yang kami pakai pun bukan bahasa Indonesia, tapi bahasa Jawa kromo alus. Sudah jarang saya pakai sehari-hari di Bengkulu. Tapi di Solo, bahasa itu terasa hidup. Seperti pulang ke masa kecil.

Saya sempat berpikir, mungkin saya generasi terakhir di keluarga yang fasih bicara bahasa Jawa halus. Anak-anak saya tumbuh di lingkungan yang semua orangnya berbahasa Indonesia. Bahasa nasional sudah jadi lingua franca di rumah kami. Kadang saya coba ajak mereka ngomong Jawa, mereka jawab pakai Indonesia. Saya kalah. Tapi ya sudahlah.

Sopir itu bertanya, saya dari mana, sedang apa di Solo. Saya jawab singkat, acara kampus. Dia antusias. Lalu bertanya, kampus apa. Saya bilang, dari Muhammadiyah. Seketika nada suaranya berubah. Lebih semangat. Lebih cair. Ia bilang, “Wah, Muhammadiyah itu hebat, Pak.” Saya tertawa kecil.

Lalu ia melanjutkan, “Negara saja utang ke Muhammadiyah, lho.” Saya tahu maksudnya. Ia bicara soal pembayaran klaim BPJS yang sering telat ke rumah sakit Muhammadiyah. Ia bercerita dengan gaya jenaka, tapi isinya serius. “Artinya Muhammadiyah lebih dipercaya rakyat daripada negara,” katanya sambil tertawa. Saya ikut tertawa.

Ia bercerita panjang soal kampus Muhammadiyah. Katanya sekarang sudah jadi kampus elit. Pendaftarnya belasan ribu. Tapi yang lulus wisuda cuma dua ribu. Saya tanya kenapa bisa begitu. Dia menjawab, “Yang lain masih jadi donatur kampus karena tidak lulus-lulus.” Saya tersenyum. Jawaban khas wong Solo.

Saya jawab pelan, “Kalau di tempat kami, beda.” Di kampus saya, kami masih mencari mahasiswa seperti orang mencari sinyal di hutan. Sedikit. Susah. Sistem pendidikan tinggi sekarang berat bagi kampus kecil. Status PTNBH memberi keistimewaan ke yang besar, tapi yang kecil seperti kami jadi megap-megap.

Mobil terus melaju di jalan basah. Lampu kota memantul di aspal. Suasana tenang. Kami masih ngobrol. Lalu topik berubah. Politik. Saya kira cuma di Bengkulu orang suka bicara politik di mana saja. Di warung, di masjid, di acara kawinan. Tapi di Solo pun begitu. Bedanya, di Bengkulu politiknya masa kini. Di Solo, politiknya masa lalu.

Sopir itu tiba-tiba bicara soal 1998. Soal masa reformasi. Ia bilang dirinya dulu aktivis. Tahun 90-an. Ia menyebut beberapa nama. Salah satunya Budiman Sudjatmiko. Ia bilang mereka dulu sering satu gerakan. Ia mengaku pernah berkali-kali menyelamatkan Budiman dari kejaran aparat yang berniat menjebloskannya ke penjara. Saya tertegun.

Dari caranya bercerita, saya percaya. Ia tidak sedang mengarang. Nada suaranya berat ketika menyebut “tahun-tahun itu.” Katanya, banyak kawan yang hilang. Ada yang tak kembali. Ada yang pindah ideologi. Ada yang diam karena kecewa.

Ia bilang sesuatu yang menarik. “Reformasi itu keliru kalau menganggap Amien Rais dan Megawati sebagai tokoh utamanya.” Ia berhenti sebentar, lalu menoleh ke saya. “Mereka hanya punya panggung. Tapi yang berjuang di lapangan, itu anak-anak muda yang tak dikenal.”

Saya mengangguk. Pandangannya tajam, tapi tanpa kebencian. Ia tidak sedang menyerang siapa pun. Ia hanya mengingat. Ia tahu panggung sejarah sering tidak adil. Nama besar sering datang dari mikrofon, bukan dari keringat.

Ia menambahkan, “Waktu itu, kami bergerak di bawah tanah. Tak ada media. Tak ada sorotan. Tapi tanpa kami, tak ada massa yang bergerak.” Saya tidak menjawab. Saya biarkan ia terus bercerita. Saya ingin tahu bagaimana ia memaknai masa itu sekarang.

Lalu ia tertawa. “Dulu kami pikir reformasi akan membawa keadilan. Ternyata yang datang hanya ganti seragam.” Saya tertawa kecil. Kalimatnya pahit, tapi disampaikan dengan ringan. Ia sudah berdamai dengan sejarahnya sendiri.

Saya bertanya, “Kalau sekarang, ikut partai?” Ia menggeleng. “Sudah kapok, Pak.” Katanya, dulu ia pernah dicoba direkrut partai, tapi menolak. Ia merasa sudah cukup berjuang. Sekarang, ia hanya ingin kerja tenang. “Cukup antar orang seperti Bapak,” katanya sambil tersenyum.

Saya kagum. Banyak orang menua dengan getir. Tapi dia menua dengan tenang. Ia berdamai dengan masa lalu tanpa kehilangan semangat. Di usianya sekarang, ia tetap berpikir jernih. Masih mengikuti isu politik, tapi tanpa benci.

Ia bilang masih sering ketemu teman-teman lamanya. Sesekali reuni kecil. Sekadar minum kopi dan membahas masa 98 yang semakin jauh. “Yang bikin sedih, Pak, banyak yang sekarang malah jadi bagian dari sistem yang dulu kami lawan,” ujarnya. Saya paham rasa itu. Idealisme memang punya umur.

Ia bercerita lagi, bahwa dulu pernah ingin kuliah. Tapi tak sempat. Keluarga tak mampu. Ia kerja sambilan sejak SMA. Sekarang, anaknya yang kuliah. Ia bangga sekali. “Mungkin ini balasan dari perjuangan dulu, Pak,” katanya pelan.

Saya menatap keluar jendela. Hujan makin deras. Wiper mobil bergerak ritmis. Jalanan basah, tapi Solo tetap indah. Ada sesuatu yang romantik dari kota ini. Tidak dalam arti cinta, tapi dalam rasa tenang yang lembut.

Obrolan kami berpindah lagi. Soal pendidikan. Ia merasa sekolah sekarang terlalu sibuk mengejar nilai, bukan karakter. Ia bilang, “Kalau anak saya nilainya biasa-biasa saja tapi jujur, saya sudah bangga.” Kalimat sederhana, tapi dalam.

Saya mengangguk. Dunia sekarang memang cepat sekali. Anak-anak seperti dikejar waktu. Nilai, ranking, prestasi, semua jadi ukuran. Padahal yang paling penting, kadang yang tidak bisa diukur.

Ia sempat bertanya, bagaimana pandangan saya soal kampus Muhammadiyah ke depan. Saya jawab, kampus Muhammadiyah akan kuat kalau tetap memegang akar. Tidak ikut-ikutan jadi “negeri rasa negeri.” Kampus harus tetap jadi tempat mencetak manusia, bukan hanya pekerja.

Ia mengiyakan. “Dulu kami berjuang agar rakyat bisa bebas berpikir. Tapi sekarang, pikiran dibatasi oleh algoritma,” katanya. Saya terdiam. Benar juga. Dulu yang dikontrol adalah tubuh. Sekarang, pikiran. Bedanya, sekarang kontrolnya halus dan tersenyum.

Kami tiba di warung yang saya tuju. Sederhana. Warung susu segar pinggir jalan. Uap panas keluar dari panci besar. Aroma khas susu menyeruak. Saya bayar ongkos, lalu berterimakasih sudah diantar ditengah gerimis begini.

Sebelum pergi, ia menyalami saya. “Terima kasih, Pak. Sudah mau ngobrol. Sudah lama saya tidak pakai bahasa kromo.” Saya tertawa. “Sama, pak. Saya juga.” Kami tertawa bersama.

Mobilnya perlahan menjauh. Hujan belum juga berhenti. Saya duduk di kursi plastik, memesan susu segar panas. Sambil menatap jalan, saya berpikir tentang bahasa, tentang perjuangan, tentang usia. Semua bergerak ke arah yang tak bisa saya tahan.

Malam itu saya minum pelan. Mungkin karena susunya panas, atau karena saya ingin menikmati tiap sendoknya. Di luar, lampu jalan memantul di air hujan. Solo malam itu terasa seperti buku lama yang masih wangi.

Saya pulang dengan perasaan hangat. Bukan karena susu, tapi karena percakapan. Kadang, obrolan singkat dengan orang asing memberi makna lebih dalam daripada seminar yang megah. Sopir Grab itu, tanpa sadar, telah mengingatkan saya pada banyak hal. Tentang bahasa yang hilang. Tentang idealisme yang tua. Tentang hidup yang terus berjalan.

Dan saya tersenyum dalam hati. Solo tetap sama. Tenang. Halus. Seperti bahasa yang nyaris punah di lidah saya sendiri.

Di Indonesia, hampir setiap kelompok orang yang berkumpul atas nama kebersamaan punya kecenderungan untuk jadi “organisasi”. Mulanya sederhana. Sekadar kumpul bareng, diskusi ringan, atau berbagi hobi. Tapi entah kenapa, makin lama, bentuknya makin serius. Makin formal. Lalu tiba-tiba muncul struktur pengurus, lengkap dengan ketua umum, sekretaris, dan bidang keamanan. Di negeri yang segala halnya bisa dilembagakan, gotong royong pun kadang harus disahkan lewat kop surat dan stempel basah.

Ormas di negeri ini jumlahnya ribuan. Dari yang berbasis agama, profesi, kesenian, sampai pencinta reptil. Ada yang besar dan punya kantor megah, ada juga yang cuma beranggotakan warga satu RT. Tapi satu hal menarik: makin banyak ormas yang ingin tampil gagah. Tak cukup dengan kaos seragam, mereka mulai pakai atribut militer. Baret, celana dan baju loreng, bahkan sabuk dan sepatu PDL. Tujuannya tentu bukan perang, tapi ada kebanggaan tersendiri ketika bisa terlihat seperti “pasukan.”
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Fenomena ini sebenarnya mudah dijelaskan. Di mata banyak orang Indonesia, seragam bukan sekadar pakaian. Ia simbol kewibawaan. Dari kecil, kita sudah dididik menghormati yang berseragam. PNS, polisi, tentara, satpam, hansip. Maka tak heran, begitu seseorang punya organisasi, ia ingin terlihat seperti mereka. Di bawah sadar kita, hormat itu tidak lahir dari tindakan baik, tapi dari atribut visual yang memberi kesan tegas.

Sosiolog mungkin akan bilang ini adalah bentuk “simbolisasi kekuasaan”. Tapi kalau tanya saya, ini lebih karena rasa ingin dianggap. Di tengah masyarakat yang hirarkis, orang butuh cara untuk menegaskan eksistensinya. Seragam adalah jalan pintas. Tidak perlu prestasi, cukup tampil kompak, orang langsung segan. Maka muncullah berbagai ormas dengan baret dan atribut bak satuan khusus, padahal yang mereka amankan paling banter parkiran hajatan dan arak-arakan 17-an.

Saya pernah lihat sendiri, waktu dalam perjalanan di satu daerah antara Bengkulu dan Lampung. Ada hajatan besar di sana. Di depan tenda, berdiri beberapa orang berseragam hitam hijau tua. Lengkap dengan baret dan sepatu PDL. Saya kira itu Linmas (dulu : Hansip). Ternyata bukan. Mereka komunitas pecinta radio. Sekarang punya “Satgas Keamanan.” Nama keren, fungsi tidak terlalu jelas. Tapi wajah mereka serius, seperti sedang menjaga markas rahasia.

Kalau dipikir-pikir, ini lucu tapi juga sedih. Lucu karena komunitas radio merasa perlu punya satuan khusus pengamanan. Sedih karena mungkin itu satu-satunya cara mereka merasa penting. Sebab tanpa atribut itu, siapa yang akan memperhatikan? Dalam hajatan, tidak ada yang peduli siapa penggemar radio atau bukan. Tapi kalau pakai seragam model aparat lengkap dengan baret, semua orang tahu, “Oh, ini orang penting di sini.”

Yang menarik, gejala ini tidak hanya terjadi di ormas besar. Komunitas hobi pun ikut-ikutan. Klub motor, misalnya. Dulu cukup pakai kaos bertuliskan nama geng. Sekarang wajib jaket kulit dengan emblem besar di punggung. Ada panggilan khusus, ada kode tangan, bahkan ada latihan formasi konvoi. Gaya dan hierarki mirip militer. Bedanya, “senjata” mereka bukan peluru, tapi knalpot racing yang bikin bayi terbangun tengah malam.

Hal serupa juga saya temui di organisasi di kampus-kampus. Awalnya cuma perkumpulan mahasiswa. Tapi begitu masuk acara pelatihan, langsung diajari baris-berbaris dan hormat bendera. Katanya, biar disiplin. Padahal kalau dipikir, belajar jadi manusia beretika tak harus pakai apel dan aba-aba. Tapi entah kenapa, setiap struktur organisasi di negeri ini selalu ingin punya aroma militer. Mungkin karena di kepala kita, tertib itu berarti tegak lurus dan taat perintah.

Lambat laun, semua organisasi ingin punya citra tegas. Komunitas relawan punya “Divisi Lapangan.” Bahkan pengurus RT sekarang mulai punya rompi seragam dan topi bertuliskan “Koordinator Ketertiban.” Di titik ini, sulit membedakan mana aparat resmi, mana aparat rasa-rasa. Semua tampak gagah, tapi kalau listrik mati, mereka juga bingung harus ngapain.

Kita perlu jujur mengakui bahwa keinginan jadi semi-militer itu bukan karena haus kuasa, tapi haus penghargaan. Di negara yang menghormati yang berseragam lebih dulu ketimbang yang berbuat baik, orang berusaha tampil seperti yang dihormati. Itu cara paling cepat untuk merasa punya tempat. Seragam memberi rasa kepemilikan. Tanpanya, seseorang hanyalah nama di daftar anggota yang diabaikan.

Yang paling berbahaya adalah ketika simbol-simbol itu mulai menggantikan esensi. Ormas sibuk membuat apel dan struktur komando, tapi lupa membantu masyarakat. Mereka lebih fokus pada atribut daripada tujuan. Seolah-olah wibawa bisa dijahit di tukang bordir. Padahal masyarakat tidak butuh seragam baru, tapi aksi nyata yang membuat hidup lebih baik.

Kalau dilihat lebih luas, ini cermin dari cara bangsa ini memahami “keteraturan.” Kita percaya ketertiban lahir dari perintah, bukan kesadaran. Maka semua hal harus punya komando, dari acara hajatan sampai kegiatan karang taruna. Tanpa pemimpin yang teriak “atur barisan!”, kita merasa tidak sah. Bahkan untuk urusan gotong royong pun harus ada struktur dan absensi.

Sialnya, budaya ini juga membuat kita susah membedakan antara tanggung jawab dan kekuasaan. Banyak yang ingin punya jabatan karena ingin didengar, bukan karena ingin bekerja. Maka setiap organisasi butuh posisi baru: komandan, koordinator, ketua tim keamanan. Fungsinya sering kabur, tapi statusnya jelas. Kita terlalu suka jadi bagian dari struktur, bukan dari solusi.

Yang paling ironis, semua ormas semi-militer itu ujungnya saling hormat saat berpapasan. Yang satu bilang “izin, komandan.” Yang lain membalas, “siap, menunggu petunjuk, Ndan.” Dua pihak sama-sama merasa berwibawa. Padahal besoknya mereka ketemu lagi di pasar, rebutan beli beras murah. Dunia jadi lucu sekaligus absurd, tapi begitulah cara kita memberi makna pada peran sosial.

Kadang saya mikir, kalau semua ormas di negeri ini sudah berseragam, apakah kita masih butuh merekrut aparat resmi? Atau cukup kumpulkan mereka semua dan jadikan cadangan nasional? Negara tidak usah khawatir soal pertahanan, cukup aktifkan semua grup WA organisasi. Satu pesan broadcast saja, bisa menggerakkan ribuan orang. Lebih cepat dari komando resmi.

Tapi di balik semua kelucuan itu, ada keresahan yang sebaiknya kita perhatikan. Semakin banyak organisasi meniru gaya militer, semakin kabur garis antara warga sipil dan aparat. Semakin banyak yang merasa berhak “mengatur ketertiban” tanpa mandat. Dan di situlah bahaya sebenarnya. Dari yang awalnya cuma seragam, lama-lama jadi wewenang.

Saya paham, tidak semua ormas seperti itu. Banyak juga yang sungguh-sungguh ingin membantu masyarakat tanpa bergaya aparat. Tapi arus imitasi ini terlalu kuat. Seperti kompetisi tak tertulis: siapa yang seragamnya paling gagah, dialah yang dianggap paling berwibawa. Semakin tegas tampilannya, semakin besar pengaruhnya. Logika sosial yang aneh, tapi nyata.

Dan begitulah, pelan-pelan semua organisasi di negeri ini akan berubah jadi ormas semi-militer. Bukan karena mereka ingin perang, tapi karena mereka ingin dihormati. Karena di negeri yang sering salah paham soal makna wibawa, atribut lebih penting dari isi. Pada akhirnya, seragam bukan lagi lambang kebersamaan, tapi alat untuk menutupi rasa tak diakui.

Saya tidak tahu siapa yang pertama memulai, tapi saya tahu siapa yang akan melanjutkan: kita semua. Karena setiap kali kita bikin struktur baru, kasih nama “divisi lapangan”, dan beli baret demi keseragaman, kita sedang melangkah pelan ke arah itu. Dari komunitas santai, jadi pasukan kecil yang ingin diakui. Dari kumpulan hobi, jadi organisasi semi-militer dengan kebanggaan palsu yang kita jahit sendiri.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • PARADIGMA YANG TERKURUNG DUA KUBU
  • FERDI DAN KEBERANIAN BERWIRAUSAHA
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • BENGKULU MACET [TANPA] KENDARAAN
  • INKLUSIFITAS KAMPUS : ILMU [PENGETAHUAN] UNTUK SEMUA

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar