Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Saya bukan ahli kimia. Saya juga bukan orang teknik. Tapi saya pernah bergaul dengan banyak orang teknik. Terutama waktu saya masih sering keliling daerah-daerah di Indonesia mengikuti professor saya, bertemu banyak sarjana dan guru besar. Dari mereka, saya belajar satu hal penting: teknologi tidak selalu harus masuk akal di awal.

Saya juga dulu tidak percaya bahwa air bisa jadi bahan bakar. Logika saya menolak. Tapi hati saya bertanya-tanya. Apalagi setelah melihat kondisi Bengkulu yang semakin hari semakin menyedihkan. Bukan karena bencana alam, tapi bencana antrian.

SPBU di Bengkulu kini seperti situs ziarah. Ramai. Dikunjungi sejak subuh. Kendaraan berderet hingga dua kilometer. Tidak hanya sekali. Hampir tiap hari. Seperti prosesi panjang tanpa ujung.
Ilustrasi kendaraan memakai bahan bakar air laut (Gambar : AI Generated)

Saya tahu, di Jakarta, isu BBM memang tidak sekeras itu. Tapi di Bengkulu, itu menjadi topik sehari-hari. Menjadi pembuka obrolan di warung kopi. Menjadi candaan getir di grup WhatsApp RT. Menjadi alasan untuk datang terlambat ke kantor.

Orang-orang kini lebih banyak memilih tinggal di rumah. Jalanan lengang. SPBU justru ramai. Ironi yang membalik keseharian kota ini. Saking seringnya melihat antrian, saya jadi hafal kendaraan siapa saja yang rutin datang.

Lalu muncullah ingatan saya pada Nikuba. Singkatan dari “Niku Banyu (Itu Air ; Bahasa Jawa)”. Saya pertama kali dengar tiga tahun lalu. Dari berita kecil di koran nasional. Penemunya bukan profesor. Bukan juga insinyur senior. Hanya warga biasa dari Cirebon. Tapi bisa bikin kendaraan jalan pakai air.

Teknologi ini kemudian sempat diujicoba oleh TNI. Heboh. Viral. Tapi seperti biasa, publik cepat lupa. Lebih banyak yang sinis daripada yang penasaran. “Mana bisa motor jalan pakai air?” begitu kira-kira komentar mereka. Kepala BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) pun sampai mengirim tim untuk mengecek kesana.

Saya pun termasuk yang skeptis waktu itu. Tapi kalau sudah tidak ada bensin, akal sehat pun bisa berubah. Kini saya malah tergoda untuk mencari tahu lebih lanjut. Bukan karena ingin gaya-gayaan, tapi karena benar-benar butuh.

Satu waktu, saya sedang menunggu giliran donor darah. Di rumah sakit. Tidak sengaja saya bertemu suami teman kuliah saya dulu. Seorang dosen teknik mesin. Perbincangan ringan kami berubah jadi serius saat saya iseng menyebut soal Nikuba.

Mata dia langsung berbinar. Dia bilang, itu bukan hal baru buat dia. Justru dia sedang meneliti hal serupa. Bukan pakai air biasa. Tapi air laut. Menurutnya, kadar mineral dan elektrolit di air laut justru lebih mendukung reaksi elektrolisis.

Saya mendengarkan dengan antusias. Katanya, alat itu dipasang di mobil miliknya sendiri. Tidak sepenuhnya mengganti bensin, tapi menguranginya secara signifikan. Biasanya seminggu butuh 30 liter. Kini cukup dua liter. Sisanya dibantu oleh proses dari air laut.

Alat itu memang tidak murah. Tapi juga tidak semahal mobil listrik. Tidak perlu charging station. Tidak perlu ganti baterai mahal. Cukup bawa sebotol air laut, dan teknologi kecil di bawah kap mesin.

Bayangkan jika teknologi ini bisa diterapkan luas di Bengkulu. Kita punya pantai. Kita punya air laut gratis. Kita tidak tergantung pada truk tangki dari Jambi atau Lubuk Linggau. Kita bisa mandiri dalam urusan energi.

Saya mulai memikirkan kemungkinan untuk menyambung komunikasi lagi dengan teman saya tadi. Sudah lama tidak bertemu. Tapi situasi sekarang membuat saya merasa perlu untuk bertindak. Setidaknya mendengar penjelasannya sekali lagi.

Bisa jadi ini bukan solusi sempurna. Tapi lebih baik mencoba sesuatu daripada hanya mengeluh. Bengkulu terlalu indah untuk dibiarkan lumpuh karena BBM. Warga Bengkulu terlalu tangguh untuk menyerah hanya karena bahan bakar.

Teknologi memang sering dipandang aneh saat pertama kali muncul. Ingat waktu orang memperkenalkan mobil? Dibilang gila. Bahkan Thomas Edison pun dulu diragukan. Tapi sejarah membuktikan, mereka yang percaya pada ide gila, akhirnya menciptakan perubahan.

Mungkin, inilah saatnya kita percaya pada ide yang terdengar gila itu. Mengubah air menjadi tenaga. Menggerakkan kendaraan dari sumber yang kita miliki melimpah. Laut. Yang dulu hanya untuk wisata dan nelayan, kini bisa menjadi sumber energi.

Saya tidak menganjurkan pemerintah langsung adopsi teknologi ini tanpa uji. Tapi membuka pintu diskusi, membuka ruang eksperimen, memberi dukungan kepada peneliti lokal — itu bisa dimulai. Pemerintah provinsi bisa mulai dari kampus-kampus teknik.

Bayangkan jika setiap kendaraan dinas pemerintah dipasangi alat penghemat BBM berbasis air. Minimal bisa jadi percontohan. Jika berhasil, rakyat akan ikut. Jika gagal, kita tidak kehilangan apa-apa. Karena sekarang pun kita sedang kehabisan.

Saya ingin menyampaikan ini langsung ke Gubernur. Tapi saya tidak punya jalur langsung (kecuali kalau harus kontak via TikTok. Tapi saya tidak terbiasa) Maka saya tulis di sini, berharap sampai. Harapan kecil yang saya titipkan di antara paragraf demi paragraf ini.

Masalah BBM di Bengkulu bukan semata soal distribusi. Ini soal ketergantungan. Dan seperti kecanduan, kita harus punya cara untuk lepas. Harus punya keberanian untuk mencoba yang berbeda.

Tidak semua harus dimulai dari pemerintah pusat. Kadang, gerakan kecil di daerah bisa jadi besar. Asal ada kemauan dan keberanian untuk mencoba. Bukan untuk mencari sensasi. Tapi untuk menyelamatkan mobilitas masyarakat.

Masyarakat tidak butuh janji BBM akan lancar minggu depan. Mereka butuh solusi sekarang. Antrian sudah membuat ekonomi lokal terganggu. UMKM kesulitan beroperasi. Pekerja harian kehilangan penghasilan.

Jika ada alat yang bisa mengubah air laut jadi tenaga gerak, kenapa tidak? Bahkan jika hanya mengurangi BBM separuhnya, itu sudah sangat berarti. Warga tidak akan keberatan membawa jerigen air laut setiap pagi, asal bisa tetap jalan.

Ini bukan soal menolak kendaraan listrik. Tapi Bengkulu belum siap ke sana. Belum ada infrastruktur pendukungnya yang cukup memadai. Ada charging station, tapi tidak banyak. Kalau semua orang punya kendaraan listrik, antrian tetap saja bakal terjadi. Malah bisa lebih parah dari BBM. Tapi kita punya air. Dan kita punya orang-orang yang mau berpikir di luar kebiasaan.

Di situlah harapan itu bersembunyi. Di balik sinisme. Di balik antrian yang tak kunjung habis. Di balik keputusasaan yang pelan-pelan menggerogoti semangat warga.

Saya ingin melihat Bengkulu melangkah lebih cepat. Tidak terus-menerus terjebak dalam krisis yang sama. Jika jalan keluar itu adalah air, maka mari kita gali, uji, dan sebarkan. Sebelum kita benar-benar kehabisan bensin — dan harapan.

Tangkapan layar beberapa pemberitaan di media online nasional soal temuan teknologi Nikuba (Sumber : Google / Istimewa)


Saya menulis ini di pagi hari. Bukan dari meja kerja, tapi dari jok kendaraan yang saya duduki sudah tiga jam lebih. Di depan saya, deretan mobil dan motor mengular. Diam. Tidak bergerak. Hanya sesekali klakson bersahutan, lebih karena putus asa daripada marah. Di belakang saya, tukang ojek bergumam, “Bensin tinggal satu bar, kalau gak gerak juga, saya pulang.”

Bapak Gubernur, saya tahu Anda bukan Tuhan. Tapi saya juga tahu, Anda bukan penonton. Dalam situasi seperti ini, warga menanti arahan. Kami tidak butuh pengumuman panjang, cukup satu kebijakan kecil saja, yang bisa membuat kami sedikit bernapas. Misalnya: izinkan kami bekerja dari rumah, setidaknya untuk seminggu dua minggu ke depan.
Ilustrasi pekerja harus masuk kantor walau BBM habis dimana-mana (Gambar : AI Generated)

Kita sudah satu bulan hidup dalam krisis bensin yang tak masuk akal. Tapi dalam empat hari terakhir, krisis itu berubah menjadi bencana. Antrian dua kilometer bukan lagi berita, tapi rutinitas. Di SPBU Pagar Dewa, saya lihat orang-orang tidur di dalam mobil. Di SPBU lainnya, ada yang bawa tikar, selimut, bahkan termos kopi. Ini bukan antre BBM, ini mirip antre sembako zaman krisis moneter dulu.

Saya tahu betul, tidak semua pekerjaan bisa dikerjakan dari rumah. Tapi banyak yang bisa. Guru-guru bisa mengajar via daring. Pegawai administrasi bisa mengurus dokumen dari ruang tamu rumahnya. Bahkan mahasiswa, yang semestinya semangat ke kampus, kini memilih bertahan di kos karena tidak tahu harus isi bensin di mana. Kalau ini bukan alasan kuat untuk WFH, lalu apa lagi?

Saya membayangkan anak-anak sekolah yang harus jalan kaki pagi-pagi. Saya membayangkan para ibu yang harus titipkan anak ke tetangga karena harus antre bensin sampai siang. Saya juga membayangkan sopir ambulans yang mengeluh, “Kalau dapat bensin hari ini, berarti pasien bisa diantar.” Kondisi ini sudah bukan soal BBM lagi, tapi soal kemanusiaan. Dan saya percaya, pemerintah daerah punya hati untuk itu.

Dulu, waktu pandemi Covid melanda, kita bisa cepat ambil keputusan. Sekolah diliburkan, kerja dipindah ke rumah, bahkan pasar pun diatur dengan sistem ganjil genap. Sekarang, krisis ini juga soal darurat, hanya beda bentuk. Tidak berbahaya secara medis, tapi membuat ekonomi rumah tangga babak belur. Apakah kami harus menunggu semuanya lumpuh baru kita bergerak?

Bekerja dari rumah bukan kemunduran, Bapak Gubernur. Justru itu bentuk kepedulian pemerintah pada rakyatnya. Daripada warga memaksa berangkat dengan ojek mahal, atau harus menolak kerja karena kendaraan mogok kehabisan bensin, bukankah lebih bijak jika kita beri mereka opsi aman? Toh, produktivitas tidak selalu tergantung jarak tempuh. Kadang, yang membuat kami produktif justru adalah rasa dipahami.

Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Pendangkalan alur laut itu bukan kesalahan Anda. Kapal tidak bisa sandar bukan keputusan Pemprov. Tapi saya percaya, Anda bisa menyelamatkan situasi ini dari memburuk. Minimal, dengan memberi ruang adaptasi. Karena hari ini, yang paling kami butuhkan bukan bensin semata, tapi kebijakan yang masuk akal.

Surat ini tidak saya tujukan dengan kemarahan. Hanya keprihatinan yang ditulis dari pinggir SPBU, dengan jari gemetar karena udara pagi yang dingin dan suara keluhan yang terus terdengar. Kami tidak meminta banyak, Bapak. Hanya sedikit ruang agar kami bisa bertahan, dan terus percaya bahwa pemerintah masih ada untuk kami.

Saya percaya, Anda mendengar ini. Dan saya lebih percaya lagi, Anda bisa bertindak. Terima kasih, sebelum semuanya terlambat.
Di Bengkulu hari ini, BBM sudah tidak lagi sekadar kebutuhan, tapi semacam legenda urban. Sejak pendangkalan di alur laut Pelabuhan Pulau Baai membuat kapal tanker tak bisa bersandar, distribusi BBM pun berubah arah, dari laut ke darat. Truk-truk dari Jambi dan Lubuklinggau jadi pahlawan baru, walau harus menempuh jalan berliku dengan risiko kerugian harian bagi Pertamina. Puluhan juta rupiah dikorbankan setiap hari, demi tugas negara yang katanya harus tetap jalan walau dompet korporasi megap-megap. Tapi ya itu tadi, namanya tugas negara, mau gak mau harus jalan terus, walau yang rugi bukan cuma Pertamina, tapi juga rakyat yang antre sampai punggung pegal.

Pemandangan antrean kendaraan di SPBU-SPBU Bengkulu kini lebih panjang dari skripsi mahasiswa semester akhir. Ada yang sampai satu kilometer, bikin jalur utama macet dan warga sekitar harus cari jalur tikus untuk bisa sampai rumah. Mereka yang dulunya lewat depan SPBU sambil nyetel lagu, sekarang harus lewat belakang rumah tetangga sambil minta maaf karena nabrak pot bunga. Sopir truk sampai ojek online kini lebih banyak ngeluh daripada narik, karena bensin segalon saja lebih mahal dari ongkos harian. Ironisnya, di negeri kaya sumber daya ini, warganya harus berebut bensin kayak main rebutan kursi di acara tujuhbelasan.
Ilustrasi Harta Karun Bernama Bensin (Gambar : AI Generated)

Bukan cuma antre yang jadi masalah, tapi juga soal keberadaan BBM itu sendiri. Di banyak SPBU, bensin tinggal nama, solar tinggal kenangan, dan Pertamax cuma bisa dibayangkan. Mereka yang tak sabar antre, atau kalah cepat, harus rela beli di eceran dengan harga 15 hingga 20 ribu per liter. Itu pun kalau ada. Kalau tidak, ya silakan dorong kendaraan sambil merenungi nasib dan mengingat kembali siapa yang dulu bilang negara ini kaya minyak. Rasanya ingin kirim bensin pakai jasa online, tapi kurirnya pun kehabisan bensin.

Di kampung-kampung, keberadaan pertamini jadi seperti warisan leluhur. Kalau ada yang buka, langsung diserbu bak lapak diskon di Harbolnas. Yang penting bisa beli duluan, urusan harga belakangan. Di sinilah hukum pasar bekerja tanpa etika: langka berarti mahal, dan kebutuhan mendesak berarti bisa dimanfaatkan. Mereka yang punya stok bensin jadi semacam orang suci, didatangi dari berbagai penjuru dengan niat dan doa. Bahkan ada yang rela begadang, cuma buat dapet jatah tiga liter.

Kondisi ini bikin warga Bengkulu makin kreatif. Ada yang mulai simpan bensin dalam galon air mineral, ada pula yang mulai modifikasi kendaraan jadi hemat bahan bakar ala kadarnya. Saking parahnya, ada yang bilang motor listrik lebih baik, tapi mereka lupa, listrik juga sering mati. Maka berputarlah lagi lingkaran setan infrastruktur yang selalu tertinggal dari kebutuhan. Di tengah semua itu, hanya satu yang konsisten: rasa frustasi warga yang tak tahu harus mengeluh ke siapa.

Pulau Baai kini seperti titik luka yang belum disembuhkan. Pendangkalan yang tak ditangani dengan serius berbuah panjangnya antrean dan mahalnya harga bensin. Rakyat cuma bisa berharap, semoga mereka yang punya wewenang tak hanya lihai berpidato, tapi juga cekatan mencari solusi. Kalau tidak, jangan salahkan kalau kepercayaan publik ikut menguap bersama aroma bensin oplosan.

Lucunya, di tengah keterbatasan ini, masih ada saja spanduk besar di SPBU yang menuliskan: “Kami melayani Anda dengan sepenuh hati.” Entah spanduk itu dibuat sebelum krisis atau memang sedang sarkas terhadap kondisi sekarang. Karena yang terjadi justru sebaliknya: warga antre sampai 5 jam, itu pun belum tentu. Kalau ini disebut pelayanan, maka kita memang sudah memasuki fase pelayanan rasa pengorbanan. Semacam ujian nasional versi BBM.

Kehadiran truk-truk pengangkut BBM dari luar kota kini jadi pemandangan yang mengundang haru. Setiap truk datang, warga bersorak seperti melihat rombongan pahlawan pulang dari medan perang. Tapi di balik sorak-sorai itu, ada rasa getir: mengapa harus sejauh itu demi setetes bensin? Bukankah negeri ini punya potensi energi yang katanya melimpah ruah? Kalau harus mengemis BBM ke provinsi tetangga, lalu apa fungsi pelabuhan yang dibangun dengan dana triliunan itu?

Yang paling miris, krisis ini menggerus kepercayaan. Rakyat jadi apatis, karena terlalu sering dijanjikan tapi tak kunjung diberi. Mereka mulai percaya bahwa solusi itu mahal dan sering tertunda karena alasan birokrasi. 

Mungkin, dari semua ini, yang paling pantas dikritik adalah kebiasaan menunda. Pendangkalan alur laut bukan kejadian semalam, tapi sesuatu yang bisa diprediksi dan diantisipasi. Tapi karena terbiasa “nanti dulu,” maka krisis datang, dan rakyat yang paling dulu kena dampaknya. Kalau perencanaan sudah benar sejak awal, mungkin truk-truk BBM itu tak perlu menempuh ratusan kilometer hanya demi menyuplai satu kota. Tapi ya, kita ini memang sering lebih sibuk urus seremoni daripada urus solusi.

Toh kita tahu, ini bukan pertama kali Bengkulu mengalami kelangkaan BBM. Tapi tak pernah ada upaya jangka panjang yang benar-benar dijalankan. Seakan kita hanya tahu cara menyelesaikan masalah saat masalahnya sudah meledak. Sisanya, kita hanya pandai menyalahkan: entah cuaca, entah logistik, entah “faktor teknis.” Padahal kalau mau jujur, banyak yang bisa dicegah, asal ada kemauan dan keberanian untuk kerja keras.

Dan sampai hari ini, warga masih antre. Masih ada yang bangun jam 4 pagi bukan untuk salat tahajud atau jogging, tapi demi bisa isi bensin. Masih ada yang pasrah beli BBM eceran dengan harga selangit, karena tak ada pilihan lain. Masih ada yang mengeluh, masih ada yang diam, tapi semua sepakat: krisis ini tak wajar. Dan yang paling menyedihkan adalah: kita mulai terbiasa dengan yang tak wajar itu.

-------------------
Bonus gambar tambahan

Ilustrasi bangun pagi untuk antri BBM di SPBU (Gambar : AI Generated)


Negeri ini dipenuhi hiruk-pikuk organisasi, partai, perkumpulan, yang berlomba-lomba mendeklarasikan diri sebagai wadah aspirasi,  benteng perubahan,  pelopor kemajuan.  Namun di balik gegap gempita retorika dan parade slogan,  tersembunyi kenyataan pahit yang kerap luput dari sorotan.  Realitas itu bernama ketergantungan. Ketergantungan yang membelenggu,  melumpuhkan,  dan pada akhirnya mereduksi organisasi menjadi budak kekuasaan.


Organisasi-organisasi ini,  dengan segala atribut dan klaim idealismenya,  kerap kali berdiri di atas fondasi rapuh.  Mereka gagap dalam kemandirian,  terutama dalam hal finansial.  Alih-alih membangun sistem pengelolaan yang sehat dan berkelanjutan,  mereka justru terjebak dalam lingkaran setan;  mengemis belas kasihan,  mengharap kucuran dana,  dari para penguasa.


Awalnya mungkin terasa mudah.  Pintu-pintu terbuka lebar,  dana mengalir deras,  kegiatan berjalan meriah.  Namun perlahan tapi pasti,  jerat ketergantungan mulai mengikat.  Organisasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi,  berubah menjadi pion dalam permainan politik.  Suara kritis terbungkam,  idealime tergadai,  demi menjaga aliran dana yang menjadi napas kehidupan.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)


Ironisnya,  fenomena ini terjadi di semua lini.  Partai politik yang seharusnya menjadi lokomotif perubahan,  justru asyik bermanuver demi mendapatkan jatah kekuasaan.  Organisasi masyarakat sipil yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi,  malah tergoda menjadi kepanjangan tangan penguasa.  Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi kawah candradimuka,  terjerembab dalam kubangan pragmatisme.


Mereka lupa,  atau mungkin pura-pura lupa,  bahwa kemandirian adalah harga mati.  Kemandirian finansial memberi organisasi kekuatan untuk bergerak bebas,  menyuarakan kebenaran,  tanpa takut kehilangan dukungan.  Kemandirian organisasi adalah fondasi utama bagi tegaknya demokrasi yang sehat.  Tanpa kemandirian,  organisasi hanya akan menjadi kumpulan oportunis yang haus kekuasaan.


Lihatlah partai-partai politik kita.  Banyak yang terjebak dalam pusaran pragmatisme.  Ideologi dan platform perjuangan hanya menjadi jargon kosong,  yang siap ditukar dengan kursi empuk dan pundi-pundi rupiah.  Mereka berlomba-lomba mendekati penguasa,  menawarkan dukungan,  demi mendapatkan imbalan.  Akibatnya,  partai politik kehilangan ruhnya sebagai wadah aspirasi rakyat.


Organisasi masyarakat sipil pun tak luput dari jerat ini.  Banyak yang awalnya lahir dari semangat idealisme,  berjuang untuk keadilan,  menyuarakan suara rakyat yang tertindas.  Namun seiring berjalannya waktu,  godaan kekuasaan dan materi mulai menggerogoti.  Mereka terbuai janji-janji manis,  terlena iming-iming proyek,  hingga akhirnya kehilangan independensinya.


Lembaga pendidikan,  yang seharusnya menjadi benteng moral dan intelektual,  juga tak kebal dari virus pragmatisme.  Universitas-universitas berlomba-lomba menjalin kerjasama dengan penguasa,  menawarkan program-program yang menggiurkan,  demi mendapatkan kucuran dana.  Akibatnya,  riset-riset kritis terpinggirkan,  kebebasan akademik terancam,  dan kampus kehilangan marwahnya sebagai tempat pencarian kebenaran.


Ketergantungan pada kekuasaan telah menciptakan budaya ABS (Asal Bapak Senang).  Organisasi-organisasi sibuk menebar pujian,  menutupi borok,  menghindari kritik,  demi menjaga hubungan baik dengan penguasa.  Akibatnya,  ruang publik dipenuhi kepalsuan,  kebenaran dibungkam,  dan masyarakat terjebak dalam ilusi.


Ketergantungan ini juga melahirkan mentalitas instan.  Organisasi-organisasi enggan membangun sistem pengelolaan yang mandiri dan berkelanjutan.  Mereka lebih memilih jalan pintas,  mengemis dana,  mencari sponsor,  daripada bekerja keras membangun kemandirian.  Akibatnya,  organisasi menjadi rapuh,  rentan terhadap intervensi,  dan mudah dibajak oleh kepentingan politik.


Fenomena ini tentu saja sangat memprihatinkan.  Organisasi-organisasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi,  justru terjebak dalam lingkaran setan ketergantungan.  Mereka kehilangan ruhnya,  mengorbankan idealismenya,  demi memuaskan dahaga kekuasaan.  Akibatnya,  demokrasi kita berjalan tertatih-tatih,  masyarakat kehilangan kepercayaan,  dan negara terancam stagnasi.


Lalu,  apa yang harus dilakukan?  Tentu saja,  solusinya adalah membangun kemandirian.  Organisasi-organisasi harus berani melepaskan diri dari jerat ketergantungan,  menciptakan sistem pengelolaan yang sehat,  dan mencari sumber pendanaan yang independen.  Hanya dengan kemandirian,  organisasi dapat menjalankan fungsinya secara optimal,  menyuarakan kebenaran tanpa rasa takut,  dan menjadi motor penggerak perubahan.


Partai politik harus kembali pada khitahnya sebagai wadah aspirasi rakyat.  Mereka harus berani menolak godaan kekuasaan,  mengutamakan kepentingan rakyat,  dan membangun sistem kaderisasi yang kuat.  Partai politik yang mandiri dan berintegritas adalah kunci bagi tegaknya demokrasi yang sehat.


Organisasi masyarakat sipil harus tetap menjaga independensinya.  Mereka harus berani mengkritik penguasa,  menyuarakan aspirasi rakyat,  dan mengawal jalannya pemerintahan.  Organisasi masyarakat sipil yang kritis dan mandiri adalah pilar penting bagi terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis.


Lembaga pendidikan harus menjadi benteng moral dan intelektual.  Universitas-universitas harus berani menolak intervensi politik,  menjaga kebebasan akademik,  dan memprioritaskan riset-riset yang bermanfaat bagi masyarakat.  Lembaga pendidikan yang mandiri dan berintegritas adalah kunci bagi kemajuan bangsa.


Membangun kemandirian memang bukan perkara mudah.  Dibutuhkan komitmen,  kerja keras,  dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman.  Namun,  ini adalah harga yang harus dibayar jika kita ingin membangun organisasi yang kuat,  berintegritas,  dan bermartabat.


Kemandirian adalah kunci bagi tegaknya demokrasi yang sehat.  Organisasi-organisasi yang mandiri akan menjadi pilar-pilar penyangga,  yang mampu menahan terpaan badai dan menjaga keseimbangan.  Mereka akan menjadi pengawal kebenaran,  penyuarakan aspirasi rakyat,  dan motor penggerak perubahan.


Jangan biarkan organisasi kita terjebak dalam belenggu emas kekuasaan.  Mari kita bangun kemandirian,  jaga integritas,  dan perjuangkan idealisme.  Hanya dengan cara itu,  kita dapat mewujudkan cita-cita luhur bangsa,  menciptakan masyarakat yang adil,  makmur,  dan bermartabat.  Ingatlah,  organisasi yang merdeka adalah organisasi yang mandiri!

Gebrakan QRIS di panggung global finansial mengingatkan kita pada teori "Techno-Nationalism" yang digagas oleh Suzanne Berger dari MIT. Dalam bukunya Making in America, Berger menjelaskan bagaimana teknologi bisa menjadi alat kedaulatan ekonomi di era modern. Persis seperti yang terjadi dengan QRIS hari ini - sebuah sistem pembayaran yang lahir dari kebutuhan domestik tetapi mampu bersaing di tingkat global.  

Yang menarik dari perkembangan QRIS adalah bagaimana sistem ini berhasil menciptakan ekosistem pembayaran yang benar-benar berbasis kebutuhan riil masyarakat. Berbeda dengan sistem kartu kredit yang dikembangkan berdasarkan logika bisnis perusahaan multinasional, QRIS justru tumbuh dari bawah, menyelesaikan masalah nyata pedagang kecil dan konsumen biasa.  

Di Thailand, pemerintah melalui Bank of Thailand mengadopsi sistem serupa bernama PromptPay. Namun yang membedakan, adopsi QRIS di Indonesia jauh lebih masif karena didorong oleh tingginya penetrasi smartphone dan kebutuhan akan solusi pembayaran yang praktis. Data menunjukkan 72% populasi dewasa Indonesia kini telah menggunakan pembayaran digital, angka yang terus meningkat pesat.  
Ilustrasi (Foto : GeneratedAI)
Keunggulan utama QRIS terletak pada arsitektur sistemnya yang terbuka namun terstandarisasi. Ini berbeda dengan model tertutup seperti Apple Pay atau Google Pay yang hanya bisa diakses melalui platform tertentu. Pendekatan inklusif inilah yang membuat QRIS cepat diterima berbagai lapisan masyarakat.  

Tantangan terbesar justru datang dari dalam negeri sendiri. Masih banyak pelaku usaha yang enggan beradaptasi karena kebiasaan bertransaksi tunai. Di sinilah peran pemerintah dan regulator diperlukan untuk terus mendorong edukasi dan insentif bagi merchant yang beralih ke QRIS.  

Pengalaman Korea Selatan patut kita jadikan pelajaran. Negeri Ginseng itu berhasil membuat sistem pembayaran digital nasional bernama ZeroPay setelah melalui proses edukasi massif selama bertahun-tahun. Kini, 78% UMKM di Korea telah menggunakan sistem tersebut.  

Yang sering dilupakan banyak orang adalah dampak makroekonomi dari sistem seperti QRIS. Dengan mengurangi ketergantungan pada uang tunai, pemerintah bisa lebih efektif memantau perputaran uang, memerangi korupsi, dan meningkatkan basis pajak. Di India, sistem serupa UPI berhasil meningkatkan rasio pajak terhadap PDB sebesar 1,2% dalam tiga tahun.  

Di balik kesuksesan QRIS, tersimpan ironi yang pahit. Sementara kita berbangga dengan pencapaian ini, faktanya banyak komponen teknologi pendukungnya masih bergantung pada infrastruktur asing. Mulai dari server cloud hingga chip di perangkat pembaca QR. Ini menjadi pekerjaan rumah berikutnya bagi industri teknologi dalam negeri.  

Pelajaran dari Singapura menunjukkan bahwa keberhasilan sistem pembayaran digital tidak bisa lepas dari dukungan infrastruktur digital yang kuat. Negeri Lion itu menghabiskan bertahun-tahun membangun jaringan 5G dan fiber optik sebelum meluncurkan PayNow. Indonesia harus mempercepat pembangunan infrastruktur pendukung semacam ini.  

Yang paling menggembirakan dari kesuksesan QRIS adalah munculnya generasi baru teknolog finansial lokal. Startup seperti LinkAja, DANA, dan OVO tidak hanya menjadi operator, tetapi juga mengembangkan fitur-fitur inovatif di atas platform QRIS. Ini menciptakan ekosistem yang sehat dan kompetitif.  

Di tataran global, QRIS telah menjadi contoh nyata bagaimana negara berkembang bisa menciptakan standar teknologi sendiri. WHO bahkan memasukkan QRIS sebagai salah satu studi kasus dalam laporan mereka tentang inovasi finansial di negara berkembang.  

Namun kita harus tetap kritis. Kesuksesan QRIS tidak boleh membuat kita lengah terhadap potensi risiko sistemik. Bank for International Settlements (BIS) telah memperingatkan tentang bahaya ketergantungan berlebihan pada satu sistem pembayaran nasional tanpa backup yang memadai.  

Pengalaman Brazil dengan sistem PIX mereka menunjukkan bahwa skema pembayaran instan nasional bisa menjadi sasaran empuk bagi kejahatan siber. Dalam enam bulan pertama peluncuran, terjadi peningkatan 300% kasus penipuan digital terkait sistem tersebut.  

Di sinilah pentingnya membangun sistem keamanan berlapis untuk QRIS. Tidak hanya sekadar enkripsi data, tetapi juga mekanisme verifikasi transaksi yang lebih ketat tanpa mengurangi kemudahan penggunaan.  

Yang patut diapresiasi adalah langkah Bank Indonesia yang mulai membangun jaringan QRIS lintas negara dengan Malaysia, Thailand, dan Singapura. Ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat posisi tawar Rupiah di kawasan ASEAN.  

Kita juga perlu belajar dari kegagalan sistem pembayaran digital di beberapa negara Afrika. Meski memiliki ide brilian, banyak proyek yang gagal karena kurangnya koordinasi antara regulator, perbankan, dan penyedia teknologi.  

Masa depan QRIS sebenarnya bisa lebih cerah lagi jika diintegrasikan dengan sistem identitas digital nasional. Bayangkan jika satu QR code tidak hanya untuk pembayaran, tetapi juga bisa menjadi alat verifikasi KTP digital, kartu vaksin, bahkan tiket transportasi.  

Tantangan terberat mungkin justru datang dari perubahan perilaku masyarakat. Survei terbaru menunjukkan bahwa 65% konsumen Indonesia masih merasa nyaman dengan uang tunai untuk transaksi kecil. Mengubah kebiasaan ini membutuhkan waktu dan pendekatan kultural yang tepat.  

Di sisi lain, keberhasilan QRIS telah memicu optimisme baru di kalangan pengembang lokal. Jika bisa sukses di bidang pembayaran digital, bidang apa lagi yang bisa kita kuasai? Cloud computing? Kecerdasan artifisial? Sistem operasi mandiri?  

Pada akhirnya, QRIS bukan sekadar tentang teknologi pembayaran. Ini tentang kemampuan bangsa untuk menentukan jalan ekonominya sendiri, tanpa harus selalu mengikuti kemauan negara-negara maju. Seperti kata ekonom Mariana Mazzucato, "Inovasi sejati adalah ketika suatu bangsa berani menciptakan pasar baru, bukan hanya mengikuti pasar yang sudah ada."  

Kita telah membuktikan bahwa dengan political will yang kuat, sumber daya manusia yang mumpuni, dan ekosistem yang mendukung, Indonesia mampu menciptakan solusi teknologi kelas dunia. QRIS hanyalah permulaan. Masih banyak lompatan inovasi lain yang bisa kita wujudkan.  

Yang perlu kita lakukan sekarang adalah konsolidasi kekuatan. Memperkuat infrastruktur pendukung, meningkatkan literasi digital, dan yang terpenting - menjaga semangat percaya diri bahwa kita mampu bersaing di panggung global.  

Sejarah akan mencatat QRIS sebagai salah satu momen penting kebangkitan teknologi Indonesia. Tapi ingat, ini baru babak pertama. Pertarungan sebenarnya masih panjang, dan kemenangan sesungguhnya adalah ketika kita tidak hanya menjadi pengguna, tetapi pencipta standar-standar teknologi baru dunia. 

Satu video mampir ke beranda saya, datang dari salah satu akun berbagi informasi di Bengkulu. Isinya menggemaskan sekaligus mengerikan: seorang warga sedang melakukan tindakan kompresi dada—semacam CPR—pada penumpang kapal yang baru saja tenggelam dalam musibah kapal karam. Ombak dan angin barangkali sedang tidak mood hari itu, lalu memutuskan menjungkalkan kapal yang terbuat seluruhnya dari kayu itu ke dalam laut. Tapi yang paling bikin saya tercekat bukan soal tragedi airnya, melainkan tangan si penolong yang satunya lagi. Ia tak hanya sibuk menyelamatkan nyawa, tapi juga sibuk mengatur sudut kamera. Seolah nyawa manusia yang sedang dikompresi itu, adalah tambahan bumbu untuk sebuah vlog.

Dalam situasi genting, di mana manusia seharusnya saling menguatkan dalam kegentingan, kita justru menemukan manusia yang menunggu timing terbaik untuk memencet tombol "rekam". Saya menduga, tak main-main, orang ini adalah bagian dari generasi Facebook Pro yang sekarang tengah menancapkan kuku-kukunya dalam-dalam di dunia maya. Mereka adalah generasi yang meyakini bahwa setiap momen, bahkan yang mengandung darah dan napas terakhir, bisa didandani menjadi konten. Sebuah konten yang bisa diuangkan—meski recehan—tapi tetap memabukkan.

Ilustrasi Orang Sedang Menolong Korban Tenggelam di Laut tapi Sambil Merekam untuk Konten (Gambar : AI Generated)

Bila dulu kita diajari bahwa kemanusiaan itu di atas segalanya, sekarang sepertinya ajaran baru sedang menyalip dari kanan. Ajaran bahwa segala hal bisa jadi komoditas. Facebook Pro menyediakan karpet merah bagi mereka yang mau sedikit 'nakal', sedikit 'nekat', dan tak punya urat malu. Semua hal bisa dibikin konten. Dari tukang tambal ban sampai kematian tetangga. Semua bisa masuk timeline.

Saya tidak akan mempermasalahkan orang yang mencari nafkah dengan cara terhormat, termasuk jadi konten kreator. Tapi persoalannya, banyak yang sekarang tak lagi bisa membedakan antara cuan dan adab. Norma dikorbankan di altar algoritma. Etika diremukkan di kolom komentar. Martabat dijadikan narasi clickbait. Dan semua itu terjadi dalam satu aplikasi biru yang dulu cuma dipakai buat update status galau.

Mari kita kembali ke video CPR tadi. Orang-orang di sekeliling tidak terlihat panik. Tidak juga tampak cemas. Mereka seperti sedang nonton pertunjukan jalanan. Ada yang pakai HP dengan dua tangan. Ada juga yang lebih niat, membawa gimbal. Gimbal, Bung! Seolah sudah tahu akan ada pertunjukan berdarah dan mereka tak mau kehilangan angle terbaik. Saya tidak tahu apa yang lebih gila dari ini. Mungkin kalau nanti ada yang live sambil bilang, “Jangan lupa like, komen, dan subscribe ya. Kita lagi nyelametin orang nih...”

Fenomena ini bukan cuma soal perubahan teknologi. Ini soal perubahan cara berpikir. Dulu, orang mengabadikan momen untuk dikenang. Sekarang, orang menciptakan momen agar bisa diabadikan. Perbedaannya tipis tapi tajam. Dan Facebook Pro adalah ladang basah bagi orang-orang yang sudah kehilangan kemampuan membedakan antara aksi nyata dan gimmick.

Kita berada di zaman ketika tragedi tak lagi menuntut empati, tapi eksposur. Ketika suara tangisan dikalahkan oleh suara notifikasi. Dan ketika kematian bisa menjadi peluang untuk "engagement". Ini bukan soal satu-dua orang. Ini sudah menjadi gerakan massal. Gerakan diam yang didorong oleh algoritma dan disemangati oleh dolar.

Pernah lihat konten orang berantem di pinggir jalan, yang direkam sambil diberi narasi dramatis? Atau suami yang mengunggah video istri sedang ngamuk, lalu diberi caption jenaka? Itu semua hasil dari satu mentalitas yang sama: apapun bisa dijadikan tontonan, asal bisa menghasilkan. Facebook Pro tidak memberi batasan tegas soal apa yang layak atau tidak. Ia hanya peduli pada jumlah viewer dan durasi tonton.

YouTube, walau juga sama-sama berorientasi pada uang, masih punya pagar etika yang agak tinggi. Monetisasi tidak diberikan sembarangan. Konten harus lulus banyak aturan: dari soal hak cipta, kekerasan, eksploitasi, bahkan hingga tampilan thumbnail. Facebook, sebaliknya, justru seperti pasar malam yang semua boleh asal rame. Boleh kasar, asal rame. Boleh jorok, asal rame. Dan yang penting, rame = uang.

Dalam Facebook Pro, kita seperti diajak kembali ke zaman manusia purba, tapi dengan gadget di tangan. Orang bisa memvideokan orang sekarat tanpa rasa bersalah. Bisa menonton orang dipermalukan tanpa rasa jijik. Bisa membagikan itu semua dengan caption: “Semoga jadi pelajaran.” Padahal yang dia harapkan bukan pelajaran, tapi share dan like.

Yang lebih mengerikan, anak-anak muda mulai menjadikan ini sebagai role model. Mereka mulai percaya bahwa profesi paling keren adalah “konten kreator Facebook Pro”. Tidak perlu bakat. Tidak perlu pendidikan. Cukup kuota dan sedikit kepekaan untuk mencari momen tragis. Makin tragis, makin manis.

Saya tidak ingin menyamaratakan semua. Masih banyak konten kreator yang punya hati dan nurani. Tapi kalau Anda mau jujur buka Facebook sekarang, apa yang lebih sering Anda lihat? Video prank norak? Keluarga bertengkar di depan kamera? Atau orang sakit yang direkam tanpa blur? Jangan-jangan kita memang sedang menikmati realitas yang sudah ambyar ini.

Dunia digital punya kuasa ajaib: ia bisa membungkus kekejian menjadi hiburan. Membuat kita tertawa atas kesedihan orang. Dan membuat kita merasa tak bersalah karena hanya “menonton”. Tapi lupa bahwa dengan menonton dan membagikan, kita ikut mendukung produksi konten semacam itu.

Konten bukan dosa. Tapi konten yang menjadikan manusia sebagai bahan bakarnya, itu sudah menjurus ke neraka etik. Kita harus mulai bertanya: sampai sejauh mana kita akan membiarkan ini terjadi? Apakah nanti akan ada orang sekarat yang disuruh ulang adegan supaya dapat angle yang lebih bagus?

Mungkin kita sudah terlalu lelah memperdebatkan soal etika di era digital. Tapi bukan berarti kita harus menyerah. Harus tetap ada suara yang berkata: “Ini salah.” Harus ada yang berani berkata: “Tolong, ini sudah gila.”

Kalau tidak, kita semua akan menjadi seperti mereka. Bukan penonton, bukan pelaku, tapi bagian dari mesin besar yang memproduksi tontonan keji dan menertawakannya bersama-sama.

Saya percaya media sosial diciptakan bukan untuk membuat kita mati rasa. Tapi kini, tiap hari kita dicekoki konten-konten yang memaksa kita untuk menertawakan luka orang lain, hingga akhirnya kita tidak lagi merasa bersalah.

Ketika konten sudah menjadi candu, kita lupa bahwa manusia bukan bahan baku. Kita lupa bahwa empati tak bisa dijadikan format video pendek. Kita lupa bahwa ada nyawa di balik layar yang mungkin sedang benar-benar berjuang untuk hidup.

Facebook Pro bisa jadi ladang emas. Tapi juga bisa jadi ladang yang menumbuhkan gulma-gulma tak beretika. Dan jika kita tidak mulai membersihkan gulma itu, maka sebentar lagi kita sendiri akan ditelan.

Tidak semua hal harus direkam. Tidak semua tragedi harus diberi caption. Ada hal-hal yang cukup disaksikan dengan air mata, bukan dengan kamera. Ada nyawa yang layak ditolong dengan dua tangan penuh, bukan satu tangan dan satu kamera.

Kita mungkin tidak bisa menghentikan kegilaan ini dalam semalam. Tapi kita bisa memilih untuk tidak ikut dalam arus. Bisa memilih untuk tidak menonton. Tidak menyukai. Tidak membagikan.

Dan mungkin, dengan itu, kita sedang menyelamatkan satu nyawa: nyawa empati yang sedang sekarat dalam diri kita sendiri.

Pada senja yang mencium ujung pelipis langit,
ketika angin memetik harpa di pucuk-pucuk cemara,
duduklah aku, seorang ayah,
dengan kedua putri kembarku
yang wajahnya laksana cermin memantul cahaya surya
namun jiwanya menjelma dua padma yang berbeda warna.

I. Sang Sulung: Sarah Zaheen Shanaya

Wahai putriku, engkau kunamai:
Sarah — nama ibunda para nabi,
dari tanah pasir dan doa Ibrahim,
yang di rahimnya tumbuh takdir bagi bangsa-bangsa.
Ia bukan sekadar istri,
tapi matriarka ilahi,
lambang kesabaran dan kekuatan perempuan yang bijak.

Lalu kupasangkan padamu nama: Zaheen,
dari lembah Persia yang arif,
artinya kecerdasan yang tajam bagai bilah mimpi.
Wahai buah hatiku,
biarlah otakmu berpendar seperti permata
yang menyala dalam gelap dunia,
dan tuturmu menjadi mantram yang meneduhkan bathin banyak jiwa.

Dan kuakhiri dengan nama: Shanaya,
dari akar-akar bhāratīya,
yang artinya: "terhormat, agung dalam cahaya".
Bagai jyoti yang menari di cakrawala,
engkau, wahai Shanaya,
adalah putri dari fajar,
yang berjalan di bumi membawa jejak Sarasvatī.

II. Sang Bungsu: Aisha Fatheen Kanaya

Dan engkau, wahai putri kembarku yang kedua,
kuberi nama: Aisha,
nama istri Rasul yang hidup dalam percakapan sejarah,
yang cerdas, kuat, dan penuh pesona.
Di sana ada hidup, ada gerak,
sebab ‘Aisha’ adalah nafas perempuan yang menyala
dalam rumah tangga wahyu.

Lalu kusematkan padamu nama: Fatheen,
dari Persia yang sama,
artinya: “bijak, tajam dalam nalar.”
Wahai engkau si penanya soal-soal langit,
semoga pikiranmu seperti titik-titik bindu,
yang mengurai semesta menjadi makna,
dan matamu menangkap rahasia di balik kelopak waktu.

Terakhir, kau kunamai: Kanaya,
dari bahasa ibumu yang lahir dari kitab purba,
artinya: putri yang elok, cahaya dewi, perhiasan bumi.
Wahai Kanaya, engkau adalah ratna,
batu mulia dalam guci hati ayahmu.
Setiap langkahmu adalah mantra yang bergema
dalam mandala kasih yang kuanyam dalam doa-doaku.

III. Sabda Sang Ayah

Maka, wahai Sarah dan Aisha,
Zaheen dan Fatheen,
Shanaya dan Kanaya —
enam nama, satu jiwa, dua cahaya.
Engkau bukan hanya buah rahim ibumu,
engkau adalah aksara suci yang kuukir di atas langit-langit batin,
agar dunia tahu,
bahwa cinta ayahmu bukan sekadar warisan darah,
tapi warisan makna,
yang hidup dalam sanskriti,
dalam budaya, dalam doa, dan dalam harapan.

Jadilah engkau candrikā—bulan yang memantulkan cahaya cinta,
Jadilah engkau kumudvatī—teratai yang mekar di tengah arus zaman.
Sebab dalam dirimu telah kusematkan
tiga peradaban: Arab, Persia, dan Nusantara,
agar kelak bila dunia bertanya,
mengapa ayahmu memilih nama itu,
kau bisa menjawab:
“Sebab kami adalah puisi yang ditulis dalam tiga bahasa,
namun dibaca dalam satu cinta.”

 

Dulu, nenekku punya kebiasaan menaruh cermin kecil di ambang jendela depan rumah. Katanya, supaya sinar pagi memantul dan memberi isyarat pada pak pos bahwa rumah ini ada yang menunggu surat. Aku kecil tak mengerti maksudnya, tapi kini aku paham: menunggu surat itu bukan sekadar menanti kabar, melainkan berharap pada semesta agar seseorang di tempat jauh masih mengingatmu.

Di kampung kami, suara klakson motor pak pos adalah simfoni paling ditunggu. Anak-anak akan berhenti bermain, ibu-ibu menghentikan tumbukan bumbu di dapur, dan kakek-kakek menoleh dari kursi malas mereka. Semua berharap sepucuk kabar datang untuk mereka. Anehnya, walau tahu surat itu bukan untukku, hatiku selalu ikut deg-degan.
Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Surat pernah menjadi alasan seseorang bangun pagi, mandi lebih awal, dan duduk manis di depan rumah, hanya untuk melihat adakah sepucuk amplop berwarna cokelat di tangan pak pos. Kadang kosong, kadang penuh. Tapi yang selalu hadir adalah harapan, setia menempel di hati seperti perangko.

Aku masih ingat surat pertama yang kuterima: dari saudara yang bekerja di kota. Tulisannya agak miring, tintanya sedikit pudar, tapi setiap hurufnya seperti bisikan di telingaku. "belajar yang rajin ya" katanya. Aku membacanya seperti doa, dan menyimpannya dalam kotak kayu kecil yang kini sudah usang.

Kini zaman berubah. Tak ada lagi cermin kecil di jendela, tak ada lagi bel sepeda. Kotak surat di pagar sudah penuh dengan selebaran iklan. Tapi jantungku tetap bisa berdebar untuk sebuah pesan, meskipun ia datang lewat notifikasi di layar ponsel. Meski bentuknya digital, rindu yang mengantarnya tetap sama nyatanya.

Kadang aku berpikir, apa rindu bisa merambat melalui kabel serat optik? Atau apakah cinta bisa bertahan dalam format PDF? Tapi kenyataannya, satu email dari seseorang yang lama tak menyapamu, bisa membuatmu tersenyum sepanjang hari. Sungguh, esensi surat tak berubah, hanya medianya saja yang berganti rupa.

Aku punya satu folder di inbox yang kuberi nama “Surat Emas.” Di sana, kusimpan semua pesan yang membuat hatiku hangat. Ada dari guru lamaku, dari teman sepenulisan, dan dari orang-orang yang pernah berjumpa walau sesaat. Mereka bukan lagi deretan huruf biasa. Mereka adalah pelita kecil di hari yang kelabu.

Tapi tidak semua surat membawa kabar baik. Ada surat yang menjadi palu godam, menghantam dadamu tanpa aba-aba. Surat penolakan beasiswa, surat pengunduran diri dari seseorang yang kau anggap rekan abadi, atau email singkat yang berkata, “Maaf, kami memilih kandidat lain.” Sakitnya terasa, walau tak ada perangko yang menempelkannya.

Minggu lalu, aku menunggu email penting. Sebuah peluang yang kutunggu bertahun-tahun. Mereka janji akan kirim kabar hari Senin. Aku bangun lebih pagi, menyeduh kopi, duduk di depan layar. Tapi kotak masukku diam. Seperti hutan kosong setelah badai.

Hari berlalu. Selasa datang tanpa suara. Rabu pun demikian. Aku mulai membuka spam folder, siapa tahu surat itu nyasar. Tapi yang kutemukan hanyalah penawaran aneh: pelangsing herbal, pinjaman cepat, dan warisan dari pangeran Afrika yang tidak kukenal. Dunia benar-benar telah berubah.

Di tengah semua kecanggihan ini, kita jadi mudah tersesat dalam kerumitan harapan. Dulu, ketika surat datang terlambat, kita bisa menyalahkan hujan, banjir, atau jalan rusak. Tapi kini? Kita menyalahkan sistem, menyalahkan algoritma. Atau lebih sering: menyalahkan diri sendiri.

Pernah suatu malam, aku bermimpi menerima surat dengan amplop biru. Ketika kubuka, isinya hanya satu kalimat: “Maaf, kami tidak bisa menerimamu.” Anehnya, aku terbangun bukan karena sedih, tapi karena merasa lega. Seolah ketidakpastian lebih menyiksa daripada penolakan itu sendiri.

Aku mencoba menghibur diri. Mungkin surat itu sedang dalam perjalanan panjang, menyeberangi samudra data, tersesat di antara server. Atau mungkin petugas pengirimnya sedang kelelahan, dan aku hanya perlu sedikit lebih sabar. Tapi waktu adalah ular yang licin. Ia tak pernah bisa kita genggam.

Ibu pernah bilang, “Kadang, surat yang tak kunjung datang adalah cara semesta menyelamatkan kita dari kabar yang tidak siap kita terima.” Aku mengangguk saja waktu itu. Tapi kini, kalimat itu terngiang kembali, saat aku duduk memandangi kotak masuk yang hening seperti malam tanpa jangkrik.

Dalam penantian ini, aku belajar banyak tentang diriku sendiri. Bahwa aku adalah manusia yang mudah berharap. Bahwa hatiku lembut, terlalu percaya pada janji-janji. Dan bahwa aku, seperti nenekku dulu, masih ingin menaruh cermin di jendela—meskipun tak ada pak pos lagi.

Aku membaca ulang surat-surat lama yang kusimpan. Bahkan surat elektronik sepuluh tahun lalu masih bisa membuatku berlinang. Ternyata waktu tidak bisa membunuh rasa, ia hanya mengarsipkannya. Kadang, kita hanya perlu membuka folder yang tepat.

Di kampus, aku mengajar tentang sistem digital. Tapi dalam hatiku, aku tahu: pesan yang paling menyentuh tidak selalu berasal dari teknologi tercanggih. Kadang, ia datang dari tulisan tangan di kertas murah, atau dari kata sederhana seperti “apa kabar?”

Temanku bilang, “Jangan terlalu berharap dari surat. Lebih baik tak menunggu.” Tapi aku tahu, itu bukan tentang hasilnya. Menunggu itu sendiri adalah proses mencintai, tanpa syarat. Seperti menanam pohon yang mungkin tak akan sempat kita panen.

Aku mencoba menulis surat balasan untuk email yang belum datang. Isinya? “Terima kasih sudah membuatku menunggu.” Karena menunggu surat mengajarkan kita tentang kesabaran, dan diam-diam, tentang iman.

Kadang aku merasa surat yang tak kunjung datang itu seperti cinta tak berbalas. Kita tahu kehadirannya, kita yakini kemungkinan datangnya, tapi entah mengapa, tak juga tiba. Lalu kita belajar menerima, dengan cara paling manusiawi: menangis dalam diam.

Suatu sore, aku duduk di taman kota, membawa laptop. Wifi gratis menyala, notifikasi berdenting. Bukan kabar yang kutunggu, tapi sapaan dari sahabat lama. Seketika, aku lupa surat yang tak datang. Ternyata, hidup selalu punya kejutan, meski tak selalu sesuai agenda kita.

Surat bisa saja datang terlambat. Bisa jadi, kabar yang mestinya dikirim bulan lalu baru muncul minggu depan. Tapi hidup memang begitu: tidak selalu tepat waktu, tapi selalu punya cara.

Aku menulis jurnal harian, dan di setiap halaman, aku beri catatan kecil: “Masih menunggu surat itu.” Seperti mantra, aku berharap kalimat itu mengundang datangnya kabar baik. Walau dalam hati, aku tahu, tak semua mantra bekerja.

Kawanku pernah bilang, “Mungkin surat itu tak datang karena belum waktunya.” Kalimat sederhana itu membuatku terdiam. Barangkali benar. Semesta punya cara merapikan hidup kita, bahkan dengan cara menyembunyikan kabar.

Malam ini, aku membuka laptop tanpa harap. Tapi entah kenapa, jari ini tetap mengecek kotak masuk. Masih kosong. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Hatiku tak lagi berat. Mungkin karena aku mulai belajar menerima ketidakpastian sebagai bagian dari hidup.

Di depan kantor pos, aku melihat seorang wanita membaca surat cetak. Matanya berbinar, sesekali tertawa kecil. Aku hampir ingin menanyakan siapa pengirimnya. Tapi tak perlu. Wajahnya cukup jadi jawaban: surat, betapapun ringkasnya, bisa mengubah hari seseorang.

Kadang, surat yang tidak kita terima justru membentuk kita. Ia menjadi jeda yang mengajarkan kita tentang nilai sebuah harapan. Dan dalam sunyi itu, kita mengenal suara hati sendiri.

Mungkin surat yang kutunggu bukanlah kabar yang diketik dan dikirim melalui sistem. Mungkin ia adalah pesan dari Tuhan, yang datang lewat peristiwa, lewat pertemuan, lewat kesadaran. Bukan sekadar informasi, tapi hikmah.

Maka malam ini, aku menulis satu surat untuk diriku sendiri. Isinya: “Kau telah menunggu dengan baik. Tak apa jika surat itu tak datang. Yang penting, kau tetap membuka jendela, tetap menaruh cermin kecil, dan tetap percaya pada cahaya pagi yang akan datang.”
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • ENGGANO DI UJUNG TANDUK
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • MENCARI GUS DAN GUYONAN SAMPAH DI MUHAMMADIYAH

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar