Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Dulu, nenekku punya kebiasaan menaruh cermin kecil di ambang jendela depan rumah. Katanya, supaya sinar pagi memantul dan memberi isyarat pada pak pos bahwa rumah ini ada yang menunggu surat. Aku kecil tak mengerti maksudnya, tapi kini aku paham: menunggu surat itu bukan sekadar menanti kabar, melainkan berharap pada semesta agar seseorang di tempat jauh masih mengingatmu.

Di kampung kami, suara klakson motor pak pos adalah simfoni paling ditunggu. Anak-anak akan berhenti bermain, ibu-ibu menghentikan tumbukan bumbu di dapur, dan kakek-kakek menoleh dari kursi malas mereka. Semua berharap sepucuk kabar datang untuk mereka. Anehnya, walau tahu surat itu bukan untukku, hatiku selalu ikut deg-degan.
Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Surat pernah menjadi alasan seseorang bangun pagi, mandi lebih awal, dan duduk manis di depan rumah, hanya untuk melihat adakah sepucuk amplop berwarna cokelat di tangan pak pos. Kadang kosong, kadang penuh. Tapi yang selalu hadir adalah harapan, setia menempel di hati seperti perangko.

Aku masih ingat surat pertama yang kuterima: dari saudara yang bekerja di kota. Tulisannya agak miring, tintanya sedikit pudar, tapi setiap hurufnya seperti bisikan di telingaku. "belajar yang rajin ya" katanya. Aku membacanya seperti doa, dan menyimpannya dalam kotak kayu kecil yang kini sudah usang.

Kini zaman berubah. Tak ada lagi cermin kecil di jendela, tak ada lagi bel sepeda. Kotak surat di pagar sudah penuh dengan selebaran iklan. Tapi jantungku tetap bisa berdebar untuk sebuah pesan, meskipun ia datang lewat notifikasi di layar ponsel. Meski bentuknya digital, rindu yang mengantarnya tetap sama nyatanya.

Kadang aku berpikir, apa rindu bisa merambat melalui kabel serat optik? Atau apakah cinta bisa bertahan dalam format PDF? Tapi kenyataannya, satu email dari seseorang yang lama tak menyapamu, bisa membuatmu tersenyum sepanjang hari. Sungguh, esensi surat tak berubah, hanya medianya saja yang berganti rupa.

Aku punya satu folder di inbox yang kuberi nama “Surat Emas.” Di sana, kusimpan semua pesan yang membuat hatiku hangat. Ada dari guru lamaku, dari teman sepenulisan, dan dari orang-orang yang pernah berjumpa walau sesaat. Mereka bukan lagi deretan huruf biasa. Mereka adalah pelita kecil di hari yang kelabu.

Tapi tidak semua surat membawa kabar baik. Ada surat yang menjadi palu godam, menghantam dadamu tanpa aba-aba. Surat penolakan beasiswa, surat pengunduran diri dari seseorang yang kau anggap rekan abadi, atau email singkat yang berkata, “Maaf, kami memilih kandidat lain.” Sakitnya terasa, walau tak ada perangko yang menempelkannya.

Minggu lalu, aku menunggu email penting. Sebuah peluang yang kutunggu bertahun-tahun. Mereka janji akan kirim kabar hari Senin. Aku bangun lebih pagi, menyeduh kopi, duduk di depan layar. Tapi kotak masukku diam. Seperti hutan kosong setelah badai.

Hari berlalu. Selasa datang tanpa suara. Rabu pun demikian. Aku mulai membuka spam folder, siapa tahu surat itu nyasar. Tapi yang kutemukan hanyalah penawaran aneh: pelangsing herbal, pinjaman cepat, dan warisan dari pangeran Afrika yang tidak kukenal. Dunia benar-benar telah berubah.

Di tengah semua kecanggihan ini, kita jadi mudah tersesat dalam kerumitan harapan. Dulu, ketika surat datang terlambat, kita bisa menyalahkan hujan, banjir, atau jalan rusak. Tapi kini? Kita menyalahkan sistem, menyalahkan algoritma. Atau lebih sering: menyalahkan diri sendiri.

Pernah suatu malam, aku bermimpi menerima surat dengan amplop biru. Ketika kubuka, isinya hanya satu kalimat: “Maaf, kami tidak bisa menerimamu.” Anehnya, aku terbangun bukan karena sedih, tapi karena merasa lega. Seolah ketidakpastian lebih menyiksa daripada penolakan itu sendiri.

Aku mencoba menghibur diri. Mungkin surat itu sedang dalam perjalanan panjang, menyeberangi samudra data, tersesat di antara server. Atau mungkin petugas pengirimnya sedang kelelahan, dan aku hanya perlu sedikit lebih sabar. Tapi waktu adalah ular yang licin. Ia tak pernah bisa kita genggam.

Ibu pernah bilang, “Kadang, surat yang tak kunjung datang adalah cara semesta menyelamatkan kita dari kabar yang tidak siap kita terima.” Aku mengangguk saja waktu itu. Tapi kini, kalimat itu terngiang kembali, saat aku duduk memandangi kotak masuk yang hening seperti malam tanpa jangkrik.

Dalam penantian ini, aku belajar banyak tentang diriku sendiri. Bahwa aku adalah manusia yang mudah berharap. Bahwa hatiku lembut, terlalu percaya pada janji-janji. Dan bahwa aku, seperti nenekku dulu, masih ingin menaruh cermin di jendela—meskipun tak ada pak pos lagi.

Aku membaca ulang surat-surat lama yang kusimpan. Bahkan surat elektronik sepuluh tahun lalu masih bisa membuatku berlinang. Ternyata waktu tidak bisa membunuh rasa, ia hanya mengarsipkannya. Kadang, kita hanya perlu membuka folder yang tepat.

Di kampus, aku mengajar tentang sistem digital. Tapi dalam hatiku, aku tahu: pesan yang paling menyentuh tidak selalu berasal dari teknologi tercanggih. Kadang, ia datang dari tulisan tangan di kertas murah, atau dari kata sederhana seperti “apa kabar?”

Temanku bilang, “Jangan terlalu berharap dari surat. Lebih baik tak menunggu.” Tapi aku tahu, itu bukan tentang hasilnya. Menunggu itu sendiri adalah proses mencintai, tanpa syarat. Seperti menanam pohon yang mungkin tak akan sempat kita panen.

Aku mencoba menulis surat balasan untuk email yang belum datang. Isinya? “Terima kasih sudah membuatku menunggu.” Karena menunggu surat mengajarkan kita tentang kesabaran, dan diam-diam, tentang iman.

Kadang aku merasa surat yang tak kunjung datang itu seperti cinta tak berbalas. Kita tahu kehadirannya, kita yakini kemungkinan datangnya, tapi entah mengapa, tak juga tiba. Lalu kita belajar menerima, dengan cara paling manusiawi: menangis dalam diam.

Suatu sore, aku duduk di taman kota, membawa laptop. Wifi gratis menyala, notifikasi berdenting. Bukan kabar yang kutunggu, tapi sapaan dari sahabat lama. Seketika, aku lupa surat yang tak datang. Ternyata, hidup selalu punya kejutan, meski tak selalu sesuai agenda kita.

Surat bisa saja datang terlambat. Bisa jadi, kabar yang mestinya dikirim bulan lalu baru muncul minggu depan. Tapi hidup memang begitu: tidak selalu tepat waktu, tapi selalu punya cara.

Aku menulis jurnal harian, dan di setiap halaman, aku beri catatan kecil: “Masih menunggu surat itu.” Seperti mantra, aku berharap kalimat itu mengundang datangnya kabar baik. Walau dalam hati, aku tahu, tak semua mantra bekerja.

Kawanku pernah bilang, “Mungkin surat itu tak datang karena belum waktunya.” Kalimat sederhana itu membuatku terdiam. Barangkali benar. Semesta punya cara merapikan hidup kita, bahkan dengan cara menyembunyikan kabar.

Malam ini, aku membuka laptop tanpa harap. Tapi entah kenapa, jari ini tetap mengecek kotak masuk. Masih kosong. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Hatiku tak lagi berat. Mungkin karena aku mulai belajar menerima ketidakpastian sebagai bagian dari hidup.

Di depan kantor pos, aku melihat seorang wanita membaca surat cetak. Matanya berbinar, sesekali tertawa kecil. Aku hampir ingin menanyakan siapa pengirimnya. Tapi tak perlu. Wajahnya cukup jadi jawaban: surat, betapapun ringkasnya, bisa mengubah hari seseorang.

Kadang, surat yang tidak kita terima justru membentuk kita. Ia menjadi jeda yang mengajarkan kita tentang nilai sebuah harapan. Dan dalam sunyi itu, kita mengenal suara hati sendiri.

Mungkin surat yang kutunggu bukanlah kabar yang diketik dan dikirim melalui sistem. Mungkin ia adalah pesan dari Tuhan, yang datang lewat peristiwa, lewat pertemuan, lewat kesadaran. Bukan sekadar informasi, tapi hikmah.

Maka malam ini, aku menulis satu surat untuk diriku sendiri. Isinya: “Kau telah menunggu dengan baik. Tak apa jika surat itu tak datang. Yang penting, kau tetap membuka jendela, tetap menaruh cermin kecil, dan tetap percaya pada cahaya pagi yang akan datang.”
Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial saya dipenuhi oleh anak-anak muda yang baru saja lulus. Mereka riang gembira coret-coret baju, konvoi naik motor, bahkan ada yang berendam di kolam ikan kampus. Saya melihatnya sambil menyeruput kopi dan berpikir: “Apa cuma aku yang tidak pernah merasakan semua itu?” Rasanya seperti menonton kehidupan orang lain dari balik kaca tebal. Saya tidak iri, tentu saja tidak. Tapi ada semacam rasa asing yang perlahan-lahan tumbuh, seperti orang desa yang melihat barongsai lewat di jalan depan rumah: heran dan bingung harus ikut tepuk tangan atau diam saja.

Waktu saya lulus SD, tidak ada pengumuman, tidak ada upacara, apalagi pesta kecil-kecilan. Kami hanya diberi rapor di ruang guru, lalu disuruh pulang. Ibu saya menyambut saya di rumah seperti biasa, tidak ada nasi kuning, tidak ada syukuran, hanya gorengan tempe yang memang sudah jadi menu sore. Saya pun tidak mengeluh. Kala itu, lulus SD terasa seperti melewati satu sungai kecil, bukan seperti menyeberangi samudra kehidupan.
Ilustrasi Konvoi Kelulusan Anak SMA (Gambar : GeneratedAI)

SMP pun tak jauh beda. Tahun itu, sistem ujian nasional berubah. Dari Ebtanas ke UAN, lalu jadi UAS. Nama berubah, rumus berubah, tapi rasa tetap sama: deg-degan dan pasrah. Pengumuman kelulusan dilaksanakan di lapangan sekolah. Anak-anak dikumpulkan seperti sedang apel pagi. Kepala sekolah menyebut bahwa yang hadir berarti lulus, yang tidak datang sudah diberitahu untuk tidak usah datang. Begitu saja. Tidak ada drum band, tidak ada konvoi. Beberapa teman saya coret-coret baju, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan sebagian besar memang sudah terkenal karena menjadi pasien langganan guru BK.

Saya menyaksikan perayaan itu dari jauh. Tidak ikut. Bukan karena saya alim atau suci, tapi karena saya merasa tidak perlu. Lulus SMP bukanlah momen yang membuat saya ingin melukis seragam dengan spidol permanen. Saya lebih suka pulang cepat, lalu pergi ke warung untuk beli mie goreng bungkus. Merayakan kelulusan dengan makan sendiri di pojokan rumah sambil nonton televisi tabung yang gambarnya masih bergaris-garis.

SMA memberikan sedikit harapan. Beberapa teman mulai bersemangat merencanakan konvoi. Ada yang menyewa pick-up, ada juga yang siap dengan kaleng-kaleng bekas diikat di belakang motor. Tapi saya sudah berikrar dari awal: tidak akan ikut coret-coret, tidak akan ikut pawai. Bukan karena saya ingin jadi pahlawan moral, melainkan karena saya tahu perjuangan saya untuk lulus tidak sederhana. Sistem ujian berubah lagi, dan kali ini lebih rumit. Lulus terasa seperti bisa bernafas lagi setelah ditahan di dalam air selama dua menit.

Hari pengumuman, saya pergi ke panti asuhan. Saya tidak sedang jadi malaikat atau ingin pamer kebaikan. Saya hanya merasa perlu berbagi sesuatu. Kalau saya bahagia, kenapa tidak menularinya sedikit? Teman-teman saya mungkin sedang memutari kecamatan dengan baju penuh coretan. Saya tidak iri, saya hanya merasa bahagia dengan cara yang berbeda. Mungkin memang saya tidak pernah jadi bagian dari ritual kelulusan yang ramai, tapi saya juga tidak merasa kehilangan.

S1 saya jalani di kampus swasta di pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk. Tidak seperti anak-anak Teknik yang punya tradisi arak-arakan, kami di fakultas saya lebih senang makan bersama di warung burjo. Ketika wisuda, saya bahkan diminta menjadi perwakilan wisudawan untuk menyampaikan pidato. Sebuah kehormatan, tentu saja. Tapi setelah itu? Pulang, melepas toga, lalu makan bersama keluarga. Tidak ada arak-arakan. Hanya senyum tipis dan rasa syukur yang tertahan.

Momen kelulusan memang penting, apalagi setelah bertahun-tahun bergelut dengan skripsi. Tapi saya, entah kenapa, justru merasa lebih nyaman kalau semua ini cepat selesai. Saya lulus, saya bahagia, tapi saya tidak ingin merayakannya terlalu meriah. Barangkali karena saya selalu merasa bahwa setiap pencapaian adalah titik koma, bukan titik akhir.

S2 saya jalani di Taiwan. Negeri orang, budaya asing, bahasa yang belum sepenuhnya saya kuasai saat itu. Wisuda diadakan secara kolektif. Semua mahasiswa, baik S1, S2, maupun S3, dikumpulkan dalam satu upacara besar. Bagi mahasiswa magister dan doktoral, wisuda hanyalah formalitas. Sebagian besar bahkan belum sidang. Saya sendiri belum sidang waktu itu. Tapi tetap diminta hadir. Jadi ya saya hadir, duduk, mendengar pidato rektor dalam bahasa Mandarin, lalu berfoto sebentar. Tidak ada konvoi, tidak ada coret-coret baju. Hanya toga, kamera, dan langit cerah yang khas musim panas.

S3 saya jalani dengan lebih sepi. Karena sidang dilakukan pada bulan Januari, maka saya tidak ikut wisuda yang digelar 6 bulan kemudian. Saya hanya meminta tolong teman sebagai fotografer, mengenakan toga, dan berfoto di taman kampus. Itu saja. Tidak ada sambutan, tidak ada pidato. Hanya saya dan fotografer yang sesekali memberi arahan gaya. Saya tersenyum dalam foto, tapi dalam hati ada kekosongan kecil: “Oh, jadi begini rasanya lulus S3?”

Saya tidak bermaksud mengeluh. Hidup memang tidak perlu selalu gemerlap. Tapi tetap saja, saat melihat anak-anak SMA coret-coret baju sambil berteriak kegirangan, saya bertanya-tanya: kenapa saya tidak pernah mengalami itu? Apakah saya terlalu serius menjalani hidup? Atau memang takdir saya adalah menjadi penonton dari balik kaca, sementara pesta digelar di luar sana?

Kadang saya berpikir, mungkin saya adalah bagian dari generasi yang terlalu hemat dalam merayakan. Hidup kami diajarkan untuk selalu bersikap sewajarnya. Tidak usah terlalu senang, tidak usah terlalu sedih. Lulus ya lulus, lalu lanjut hidup. Padahal merayakan itu penting. Bukan karena hasilnya, tapi karena prosesnya yang layak dikenang.

Tapi bisa juga karena saya tumbuh di desa. Tempat di mana arak-arakan dianggap norak, dan coret-coret baju dianggap pemborosan. Kami dibesarkan untuk menyimpan baju dengan baik, supaya bisa diwariskan ke adik. Mencorat-coret seragam dianggap seperti menghina perjuangan orang tua yang membeli baju itu dengan susah payah. Jadi ya wajar kalau saya tidak pernah ikut tradisi semacam itu. Bahkan sampai sekarang, saya masih menyimpan beberapa seragam SMA saya dalam kondisi cukup layak.

Kini, saat saya sudah menjadi bapak-bapak, saya kadang bertanya-tanya: apakah saya akan mengizinkan anak saya konvoi kelulusan nanti? Apakah saya akan memarahinya kalau dia mencoret-coret bajunya sendiri? Entahlah. Barangkali saya akan diam saja, atau malah ikut mencoret. Dunia sudah terlalu cepat berubah, dan saya mulai merasa ketinggalan kereta.

Tapi kalau dipikir-pikir, tidak semua perayaan harus berupa sorak-sorai. Kadang, perayaan terbaik adalah duduk tenang di beranda, ditemani kopi, dan hati yang lapang. Tidak semua kegembiraan harus berisik. Ada gembira yang tenang, yang dalam, dan yang cukup diketahui oleh kita sendiri.

Saya menulis ini bukan untuk mengajak kalian berhenti konvoi. Silakan, rayakanlah. Dunia ini sudah cukup suram untuk tidak diisi oleh tawa. Tapi jika ada di antara kalian yang merasa tidak pernah merayakan kelulusan seperti orang-orang, ketahuilah: kamu tidak sendirian. Saya pun begitu. Dan saya baik-baik saja.

Mungkin kelulusan adalah tentang memahami diri. Tentang menutup satu babak dan bersiap untuk babak selanjutnya, tanpa harus mengibarkan bendera. Mungkin, saya ulangi, mungkin... kita terlalu sibuk menulis hidup kita dalam diam, sampai lupa memberi tahu dunia bahwa kita telah selesai menyeberang satu jembatan.

Dan jika kamu pernah merasa aneh, karena tidak ikut coret-coret, tidak ikut arak-arakan, tidak punya foto wisuda yang “instagramable”—tak perlu risau. Kadang hidup kita memang berjalan di jalur sepi. Tapi bukan berarti kita tidak sampai.

Mereka yang berisik belum tentu lebih bahagia. Dan kita yang diam belum tentu kalah. Setiap orang punya caranya sendiri dalam merayakan hidup. Ada yang pakai cat semprot, ada yang pakai sepiring mie goreng. Keduanya sah.

Jadi, apa cuma aku? Mungkin tidak. Mungkin banyak di luar sana yang senasib. Tapi memang tidak semua orang merasa perlu bercerita. Saya saja baru kali ini menuliskannya.

Siapa tahu, tulisan ini bisa menemani kamu yang dulu juga tak pernah merasa “lulus” dalam pengertian umum. Kita mungkin tidak punya foto-foto penuh tawa. Tapi kita punya cerita. Dan kadang, itu lebih dari cukup.
Senja tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tahu diri, bahwa cahayanya tak pantas menyaingi malam. Di antara desir angin yang menggugurkan daun tua, ia pamit dalam bias jingga. Di jalanan kota, pekerja menggulung harapan dalam tas ransel yang usang. Mereka pulang membawa sisa tenaga, bukan kemenangan. Sebab hidup tak selalu harus menang; kadang cukup selamat saja.

Pernah satu kali aku mengejar senja dari atas sepeda ontel. Aku kayuh sambil menggumam lagu kenangan, berharap bisa menambatkan waktu. Tapi senja, seperti cinta, hanya bisa dinikmati, bukan dikejar. Ia tak menunggu siapa pun, apalagi aku yang telat sadar. Maka aku berhenti di jembatan tua, sembari menatap matahari tergelincir dengan tenang. Di sana aku belajar: pergi tak selalu menyakitkan.
Senja di Balai Buntar Bengkulu (Foto : Dokumen Pribadi)
Orang-orang sibuk memotret langit saat senja menyala. Tapi siapa yang memotret raut wajah ibu yang menanti nasi di atas dandang? Di sela keindahan yang diburu, sering kali ada yang terlupa. Bahwa senja bukan hanya tentang warna, tapi tentang waktu yang seharusnya disedekahkan kepada Tuhan. Aku pernah terpaku di jalan, padahal azan magrib telah menggetarkan angkasa. Dan saat itu aku malu, karena memuja ciptaan lebih dari Pencipta.

Langit merah, langit yang sedang mengucapkan selamat tinggal. Tetapi manusia sering kali mengartikan itu sebagai pemandangan indah belaka. Padahal, ia adalah pertanda: malam sedang berjalan dari ufuk timur. Aku mendengar desir langkah waktu yang menua, perlahan, tapi pasti. Senja adalah undangan, bukan untuk pesta, tapi untuk perenungan. Sebab tak semua keindahan harus dirayakan dengan tepuk tangan—kadang cukup dengan sujud.

Di antara suara motor dan klakson yang bertalu-talu, ada satu waktu yang seharusnya sakral. Senja. Ia hadir untuk memberi isyarat: cukup, berhentilah. Tapi seringkali kita terlalu keras kepala untuk mendengar bahasa langit. Kita terus menambal ambisi di jalan yang retak. Dan lupa, bahwa tubuh punya hak untuk diam, dan hati punya hak untuk kembali.

Dulu aku pikir senja adalah hadiah. Tapi kini aku tahu, ia adalah pengingat. Pengingat bahwa segala yang terang akan padam, dan segala yang kuat akan rehat. Ia membelai bumi dengan warna hangat, tapi pesannya dingin: waktu habis. Aku duduk sendiri di warung kopi yang menghadap sawah, menanti kegelapan datang tanpa tergesa. Di antara isak langit dan sunyi desa, aku merasa ditatap oleh Tuhan.

Ada orang yang menyukai senja karena estetikanya, tapi aku menyukai senja karena kejujurannya. Ia tak pernah bohong tentang perpisahan. Ia selalu datang dengan batas, bukan janji. Tak seperti pagi yang menjanjikan banyak hal, senja hanya datang untuk menutup. Dan justru karena itu, ia terasa lebih bisa dipercaya.

"Sudah dulu, ya," kata senja kepada hari. Tapi manusia, entah kenapa, selalu merasa belum cukup. Masih ada pekerjaan, masih ada target, masih ada perasaan yang belum tuntas. Padahal, tidak semua hal harus selesai dalam satu waktu. Bahkan bunga pun tak mekar dalam sehari. Maka biarlah senja mengajarkan sabar—dengan warna, bukan kata.

Senja itu seperti ibu yang memanggil anaknya pulang sebelum malam terlalu larut. Ia tidak menghardik, hanya memberi isyarat lewat langit yang memerah malu. Tapi anak-anak zaman kini terlalu sibuk bermain, sampai lupa arah rumah. Mereka menunda pulang, sampai malam kehilangan kesabaran. Lalu ketika gelap benar-benar datang, mereka menangis mencari terang. Tapi senja sudah tak bisa kembali.

Dalam tiap salat magrib, ada percakapan sunyi antara hamba dan Tuhannya. Bukan sekadar ritual, tapi pengakuan bahwa waktu ini milik-Nya. Aku sering terlambat, sering kalah oleh deretan hal duniawi. Tapi saat aku benar-benar hadir dalam sujud itu, senja terasa lebih dalam. Ia bukan cuma langit merah, tapi pintu. Pintu menuju kesadaran, bahwa dunia tak harus dipeluk erat-erat.

Tak jarang aku mendengar seseorang berkata, "Ah, aku lebih suka malam." Tapi mereka lupa, bahwa malam hanya ada karena senja memberi jalan. Tak ada gelap yang tak melalui jingga lebih dulu. Maka mencintai malam tanpa memahami senja, seperti mencintai dewasa tanpa melewati luka. Dan di antara luka dan lega, senja menjadi jembatan yang paling jujur.

Pulang adalah kata paling indah diucapkan saat senja. Bukan hanya soal rumah, tapi soal kembalinya jiwa dari kebisingan dunia. Di kursi kayu depan rumah, ayahku biasa duduk dengan teh dan diam. Tidak ada obrolan, hanya anggukan perlahan. Aku baru paham, diam ayah saat senja itu adalah bentuk terima kasih kepada waktu.

Kau tahu, bahkan burung pun pulang saat senja datang. Tapi kita? Kita malah terbang lebih jauh, menantang malam dengan ambisi. Hingga kadang tersesat di gelap yang kita buat sendiri. Senja ingin kita pulang, tapi kita malah menambah langkah. Hingga saat sadar, rumah hanya tinggal alamat yang tak kita ingat.

Mereka yang meninggalkanmu di waktu senja, bukan berarti tak cinta. Mungkin mereka hanya tahu kapan harus berhenti. Seperti senja yang tahu dirinya tak bisa menggantikan malam, ia pergi dengan elegan. Perpisahan tak selalu menyakitkan jika kau tahu alasannya. Dan pergi bukan berarti menghilang, kadang hanya memberi ruang untuk rindu tumbuh.

Senja mengajarkanku satu hal yang tak pernah diajarkan sekolah: cukup itu indah. Tak harus sempurna, tak harus panjang, tak harus menang. Cukup hadir, cukup sadar, cukup pulang. Maka bila suatu hari aku pergi, biarlah aku pergi seperti senja. Tidak mengejutkan, tapi dikenang.
Panggung kekuasaan itu hangat. Setiap langkah terasa penting, setiap ucapan dicatat, dan setiap keputusan membawa dampak besar. Maka tak heran bila banyak orang sulit beranjak ketika masa jabatannya selesai. Ada semacam magnet psikologis yang menahan mereka untuk tetap berada di titik pusat, walau sebetulnya panggung telah berubah. Begitu lampu sorot dipadamkan, sebagian tak sanggup duduk di bangku penonton. Mereka ingin tetap bicara, ikut mengatur alur cerita, bahkan kalau perlu—menulis ulang naskahnya.

Ada ironi yang sering muncul: mereka yang dahulu lantang bicara tentang regenerasi dan keterbukaan, justru menjadi penghalang terbesar ketika harus memberi ruang bagi pengganti. Mereka tak rela jika keputusan diambil tanpa “minta izin” kepadanya. Bahkan dalam hal-hal kecil, ia ingin dilibatkan, seolah pengganti hanyalah pelaksana teknis dari pikirannya. Bukan karena mereka tidak percaya, tapi karena mereka tak siap melepaskan. Di sinilah post power syndrome menyelinap, bukan sebagai penyakit, tapi sebagai kebiasaan yang tak disadari.
Ilustrasi Post Power Syndrome (Gambar : GeneratedAI)
Saya sering mendengar cerita dari para pemimpin muda yang menggantikan tokoh senior. Mereka bercerita bagaimana bayangan pemimpin sebelumnya terus hadir: dalam rapat, dalam kebijakan, bahkan dalam pergaulan internal. Sang mantan tak benar-benar pergi. Ia hanya bergeser posisi, tapi tetap mencengkeram. Ketika keputusan baru dibuat, selalu ada komentar, kritik, dan bisikan: "Dulu saya tidak begitu." Apa dampaknya? Inovasi terhambat, tim merasa terbelah, dan sang pemimpin baru seperti berjalan di atas garis tipis.

Ada kebutuhan manusiawi yang sangat mendasar yang sering terabaikan di sini: kebutuhan untuk merasa penting. Kekuasaan, selain memberi akses dan pengaruh, juga menjadi penanda identitas. Maka ketika jabatan hilang, rasa "siapa saya sekarang?" muncul dengan nyaring. Tak semua siap menjawabnya. Banyak yang kemudian berusaha mengganti kekosongan itu dengan menghidupkan kembali peran lamanya. Mereka jadi komentator atas keputusan-keputusan yang bukan lagi miliknya. Bahkan dalam forum sosial, mereka tetap ingin disebut dengan gelar kekuasaan yang sudah selesai.

Lucunya, fenomena ini tidak hanya terjadi di tingkat atas. Kepala sekolah yang pensiun pun bisa mengalami hal serupa. Ia masih merasa berhak menata ruang guru, mengatur jadwal, bahkan menegur staf baru. Semua itu dilakukan bukan karena niat buruk, tapi karena keterikatan emosional yang belum terurai. Kekuasaan telah menyatu dengan identitasnya. Dan melepaskannya sama sulitnya seperti memisahkan daun dari ranting yang telah lama kering.

Banyak orang menyangka post power syndrome hanya dialami oleh mereka yang ambisius. Tidak selalu. Justru kadang mereka yang paling tulus mengabdi, yang paling lama mengurus, yang paling mencintai pekerjaannya—adalah yang paling sulit melepas. Bagi mereka, jabatan bukan semata status, tapi rumah kedua. Maka ketika harus meninggalkannya, ada perasaan kehilangan yang dalam. Sama seperti orang tua yang harus melepas anaknya menikah—penuh restu tapi diam-diam menyimpan cemas.

Ada yang menyikapinya dengan terus hadir di lingkungan lama. Mereka datang ke kantor, duduk di ruang tamu, ikut makan siang. Kadang ikut nimbrung rapat meski tak diundang. Semuanya dilakukan dengan alasan “kangen suasana”. Tapi lama-lama, keberadaan itu menjadi beban. Bayangan masa lalu menghambat langkah masa kini. Dan pengganti pun merasa terus diawasi, bukan diberi ruang.

Saya percaya, seseorang tak perlu menduduki posisi untuk tetap memberi makna. Banyak pemimpin besar yang lebih dihormati setelah turun dari panggung, justru karena mereka tahu kapan harus mundur. Mereka menepi, bukan karena kalah, tapi karena sadar: saatnya yang lain tampil. Mereka tetap berkontribusi, tapi lewat cara yang berbeda—menulis, berbicara, memberi nasihat hanya ketika diminta.

Tantangannya adalah: tidak semua orang bisa membedakan antara kontribusi dan intervensi. Mereka yang terjebak dalam post power syndrome sering mengira campur tangan mereka adalah bentuk peduli. Mereka merasa sedang menjaga warisan, padahal sedang menghambat pertumbuhan. Mereka lupa bahwa setiap pemimpin baru punya konteks yang berbeda. Situasi berubah, tantangan berganti. Maka cara lama tak selalu relevan.

Sering kali, perasaan “saya masih tahu yang terbaik” muncul karena kesalahan dalam mengelola egonya sendiri. Ego yang dulu digunakan untuk memimpin, kini justru menjadi tembok yang menutupi kenyataan. Padahal, semakin tinggi posisi seseorang dulu, seharusnya semakin besar pula kebesaran hatinya untuk mundur. Tapi itu tidak mudah. Sebab yang ditinggalkan bukan hanya jabatan, tapi juga rasa dihormati, disambut, dan dituruti.

Budaya kita juga berperan dalam memperpanjang fenomena ini. Kita terlalu mudah menyanjung masa lalu dan enggan mengoreksi ketidaksesuaian. Kita masih suka memanggil mantan pejabat dengan gelarnya, masih memberi kursi khusus di forum-forum diskusi, dan masih meminta pendapat atas isu yang sudah tidak lagi menjadi wilayahnya. Tanpa sadar, kita ikut memelihara ilusi bahwa kekuasaan bisa diwariskan secara informal.

Tak salah menghormati mereka yang dulu berjasa. Tapi salah bila itu membuat sistem tidak berjalan sehat. Pemimpin baru perlu ruang. Ia butuh kebebasan untuk mengambil keputusan, gagal, belajar, dan tumbuh. Bila setiap langkahnya dibayang-bayangi penilaian orang lama, maka perubahan sulit terjadi. Dan organisasi hanya akan berjalan di tempat, seperti roda yang berputar tanpa bergerak.

Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Ini soal pemahaman. Soal kesiapan mental untuk menyambut babak baru dalam hidup. Ketika seseorang gagal menata fase pasca-kekuasaan, maka ia akan terjebak dalam nostalgia yang tidak produktif. Hidupnya diisi dengan mengomentari masa kini, bukan menjalani masa depan. Ia tak sadar, bahwa semakin ia mendikte, semakin ia kehilangan pengaruh.

Di sisi lain, tidak sedikit juga yang berhasil melewati fase ini dengan elegan. Mereka bertransformasi menjadi penasehat, mentor, atau pelaku sosial. Mereka tidak ngotot didengarkan, tapi justru semakin dihormati karena sikap bijaknya. Mereka hadir bukan untuk bersaing dengan pengganti, tapi untuk menjadi sumber refleksi. Mereka menghidupi peran barunya, tanpa mengaitkan semua pada masa kejayaannya.

Mereka tahu, kemuliaan seorang pemimpin tidak terletak pada berapa lama ia berkuasa, tetapi pada bagaimana ia mengakhiri kekuasaannya. Apakah ia mundur dengan kepala tegak dan hati lapang, ataukah ia terus menggantung di balik layar, menolak ditinggal pergi oleh zamannya? Pilihan ini menentukan apakah ia akan dikenang sebagai tokoh, atau hanya sebagai bayang-bayang yang mengganggu.

Kita perlu membangun kultur baru: bahwa setiap jabatan itu ada waktunya, dan setiap orang akan punya panggungnya sendiri. Perubahan adalah keniscayaan. Yang tidak berubah hanyalah kebutuhan untuk terus memberi makna. Maka, daripada terus berada di pinggir ring, lebih baik turun dan melatih petinju baru. Ajari mereka teknik, beri mereka semangat, lalu beri mereka ruang bertarung sendiri.

Saya percaya, bangsa yang sehat adalah bangsa yang tidak bergantung pada satu tokoh. Ia tumbuh karena ekosistemnya mendukung. Karena setiap generasi belajar dari yang lama, tapi tidak diikat olehnya. Karena pemimpin-pemimpin terdahulu legowo melepas kendali dan percaya pada estafet kepemimpinan.

Bila kita ingin sistem yang kuat, kita butuh pemimpin yang tahu kapan harus pergi. Yang tidak memaksakan cara lama untuk zaman baru. Yang tidak memonopoli kebenaran. Karena pada akhirnya, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling lama memimpin, tapi siapa yang paling bijak mengakhiri kepemimpinannya.
Hari ini, cahaya pagi seperti lebih lembut dari biasanya. Matahari menyelinap pelan lewat celah jendela, seolah enggan membangunkan dua bidadari kecil yang masih terlelap di kasurnya. Mereka bernapas bersamaan, tenang, tanpa beban dunia yang belum sepenuhnya mereka pahami. Lima tahun telah berlalu sejak tangisan pertama mereka pecah di ruang bersalin rumah sakit Taiwan, mengalahkan suara ramai pasien di luar jendela hari itu. Dan sungguh, tak ada yang lebih ajaib dari hari ketika cinta tumbuh menjadi dua tubuh mungil yang kini kupanggil: Sarah dan Aisha.

Waktu, seperti biasa, tak pernah mau menunggu. Ia berlari, bahkan kadang melompat, meninggalkan jejak-jejak kenangan yang bahkan belum sempat disentuh sepenuhnya. Baru kemarin rasanya aku menggenggam tangan ibumu yang berkeringat dingin menunggu masuk ruang operasi, wajahnya pucat menahan rasa sakit yang tak mungkin aku bagi. Di antara mesin-mesin medis dan protokol pandemi yang ketat, dua nyawa kecil memilih turun ke dunia, dengan keberanian yang belum sempat mereka sadari. Lahir bukan hanya sebagai bayi, tapi sebagai harapan, sebagai pelita dalam musim yang gelap.
#SarahAisha (Foto : Dokumen Pribadi)
Ingatanku tentang detik-detik itu masih jernih. Suara perawat, suara tangisan pertama kalian yang serempak, seolah sudah sepakat sejak di dalam rahim untuk tidak saling mendahului. Seseorang pernah bilang, anak kembar punya bahasa rahasia, dan aku percaya itu. Sejak dalam perut, kalian sudah saling berbagi ruang, saling dengar detak jantung satu sama lain, saling menyampaikan pesan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang datang dari surga berdua-dua.

Hari ini, kalian lima tahun. Angka yang barangkali kecil di mata dunia, tapi besar dalam hatiku yang menyaksikan tiap jejak pertumbuhan kalian. Lima tahun berarti lima musim penuh keajaiban. Lima tahun berarti puluhan cium selamat tidur, ratusan tawa tak tertahankan, ribuan pertanyaan lucu yang kadang membuatku terdiam mencari jawaban. Lima tahun berarti aku tak lagi menjadi manusia yang sama—karena kalian mengubahku, tanpa pernah memintanya.

Sarah, Aisha, kalian datang bukan hanya sebagai anak, tapi sebagai puisi. Puisi yang tidak ditulis dengan kata-kata, tapi dengan pelukan hangat, tangis lapar, dan tawa tanpa alasan.

Ibu kalian, ah, dia perempuan paling tabah yang pernah kutahu. Melahirkan kalian bukan sekadar urusan medis, tapi ritual suci antara kehidupan dan kematian. Ia menahan sakit kontraksi sambil mengejar deadline disertasi, ia menyusui kalian sambil membaca jurnal internasional. Ibu kalian adalah bukti bahwa cinta bisa menjadi tenaga yang lebih dahsyat dari apapun di bumi ini. Tanpa dia, kalian tak akan punya cahaya yang begitu lembut seperti sekarang.

Di tahun pertama, kalian nyaris tak bisa kubedakan. Aku harus memberi pita kecil di pergelangan tangan kalian dengan warna yang berbeda. Tapi lama-lama, aku bisa mengenali Sarah dari caranya memeluk boneka, dan Aisha dari matanya yang lebih sering menatap lurus, dalam, seolah tahu sesuatu yang belum aku tahu. Kalian kembar, ya. Tapi kalian juga unik. Dua jiwa dengan dua nada, menyanyikan lagu yang berbeda tapi tetap harmoni.

Ada banyak yang membantu kami saat itu. Dokter, perawat, sahabat-sahabat yang bahkan hanya bisa mengirimkan dukungan lewat layar ponsel. Mereka adalah jembatan-jembatan tak terlihat yang membuat kami tidak tenggelam dalam rasa cemas. Hari ini, di ulang tahun kalian, mari kita kirimkan doa yang dalam untuk mereka semua. Karena tanpa mereka, mungkin cerita ini tidak pernah ada.

Ulang tahun, dalam budaya kita, kadang dirayakan dengan kue, lilin, dan nyanyian. Tapi aku ingin lebih dari itu. Aku ingin ulang tahun kalian menjadi perayaan tentang syukur. Syukur karena kalian ada, karena kalian tumbuh, karena kalian sehat, dan karena kalian mengajarkan aku arti baru tentang waktu: bahwa detik-detik kecil adalah tempat keajaiban sembunyi.

Aku masih menyimpan baju pertama kalian, mungil, dengan noda susu yang tak bisa hilang. Aku masih menyimpan suara pertama kalian menyebut 'Ayah', terekam dalam file audio yang kadang kudengar diam-diam saat rindu. Waktu memang tak bisa kembali, tapi kenangan bisa disimpan, dipeluk, dan dijadikan bahan bakar untuk terus melangkah ke depan.

Sarah, Aisha, kalian mungkin belum memahami sepenuhnya arti hari ini. Tapi suatu saat, kalian akan membaca ini dan mengerti. Bahwa ulang tahun bukan hanya milik kalian, tapi milik kami juga—aku dan bunda kalian. Karena lima tahun lalu, kami juga lahir kembali. Menjadi orang tua, menjadi versi terbaik dari diri kami, karena kehadiran kalian.

Ada malam-malam di mana kalian demam tinggi, dan aku duduk di samping ranjang, menggenggam tangan kalian sambil membaca sabda Tuhan dalam hati. Aku ingin menjadi rumah yang selalu bisa kalian pulang, bahkan saat dunia di luar terlalu bising, terlalu tajam. Aku ingin menjadi langit yang tak pernah marah jika kalian terbang terlalu tinggi, asalkan kalian tahu cara kembali.

Dan kini, di usia lima, kalian sudah bisa berhitung, membaca sedikit, bernyanyi banyak. Kalian punya dunia sendiri: boneka, kertas gambar, dan pertengkaran kecil tentang siapa yang lebih dulu memakai sepatu. Tapi yang membuatku takjub adalah cinta kalian satu sama lain. Seperti ada janji rahasia yang tidak pernah kalian lupakan sejak dalam kandungan.

Aku sering bertanya-tanya, seperti apa kalian nanti di usia sepuluh, dua puluh, tiga puluh. Tapi aku cepat-cepat menepisnya, karena aku tahu, bagian terbaik dari menjadi ayah adalah menyaksikan satu hari saja. Hari ini. Memandangi wajah kalian saat meniup lilin, saat tertawa, saat menghapus  dari pipi masing-masing.

Dunia ini, nak, kadang tak ramah. Tapi selama kalian saling menggenggam, saling menguatkan, kalian akan baik-baik saja. Kalian punya satu sama lain. Kalian punya cerita yang sama sejak dalam rahim. Dan itu, jauh lebih kuat dari segala jenis badai yang mungkin datang.

Aku akan selalu di sini. Menjadi saksi diam yang bahagia saat kalian tumbuh. Aku tidak akan bisa melindungi kalian dari semua luka, tapi aku akan selalu menambal sepatu kalian jika tali sepatunya putus. Aku akan terus berjalan di belakang, memastikan kalian tidak jatuh terlalu keras.

Hari ini ulang tahun kalian, tapi hadiah sejatinya adalah untuk kami. Hadiah berupa tawa-tawa kecil kalian, cium pagi-pagi, dan pertanyaan polos yang kadang lebih tajam dari filsuf. Terima kasih telah memilih kami sebagai rumah kalian.

Selamat ulang tahun, #SarahAisha. Lima tahun bukan waktu yang panjang, tapi cukup untuk membuat kami percaya pada keajaiban. Cukup untuk membuat hidup ini penuh warna. Cukup untuk membuat kami belajar mencintai tanpa syarat.

Dan hari ini, biarkan kami menyanyikan lagu ulang tahun itu bukan hanya dengan suara, tapi dengan air mata haru dan syukur yang tak terhingga.

Setiap kali pemerintah membubarkan sebuah organisasi masyarakat (ormas), publik terbelah antara yang mendukung dan yang mencibir. Namun satu pola yang konsisten muncul: pemerintah terlihat galak kepada ormas yang berbau keagamaan, apalagi jika dikait-kaitkan dengan radikalisme. HTI dibubarkan. FPI dibubarkan. Tanpa pengadilan, tanpa kesempatan membela diri di ruang hukum. Seakan hanya satu jenis ormas yang menjadi ancaman: yang berbicara tentang ideologi.

Ironisnya, pada waktu yang sama, banyak ormas yang justru terang-terangan membuat kekacauan di jalan, menggusur warung rakyat, memukul warga, bahkan menantang aparat. Mereka tidak dibubarkan. Tidak dikejar. Tidak ditertibkan. Mereka dibiarkan tumbuh seperti benalu yang makin hari makin merasa berdaulat.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Di pelataran hukum, pemerintah kerap berdalih menggunakan Perppu sebagai senjata cepat—mengklaim situasi darurat yang tak bisa menunggu proses pengadilan. Tapi anehnya, darurat itu seperti punya seleksi rasa. Hanya terasa jika ormas tersebut mengusung simbol Islam. Begitu bukan agama, atau tidak membawa isu ideologi negara, pemerintah jadi penonton pasif, penuh pertimbangan yang entah demi siapa.

Beberapa pekan terakhir, publik dibuat terperangah oleh berita tentang ormas yang mengancam pejabat tinggi. Seorang gubernur. Bahkan mantan Panglima TNI. Di negara yang sehat, ancaman semacam itu bisa dianggap kriminal. Tapi di negeri ini, pelakunya justru tenang-tenang saja. Tidak ada pernyataan keras dari pemerintah pusat. Tidak ada tindakan tegas dari aparat. Diam.

Barangkali kita sedang hidup di masa ketika loyalitas politik lebih penting daripada kepatuhan hukum. Ormas-ormas jalanan yang jago mengumpulkan massa mendadak diperlakukan istimewa. Mereka tidak disentuh, karena tahu kapan harus teriak dan kapan harus diam. Mereka menguasai ritme politik lokal dan nasional. Suara mereka dibutuhkan saat kampanye. Maka wajar jika setelah pemilu, mereka seolah mendapat piagam kebal hukum.

Fenomena ini bukan soal satu-dua ormas. Ini tentang sikap negara. Tentang kegagalan pemerintah menjaga konsistensi hukum. Ketika satu kelompok dibubarkan karena dianggap mengancam negara, sementara kelompok lain yang merusak tatanan sipil justru diberi ruang, maka keadilan menjadi ilusi.

Tidak ada negara yang kuat jika aparatnya tunduk pada tekanan jalanan. Indonesia bukan negara preman. Tapi perlakuan istimewa terhadap ormas yang gemar memamerkan otot justru menciptakan ilusi kekuasaan alternatif. Warga pun mulai bertanya: siapa sebenarnya yang berkuasa? Negara atau ormas?

Kekhawatiran ini bukan sekadar teori. Sudah banyak warga yang takut membuka usaha di wilayah tertentu karena harus bayar ‘keamanan’. Harus lapor pada ormas. Bukan polisi. Harus tunduk pada peraturan kampung yang dibuat bukan oleh pemerintah, tapi oleh organisasi sipil yang merasa punya hak menentukan hidup orang lain.

Lalu bagaimana dengan HTI dan FPI? Sekali lagi, bukan soal setuju atau tidak setuju terhadap ideologi mereka. Tapi soal prosedur. Soal keadilan. Jika mereka dibubarkan tanpa pengadilan, mengapa ormas kekerasan yang tidak berbasis ideologi justru tetap hidup dan bahkan dirawat?

Konstitusi memberi hak berserikat dan berkumpul. Negara boleh membatasi, tapi harus melalui mekanisme hukum. Tanpa itu, negara menjadi pelaku ketidakadilan. Dan ketika negara tidak adil, maka kekacauan justru lahir dari dalam tubuh kekuasaan sendiri.

Kita tidak boleh memaklumi ormas yang mengancam pejabat negara. Apalagi mantan panglima TNI, simbol kekuatan pertahanan kita. Ini bukan soal pribadi, ini soal martabat negara. Jika ancaman itu tidak ditindak, maka pesan yang kita kirim ke publik adalah: siapa pun bisa menantang negara, asal punya massa.

Ada sebuah kalimat lama yang kini terasa relevan: “Jika negara takut pada rakyat, itu demokrasi. Tapi jika negara takut pada ormas, itu malapetaka.” Kita mungkin sedang mendekati titik itu. Negara yang tunduk pada tekanan ormas bukan negara demokrasi, tapi negara yang disandera oleh suara jalanan.

Mengapa pemerintah tidak berani bertindak tegas? Apakah karena sudah terlanjur berhutang suara pada ormas-ormas itu? Atau karena struktur kekuasaan kita kini sudah terlalu tergantung pada mobilisasi politik berbasis massa?

Dalam banyak kasus, kekuasaan memang berhutang pada organisasi yang mampu menggerakkan lapisan bawah. Tapi hutang itu tidak boleh dibayar dengan diamnya hukum. Hukum tidak boleh kalah oleh logistik kampanye. Hukum tidak boleh tunduk pada massa.

Wajah negara tercermin dari keberaniannya bersikap adil, bukan dari kehebatannya membungkam yang lemah. Jika ormas agama bisa dibubarkan karena ideologinya, maka ormas kekerasan berbasis premanisme juga harus dibubarkan karena perilakunya.

Sungguh memalukan jika negara hanya berani menghadapi mereka yang tidak bisa melawan balik. Tapi mendadak lembek ketika berhadapan dengan mereka yang siap kerahkan ratusan orang dalam sehari. Padahal hukum tidak mengenal jumlah pendukung. Hukum hanya mengenal benar dan salah.

Kita juga harus jujur. Sebagian aparat memang punya kedekatan emosional dengan ormas-ormas tertentu. Karena pernah sama-sama “berjuang” di masa lalu, atau karena hubungan pribadi. Tapi negara tidak boleh dikelola dengan rasa sungkan. Negara harus dikelola dengan prinsip dan keberanian.

Apa yang terjadi saat ini bukan hanya soal ketidakadilan, tapi soal krisis keteladanan. Jika rakyat melihat aparat tunduk pada ormas, maka mereka juga akan ikut mencari pelindung informal. Ini melahirkan budaya perlindungan ala mafia: siapa kuat, dia yang mengatur.

Pemerintah harus segera membenahi pendekatan terhadap ormas. Bukan hanya soal siapa dibubarkan dan siapa tidak. Tapi soal konsistensi. Jika HTI dianggap mengancam NKRI, maka ormas yang menantang panglima TNI jelas lebih nyata mengancam. Jangan pura-pura buta.

Ketika aparat takluk pada tekanan massa, maka hukum berubah menjadi alat politik. Ini berbahaya. Karena hukum tidak lagi menjadi pagar yang melindungi warga, tapi menjadi senjata yang diarahkan hanya pada pihak yang tidak menguntungkan kekuasaan.

Kita harus bicara jujur. Di banyak kota, ormas-ormas ini telah mengambil alih peran pemerintah lokal. Mereka menentukan siapa boleh berjualan di mana. Siapa boleh buka warung. Bahkan siapa boleh mengadakan konser. Ini bukan lagi civil society. Ini kekuasaan tandingan.

Mereka memakai jaket ormas, tapi gaya mereka lebih mirip geng jalanan. Premanisme yang dibungkus dengan narasi ‘kearifan lokal’. Mereka menuntut dihormati, tapi tak pernah mau mengikuti hukum. Mereka meminta ruang, tapi tidak pernah memberi rasa aman.

Adalah tanggung jawab kita semua untuk mengingatkan pemerintah: keberanian tidak boleh dipilih-pilih. Jika berani kepada HTI dan FPI, maka harus lebih berani lagi kepada ormas yang melanggar hukum di jalan. Kalau tidak, maka keberanian itu hanya jadi topeng politik.

Saat publik menyaksikan perbedaan perlakuan ini, maka kepercayaan terhadap negara akan terkikis. Negara terlihat tidak adil. Dan ketidakadilan adalah pintu masuk kehancuran negara manapun dalam sejarah dunia.

Mungkin inilah saatnya kita bertanya ulang: apakah pemerintah masih punya kendali atas negara ini? Ataukah kendali itu sudah diam-diam berpindah ke tangan ormas-ormas yang kini merasa kebal, merasa berhak, merasa berkuasa?

Jika pembubaran ormas harus dilakukan, lakukan dengan adil. Jangan hanya karena mereka tidak punya backing politik. Jangan hanya karena mereka tidak bisa mengancam dengan ribuan massa. Negara tidak boleh bersikap pengecut.

Kita tidak butuh negara yang galak ke satu sisi tapi cengeng ke sisi lain. Kita butuh negara yang tegas kepada semua. Yang adil kepada semua. Karena hanya dengan itu, hukum akan dihormati, dan demokrasi akan tumbuh sehat.

Sudah cukup kita menonton aksi ormas yang menantang negara. Sudah cukup kita membiarkan ancaman pada pejabat dianggap sebagai hal biasa. Ini saatnya negara bangun. Bangkit. Dan berdiri tegak dengan hukum.

Tidak ada kompromi untuk premanisme. Apalagi jika premanisme itu dibungkus baju ormas. Tidak ada ruang untuk kekerasan yang dilabeli perjuangan. Tidak ada tempat untuk tirani jalanan dalam negara hukum.

Semoga keberanian yang dulu dipakai untuk membubarkan ormas agama, bisa juga dipakai untuk membereskan ormas yang justru membuat rakyat takut di negeri sendiri.

Kadang senja datang bukan membawa ketenangan, tapi semacam kegelisahan yang diam-diam mengetuk dada. Seorang laki-laki, yang sudah cukup dewasa untuk paham bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang kehilangan, duduk diam menatap langit yang mulai beranjak gelap. Tidak ada musik, tidak ada suara televisi, hanya sunyi yang menggema di kepala. Sunyi yang bentuknya bukan cuma sepi, tapi semacam rasa ditinggal oleh dirinya sendiri. Yang tersisa hanya tubuh, tapi jiwa seolah sedang berjalan pulang ke masa kecil yang jauh.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Ada masa ketika ia bisa tertawa hanya karena temannya terpeleset di pematang sawah. Masa di mana hujan bukan musuh, melainkan sahabat. Dulu, bermain hujan-hujanan di sawah adalah puncak kegembiraan. Basah kuyup, menggigil, lalu pulang dan dimarahi ibu karena baju penuh lumpur. Tapi setelah itu, disuguhkan tempe bakar buatan ayah yang terasa seperti hidangan raja. Tak ada restoran di dunia yang bisa menyaingi nikmatnya makan sambil berselimut sarung, usai bermain hujan dan dimarahi dengan cinta.

Kini, segalanya berbeda. Hujan hanya berarti kemacetan, banjir, atau janji yang tertunda. Tak ada lagi sawah, tak ada lagi alasan untuk berlari tanpa tujuan. Hujan tak lagi menyegarkan, malah menambah sesak hati yang sudah penuh beban. Dunia orang dewasa memang kejam, bukan karena dendam, tapi karena terlalu sunyi.

Menjadi dewasa berarti harus pandai berakting. Tersenyum ketika ingin menangis, menyapa ketika ingin menghindar, dan berteman dengan orang-orang yang sebenarnya tak pernah peduli. Persahabatan berubah jadi transaksi. Ada yang datang hanya saat butuh, pergi ketika tak berguna lagi. Ia lelah dengan kepalsuan itu, tapi tak punya pilihan lain. Dunia kerja, dunia sosial, semua menuntut topeng yang harus terus dipakai.

Di desa dulu, semua orang tahu nama semua orang. Sore-sore dihabiskan dengan memancing di sungai, menyusuri aliran air sambil bercanda dan menertawakan nasib ikan yang kurang beruntung. Seusai itu, mandi di sungai, bermain air sampai kulit keriput, lalu pulang dengan baju setengah kering dan hati yang penuh. Tak pernah ada hari yang terasa hampa.

Waktu kini jadi musuh yang tak terlihat. Setiap detiknya adalah peringatan bahwa tubuh tak sekuat dulu. Punggung yang mudah pegal, mata yang cepat lelah, dan kepala yang mulai sulit mengingat nama-nama kecil di masa lalu. Penyakit datang satu per satu seperti tamu tak diundang. Kolesterol, maag, kadang cemas yang datang tanpa sebab. Semua itu bukan hanya menyiksa tubuh, tapi juga menggerus semangat.

Pernah satu malam, ia mendengar suara tawa dari luar jendela. Beberapa anak kecil sedang bermain petak umpet. Ia tak tahu siapa mereka, tapi suara tawa itu menampar kenangannya. Begitulah dulu dirinya. Menyatu dengan malam, bermain tanpa takut esok harus bangun pagi. Kini, ia bahkan takut tidur karena mimpi sering mengembalikan luka-luka lama.

Ada rasa iri yang pelan-pelan tumbuh saat melihat anak-anak. Iri karena mereka belum tahu bahwa dunia dewasa adalah ladang duri. Iri karena mereka bisa tertawa tanpa alasan, marah tanpa dendam, dan lupa tanpa beban. Ia mencoba meniru mereka, ikut tertawa, tapi yang keluar hanya senyum yang dipaksakan.

Di rumahnya ada satu kardus penuh benda-benda lama: yoyo, gambar tempel, beberapa mainan plastik dari pasar malam. Ia tak pernah membuka kardus itu lagi, karena takut akan banjir kenangan yang tak bisa ia bendung. Kadang, benda kecil menyimpan luka besar.

Suatu sore ia duduk di taman dan melihat seorang ayah menyuapi anaknya. Tempe goreng, sambal, dan nasi hangat. Sederhana, tapi pemandangan itu membuat matanya panas. Ia ingat betul bagaimana ayahnya dulu memasak dengan alat seadanya. Makanan ayahnya bukan sekadar pengisi perut, tapi penanda bahwa rumah itu masih hangat, bahwa ada cinta yang bisa disantap.

Ada hari-hari tertentu ketika tubuhnya menolak bangun dari tempat tidur. Bukan karena sakit, tapi karena lelah yang terlalu dalam. Lelah yang bukan soal pekerjaan, tapi karena terlalu lama berpura-pura. Lelah menjadi orang dewasa yang harus kuat, yang harus mandiri, yang tak boleh merengek.

Tak jarang ia bertanya pada dirinya sendiri: untuk apa semua ini? Gaji bulanan, cicilan kredit, tanggung jawab sosial. Apa semua ini layak ditukar dengan kenangan bermain kelereng di tanah lapang? Jawabannya selalu menggantung, tak pernah benar-benar jelas.

Kalau boleh memilih, ia ingin sehari saja kembali ke masa kecil. Cukup sehari, untuk bermain, berlarian, dan tertawa lepas. Tak perlu gawai, tak perlu media sosial. Hanya dirinya, teman-temannya, dan lapangan luas tempat mereka membangun dunia khayal.

Sahabat sejatinya dulu adalah orang-orang yang kini entah di mana. Ada yang jadi guru, ada yang merantau, ada pula yang sudah tiada. Tak ada grup WhatsApp, tak ada reuni, hanya ingatan yang mulai kabur tapi masih hangat di hati.

Ia sempat mencoba menuliskan semua ini. Bukan untuk dijual, bukan untuk dibaca orang, tapi sebagai cara untuk tetap waras. Tulisan itu ia simpan dalam folder bernama "Pulang". Karena ia tahu, tiap kata adalah langkah kecil untuk kembali ke dirinya yang dulu.

Pagi hari selalu terasa kosong. Matahari terbit tanpa sambutan, kopi diseduh tanpa percakapan. Kadang ia membuka jendela, berharap ada sesuatu yang datang. Tapi yang datang hanya angin, membawa dingin dan kenangan yang samar.

Ia mencoba berdamai dengan kesendirian, meski sesekali tubuhnya menolak. Ada malam-malam di mana ia hanya ingin dipeluk. Bukan oleh kekasih, tapi oleh seseorang yang mengerti bahwa menjadi dewasa artinya kehilangan tempat pulang.

Sampai pada titik tertentu, ia menyadari: tak ada yang benar-benar bisa ia kembalikan. Masa kecil sudah usai, dan kenangan hanya bisa disimpan, bukan diulang. Tapi ia bisa belajar mencintai hidup hari ini, dengan cara yang sama seperti ia mencintai masa lalunya.

Perlahan, ia mulai menemukan momen kecil yang membuatnya tersenyum. Seorang anak yang memanggilnya "Om" lalu tertawa, seekor kucing yang tidur di teras, atau senja yang warnanya mirip sore di kampung dulu. Hidup memang tak bisa diulang, tapi bisa ditenun kembali dengan benang kenangan.

Jika ada yang ia sesali, mungkin hanya satu: dulu terlalu cepat ingin dewasa. Terlalu cepat ingin bebas, padahal kebebasan ternyata punya harganya sendiri. Kini ia tahu, masa kecil bukan tempat tinggal, tapi tempat pulang.

Dan malam ini, sebelum tidur, ia berdoa pelan. Bukan minta kaya, bukan minta terkenal, tapi minta agar esok bisa tertawa seperti anak kecil lagi. Sekali saja. Tanpa beban. Tanpa alasan. Karena kadang, satu tawa cukup untuk menghidupkan kembali seseorang yang hampir mati di dalam.

Praktik kementerian teknis mendirikan dan mengelola perguruan tinggi sendiri telah menjelma menjadi fenomena sistemik yang secara diametral bertentangan dengan prinsip pengelolaan pendidikan tinggi yang terintegrasi. Dalam konstruksi ideal sistem pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) seharusnya menjadi garda terdepan dan satu-satunya otoritas pengelola pendidikan tinggi. Namun realitas yang terjadi justru menunjukkan wajah buram fragmentasi pendidikan, di mana setidaknya 20 kementerian/lembaga non-pendidikan - berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 - dengan leluasa mengoperasikan 179 perguruan tinggi secara tersebar dan tidak terkoordinasi.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan inefisiensi sistemik, tetapi juga melahirkan paradoks dalam pembangunan sumber daya manusia. Di satu sisi, pemerintah gencar mendorong program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang mengedepankan fleksibilitas dan kolaborasi multidisiplin. Di sisi lain, praktik kementerian teknis yang mengelola perguruan tinggi sendiri justru menciptakan sekat-sekat disipliner yang kaku dan sempit. Lulusan yang dihasilkan seringkali terkungkung dalam paradigma sektoral sempit, kurang mampu beradaptasi dengan dinamika pasar kerja yang semakin kompleks dan interdependen.

Distribusi perguruan tinggi antar kementerian menunjukkan pola yang timpang dan tidak proporsional. Kementerian Kesehatan dengan 37 perguruan tinggi, Kementerian Perindustrian (18), Pertanian (12), Kelautan dan Perikanan (11), hingga Perhubungan (11) - semua menunjukkan betapa ego sektoral telah mengalahkan pertimbangan pedagogis yang lebih holistik. Yang lebih memprihatinkan, lembaga-lembaga dengan domain sangat spesifik seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hingga Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pun merasa perlu memiliki perguruan tinggi sendiri. Pertanyaan mendasarnya: apakah pembangunan perguruan tinggi oleh kementerian teknis ini benar-benar dilandasi kebutuhan pembangunan SDM, atau sekadar menjadi proyek prestisius dan alat memperbesar anggaran?

Motif pendirian perguruan tinggi oleh kementerian teknis perlu dikritisi secara mendalam. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang menjadi pendorong: pertama, alokasi anggaran khusus yang tidak kecil; kedua, kendali penuh atas kurikulum dan sistem rekrutmen; ketiga, citra sebagai pembangun SDM unggul. Namun ironisnya, di balik gembar-gembor pembangunan SDM spesifik tersebut, banyak dari institusi ini justru memiliki kualitas yang jauh di bawah standar perguruan tinggi negeri. Data akreditasi tahun 2021 menunjukkan 60% perguruan tinggi kementerian berada di peringkat B dan di bawahnya dalam penilaian BAN-PT.

Ilustrasi Pendidikan Tinggi (Gambar : GeneratedAI)

Masalah inefisiensi sistemik terlihat nyata dalam duplikasi program studi yang tidak perlu. Ambil contoh Politeknik Penerbangan Indonesia di bawah Kementerian Perhubungan dan Program Studi Teknik Penerbangan di Institut Teknologi Bandung (ITB). Keduanya menghasilkan lulusan dengan kompetensi serupa, namun dengan biaya dan kualitas yang berbeda signifikan. Biaya pendidikan per mahasiswa di politeknik kementerian ternyata 40-60% lebih tinggi dibanding PTN, sementara tingkat serapan lulusannya di pasar kerja justru lebih rendah 20-30%. Ini menunjukkan betapa model pengelolaan yang terfragmentasi telah menciptakan pemborosan sumber daya yang tidak kecil.

Kualitas lulusan juga menjadi persoalan serius. Survei pada tahun 2023 menunjukkan 72% lulusan politeknik Kementerian Perhubungan bekerja di lingkungan Kemenhub sendiri, sementara hanya 15% yang mampu bersaing di pasar kerja yang lebih luas. Ini mencerminkan kompetensi sempit yang tidak sesuai dengan kebutuhan era disrupsi, di mana fleksibilitas dan kemampuan adaptasi menjadi kunci utama.

Persoalan kurikulum di perguruan tinggi kementerian juga patut mendapat sorotan kritis. Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa 70% sekolah kedinasan masih menggunakan modul pembelajaran yang sama selama 10-15 tahun terakhir. Padahal, laporan Bank Dunia (2021) memproyeksikan bahwa 65% pekerjaan di masa depan akan membutuhkan keterampilan baru yang belum diajarkan dalam kurikulum-kurikulum lama tersebut. Ketertinggalan ini semakin memperlebar kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan industri.

Tata kelola perguruan tinggi kementerian juga menunjukkan banyak kelemahan struktural. Audit pada tahun 2022 mengungkap bahwa 45% anggaran digunakan untuk belanja pegawai, sementara hanya 20% yang dialokasikan untuk pengembangan akademik. Rasio dosen-mahasiswa yang mencapai 1:47 juga jauh di bawah standar SN-Dikti yang menetapkan 1:25. Ini menunjukkan salah urus dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Di tengah kompleksitas masalah ini, kita bisa belajar dari praktik baik di Taiwan. Laporan Ministry of Education Taiwan (2021) menunjukkan bagaimana Universitas Kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan, sementara kepolisian hanya memberikan masukan kurikulum. Hasilnya, lulusannya diakui secara nasional dan memiliki fleksibilitas untuk bekerja di berbagai sektor. Model ini membuktikan bahwa spesialisasi tidak harus berarti pengkotak-kotakan.

Solusi mendesak yang diperlukan adalah konsolidasi sistemik dengan pendekatan bertahap namun pasti. Pertama, pengalihan seluruh perguruan tinggi kementerian ke bawah Kemendiktisaintek dengan tetap melibatkan kementerian teknis sebagai stakeholder kurikulum. Kedua, merger institusi sejenis - misalnya dengan menggabungkan 11 politeknik Kementerian Perhubungan menjadi 3-4 politeknik unggulan. Ketiga, penghapusan bertahap perguruan tinggi yang tidak memenuhi standar melalui integrasi dengan perguruan tinggi negeri terdekat.

Reformasi sistem rekrutmen juga menjadi krusial. Sistem seleksi harus benar-benar transparan dan berbasis meritokrasi murni, bukan "warisan jabatan" yang selama ini terjadi. Penerapan kuota minimal 40% untuk mahasiswa dari keluarga kurang mampu - sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 6 Tahun 2021 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru - bisa menjadi langkah awal memutus siklus feodalisme pendidikan.

Pada level kebijakan, revisi UU Pendidikan Tinggi diperlukan untuk mempertegas otoritas Kemendiktisaintek. Kementerian teknis seharusnya berperan sebagai "pemangku kepentingan" yang memberikan masukan kebutuhan sektoral, bukan sebagai operator pendidikan. Model kolaborasi seperti di Belanda patut diadopsi, di mana akademi kepolisian tetap berada di bawah kementerian pendidikan tetapi kurikulumnya dirancang bersama kepolisian.

Dari sisi anggaran, konsolidasi dana pendidikan akan menciptakan efisiensi yang signifikan. Alih-alih tersebar di 179 perguruan tinggi kementerian, anggaran bisa dipusatkan untuk meningkatkan kualitas 50-60 perguruan tinggi negeri/swasta unggulan. Pengalaman integrasi 7 akademi pemerintah ke perguruan tinggi negeri pada tahun 2002 telah membuktikan hasil positif: dalam 5 tahun, akreditasinya naik dari B ke A.

Penguatan sistem sertifikasi kompetensi nasional juga menjadi keharusan. Daripada mengandalkan ijazah kedinasan yang bernuansa sektoral, lebih baik mengembangkan standar kompetensi nasional yang diakui semua sektor. Model pendidikan vokasi Jerman melalui sistem "dual education" bisa menjadi inspirasi dalam membangun mekanisme pengakuan kompetensi yang lebih fleksibel.

Pembenahan tata kelola menjadi prasyarat mutlak untuk mewujudkan transformasi ini. Rekomendasi OECD (2020) tentang perlunya badan independen yang mengawasi standar pendidikan tinggi secara nasional patut dipertimbangkan. Badan ini harus memiliki kewenangan penuh untuk mengevaluasi dan menertibkan perguruan tinggi, terlepas dari kementerian pembinanya.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk melakukan reformasi struktural yang mendalam. Pendidikan tinggi adalah investasi strategis bangsa yang terlalu penting untuk dikotak-kotakkan oleh ego sektoral dan kepentingan jangka pendek. Dengan sistem yang terintegrasi, berkeadilan, dan berorientasi pada kebutuhan masa depan, Indonesia dapat menghasilkan sumber daya manusia unggul yang tidak hanya menguasai bidang spesifik, tetapi juga memiliki wawasan holistik dan kemampuan adaptasi tinggi. Inilah tantangan besar yang harus kita jawab bersama jika ingin pendidikan tinggi Indonesia benar-benar menjadi lokomotif kemajuan bangsa.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • RAPOR TANPA MERAH DAN SEKOLAH TANPA LUKA
  • TEOLOGI UANG DAN BIDANG ILMU EKONOMI SPIRITUAL
  • ENGGANO DI UJUNG TANDUK
  • MENCARI GUS DAN GUYONAN SAMPAH DI MUHAMMADIYAH

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar