Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Beberapa hari terakhir jagat media sosial dan ruang-ruang redaksi diramaikan oleh berita yang tak hanya menggelitik nalar publik, tetapi juga membuat banyak profesional mengernyitkan dahi. Beberapa nama yang sebelumnya duduk sebagai menteri dan wakil menteri, kini dilantik menjadi komisaris di sejumlah BUMN besar. Salah satunya bahkan diketahui tidak menamatkan pendidikan S1-nya, namun ditunjuk menjadi komisaris di perusahaan plat merah yang berperan strategis dalam perekonomian nasional. Lebih menarik lagi, latar belakangnya adalah seorang musisi band, bukan pebisnis, bukan ekonom, apalagi orang dengan pengalaman manajerial. Paling tinggi pengalaman manajerialnya adalah pimpinan partai kelas medioker.

Ini bukan sekadar guyonan dunia maya. Ini soal serius. Sebab ketika jabatan komisaris dijadikan tempat menampung tim sukses, loyalis, bahkan artis, maka arah tata kelola perusahaan negara berada di jalur yang salah. Kita semua tahu, komisaris bukan jabatan simbolik. Mereka adalah penjaga gawang, pengawas strategis yang menentukan apakah perusahaan berjalan sesuai arah atau justru tergelincir karena keputusan yang asal-asalan.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Saya tidak sedang mempermasalahkan latar belakang profesi seseorang. Banyak seniman dan musisi yang cerdas dan memiliki wawasan luas. Tapi menjadi komisaris BUMN itu bukan soal pintar bernyanyi atau punya banyak followers. Ini soal kemampuan memahami strategi bisnis, risiko pasar, dinamika ekonomi global, hingga tata kelola korporat yang sehat. Kalau hanya sekadar populer atau dekat dengan kekuasaan, lantas siapa yang akan menjaga integritas dan keberlanjutan perusahaan?

Bayangkan jika kita memilih pilot pesawat bukan karena kemampuannya menerbangkan pesawat, tapi karena dia sering ikut kampanye dan loyal pada partai tertentu. Apa kita rela hidup kita dipertaruhkan di tangan orang yang salah? Logika yang sama harusnya berlaku dalam dunia bisnis, terlebih ketika yang dipertaruhkan adalah uang rakyat.

BUMN bukan milik pemerintah. Mereka milik negara. Ada perbedaan besar antara “pemerintah” dan “negara”. Pemerintah bisa berganti tiap lima tahun, tapi negara adalah entitas yang harus dijaga lintas generasi. Maka, pejabat yang duduk di struktur BUMN seharusnya dipilih bukan karena kedekatannya dengan kekuasaan, tetapi karena kemampuannya menjaga aset publik ini agar terus tumbuh, kompetitif, dan memberi manfaat luas.

Satu hal yang sering dilupakan: jabatan komisaris bukan “hadiah” politik. Ia adalah posisi strategis yang menentukan hidup matinya sebuah perusahaan. Komisaris harus mampu membaca laporan keuangan, memahami portofolio bisnis, mengawasi proyek-proyek strategis, dan memastikan perusahaan taat pada prinsip tata kelola yang baik (good corporate governance). Jika tidak, maka yang terjadi bukan BUMN yang maju, melainkan BUMN yang dikerjai.

Saya khawatir, dalam praktik seperti ini, yang terjadi bukan meritokrasi tapi mediokritas. Orang-orang yang seharusnya duduk karena kompetensi, tersingkir karena tidak punya kedekatan dengan elite politik. Akibatnya, talenta-talenta terbaik bangsa memilih berkarier di luar negeri atau di sektor swasta. Padahal, kita membutuhkan mereka untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional dari dalam.

Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, komisaris kan hanya duduk manis, datang rapat sesekali.” Justru itu masalahnya. Karena persepsi bahwa komisaris hanya posisi “titipan”, maka pengawasan menjadi lemah. Banyak kasus korupsi di BUMN terjadi karena pengawasan yang tidak efektif. Dan itu terjadi karena komisarisnya tidak berfungsi sebagai pengawas strategis, melainkan sekadar pelengkap struktur.

Di mata publik, BUMN adalah etalase negara. Ketika masyarakat melihat orang yang tak relevan secara keahlian menduduki posisi strategis di sana, maka kepercayaan publik ikut runtuh. Dan saat kepercayaan runtuh, maka apapun yang dilakukan BUMN akan dipandang dengan sinis, bahkan kalau itu sebenarnya adalah langkah baik.

Saya selalu percaya bahwa organisasi yang baik dibangun di atas fondasi profesionalisme. Kita bisa menengok ke belakang, ke era ketika Bank Mandiri, BNI, hingga BRI mulai bertransformasi bukan karena orang-orangnya dekat dengan penguasa, tetapi karena mereka membawa keahlian, rekam jejak, dan visi jangka panjang.

Kita bisa ambil pelajaran dari perusahaan-perusahaan global yang kuat bukan karena afiliasi politik, tapi karena struktur kepemimpinannya berisi para profesional terbaik. Apakah Apple, Toyota, atau Siemens menunjuk komisaris hanya karena mereka populer di TikTok atau aktif di partai politik? Tidak. Mereka tahu bahwa profesionalisme bukan pilihan, tapi keharusan.

Namun saya juga tidak naif. Politik adalah realitas. Saya paham bahwa dalam sistem demokrasi, selalu ada semacam “utang politik” yang ingin dibayar pasca kemenangan. Tapi membayar utang politik tidak harus merusak sistem yang sudah dibangun dengan susah payah. Ada banyak posisi yang lebih cocok untuk itu—di luar urusan bisnis negara.

Yang perlu kita tanyakan hari ini: mau kita bawa ke mana BUMN kita? Apakah kita ingin mereka menjadi pemain global, menciptakan inovasi, menguasai teknologi, membuka lapangan kerja luas? Atau kita biarkan mereka menjadi ladang balas jasa dan tempat parkir politik?

Masalahnya bukan hanya pada siapa yang duduk, tapi pada budaya dan sistem yang mengizinkan itu terjadi. Kita butuh sistem rekrutmen yang transparan, berbasis kompetensi, dan diawasi publik. Penunjukan komisaris seharusnya melewati proses seleksi terbuka, dengan uji kelayakan, bukan hanya sekedar rapat terbatas di ruangan elit.

Mari kita belajar dari masa lalu. Dulu, banyak BUMN jadi sarang korupsi dan kerugian. Salah satu penyebabnya adalah karena jabatan strategis diisi oleh orang yang tidak kapabel. Mereka tidak paham bisnis, tidak paham risiko, tapi ikut menandatangani keputusan strategis. Hasilnya: kerugian triliunan, dan akhirnya negara juga yang menalangi.

Anak muda hari ini makin kritis. Mereka tahu siapa yang layak duduk di posisi strategis dan siapa yang hanya “nebeng kekuasaan.” Kalau negara tidak segera memperbaiki pola rekrutmen ini, jangan salahkan generasi muda kalau mereka makin apatis terhadap politik dan pemerintahan.

Saya tahu, tulisan ini mungkin tidak populer bagi sebagian kalangan. Tapi ini harus dikatakan. Karena mencintai bangsa bukan berarti membiarkan kesalahan terus berulang. Justru karena cinta, kita harus berani bicara. Kalau bukan kita, siapa lagi?

Pekerjaan rumah kita bukan hanya membangun infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur etika dan profesionalisme. Tanpa itu, maka gedung-gedung tinggi dan proyek-proyek megah tidak akan berarti. Kita butuh pemimpin dan pengawas yang bisa dipercaya, bukan sekadar terkenal.

Satu pertanyaan penting untuk para pengambil kebijakan: apakah kalian ingin tercatat dalam sejarah sebagai pembangun fondasi, atau sebagai perusak sistem? Sejarah akan mencatat. Dan rakyat, perlahan tapi pasti, mulai menyadari siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya numpang nama.

Saya percaya, kita masih punya harapan. Tapi harapan itu hanya akan hidup jika kita punya keberanian untuk memperbaiki yang salah. Dan perbaikan itu dimulai dari siapa yang kita percayakan untuk mengelola aset publik. Bukan karena dia tim sukses, tapi karena dia ahli dan layak.

Mari berhenti menjadikan komisaris sebagai jabatan pelengkap. Jadikan mereka mitra strategis yang memperkuat bisnis, bukan sekadar stempel kekuasaan. Kalau tidak, kita akan terus berada di lingkaran setan kegagalan.

Karena pada akhirnya, bukan hanya BUMN yang gagal. Tapi kepercayaan rakyat yang hilang. Dan itu jauh lebih berbahaya daripada sekadar laporan keuangan merah.
Setiap kali saya berdiri di depan mahasiswa, saya selalu bertanya: “Apa masalah yang ingin kamu teliti?” Lucunya, pertanyaan ini justru membuat mereka terdiam lebih lama daripada saat menjawab soal ujian statistik. Padahal, dalam dunia riset, masalah adalah titik mula. Tanpa masalah, riset kita hanya jadi kumpulan teori yang kering dan tak membumi. Sayangnya, banyak mahasiswa justru memulai penelitiannya dengan menjejalkan teori sebanyak mungkin, berharap pembaca terkesan. Hasilnya? Tulisan jadi ngalor-ngidul dan kehilangan arah.

Di dunia bisnis, kemampuan mengidentifikasi masalah sama pentingnya dengan kemampuan menyusun strategi. Ambil contoh divisi pemasaran yang penjualannya stagnan selama enam kuartal terakhir. Pimpinan perusahaan bingung, tim marketing panik, dan investor mulai gelisah. Tetapi ketika diminta menjelaskan “masalahnya apa?”, mereka menjawab dengan data angka, bukan cerita. Ini seperti dokter yang hanya menunjukkan hasil lab, tanpa menjelaskan gejala yang dirasakan pasien. Dunia manajemen tak hanya butuh data, tapi juga narasi yang mampu mengaitkan idealitas dan realitas.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Salah satu kunci dalam mengurai persoalan adalah memahami konsep klasik: Das Sollen dan Das Sein. Ini bukan mantra ajaib, tapi alat bantu berpikir yang sangat sederhana. Dalam konteks pemasaran, misalnya, Das Sollen berarti “apa yang seharusnya dilakukan oleh brand.” Menurut teori, perusahaan seharusnya memiliki positioning yang kuat, diferensiasi yang jelas, dan value proposition yang relevan dengan kebutuhan pasar. Itu idealnya. Itu textbook-nya.

Namun, mari kita tengok kenyataan di lapangan—Das Sein. Kita mendapati banyak merek lokal yang kehilangan relevansi, iklannya tak nyambung dengan target market, dan bahkan pelanggan sendiri tak tahu apa sebenarnya keunggulan brand tersebut. Mereka ingin disebut premium, tapi masih bermain di strategi diskon. Mereka ingin loyalitas pelanggan, tapi tidak punya CRM yang berjalan efektif. Inilah celah yang harus dijadikan bahan bakar penelitian.

Permasalahan dalam manajemen bisnis terjadi justru karena ada jurang antara Das Sollen dan Das Sein tadi. Di dunia nyata, kita menyebutnya dengan istilah “gap”—celah antara harapan dan kenyataan. Seorang peneliti yang tajam akan segera menangkap gap itu, lalu merumuskannya secara sistematis. Misalnya: “Perusahaan A mengklaim sebagai pelopor inovasi digital di sektor ritel (Das Sollen), namun adopsi e-commerce-nya justru tertinggal dibanding pesaing yang lebih kecil (Das Sein).” Dari sini, kita punya pijakan untuk bergerak ke tahap berikutnya: merumuskan pertanyaan penelitian.

Lalu, bagaimana merumuskan pertanyaan yang baik? Tidak cukup hanya menanyakan “kenapa ini terjadi?” Pertanyaan dalam riset harus fokus, jelas, dan dapat dijawab secara ilmiah. Dalam studi kasus perusahaan A tadi, kita bisa mulai dengan pertanyaan seperti: “Apa saja hambatan internal yang menghambat transformasi digital di perusahaan ritel besar?” Atau, “Mengapa konsumen tidak merasakan diferensiasi merek yang diklaim oleh perusahaan X?” Semakin spesifik pertanyaannya, semakin tajam arah penelitian.

Salah satu kesalahan umum mahasiswa maupun praktisi bisnis adalah berasumsi terlalu cepat. Mereka menyangka telah tahu jawabannya sebelum menggali datanya. Misalnya, seorang brand manager mengatakan, “Kita kehilangan market share karena promosi kita kurang.” Padahal, ketika ditelusuri, masalahnya bukan di promosi, melainkan di experience pelanggan yang buruk setelah pembelian. Maka, penting untuk bersikap seperti seorang ilmuwan: bertanya, bukan berasumsi.

Dalam dunia bisnis yang bergerak cepat, kita sering kali tergoda mencari solusi instan tanpa mendefinisikan masalah dengan tepat. Saya pernah diajak diskusi oleh seorang teman yang punya bisnis di industri FMCG yang meluncurkan lima produk baru dalam setahun, tapi semuanya gagal. Ketika ditelusuri, mereka tidak melakukan riset pasar yang memadai. Mereka hanya berangkat dari semangat inovasi, bukan dari pemahaman tentang kebutuhan dan perilaku konsumen. Di sinilah pentingnya menyusun masalah secara akademik: bukan sekadar syarat skripsi, tetapi juga fondasi strategi yang efektif.

Salah satu metode yang sering saya ajarkan adalah dengan memulai dari studi literatur—apa kata teori dan riset sebelumnya tentang fenomena yang kita amati? Dari sana kita bisa menarik Das Sollen. Misalnya, teori AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) menyebut bahwa iklan harus membangkitkan minat konsumen sebelum bisa mengubahnya menjadi aksi pembelian. Namun jika di lapangan, konsumen hanya menonton iklan tapi tidak membeli, maka kita punya Das Sein yang menyimpang. Ini awal yang bagus untuk menulis masalah riset.

Lalu, kita jangan cepat puas hanya dengan satu sumber teori. Dunia manajemen penuh dengan pendekatan berbeda—ada yang berbasis perilaku konsumen, ada yang fokus pada strategi korporat, ada pula yang dari sisi teknologi. Maka, merumuskan Das Sollen bukan hanya soal teori tunggal, tapi bagaimana kita menempatkan idealitas dari berbagai pendekatan ke dalam satu kerangka logis. Itu sebabnya, menyusun Bab I bukan soal menulis panjang lebar, tapi memilih dengan bijak mana yang relevan dan mendalam.

Saya juga sering menyarankan mahasiswa untuk terjun langsung ke lapangan. Rasakan denyut bisnisnya. Wawancarai pelanggan, amati kompetitor, dan lihat dari dekat bagaimana keputusan dibuat di ruang rapat. Karena dari sanalah Das Sein bisa benar-benar ditemukan. Jangan hanya mengandalkan laporan perusahaan atau kutipan media. Realitas bisnis sering kali lebih kompleks dari yang tampak di permukaan.

Di era digital, kita punya kemewahan data. Tapi data tanpa narasi hanyalah angka mati. Oleh karena itu, riset bisnis harus menghidupkan data dengan cerita yang menjelaskan konteks. Contohnya: bukan hanya mengatakan “tingkat churn rate naik 15%,” tapi menjelaskan mengapa pelanggan meninggalkan layanan, bagaimana mereka membuat keputusan pindah, dan apa yang sebenarnya mereka cari. Di sinilah seni menulis masalah akademik menemukan bentuknya.

Banyak perusahaan besar gagal bukan karena kurang strategi, tapi karena tidak memahami masalah mereka sendiri. Mereka sibuk memperbaiki gejala, bukan akar penyebab. Seperti pasien yang hanya minum pereda nyeri untuk sakit kepala, padahal penyebabnya adalah tekanan darah tinggi. Dalam riset manajemen, kita belajar membedakan simptom dan akar masalah. Itulah yang membedakan strategi yang efektif dari sekadar tambal sulam.

Bagi para dosen, tantangannya adalah mengubah cara pandang mahasiswa dari sekadar “menyelesaikan tugas” menjadi “menemukan sesuatu yang penting.” Kita tak bisa hanya berkata: “Carilah topik yang menarik.” Kita harus membimbing mereka untuk melihat bahwa setiap gap antara teori dan kenyataan adalah peluang emas untuk riset. Kita perlu mengajarkan cara berpikir kritis, bukan hanya cara mengutip teori.

Di dalam ruang kelas saya, saya suka memberi contoh-contoh nyata dari dunia usaha. Misalnya, kenapa produk-produk lokal sering kalah bersaing di e-commerce meski kualitasnya tak kalah? Mengapa startup yang viral di media sosial sering tak bertahan lama? Atau, mengapa banyak program loyalitas gagal meningkatkan retensi pelanggan? Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya menarik, tapi juga menunjukkan bahwa riset akademik bisa menjawab tantangan riil di dunia kerja.

Tentu, proses menyusun masalah akademik tidak selalu mudah. Bahkan bagi yang sudah berpengalaman, menyusun Bab I bisa jadi tugas yang paling menantang. Tapi jika kita memulainya dengan kerangka Das Sollen–Das Sein, kita punya alat navigasi yang andal. Kita tidak akan mudah tersesat dalam tumpukan teori. Kita tahu ke mana arah riset kita dan mengapa itu penting dilakukan.

Di sisi lain, perusahaan juga bisa belajar banyak dari pendekatan akademik ini. Terutama dalam membuat keputusan strategis. Ketika strategi gagal, alih-alih menyalahkan tim, cobalah kembali ke dasar: apakah masalah yang ingin kita selesaikan sudah jelas? Apakah kita paham gap-nya? Banyak inovasi gagal bukan karena idenya buruk, tapi karena tidak menjawab masalah yang nyata.

Kita bisa belajar dari perusahaan seperti Apple atau Tesla. Mereka tidak hanya menciptakan produk, tapi memulai dari pemahaman mendalam atas masalah konsumen. Steve Jobs pernah bilang: “Start with the customer experience and work backwards to the technology.” Ini adalah cara berpikir Das Sein–Das Sollen dalam praktik. Kita pahami dulu kenyataan di lapangan, lalu bandingkan dengan idealitas yang ingin kita capai.

Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa menggunakan prinsip ini. Mengapa kita gagal menabung? Mengapa kita terus menunda pekerjaan? Jika kita tahu idealnya seperti apa, dan tahu kenyataannya seperti apa, maka kita bisa merumuskan masalah pribadi kita sendiri. Prinsip ini universal dan sangat aplikatif, tak hanya di ruang kuliah, tapi juga di ruang rapat, bahkan ruang keluarga.

Menariknya, mahasiswa yang mampu menyusun masalah dengan baik biasanya juga mampu menyusun solusi yang relevan. Karena mereka sudah memetakan konteks, memahami aktor-aktor yang terlibat, dan bisa melihat hubungan sebab-akibat. Dalam bisnis, ini sangat penting. Karena solusi yang keliru bisa lebih mahal dari masalahnya sendiri.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa menyusun masalah akademik bukan hanya keterampilan menulis, tapi keterampilan berpikir. Dan dalam dunia yang penuh disrupsi seperti sekarang, kemampuan berpikir kritis adalah aset terbesar. Jangan tergoda untuk mempercantik tulisan dengan jargon, tapi hampa makna. Mulailah dari Das Sollen, bandingkan dengan Das Sein, lalu rumuskan pertanyaannya dengan jernih.

Begitulah seharusnya riset bekerja. Ia hadir bukan untuk sekadar mengisi rak perpustakaan, tapi untuk menjawab kegelisahan, menyambung harapan, dan menuntun perubahan. Karena pada akhirnya, riset yang baik bukan hanya menjawab pertanyaan, tapi juga mampu mengajukan pertanyaan yang lebih bermakna.
Setiap kali hari wisuda datang, saya selalu bingung harus merasa bahagia atau justru sedih. Bahagia karena kalian akhirnya menuntaskan satu fase penting dalam hidup. Tapi juga sedih, karena itu berarti saya tidak akan melihat lagi nama kalian di daftar bimbingan, tidak akan ada notifikasi pesan tengah malam yang isinya cuma, “Pak, boleh tolong cek dropbox revisi skripsi saya malam ini?” atau “Pak, maaf baru sempat revisi, laptop saya rusak.” Semuanya akan menjadi kenangan. Tersimpan rapi dalam ingatan kami dosen yang diam-diam sering terharu melihat perjuangan anak-anak didiknya.

Kalian mungkin tidak sadar, tapi saya menyaksikan semuanya. Betapa kalian datang ke kampus dengan wajah letih, kadang belum sarapan, kadang juga sambil menenteng kudapan sebagai pengganjal perut. Saya tahu kalian sering tidak punya cukup keberanian untuk datang ke meja saya, atau bahkan sekadar ngopi sambil diskusi. Tapi kalian tetap datang. Duduk di hadapan saya, mencoba paham konsep, metode, kutipan teori yang kadang saya sendiri lupa letaknya di buku maupun jurnal mana.
Ilustrasi Wisuda (Gambar : AI Generated)
Tidak perlu merasa malu kalau skripsi dan artikelmu telat selesai. Tidak usah menunduk kalau hari ini kamu berdiri di antara yang nilainya tidak cumlaude. Karena percaya atau tidak, hari ini kamu berdiri di sini bukan karena kamu hebat. Kamu berdiri di sini karena kamu tidak menyerah. Itu saja. Kamu bertahan. Melewati hari-hari sulit, tekanan dari rumah, ekspektasi dari orang tua, perbandingan dengan teman, bahkan kehilangan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi kamu tetap maju.

Kadang saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana kalian bisa kuat. Dulu ada seorang mahasiswa saya kehilangan keluarganya yang seharusnya menjadi supporting system terkuat. Ia tidak sempat berpamitan karena sang ayah berpulang di kampung yang jauh. Tapi esoknya, ia tetap datang ke kampus, mengembalikan draft yang sudah dicoret-coret oleh saya beberapa hari sebelumnya. Saya tidak tega. Tapi juga bangga.

Ada pula mahasiswa yang bekerja di beberapa tempat sekaligus. Semua dilakukan agar bisa bayar semesteran. Tugas-tugasnya sering telat. Revisi skripsinya penuh typo. Tapi ia tidak pernah mengeluh. Bahkan ketika saya tawarkan untuk cuti dulu, dia hanya tersenyum dan berkata, “Nggak pak, saya harus lulus. Ibu saya nunggu.”

Lulus bukan karena pintar. Banyak orang pintar di luar sana yang tidak pernah lulus-lulus. Lulus bukan karena nilai sempurna. Ada banyak nilai yang bisa diketik ulang, tapi tekad dan keteguhan itu bukan soal angka. Lulus karena kalian bersedia duduk di ruangan saya menepi dari riuhnya kampus demi mengerjakan skripsi dan artikel, menahan kantuk siang, mengatur napas saat membaca hasil revisi yang seolah tidak ada habisnya. Lulus karena kamu bilang, “Saya bisa,” meski dalam hati kamu ragu luar biasa.

Saya tahu kalian capek. Saya tahu kalian pernah menangis dan marah diam-diam. Saat file skripsi hilang. Saat dosen pembimbing tidak membalas pesan. Saat teman-teman lain sudah sidang skripsi duluan. Saat orang tua bertanya terus kapan lulus, padahal kalian sendiri juga belum punya jawabannya. Tapi kalian terus jalan. Itu luar biasa.

Orang kadang mengira yang hebat itu yang cepat. Yang selesai empat tahun, yang lulus dengan pujian, yang fotonya banyak diunggah di Instagram. Tapi hidup ini bukan soal siapa yang paling duluan, melainkan siapa yang tetap berjalan ketika kakinya goyah, ketika dadanya sesak, ketika jalannya sendiri dan sunyi. Dan hari ini, kalian telah membuktikannya.

Wisuda adalah panggung kecil untuk sebuah perjalanan besar. Sebuah jeda sebelum dunia yang sesungguhnya membuka pintunya. Hari ini kalian mungkin memakai toga, menggenggam ijazah, dan berfoto bersama orang tua. Tapi besok, ketika semua itu ditaruh di lemari, kalian akan kembali dihadapkan pada hidup. Tidak ada jadwal kuliah. Tidak ada reminder dosen. Hanya kalian dan keputusan-keputusan yang harus diambil sendiri.

Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa tentang dunia setelah wisuda. Saya tidak tahu apakah kalian akan langsung dapat pekerjaan, atau justru harus menunggu lama. Saya tidak tahu apakah kalian akan diterima sesuai jurusan, atau malah jadi pawang hujan padahal dulunya kuliah manajemen. Tapi saya percaya satu hal: kalau kalian sudah pernah bertahan di masa sulit, maka kalian pasti bisa melalui yang lebih sulit lagi.

Ada hal-hal yang tidak diajarkan di kelas. Misalnya bagaimana menerima penolakan. Bagaimana berdamai dengan kegagalan. Bagaimana tetap bangun pagi meski tidak ada lagi kelas jam tujuh. Semua itu akan kalian pelajari sendiri, dengan cara yang unik dan personal. Tapi bekal kalian cukup. Bahkan lebih dari cukup. Karena kalian pernah menyelesaikan skripsi dalam keadaan hampir menyerah. Itu bukan hal kecil.

Hari ini saya ingin kalian menepuk bahu kalian sendiri. Katakan pada diri sendiri, “Aku sudah sampai sejauh ini.” Jangan tunggu orang lain memuji. Jangan tunggu dunia berterima kasih. Karena kalianlah pahlawan untuk kisah hidup kalian sendiri. Dan itu sudah cukup indah untuk dirayakan.

Tentu, di antara kalian ada yang merasa tidak puas. Ada yang merasa seharusnya bisa lebih cepat, lebih bagus, lebih hebat. Tapi percayalah, setiap orang punya waktunya sendiri. Hidup ini bukan lomba lari estafet. Tidak ada medali untuk siapa yang sampai duluan. Yang penting adalah: kamu sampai. Dan hari ini, kamu sampai.

Kalian tidak harus hebat untuk memulai. Tapi kalian harus mulai agar suatu hari bisa menjadi hebat. Dan kalian sudah memulainya. Dari ruang kelas yang panas, dari tugas yang ditulis tengah malam, dari skripsi yang direvisi berkali-kali. Dari tangis dan tawa, dari ragu dan percaya. Itu semua bagian dari perjalanan.

Saya ingin kalian membawa kenangan ini ke mana pun kalian pergi. Kenangan bahwa kalian pernah punya dosen galak yang cerewet soal margin dan font, tapi diam-diam bangga melihat kalian maju. Bahwa kalian pernah punya teman seperjuangan yang berbagi mi instan di kosan, berbagi wifi, bahkan berbagi rasa cemas. Bahwa kalian pernah menjadi mahasiswa yang penuh harap.

Jangan buru-buru jadi dewasa. Nikmati masa transisi ini. Nikmati waktu saat kalian masih bisa bercanda soal skripsi, soal deadline, soal dosen killer. Karena suatu hari nanti, kalian akan merindukan semua itu. Dan ketika rindu itu datang, semoga ia tidak menyakitkan, tapi justru menyemangati.

Ada dunia yang menunggu kalian. Tapi jangan biarkan dunia itu mengubah kalian jadi asing. Tetap jadi diri sendiri. Tetap bawa senyum kalian yang dulu kalian pakai saat minta tanda tangan revisi. Tetap rendah hati. Karena dunia tidak suka orang sombong, tapi diam-diam menghormati yang tekun dan jujur.

Saya tidak tahu akan seperti apa wajah kalian lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Tapi saya berharap, ketika kalian membaca ulang tulisan ini suatu hari nanti, kalian akan mengingat satu hal: kalian pernah punya keberanian untuk tidak menyerah. Dan itu akan jadi cahaya kecil yang menuntun kalian di masa-masa sulit berikutnya.

Jangan pernah berpikir kalian lulus sendirian. Di balik toga itu ada doa orang tua, peluh keringat, bahkan air mata yang tak terlihat. Ada pelukan yang tertunda, ada janji yang kalian genggam dalam diam. Ada cinta yang kalian bawa dari rumah ke ruang kelas, dari kamar kos ke ruang seminar.

Mungkin kalian tidak mengubah dunia secara langsung. Tapi kalian mengubah diri sendiri, dan itu awal dari segala perubahan. Dunia tidak butuh banyak orang hebat. Dunia butuh orang yang tidak menyerah. Yang jujur. Yang tidak takut mencoba lagi meski gagal berkali-kali.

Hari ini, saya ingin bilang terima kasih. Terima kasih karena sudah mempercayai saya sebagai dosen kalian. Terima kasih karena sudah mau mendengarkan, walau kadang saya terlalu banyak menasihati. Terima kasih karena sudah menginspirasi saya, tanpa kalian sadari. Karena sebenarnya, dosen pun belajar dari mahasiswanya.

Tidak usah takut gagal di luar sana. Gagal itu biasa. Yang tidak biasa adalah orang yang tetap berdiri dan mencoba lagi. Jadi, gagal saja kalau memang harus. Tapi jangan berhenti. Terus jalan. Terus hidup.

Ingat baik-baik: kalian tidak lulus karena hebat. Kalian lulus karena kalian tidak menyerah. Dan untuk itu, saya sangat bangga. Sangat, sangat bangga.

Selamat wisuda, anak-anak baik. Dunia sudah menunggu cerita kalian berikutnya.

Tiga bulan belakangan ini, lini masa media sosial lagi ramai membahas soal dugaan ijazah palsu mantan presiden. Kasusnya bukan main-main, saking panasnya sampai menyeret kampus almamaternya dan juga mantan dosen pembimbingnya ke permukaan. Orang-orang yang dulu kerjaannya cuma jadi pengamat politik dadakan, sekarang jadi pengamat akademik dadakan. Semua ikut komentar. Dan seperti biasa, grup WhatsApp keluarga pun tak ketinggalan. Dari yang cuma ngerti ijazah SD sampai profesor beneran, semua ikut nimbrung.

Yang bikin heboh bukan cuma dugaan ijazah palsunya, tapi juga pernyataan dari sang dosen pembimbing yang bilang kalau dia tuh sebenarnya nggak pernah lihat ijazah si mahasiswa itu. Lah, kok bisa? Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, oh, rupanya beliau bukan dosen pembimbing skripsi, tapi dosen pembimbing akademik. Wah, ini mah beda fungsi. Beda jalur.

Ilustrasi jenis-jenis dosen pembimbing di kampus (Gambar : AI Generated)

Nah, dari sini saya jadi kepikiran. Banyak orang di luar dunia kampus tuh sering salah paham. Kirain dosen pembimbing itu ya cuma satu: dosen pembimbing skripsi. Padahal kalau kita gali lebih dalam, jenis-jenis dosen pembimbing itu banyak, Bung! Kayak menu warteg, ada macam-macam. Dan tiap jenis punya fungsi dan gaya masing-masing.

Mari kita mulai dari dosen pembimbing akademik. Ini adalah dosen yang biasanya kita dapat di awal semester kuliah. Tugasnya sebenarnya simpel: mendampingi mahasiswa secara akademik. Tapi realitanya? Kadang cuma ketemu pas awal semester buat tanda tangan KRS, habis itu raib seperti mantan yang mendadak nggak bisa dihubungi. Tapi jangan salah, dosen jenis ini sangat penting. Kalau kamu punya masalah akademik, seperti bingung milih mata kuliah, IP turun drastis, atau mau cuti kuliah, ya ke beliau inilah kamu seharusnya datang.

Walau begitu, banyak mahasiswa yang bahkan nggak tahu siapa dosen pembimbing akademiknya. Bukan karena lupa, tapi karena saking jarangnya komunikasi. Bahkan kadang dosennya sendiri juga nggak tahu siapa saja mahasiswa bimbingannya. Ini hubungan akademik yang misterius. Ada, tapi seperti tidak ada.

Jenis kedua adalah dosen pembimbing PKM alias Program Kreativitas Mahasiswa. Nah, ini biasanya muncul di pertengahan masa kuliah. Ketika mahasiswa mulai tertarik ikut kompetisi dan ingin nambah poin buat sertifikat. Dosen pembimbing PKM ini biasanya harus sabar. Karena mahasiswa kadang bikin proposalnya mepet deadline, minta tanda tangan pas udah tengah malam, dan suka berubah-ubah topik. Tapi kalau tim PKM-nya menang, yang senang juga dosennya. Dosen langsung auto bangga seolah-olah itu ide dia.

Dosen pembimbing PKM ini kadang jadi semacam penasehat bisnis. Mahasiswa bikin produk minuman dari kulit pisang, atau bikin aplikasi pencari jodoh berbasis syariah, dan dosennya harus kasih masukan seolah-olah ini produk masa depan. Padahal dalam hati mungkin dosennya mikir, "Lah ini kok rasanya kayak MLM ya..."

Lanjut ke dosen pembimbing KKN alias Kuliah Kerja Nyata. Ini adalah dosen yang mendampingi mahasiswa saat mereka turun ke lapangan, hidup di desa, dan pura-pura jadi agen perubahan. Dosen KKN ini biasanya keliling dari satu lokasi ke lokasi lain buat sidak. Tapi ada juga yang cukup lewat Zoom, tanya kabar, terus bilang, "Yang penting jaga nama baik kampus ya, Nak."

Menjadi dosen pembimbing KKN itu kadang mengharukan. Mereka melihat mahasiswa yang awalnya nggak bisa bangun pagi, tiba-tiba jadi rajin ikut gotong royong. Mahasiswa yang biasanya cuma bisa ngopi di burjo, sekarang bisa jadi pemateri pelatihan ibu-ibu PKK. Momen ini kadang bikin dosennya terharu, walau tetap waswas takut tiba-tiba ada laporan keributan gara-gara rebutan sinyal WiFi desa.

Yang nggak kalah seru adalah dosen pembimbing magang. Ini adalah dosen yang tugasnya mendampingi mahasiswa yang sedang praktik kerja di perusahaan, kantor pemerintahan, atau lembaga lainnya. Biasanya dosen ini akan jadi penghubung antara kampus dan tempat magang. Tapi, kadang juga jadi pelampiasan curhat mahasiswa yang stres gara-gara disuruh fotokopi seharian.

Dosen pembimbing magang ini punya tugas yang rumit. Mereka harus memastikan mahasiswa mendapatkan pengalaman yang bermanfaat, tapi juga harus tahan dengar laporan mahasiswa yang bilang, "Bu, saya merasa magangnya nggak sesuai jurusan." Belum lagi kalau mahasiswa-nya magang di luar kota, dosennya kadang cuma bisa berharap laporan magangnya beneran ditulis sendiri, bukan hasil copas dari kakak tingkat.

Nah, ini dia jenis dosen yang paling legendaris: dosen pembimbing skripsi. Dosen inilah yang paling menentukan nasib mahasiswa di akhir masa studinya. Baik buruknya hubungan mahasiswa dengan dosen ini bisa jadi penentu apakah mahasiswa lulus tepat waktu atau jadi warga kampus abadi. Hubungan ini seperti pacaran jangka panjang. Ada suka, ada duka, ada ghosting juga.

Dosen pembimbing skripsi itu ada macam-macam gayanya. Ada yang teliti banget sampai typo koma saja dikoreksi. Ada juga yang santai, yang penting kamu submit aja dulu. Ada yang susah ditemui karena sibuk seminar, dan ada yang gampang ditemui tapi jawabannya suka bikin emosi, "Coba kamu pikirkan lagi ya," tanpa penjelasan tambahan.

Namun, ada juga dosen pembimbing yang levelnya di atas semua itu. Dosen pembimbing spiritual sekaligus motivator. Biasanya dosen seperti ini akan bilang hal-hal yang menyentuh hati, kayak, "Kamu jangan menyerah. Semua orang punya waktunya sendiri." Atau, "Ingat Nak, skripsi itu bukan soal pintar, tapi soal niat dan konsistensi." Dosen model begini bikin mahasiswa merasa didukung dan dihargai. Seolah-olah mereka punya coach pribadi dalam hidup.

Dosen motivator ini biasanya juga jadi tempat curhat. Mahasiswa cerita soal pacar, soal keluarga, bahkan soal hidup yang terasa berat. Dan hebatnya, dosen ini bisa menanggapi dengan sabar. Bahkan kadang kasih nasihat sambil nyeduh teh. Mahasiswa pulang dari bimbingan bukan cuma dapat revisi, tapi juga semangat baru.

Di sisi lain, tidak sedikit juga dosen pembimbing yang jadi momok. Yang kalau ketemu rasanya kayak diinterogasi KPK. Mahasiswa jadi gugup, ngomong terbata-bata, dan pulang bimbingan dengan mental koyak. Tapi ya, di balik kerasnya itu, kadang niatnya baik. Cuma ekspresinya saja yang kelihatan seperti baru kehilangan saham.

Kalau dipikir-pikir, semua jenis dosen pembimbing itu punya peran masing-masing. Ada yang tugasnya administratif, ada yang akademik, ada yang sosial, dan ada yang emosional. Masing-masing punya caranya sendiri dalam mendampingi mahasiswa. Dan semua sama pentingnya. Tanpa mereka, mahasiswa bisa tersesat seperti guling hilang di kosan berantakan.

Yang sering jadi masalah adalah ketika mahasiswa sendiri nggak tahu harus ke dosen yang mana untuk urusan tertentu. Ujung-ujungnya semua dilempar ke dosen pembimbing skripsi, padahal belum tentu itu wewenangnya. Maka dari itu, edukasi soal fungsi masing-masing dosen pembimbing ini penting. Biar nggak salah sasaran.

Tentu, idealnya semua dosen pembimbing punya waktu dan energi untuk membimbing mahasiswa dengan sepenuh hati. Tapi kita juga harus ingat, dosen juga manusia. Mereka punya urusan, punya beban kerja, bahkan punya masalah hidup. Jadi kadang, kalau balas email atau WhatsApp mahasiswa agak lama, ya mohon dimaklumi.

Hubungan antara mahasiswa dan dosen pembimbing itu unik. Kadang seperti anak dan orang tua, kadang seperti bos dan anak buah, kadang juga seperti teman seperjuangan. Tapi apapun bentuknya, kalau dijalani dengan saling pengertian, hasilnya pasti baik. Walaupun skripsi tetap direvisi tiga kali.

Di tengah ramainya kabar soal dugaan ijazah palsu dan dosen pembimbing yang merasa tidak pernah membimbing, kita jadi diingatkan bahwa peran dosen itu tidak bisa digeneralisasi. Ada banyak jenis, banyak bentuk, dan banyak cara. Tidak bisa disamaratakan.

Jadi, kalau kamu mahasiswa dan belum tahu siapa dosen pembimbingmu, coba deh cari tahu. Jangan-jangan dia udah nunggu kamu dari semester lalu. Dan kalau kamu dosen, semoga sabar dan kuat mendampingi mahasiswa yang kadang suka hilang lalu muncul pas akhir semester bawa revisi dadakan.

Karena di kampus, hubungan paling krusial bukan cuma dengan pacar. Tapi juga dengan dosen pembimbing. Mereka lah yang akan menentukan, apakah kamu lulus dengan senyum, atau lulus dengan drama dan air mata.

Begitulah hidup. Bahkan untuk urusan akademik pun, kita tetap butuh pembimbing. Karena sejatinya, manusia memang tidak ditakdirkan berjalan sendiri.


Kemarin sore, udara Bengkulu masih mengandung sisa-sisa panas dari matahari yang seharian tak mau berkompromi. Saya melangkah keluar dari gedung pertemuan, hasil workshop kawan-kawan aktivis lingkungan masih bergema di kepala. Hari itu, saya memang sengaja tidak membawa kendaraan. Bukan karena ingin bergaya hemat, tapi lebih ke alasan efisiensi yang kini terasa semakin relevan. Di tengah krisis BBM, antrean motor dan mobil mengular sampai ke mulut jalan. Daripada harus ikut mengantre lima jam hanya demi 5 liter bensin, lebih baik saya minta istri yang menjemput anak—sementara saya memesan ojek online saja.

Pengemudi ojol yang datang sore itu mengenakan jaket hijau lusuh yang warnanya mulai pudar. Helmnya ada dua: satu untuk dia, satu untuk saya. Kami menyusuri jalan utama kota Bengkulu yang kini menjadi semacam lorong bensin. Di kiri-kanan jalan, SPBU disesaki motor. Dalam kondisi seperti itu, saya rasa, mengobrol lebih baik daripada mengutuk jalanan.
Ilustrasi Ojol dan Penumpang (Gambar : AI Generated)

Saya mulai dengan pertanyaan ringan: sudah antre berapa jam hari ini? Dia tersenyum miris, “Tadi pagi lima jam, Pak. Itu pun cuma dapat tiga liter.” Saya mengangguk, pura-pura tidak kaget. Walau dalam hati saya tetap bertanya-tanya, bagaimana orang seperti dia bisa tetap tersenyum dalam tekanan seperti itu? Mungkin karena sudah terbiasa, atau mungkin karena dalam hidupnya, senyum adalah salah satu bentuk perlawanan.

Obrolan kami lalu mengalir. Ia mulai bercerita tentang rekan-rekannya sesama pengemudi ojol yang kini sebagian sudah pindah kerja karena keadaan kelangkaan BBM saat ini. Ada yang jadi pedagang bensin eceran, ada yang jadi joki pengunjal bensin (tukang beli bensin dengan kendaraan, lalu dijual ke pengecer dengan harga tinggi). “Yang penting gak nganggur, Pak,” katanya. Saya diam sejenak. Ada kebenaran sederhana yang terasa begitu kuat dari kalimat itu. Karena dalam hidup, kadang yang kita butuhkan bukan jabatan, tapi keberanian untuk terus bergerak.

Lalu ia bertanya saya kerja di mana. Saya jawab singkat, “Ngajar di kampus.” Ia tampak tertarik. Lalu bertanya di program studi apa. Saya bilang di manajemen. Saat itu saya mulai merasa bahwa pengemudi ini bukan pengemudi biasa. Ada ketertarikan yang khas dalam pertanyaannya. Dia tahu istilah akademik. Tahu bahwa manajemen bukan sekadar mengelola orang, tapi juga mengelola kemungkinan.

Dan seperti mendapat bahan bakar baru, ia pun mulai menyodorkan pertanyaan demi pertanyaan soal manajemen. Tentang kepemimpinan, tentang bagaimana orang bisa tahu arah kalau tidak ada peta, tentang mengapa strategi tak selalu berhasil. Saya menjawab semampu saya. Kadang serius, kadang dengan contoh dari kehidupan pribadi saya. Salah satunya tentang bagaimana saya membangun sistem kecil di keluarga.

Saya ceritakan padanya, bahwa saya percaya sistem itu bukan hanya milik perusahaan besar. Di keluarga kecil saya, kami punya sistem keuangan, sistem waktu belajar anak, sistem darurat kalau saya tiba-tiba harus absen selamanya. Karena saya percaya, manajemen bukan teori. Ia adalah cara menyusun hidup supaya tidak kacau ketika guncangan datang tiba-tiba.

Saya tambahkan, bahwa kalau sistem itu bagus, maka orangnya bisa diganti, tapi kerja tetap jalan. Dan dalam hal ini, seorang gubernur atau walikota mestinya tidak sibuk tampil di televisi atau media sosial. Ia mestinya sibuk merancang sistem. Agar ketika dia lengser, rakyat tetap bisa menikmati hasil kerja, bukan cuma kenangan foto bersama.

Ia mengangguk, entah benar-benar paham atau hanya sopan. Tapi saya lanjutkan, karena momentum percakapan itu terlalu sayang untuk dilewatkan. Ia lantas bertanya mengaitkannya dengan politik. Di Bengkulu, warganya ini sangat tertarik dengan obrolan politik. Bahkan mungkin 70% obrolan warung kopi topiknya soal politik. Inilah kenapa Bengkulu ini beda dengan yang lain.

Saya katakan bahwa dalam politik, sistem itu sering kalah oleh popularitas. Karena sistem tidak bisa dijual cepat. Ia tidak memukau. Ia bekerja diam-diam, di balik layar.

Saya lalu mencontohkan Anies Baswedan. Saat ia memimpin Jakarta, banyak yang mengkritiknya tidak “kelihatan kerja.” Padahal, ia sedang membuat sistem transportasi bernama Jaklingko. Sistem itu tidak menggantungkan diri pada satu operator, tapi menyambungkan berbagai moda dan tarif dalam satu integrasi. Itu bukan ide populer. Tapi lima tahun kemudian, orang baru sadar bahwa sistem itu menyelamatkan banyak orang dari keruwetan harian.

“Kalau gubernur Bengkulu sekarang gimana, Pak?” tiba-tiba dia bertanya. Saya tertawa kecil. Saya jawab, “Saya bukan komentator politik.” Tapi ia terus mendesak. Katanya, “Saya ingin tahu dari sisi manajemen. Kan sudah seratus hari kerja, tapi belum terasa sistemnya.” Pertanyaan itu menohok, tapi juga jujur. Saya tidak bisa menolaknya.

Saya lalu menjelaskan bahwa seratus hari bukan waktu yang cukup untuk membangun sistem. Tapi cukup untuk menunjukkan arah. Kalau sampai seratus hari rakyat tidak bisa menebak arah ke mana kepemimpinan ini akan dibawa, maka itu masalah manajerial. Karena seorang pemimpin yang baik adalah seorang komunikator sistem.

Saya tidak menjawab apakah gubernur sekarang baik atau tidak. Saya lebih suka menunjukkan bahwa ukuran keberhasilan bukan pada pidato atau trending di Media Sosial, tapi pada apakah rakyat bisa hidup lebih mudah. Kalau antre BBM tetap lima jam, maka itu tanda sistem distribusi belum berubah.

Ia mengangguk lagi. Kali ini lebih dalam. “Berarti jadi gubernur itu kayak manajer ya, Pak?” Saya jawab, “Ya. Tapi lebih rumit, karena stakeholder-nya banyak, dan ekspektasinya liar.” Ia tertawa. Saya pun ikut tertawa. Tawa dua orang di atas motor, di tengah jalan yang padat kendaraan yang sedang mengantre, terasa seperti jeda dari peliknya hidup.

Saya tahu, pengemudi ini tidak sedang bercanda. Ia serius ingin tahu. Mungkin karena ia juga pernah kuliah. Mungkin karena ia sedang mencari arah baru dalam hidup. Atau bisa jadi, karena hidup telah mengajarkannya bahwa ilmu tidak hanya milik mereka yang di balik meja.

Kami tiba di depan rumah. Saya turun dari motor, mengembalikan helm. Ia tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saya pun mengangguk, mengucapkan doa dalam hati: semoga sistem dalam hidupnya terus menguat. Karena dalam dunia yang tak menentu ini, sistem adalah satu-satunya jaring pengaman.

Saat saya masuk rumah, obrolan tadi masih membekas. Saya berpikir, mungkin seharusnya kita semua belajar manajemen. Bukan untuk jadi manajer perusahaan, tapi untuk jadi manajer hidup. Supaya kita tidak tenggelam dalam kekacauan yang kita ciptakan sendiri.

Saya jadi teringat mahasiswa-mahasiswa saya. Mereka sering bertanya, “Pak, kalau nanti saya tidak kerja di kantor, apa gunanya belajar manajemen?” Sekarang saya tahu jawaban terbaiknya: karena hidupmu sendiri adalah perusahaan terpenting yang akan kamu kelola seumur hidupmu.

Jadi, jika suatu hari kamu jadi sopir, guru, kepala dusun, atau bahkan hanya kepala dapur, jangan minder. Selama kamu tahu cara mengatur, menyusun, dan membenahi, kamu sudah menjalankan peranmu sebagai manajer. Dan itu sudah cukup mulia.

Saya tidak tahu latar belakang pengemudi tadi. Tapi saya tahu, ia telah membuat saya menulis ini. Ia telah mengingatkan saya bahwa ilmu bukan untuk digantung di dinding, tapi untuk dijalani dalam keseharian.

Maka saya percaya, selama masih ada orang seperti dia, negeri ini tidak akan benar-benar kehilangan arah. Karena harapan tak selalu lahir dari kantor gubernur. Kadang, harapan itu datang dalam bentuk tukang ojol, di tengah sore yang panas, dengan dua helm dan sejuta cerita.
Bengkulu itu seperti rumah di ujung gang sempit. Jalannya cuma satu. Kalau ada truk besar mogok di tengah gang itu, semua penghuni rumah harus jalan kaki atau menunggu sampai mogoknya selesai. Tidak ada pintu belakang. Tidak ada jalur alternatif.

Saya tidak sedang membesar-besarkan masalah. Cobalah tengok berita-berita beberapa hari terakhir. BBM langka, antrean mengular sepanjang dua kilometer di banyak SPBU. Tidak hanya motor dan mobil, kadang sampai truk pengangkut sayur pun ikut antre. Tentu saja semua ini tidak terjadi dalam ruang hampa.
Ilustrasi Multi Jalur Suplai BBM ke Bengkulu (Gambar : AI Generated)
Pendangkalan di alur pelabuhan Pulau Baai jadi pangkal perkara. Kapal tanker tidak bisa bersandar. BBM tak bisa diturunkan. Dan begitu satu jalur ini terhambat, bengkulu seperti dikerangkeng. Tidak ada opsi lain.

Lalu datanglah solusi darurat: mendatangkan BBM dari luar, lewat darat. Lewat jalur yang kalau kita sering lewati, tahu persis betapa berkeloknya. Truk dari Jambi dan Linggau jadi penyambung nyawa. Tapi biaya logistik melonjak. Setiap liter yang dikirim, Pertamina rugi—tapi tetap dikirim.

Kita harus berterima kasih pada para sopir tangki BBM itu. Mereka adalah pahlawan logistik dalam senyap. Jalanan lintas Sumatera itu tidak main-main. Tanjakan, tikungan tajam, longsoran di musim hujan, itu semua adalah sahabat harian mereka.

Tapi kita tidak bisa terus-menerus hidup dalam mode darurat. Maka saya ingin bicara tentang tiga hal: jangka pendek, menengah, dan panjang. Tiga skala waktu ini harus kita pikirkan bersama. Tidak bisa hanya berharap satu solusi ajaib turun dari langit.

Jangka pendek dulu. Yang paling mudah dan harus segera dilakukan: keruk alur laut Pulau Baai. Ini seperti membersihkan saluran air mampet. Bukan soal politik, ini soal teknis. Tinggal alokasikan anggaran dan kerja cepat.

Jangan tunggu investor. Jangan tunggu lelang internasional. Waktu tidak sedang memihak. Setiap hari menunggu, antrean makin panjang, kepercayaan publik makin tergerus.

Gubernur, Wali Kota, dan DPRD bisa patungan anggaran jika Pelindo, Kementerian, atau pemerintah pusat tidak mau membiayai. Saya tahu, anggaran daerah tidak sekuat itu. Tapi untuk kepentingan mendesak seperti ini, pemanfaatan belanja tidak terduga bisa digeser.

Sambil mengeruk, kita juga perlu mendata semua SPBU. Mana yang bisa dijadikan prioritas distribusi. Mana yang bisa difungsikan khusus untuk sektor strategis: rumah sakit, ambulans, dan logistik pangan dan mana yang SPBU banyak bocor ke para pengecer.

Masyarakat juga perlu diberi informasi yang jelas. Jangan hanya bicara "panic buying" tanpa menunjukkan bukti. Warga antre bukan karena panik, tapi karena benar-benar butuh. Menyalahkan rakyat adalah cara paling malas dalam manajemen krisis.

Sekarang jangka menengah. Kita harus membuka opsi logistik darat secara lebih serius. Artinya, perbaikan jalan lintas barat dan tengah Sumatera dan penyelesaian jalur tol Bengkulu-Linggau yang baru selesai 1 tahap saja, harus menjadi prioritas. Pendalaman studi untuk usulan pembukaan jalur kereta api Linggau-Pulau Baai. Pemerintah pusat dan daerah harus duduk satu meja.

Jangan anggap pembangunan jalan itu cuma proyek infrastruktur biasa. Ini adalah soal konektivitas hidup dan mati. Bengkulu tidak boleh lagi mengandalkan satu jalur pelabuhan.

Logistik BBM bisa dipecah. Sebagian masuk lewat pelabuhan, sebagian lewat darat. Diversifikasi sumber distribusi. Ini sama dengan membagi risiko. Kalau satu jalur terganggu, jalur lain bisa menopang.

Di jangka menengah pula, kita bisa mulai membangun depo penyangga. Gudang BBM dengan cadangan untuk 30 hari. Letaknya di titik strategis, misalnya perbatasan dengan Sumatera Selatan. Sehingga pengiriman dari dua arah tetap memungkinkan.

Saya pernah membaca dalam satu artikel tentang depo BBM kecil di daerah terpencil di Kalimantan. Fungsinya bukan untuk distribusi harian, tapi cadangan saat cuaca ekstrem atau jalur terganggu. Di Bengkulu, ini bahkan lebih relevan.

Nah, masuk ke jangka panjang. Inilah waktunya Bengkulu memikirkan kemandirian energi. Saya tidak sedang bicara kendaraan listrik (mobil). Itu terlalu jauh, dan ekosistemnya belum sepenuhnya siap. Teknologinya masih terlalu mahal. Tapi kita bisa bicara biogas, panel surya, atau teknologi hybrid.

Bengkulu punya banyak potensi air. Mikrohidro bisa dijadikan sumber listrik lokal. Bisa juga dijadikan pengganti untuk pompa-pompa BBM yang selama ini tergantung genset. Di kampung-kampung, listrik dari mikrohidro bisa menyokong ekonomi kecil.

Energi matahari? Sangat mungkin. Daerah pantai punya paparan cahaya hampir maksimal. Tapi butuh kemauan dan dukungan teknologi. Pemerintah daerah bisa mulai dari kantor-kantor OPD. Jadikan contoh, bukan sekadar slogan.

Di masa depan, kemandirian energi tidak boleh lagi jadi jargon. Ia harus jadi sistem. Kalau selama ini kita membangun jalan tol untuk konektivitas mobilitas, maka energi adalah konektivitas kehidupan.

Pendidikan juga tidak boleh ketinggalan. Anak-anak SMA dan SMK di Bengkulu bisa diberi kurikulum energi terbarukan. Bangun semangat kemandirian dari sekolah. Siapa tahu, insinyur yang akan menemukan solusi energi murah lahir dari sini. SMA Muhammadiyah 4 Bengkulu dan SMAK St. Carolus sudah mencontohkannya. Bahkan Kepala Sekolahnya sampaiu diundang ke Brazil untuk menceritakan projectnya ini sebagai praktik baik di institusi pendidikan.

Saya tahu, semua ini tidak mudah. Tapi kalau kita terus berpikir seperti sekarang, kita hanya akan jadi penonton. Sementara krisis demi krisis datang silih berganti.

Menunggu solusi dari pusat bisa seperti menunggu janji mantan. Bisa datang, bisa juga tidak. Maka biarkan Bengkulu menulis skenario solusinya sendiri. Lewat tangan-tangan warganya yang bekerja dengan ketulusan dan kemauan.

Krisis BBM ini membuka mata kita: Bengkulu terlalu rapuh untuk dibiarkan tanpa rencana cadangan. Sudah saatnya kita berpikir seperti daerah kepulauan. Mandiri dalam logistik. Tangguh dalam konektivitas.

Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan siapa pun. Tapi untuk mengingatkan bahwa waktu kita terbatas. Dan kalau kita tidak berubah sekarang, mungkin nanti kita tidak bisa lagi memilih untuk berubah.
Hari senin siang (26 Mei 2025), gubernur menjelaskan di media bahwa salah satu penyebab terjadinya antrian panjang kendaraan di berbagai SPBU di Bengkulu adalah karena adanya Panic Buying. Istilah ini mungkin terdengar asing, namun sebenarnya sering terjadi di sekitar kita dalam beberapa tahun terakhir. 

Panic buying atau pembelian panik adalah perilaku konsumen yang membeli barang dalam jumlah besar dan tidak wajar karena ketakutan akan kelangkaan atau kenaikan harga barang tersebut di masa depan. Perilaku ini biasanya dipicu oleh krisis, rumor, atau informasi yang menimbulkan kecemasan, seperti bencana alam, konflik, pandemi, atau isu kenaikan harga.
Ilustrasi Panic Buying (Gambar : AI Generated)
Lalu apakah fenomena antrian super panjang di Bengkulu ini termasuk dalam panic buying seperti yang dijelaskan oleh Gubernur?

Antrian BBM di Bengkulu saat ini tidak semata-mata disebabkan oleh panic buying, meskipun fenomena tersebut mungkin ikut memperburuk keadaan. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa masalah utamanya adalah gangguan pasokan struktural, bukan kepanikan konsumen.

Beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa ini bukan masuk kategori panic buying :

• Masalah Utama: Pendangkalan Alur Laut

Sejak pelabuhan Pulau Baai mengalami pendangkalan, kapal tanker Pertamina tidak bisa lagi bersandar. Ini menyebabkan distribusi BBM harus dialihkan lewat darat dari Jambi dan Lubuk Linggau. Hal ini menyebabkan pasokan melambat dan terbatas.

• Tren Antrian Terjadi Sebelum Panic Buying

Antrian panjang di SPBU sudah terjadi secara bertahap selama beberapa minggu terakhir. Ini menunjukkan krisis pasokan sudah berlangsung lama dan bukan reaksi sesaat akibat kepanikan.

• Panic Buying sebagai Efek, Bukan Sebab

Ketika masyarakat melihat SPBU kosong atau mendengar kabar bahwa pengiriman BBM tersendat, sebagian memang akhirnya berebut isi BBM saat ada pengiriman. Ini menciptakan ilusi panic buying, padahal mereka hanya mencoba bertahan hidup dalam kondisi pasokan terbatas.

• Kelangkaan BBM Eceran dan Ojek Online

Banyak pertamini tutup. Ojek online tidak beroperasi karena kehabisan BBM. Ini menunjukkan bahwa sistem distribusi informal pun lumpuh, bukan hanya karena kepanikan, tapi memang karena tidak ada stok BBM yang bisa dibeli.

• Harga BBM Eceran Melonjak

Jika ini murni panic buying, BBM tetap tersedia namun mahal. Tapi kenyataannya, harga naik karena barangnya memang sangat langka, bukan karena diborong. Buktinya pembelian BBM di SPBU dibatasi per kendaraan maksimal hanya 30 liter untuk mobil dan 5 liter untuk motor.

Kesimpulannya, indikasi ke arah panic buying memang ada, namun bukan faktor utama. Yang lebih dominan adalah krisis pasokan akibat kendala logistik struktural yang seharusnya jadi perhatian serius pemerintah daerah dan pusat.
Di Jakarta, orang ribut karena laut ditimbun-timbun. Alasannya macam-macam, mulai dari ancaman lingkungan, rusaknya ekosistem, sampai kekhawatiran tentang siapa yang bakal menikmati hasil reklamasi itu. Sebagian khawatir kalau daratan baru itu nanti akan jadi milik segelintir orang kaya yang bisa beli pulau seharga dua mobil Pajero. Sementara rakyat jelata cuma bisa menikmati laut dari jendela bus Transjakarta, sambil ngelus dada. Tapi itu Jakarta, tempat segala hal bisa jadi polemik nasional.

Sementara itu, di Bengkulu, kondisinya agak nyeleneh. Kalau di Jakarta orang khawatir laut ditimbun, di Bengkulu justru lautnya semakin timbul sendiri. Bukan karena pembangunan, tapi karena pendangkalan. Alur laut Pulau Baai pelan-pelan mulai berubah nasibnya, dari jalur logistik menjadi semacam kolam rendam berpasir. Kapal-kapal pengangkut BBM pun mendadak merasa seperti sedang main sand castle di pantai.

Di tengah hiruk-pikuk orang Jakarta yang khawatir lautnya menyusut, Bengkulu malah sibuk memikirkan gimana caranya supaya lautnya bisa sedikit lebih dalam. Ini ironi yang sebetulnya enak buat dibikin meme. Tapi karena kita bukan bangsa pememe, ya akhirnya cuma bisa jadi bahan obrolan sambil ngopi di warung. Orang sini kalau bahas soal pendangkalan alur laut nadanya udah kayak ngomongin mantan yang gak move on-move on.
Ilustrasi Pengerukan Pasir (Gambar : AI Generated)

Kalau dibiarkan terus, nanti kapal-kapal Pertamina bisa nyangkut beneran di tengah laut, nunggu pasang. Lucunya, kita bukan marah sama laut, tapi malah maklum. “Namanya juga laut,” kata orang. Seolah laut itu semacam manusia yang bisa salah jalan gara-gara kurang tidur.

Yang membuat geli, untuk urusan ini, kita justru mesti bayar kapal keruk buat bantu ngambil pasir yang bikin alur laut jadi dangkal. Padahal di tempat lain, kapal-kapal pengangkut pasir justru diusir. Di Bangka, misalnya. Kapal keruk datang, masyarakat demo. Di Bengkulu, kapal keruk datang, masyarakat malah kasih kopi. Aneh, tapi nyata.

Harusnya, pasir laut yang bikin susah ini malah bisa jadi peluang. Bayangkan, kalau kita bisa kelola hasil kerukannya, bisa saja jadi pemasukan daerah. Tak usah jauh-jauh dipikirkan untuk ekspor ke luar negeri dulu. Dijual ke proyek-proyek lokal pun udah lumayan. Hitung-hitung bantu pembiayaan perbaikan jalan yang lubangnya sudah seperti danau mini.

Tapi ya itu, kadang kita ini terlalu baik. Pasir laut yang jelas-jelas bisa dijual, malah kita perlakukan seperti masalah. Kita bayar orang untuk mengambilnya, bukan untuk membeli. Ini kalau ibarat makan, seperti beli nasi uduk tapi yang dibayar tukang nasinya biar mau diambil.

Ada juga yang bilang, mungkin karena belum ada perda yang ngatur soal pengelolaan hasil pengerukan pasir laut. Maka dari itu, niat baik pun sering kali mandek di tengah jalan. Bukan karena gak ada kemauan, tapi karena terlalu banyak prosedur yang harus dicium dulu. Belum lagi soal siapa yang boleh mengelola, siapa yang nanti ambil untung, dan siapa yang bisa bikin proposal dengan kop surat berwarna.

Sementara menunggu itu semua dibereskan, kapal-kapal besar yang mau sandar di Pelabuhan Pulau Baai hanya bisa melongo. Mereka tahu, semakin dangkal alurnya, semakin besar kemungkinan mereka harus balik kanan. Sudah rugi waktu, rugi BBM, rugi marwah juga. Kapal sebesar itu, masa nyangkut di dasar laut kayak ember tua.

Kondisi ini bukan cuma merugikan Pertamina, tapi juga bikin masyarakat Bengkulu menanggung dampaknya. BBM makin langka. Antrian di SPBU makin panjang. Orang yang biasanya ngopi pagi di warung, sekarang pagi-pagi sudah berdiri di depan motor, meratap. Bensin tinggal satu bar, tapi SPBU antrinya satu kilometer.

Sekarang, kalau ada yang bilang Indonesia itu kaya pasir, saya setuju. Tapi kalau orang Jakarta kaya pasir karena proyek reklamasi, Bengkulu kaya pasir karena lautnya memang sedang berubah jadi taman pasir. Ini kaya yang bikin bangkrut. Kaya yang bikin kapal ogah datang. Kaya yang bikin gubernur bingung cari cara.

Ironi ini makin kentara kalau kita lihat potensi yang terbuang. Pasir yang bisa dijual, malah dibuang. Dana yang bisa masuk, malah bocor. Masyarakat yang bisa untung, malah buntung. Kalau ini terus terjadi, jangan salahkan kalau nanti ada yang minta pisah dari NKRI karena merasa dianaktirikan—tentu ini cuma satire, jangan baper.

Maka, perlu cara pandang yang agak nyentrik. Jangan selalu lihat pasir laut itu sebagai biang kerok. Kadang, biang kerok itulah yang bisa jadi penyelamat. Asal dikelola dengan benar, hasil kerukan itu bisa jadi penyambung hidup. Minimal bisa mengurangi beban APBD yang selama ini kerja keras cuma buat nutupi jalan bolong.

Bahkan kalau perlu, kita bisa belajar dari Singapura yang beli pasir dari mana-mana buat tambah daratan. Kita, yang punya pasir melimpah, malah bingung sendiri. Ini seperti orang yang punya kebun durian, tapi tiap hari sarapan gorengan. Bukan karena gak suka durian, tapi karena gak tahu cara manjat pohon.

Padahal kalau mau jujur, potensi Bengkulu ini luar biasa. Lautnya indah, hasil buminya lumayan, dan sekarang, pasirnya pun banyak. Tinggal butuh keberanian untuk bilang: “Kita bisa.” Sayangnya, keberanian itu sering terhalang oleh ketakutan dikira korupsi. Kadang, niat baik bisa tampak jahat kalau prosedurnya belum dilengkapi.

Sudah waktunya Bengkulu ambil langkah maju. Tak perlu menunggu komando dari pusat. Kalau menunggu terus, bisa-bisa nanti kapal Pertamina datang bukan bawa BBM, tapi bawa nasi kotak buat rapat koordinasi. Kita terlalu sering mengadakan rapat, padahal yang kita butuh cuma satu: tindakan.

Kalau proyek pengerukan ini bisa dibereskan, dampaknya bisa luar biasa. BBM bisa kembali lancar. Logistik bisa jalan lagi. Pendapatan daerah naik. Dan yang terpenting: masyarakat bisa kembali hidup tanpa harus begadang antri bensin.

Harusnya kita bangga punya laut yang masih bisa dikeruk. Daripada punya gunung yang tinggal nama. Daripada punya jalan yang tinggal lubang. Daripada punya SPBU yang isinya cuma papan bertuliskan: “BBM Habis.”

Tapi tentu semua itu butuh keseriusan. Pemerintah daerah harus bisa jadi pelopor. Tak cukup hanya dengan lempar pernyataan di media. Harus ada tindakan nyata. Entah itu menggandeng swasta, atau mendirikan BUMD yang khusus mengelola pasir laut.

Bayangkan, betapa bahagianya nelayan, sopir truk, tukang parkir, sampai mahasiswa jika kapal BBM kembali bisa sandar tanpa drama. Tak perlu lagi susah payah cari bensin eceran harga dua puluh ribu. Tak perlu lagi bangun subuh cuma untuk antri. Semua kembali normal, semua kembali wajar. Semua berawal dari: mengelola pasir.

Saya percaya, dari pasir pun kita bisa bangkit. Kita ini bangsa besar, yang sering jatuh bukan karena kurang sumber daya, tapi karena kurang ngopi bareng. Kurang ngobrol. Kurang percaya sama potensi sendiri. Padahal, laut itu milik kita semua.

Kalau dikelola dengan benar, hasil kerukan pasir bisa jadi berkah. Bisa untuk membangun jalan-jalan yang lubangnya sudah kayak permukaan bulan. Bisa untuk membiayai beasiswa anak-anak nelayan. Bisa untuk perawatan puskesmas yang lampunya masih pakai senter.

Orang Jakarta boleh terus ribut soal reklamasi. Biarkan mereka dengan kegelisahannya. Sementara Bengkulu, bisa mengambil peran lain. Peran sebagai daerah yang cerdas mengelola kekayaan alamnya. Termasuk pasir laut yang selama ini dianggap hama.

Yang kita butuhkan sekarang bukan orang-orang pintar baru. Tapi orang-orang yang berani mengambil keputusan. Yang paham bahwa pasir bisa jadi musuh, tapi juga bisa jadi kawan. Tinggal bagaimana kita memperlakukannya.

Kalau perlu, kita bikin slogan baru untuk Bengkulu. “Bengkulu: Negeri Seribu Pasir, Seribu Solusi.” Mungkin terdengar lucu. Tapi dalam kelucuan itu, terkandung harapan. Harapan bahwa suatu hari nanti, Bengkulu bisa berdiri gagah—berkat pasirnya.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • ENGGANO DI UJUNG TANDUK
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • MENCARI GUS DAN GUYONAN SAMPAH DI MUHAMMADIYAH

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar