Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Sebagai penguji skripsi, mereka melakukan penilaian menyeluruh melalui pendekatan bertahap. Proses evaluasi dimulai dengan memeriksa elemen-elemen kunci yang menjadi indikator awal kualitas sebuah karya ilmiah. Berikut penjabaran mendetail mengenai aspek-aspek yang menjadi fokus penilaian:

1. Kelengkapan dan Kualitas Referensi

Daftar referensi merupakan cerminan dari kedalaman studi literatur yang dilakukan penulis. Penguji akan melihat apakah sumber-sumber yang digunakan mencakup karya-karya fundamental dalam bidang ilmu terkait. Referensi yang baik tidak hanya terbatas pada textbook, tetapi juga meliputi jurnal ilmiah terkini dan sumber-sumber primer lainnya. Keseimbangan antara sumber klasik dan kontemporer menjadi indikator bahwa penulis telah melakukan tinjauan literatur yang komprehensif.

Ilustrasi (Gambar : GeneratedAI)

Aspek teknis penyusunan referensi juga mendapat perhatian khusus. Konsistensi dalam format penulisan menunjukkan kedisiplinan akademik penulis. Penguji akan memeriksa apakah seluruh sitasi dalam teks sesuai dengan daftar referensi, serta apakah format penulisan mengikuti pedoman yang berlaku. Kesalahan dalam penulisan referensi seringkali mengindikasikan kelalaian dalam aspek-aspek lain yang lebih substantif.

Kualitas referensi juga dinilai dari relevansi dan otoritas sumber yang digunakan. Penguji akan memperhatikan apakah referensi yang dipilih benar-benar mendukung argumen dalam skripsi, atau sekadar menjadi hiasan belaka. Dominasi sumber-sumber sekunder yang tidak akademis, atau ketergantungan berlebihan pada satu dua sumber saja, dapat mengurangi kredibilitas karya ilmiah tersebut.

2. Presisi dan Relevansi Judul

Judul skripsi merupakan gerbang pertama yang membuka pemahaman terhadap keseluruhan penelitian. Sebuah judul yang baik harus mampu menggambarkan esensi penelitian secara tepat tanpa menjadi terlalu umum atau terlalu sempit. Penguji akan menilai apakah judul sudah mencerminkan variabel-variabel kunci yang diteliti serta konteks penelitian yang spesifik.

Kesesuaian antara judul dengan konten penelitian menjadi fokus evaluasi berikutnya. Tidak jarang ditemukan ketidakselarasan antara judul yang terlalu ambisius dengan pembahasan yang sebenarnya lebih terbatas. Judul yang ideal harus mampu menjadi "janji akademik" yang kemudian ditepati dalam pembahasan di seluruh bab skripsi.

Aspek kebaruan dan orisinalitas juga tercermin dalam pemilihan judul. Penguji akan melihat apakah judul sudah menunjukkan kontribusi unik dari penelitian tersebut terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Judul yang hanya mengulang penelitian-penelitian sebelumnya tanpa menawarkan perspektif baru cenderung kurang menarik secara akademik.

3. Kematangan Penyajian Abstrak

Abstrak yang baik berfungsi sebagai peta miniatur yang menggambarkan lanskap keseluruhan penelitian. Penguji akan mengevaluasi apakah abstrak sudah mencakup elemen-elemen penting seperti latar belakang, tujuan, metode, temuan, dan implikasi penelitian. Kelengkapan unsur-unsur ini menunjukkan kedewasaan penulis dalam menyajikan karya ilmiah.

Kejelasan ekspresi dan presisi bahasa dalam abstrak menjadi indikator kualitas berikutnya. Abstrak yang ditulis dengan kalimat-kalimat panjang dan berbelit-belit seringkali menyulitkan pemahaman. Sebaliknya, penyajian yang ringkas namun padat makna menunjukkan kemampuan penulis dalam mengkomunikasikan ide-ide kompleks secara efektif.

Konsistensi antara abstrak dengan isi skripsi merupakan aspek krusial yang selalu diperiksa. Tidak jarang ditemukan ketidaksesuaian antara klaim dalam abstrak dengan pembahasan mendetail di bab-bab berikutnya. Abstrak yang akurat harus mampu menjadi preview yang jujur terhadap keseluruhan isi skripsi.

4. Konsistensi Struktur dan Organisasi

Struktur skripsi yang terorganisir dengan baik memudahkan pembaca memahami alur pemikiran penulis. Penguji akan memeriksa apakah urutan bab dan subbab menunjukkan logika penelitian yang jelas, mulai dari perumusan masalah, landasan teori, metodologi, analisis, hingga simpulan. Jika struktur terlihat acak atau tidak sistematis, hal ini dapat mengindikasikan kelemahan dalam perencanaan penelitian.  

Selain kerangka besar, penguji juga memperhatikan konsistensi format penulisan. Apakah penomoran bab, subbab, dan gambar/tabel mengikuti pedoman yang berlaku? Apakah terdapat ketidakseragaman dalam penulisan heading, margin, atau spacing? Kesalahan kecil dalam format sering kali mencerminkan ketidaktelitian yang mungkin juga terjadi dalam analisis konten.  

Keseimbangan pembahasan antar-bab juga menjadi pertimbangan penting. Bab metodologi yang terlalu panjang tetapi analisis data yang dangkal, misalnya, menunjukkan ketimpangan dalam pengerjaan skripsi. Struktur yang ideal harus mencerminkan pembagian porsi yang proporsional sesuai bobot masing-masing komponen penelitian.  

5. Ketajaman Rumusan Masalah

Pertanyaan penelitian yang tajam dan terfokus menjadi tulang punggung sebuah skripsi. Penguji akan menilai apakah pertanyaan yang diajukan benar-benar muncul dari celah (gap) dalam literatur, bukan sekadar mengulang studi sebelumnya. Pertanyaan yang terlalu luas (misalnya, "Bagaimana pengaruh media sosial?") menunjukkan kurangnya kedalaman, sementara pertanyaan yang terlalu sempit dapat membatasi ruang analisis.  

Selain itu, penguji memeriksa kesesuaian antara pertanyaan penelitian dengan metode yang digunakan. Apakah pertanyaan bersifat kualitatif tetapi dijawab dengan survei kuantitatif? Apakah pertanyaan tentang "mengapa" hanya dijawab dengan deskripsi "apa"? Inkonsistensi semacam ini mengindikasikan kelemahan konseptual yang serius.  

Terakhir, pertanyaan penelitian harus mengarah pada temuan yang bermakna. Jika pertanyaan terlalu dangkal atau jawabannya sudah dapat diprediksi dari awal, skripsi tersebut kehilangan nilai akademisnya. Pertanyaan yang baik harus memicu eksplorasi mendalam dan memberikan kontribusi baru bagi bidang ilmu.  

6. Kekokohan Landasan Teoretis  

Kerangka teoretis berfungsi sebagai fondasi yang memperkuat bangunan argumen dalam skripsi. Penguji akan mengevaluasi apakah teori yang dipilih relevan dengan masalah penelitian dan apakah penulis benar-benar memahami konsep-konsep kunci. Penggunaan teori yang asal-asalan hanya untuk memenuhi syarat formalitas akan mudah terdeteksi.  

Visualisasi hubungan antar-variabel dalam model teoretis juga menjadi sorotan. Diagram yang tidak jelas, rancu, atau tidak sesuai dengan penjelasan tekstual menunjukkan kelemahan dalam perumusan konsep. Sebaliknya, kerangka yang dirancang dengan baik membantu pembaca memahami logika penelitian secara intuitif. 

Penguji juga melihat orisinalitas penerapan teori. Apakah penulis hanya menyalin mentah-mentah model dari literatur, atau mengembangkannya sesuai konteks penelitian? Skripsi yang berkualitas tidak hanya mengadopsi teori, tetapi juga menyesuaikan, mengkritik, atau bahkan mengusulkan modifikasi berdasarkan temuan empiris.  

7. Transparansi Proses Penelitian  

Lampiran yang lengkap dan terorganisir mencerminkan transparansi dalam pelaksanaan penelitian. Penguji akan memeriksa kelengkapan instrumen seperti kuesioner, panduan wawancara, atau lembar observasi. Jika data mentah tidak disertakan, sulit untuk mengevaluasi validitas analisis yang dilakukan.  

Konsistensi antara lampiran dan bab metodologi juga menjadi fokus penilaian. Apakah prosedur pengumpulan data yang dijelaskan dalam bab metode benar-benar tercermin dalam instrumen yang dilampirkan? Ketidaksesuaian di sini dapat menimbulkan keraguan terhadap keandalan seluruh penelitian.  

Terakhir, penguji memperhatikan etika penelitian yang tercermin dalam lampiran. Apakah terdapat bukti persetujuan etik (jika diperlukan), surat izin penelitian, atau pernyataan kerahasiaan informan? Kelalaian dalam dokumentasi etis dapat menjadi masalah serius, terutama untuk penelitian yang melibatkan subjek manusia.  

***

Proses penilaian skripsi tidak hanya menguji hasil akhir, tetapi juga merekonstruksi seluruh perjalanan penelitian. Dengan memeriksa ketujuh aspek di atas secara kritis, penguji dapat menentukan apakah skripsi tersebut memenuhi standar akademik sekaligus memberikan umpan balik yang membangun bagi perkembangan keilmuan penulis.

____________________

* Tulisan ini disadur dari SINI

Masyarakat Indonesia memiliki tradisi hajatan yang mengakar kuat dalam budaya. Mulai dari pernikahan, khitanan, hingga syukuran, acara-acara ini menjadi wujud syukur sekaligus ajang silaturahmi. Namun, di balik kemeriahannya, tersembunyi masalah serius yang sering diabaikan—pemborosan makanan dalam skala masif. Kita mungkin sudah terlalu biasa melihat tumpukan nasi dan lauk pauk terbuang percuma di meja makan atau bawah kursi, seolah itu adalah hal yang wajar. Padahal, setiap sendok makanan yang terbuang menyimpan konsekuensi ekologis dan sosial yang jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.

Pernah suatu kali saya menghadiri resepsi pernikahan di sebuah gedung mewah. Saat acara usai, pemandangan yang terlihat justru membuat miris—ratusan piring berisi makanan setengah termakan berjejalan di atas meja, beberapa bahkan masih utuh. Yang lebih mengherankan, hidangan tersebut sama sekali tidak berkualitas buruk. Rasanya enak, tampilannya menarik, dan baunya segar. Lalu mengapa bisa terbuang begitu saja? Ternyata masalahnya bukan pada makanannya, melainkan pada kebiasaan kita yang sudah terbentuk selama puluhan tahun.
Ilustrasi Sampah di Hajatan (Gambar: AI Generated)

Dari sudut pandang sosiologis, fenomena ini merupakan cerminan dari budaya konsumsi yang terdistorsi. Dalam banyak hajatan, terutama di perkotaan, tersedia prasmanan dengan berbagai pilihan menu. Tamu cenderung mengambil banyak makanan sekaligus, mencicipi sedikit, lalu meninggalkan sisanya. Ini terjadi karena beberapa faktor: keinginan mencoba semua menu, anggapan bahwa mengambil banyak adalah bentuk penghormatan, atau sekadar ikut-ikutan karena melihat orang lain melakukannya. Tanpa disadari, kebiasaan kecil ini berdampak besar ketika dilakukan secara massal.

Bayangkan dalam satu hajatan dengan 500 tamu. Jika setiap orang menyisakan 100 gram makanan, berarti ada 50 kg makanan terbuang dalam satu acara saja. Itu setara dengan porsi makan 100 orang dewasa. Dalam setahun, berapa ton makanan terbuang dari hajatan-hajatan serupa? Padahal di sisi lain, masih banyak masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan harian. Ironi ini menunjukkan bahwa kita telah memisahkan tradisi dari tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Limbah makanan bukan sekadar masalah moral, tetapi juga masalah ekologis serius. Makanan yang terbuang dan berakhir di TPA akan terurai menjadi metana—gas rumah kaca yang 25 kali lebih berbahaya daripada CO2. Proses produksi makanan itu sendiri sudah menyedot sumber daya besar: air untuk menanam padi, energi untuk transportasi, dan tenaga kerja. Ketika makanan terbuang, semua sumber daya itu ikut terbuang percuma.

Budaya "makan sekenanya" di hajatan juga berkaitan dengan konsep gengsi. Dalam banyak kasus, tuan rumah sengaja menyediakan makanan berlebih sebagai simbol kemakmuran. Tamu yang mengambil banyak makanan dianggap sebagai bentuk apresiasi. Sebaliknya, jika makanan habis tepat, ada kekhawatiran dianggap pelit. Pola pikir seperti ini perlu diubah secara bertahap melalui kesadaran bahwa kemewahan sejati terletak pada efisiensi dan tanggung jawab, bukan pada pemborosan.

Merancang hajatan ramah lingkungan sebenarnya tidak sulit. Langkah pertama bisa dimulai dari perencanaan menu. Alih-alih menyajikan 10 jenis makanan yang akhirnya tidak habis, lebih baik memilih 5-6 menu favorit dengan kualitas terbaik. Survei kecil sebelum acara bisa membantu mengetahui preferensi tamu. Dengan begitu, makanan yang disajikan benar-benar akan dinikmati, bukan sekadar menjadi hiasan meja.

Sistem penyajian juga mempengaruhi jumlah limbah. Prasmanan cenderung memicu tamu mengambil berlebihan. Sebagai alternatif, bisa diterapkan sistem plate service dimana porsi sudah diatur sesuai standar. Atau jika tetap ingin prasmanan, gunakan piring kecil yang mendorong tamu untuk mengambil secukupnya dulu, baru kembali jika masih ingin tambah.

Pemilihan bahan makanan lokal dan musiman adalah strategi lain yang patut dipertimbangkan. Beras organik dari petani setempat, sayuran dari pasar tradisional, atau buah-buahan musiman tidak hanya lebih segar tetapi juga memiliki jejak karbon lebih rendah dibanding bahan impor. Pendekatan ini sekaligus mendukung perekonomian lokal dan mengurangi ketergantungan pada rantai pasok global yang rentan gangguan.

Penggunaan peralatan makan sekali pakai memang praktis, tapi menjadi bencana lingkungan. Styrofoam butuh 500 tahun untuk terurai, sedangkan sedotan plastik sering berakhir di laut. Solusinya, beralih ke peralatan yang bisa dicuci ulang atau bahan alami seperti daun pisang untuk bungkus nasi, batang bambu untuk gelas, atau aren untuk sedotan. Meski sedikit lebih repot, dampaknya sangat signifikan bagi lingkungan.

Dekorasi acara juga bisa dirancang dengan prinsip ramah lingkungan. Alih-alih bunga potong yang cepat layu, tanaman hidup dalam pot bisa menjadi alternatif yang setelah acara bisa ditanam kembali. Ornamen dari bahan daur ulang seperti kertas atau kain perca justru bisa menambah nilai estetika sekaligus mengurangi sampah.

Masalah transportasi tamu sering luput dari perhatian. Hajatan di pusat kota yang mudah dijangkau transportasi umum akan mengurangi emisi karbon dibandingkan di lokasi terpencil yang mengharuskan tamu menggunakan kendaraan pribadi. Jika memungkinkan, penyelenggara bisa menyediakan shuttle bus untuk mengangkut tamu secara massal.

Teknologi bisa dimanfaatkan untuk mengurangi limbah kertas. Undangan digital melalui WhatsApp atau email tidak kalah efektif dibanding undangan fisik. Jika harus mencetak, pilih kertas daur ulang dengan tinta ramah lingkungan. Buku tamu elektronik juga bisa menggantikan buku konvensional yang biasanya hanya menjadi tumpukan arsip.

Pendidikan tamu tentang pentingnya menghargai makanan bisa dilakukan dengan cara kreatif. Misalnya, memasang tanda kecil di meja makan bertuliskan "Ambil secukupnya, habiskan yang ada" atau "Makanan terbuang = Sumber daya terbuang". Pesan-pesan ini jika disampaikan dengan baik bisa membangkitkan kesadaran tanpa terkesan menggurui.

Untuk makanan sisa yang masih layak konsumsi, kerja sama dengan bank makanan atau lembaga sosial bisa menjadi solusi. Beberapa organisasi seperti Foodbank of Indonesia atau Garda Pangan siap menyalurkan kelebihan makanan dari hajatan kepada yang membutuhkan. Ini membutuhkan koordinasi sebelumnya agar proses pengambilan dan distribusi bisa berjalan lancar.

Kompos menjadi pilihan terakhir untuk sisa makanan yang memang tidak layak dikonsumsi manusia. Daripada dibuang ke TPA, sisa organik bisa diolah menjadi pupuk untuk tanaman. Beberapa vendor jasa catering kini sudah menyediakan layanan pengolahan sampah organik sebagai bagian dari paket mereka.

Dari sisi ekonomi, hajatan ramah lingkungan justru bisa lebih efisien. Dana yang biasanya terbuang untuk makanan berlebih bisa dialihkan untuk meningkatkan kualitas hidangan atau elemen lain yang lebih bermakna. Investasi pada peralatan makan yang bisa dipakai ulang juga lebih hemat dalam jangka panjang dibanding terus membeli yang sekali pakai.

Perubahan perilaku tamu memang tidak bisa instan. Butuh proses untuk menggeser kebiasaan lama menuju kesadaran baru. Peran tokoh masyarakat dan publik figur bisa menjadi katalis. Ketika seorang selebriti atau pemuka agama menyelenggarakan hajatan ramah lingkungan, hal itu akan menjadi contoh yang diikuti banyak orang.

Industri penyelenggara acara juga perlu beradaptasi. Vendor catering, dekorasi, dan venue hajatan bisa menawarkan paket-paket ramah lingkungan sebagai nilai tambah. Permintaan pasar yang semakin sadar lingkungan akan mendorong transformasi ini terjadi secara alami.

Pemerintah bisa berperan melalui regulasi dan insentif. Misalnya dengan memberikan penghargaan bagi penyelenggara hajatan ramah lingkungan atau membuat aturan tentang pembatasan sampah makanan di acara-acara besar. Kampanye publik tentang dampak limbah makanan juga perlu digencarkan.

Di tingkat komunitas, bisa dikembangkan model "hajatan berbagi" dimana sebagian dana yang biasanya untuk pesta dialihkan untuk program sosial. Misalnya, menyisihkan 10% anggaran untuk membeli paket sembako bagi keluarga kurang mampu. Cara ini membuat hajatan tidak hanya bermakna bagi tuan rumah, tetapi juga bagi masyarakat sekitar.

Pergeseran nilai dalam masyarakat tentang makna kemewahan perlu terus digaungkan. Kemewahan sejati di era sekarang bukan lagi terletak pada banyaknya makanan yang terbuang, tetapi pada seberapa bijak kita mengelola sumber daya. Hajatan mewah masa depan adalah yang mampu memadukan elegan dengan tanggung jawab ekologis.

Budaya "balas dendam" dalam menghadiri hajatan juga perlu dikikis. Banyak orang merasa harus "balas budi" dengan mengambil makanan sebanyak-banyaknya karena merasa telah memberi amplop. Padahal, esensi silaturahmi seharusnya terletak pada kehadiran dan doa, bukan pada transaksi materi.

Pendekatan agama bisa menjadi pintu masuk efektif untuk perubahan. Semua agama mengajarkan untuk tidak berlebihan dan menyia-nyiakan rezeki. Ayat-ayat kitab suci atau hadis tentang larangan mubazir bisa diintegrasikan dalam konsep hajatan tanpa mengurangi makna syukuran.

Generasi muda memiliki peran krusial sebagai agen perubahan. Mereka yang lebih melek teknologi dan isu lingkungan bisa menciptakan tren baru hajatan minimalis namun bermakna. Media sosial menjadi alat ampuh untuk menyebarkan konsep-konsep hajatan berkelanjutan dengan cara yang kreatif.

Inovasi dalam penyajian makanan juga patut dicoba. Konsep "small bites" dengan porsi kecil tapi bervariasi bisa memenuhi keinginan tamu mencoba berbagai rasa tanpa menghasilkan banyak sisa. Food station interaktif dimana makanan disiapkan sesuai permintaan juga mengurangi kemungkinan terbuang.

Pengalaman menghadiri hajatan ramah lingkungan seharusnya justru lebih berkesan. Tamu akan mengingat acara yang tidak hanya meriah, tetapi juga memiliki nilai-nilai baik yang diusung. Ini berbeda dengan hajatan konvensional yang seringkali hanya menjadi rutinitas belaka.

Evaluasi pasca acara penting untuk perbaikan terus menerus. Tuan rumah bisa mencatat berapa banyak makanan yang benar-benar dikonsumsi versus yang terbuang. Data ini menjadi bahan pembelajaran untuk acara berikutnya atau bisa dibagikan sebagai referensi bagi orang lain.

Perubahan iklim dan krisis pangan global seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Tradisi hajatan yang awalnya bertujuan baik tidak boleh menjadi kontributor masalah lingkungan. Justru sebaliknya, hajatan bisa menjadi medium edukasi dan aksi nyata untuk keberlanjutan.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Setiap hajatan yang diselenggarakan dengan prinsip ramah lingkungan, sekecil apapun, adalah kontribusi nyata bagi bumi. Ketika semakin banyak orang melakukan hal serupa, dampak kolektifnya akan sangat signifikan.

Pada akhirnya, hajatan ramah lingkungan bukan tentang menyalahkan tradisi yang ada, tetapi tentang menyelaraskannya dengan tantangan zaman. Kita bisa tetap mempertahankan nilai-nilai silaturahmi dan syukuran, sambil mengadopsi praktik-praktik yang lebih bertanggung jawab.

Mari bayangkan masa depan dimana hajatan tidak lagi identik dengan pemborosan, tetapi menjadi contoh praktik berkelanjutan dalam masyarakat. Dimana setiap undangan yang hadir tidak hanya membawa doa, tetapi juga kesadaran untuk turut menjaga bumi melalui pilihan-pilihan kecil di meja makan.

Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Mulailah dari hajatan Anda berikutnya. Diskusikan dengan keluarga tentang bagaimana membuat acara yang bermakna tanpa membebani lingkungan. Ajak vendor dan tamu untuk bersama-sama mewujudkannya.

Hajatan ramah lingkungan bukanlah mimpi. Ia adalah keniscayaan yang harus kita wujudkan bersama. Karena menjaga bumi bisa—dan harus—dimulai dari meja makan kita sendiri. Dari pilihan untuk mengambil secukupnya, menghabiskan yang ada, dan memastikan tidak ada yang terbuang sia-sia.

Inilah esensi sebenarnya dari tradisi: bukan sekadar melestarikan warisan masa lalu, tetapi juga memastikan ada masa depan yang layak untuk diwariskan. Hajatan yang ramah lingkungan adalah salah satu cara kita mewujudkannya.

Mari kita jadikan setiap hajatan bukan hanya sebagai perayaan, tetapi juga sebagai deklarasi cinta kepada bumi. Karena pada akhirnya, tidak ada pesta yang benar-benar meriah jika harus mengorbankan masa depan planet kita sendiri.

Kita mulai dari sunyi.  

Sebelum cahaya, sebelum suara, kita sudah lebih dulu mengenal diam. Di dalam rahim yang gelap, dalam kesendirian yang hangat, kita ada sebelum ada. Tak ada nama, tak ada wajah—hanya denyut dan desiran darah ibu yang menemani.  

Kitab suci mengingatkan bahwa manusia diciptakan dari saripati tanah, lalu menjadi setetes mani yang disimpan di tempat yang kokoh. Itulah kesunyian pertama kita. Sebelum nafas, sebelum tangis, sebelum segala keramaian hidup dimulai.  

Lalu kita lahir, dan dunia pun berteriak menyambut.  

Ilustrasi (Foto : GeneratedAI)

Tawa, tangis, panggilan nama, gemuruh pasar, deru mesin, lagu-lagu cinta, gema adzan—semua memenuhi hari-hari kita. Kita lupa bahwa sunyi pernah menjadi rumah kita. Kita sibuk mengikat diri pada orang-orang, pada benda-benda, seolah mereka akan selamanya ada.  

Tapi waktu bergerak.  

Peluk ibu yang dulu hangat, kini tinggal kenangan. Suara ayah yang dulu membimbing, sekarang hanya bisikan dalam ingatan. Teman-teman sebaya satu per satu menghilang, ada yang pergi lebih dulu, ada yang tinggal hanya dalam foto yang memudar.  

Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Itulah janji yang tak bisa ditawar. Dan ketika saatnya tiba, kita akan dikembalikan kepada-Nya—sendirian, seperti saat pertama kali diciptakan.  

Keramaian itu perlahan menipis.  

Anak-anak tumbuh, punya dunia mereka sendiri. Suara hiruk-pikuk kehidupan mulai redup. Tiba-tiba kita duduk di sore yang sunyi, menyadari bahwa hidup ini seperti lingkaran: kita datang sendiri, dan akan pergi sendiri.  

Di akhir, yang tersisa hanyalah kita dan sepi.  

Seperti dulu, di dalam kandungan.  

Seperti nanti, di dalam tanah.  

Kita datang sendirian, dan kita akan pergi dengan cara yang sama—meninggalkan segala yang pernah dikumpulkan, menghadap Sang Pencipta dengan hanya membawa amal dan dosa kita sendiri.  

Maka sebelum sepi itu tiba, sebelum kita kembali kepada-Nya dalam kesendirian yang tak terelakkan...  

Ingatlah bahwa sunyi adalah pengingat terakhir:  

Kita bukan milik dunia.  

Kita milik-Nya.  

Dan kepada-Nya kita kembali.

Aku berdiri di tengah kota yang tak pernah tidur ini, di antara ribuan langkah yang saling bersenggolan tapi tak pernah benar-benar bersua. Lampu-lampu neon berkedip, menawarkan cahaya yang palsu, seolah-olah mereka bisa menggantikan hangatnya lara-lara di rumah. Tapi di sini, di tengah gemuruh yang tak henti, justru sunyi itu yang paling nyaring terdengar.  

Bukan sepi yang kosong, bukan. Ini sepi yang penuh—penuh dengan suara orang-orang yang berbicara tapi tak pernah menyentuh, tertawa tapi tak pernah merasuk. Aku dikelilingi wajah-waajh asing yang setiap hari bertukar salam, tapi tak satu pun yang mengenal gurat-gurat kesepian di dahiku.  

Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Aku punya teman, ya. Tapi pertemuan kami seperti dua gelas kopi yang tak pernah benar-benar tercampur—meski duduk berdekatan, rasanya tetap terpisah. Mereka bercerita tentang hal-hal yang tak pernah sampai ke relung hatiku, dan aku pun mengangguk, seolah mengerti, padahal yang kupahami hanyalah betapa jauhnya jarak antara satu frekuensi dengan frekuensi lainnya.  

Kadang aku merindukan obrolan di beranda rumah, di mana senyap pun terasa ramai karena diisi oleh kehadiran yang saling mengerti. Di sini, keramaian justru menjadi tembok—sebuah ilusi kebersamaan yang tak pernah cukup hangat untuk menghangatkan malam-malam yang terasa panjang.  

Aku bertanya: apakah kesepian ini bentuk pengkhianatan tempat baru, atau justru pengakuan bahwa ada ruang-ruang dalam diri yang hanya bisa diisi oleh mereka yang sudah lama mengenal diam-diam kita?  

Tapi hidup harus berjalan. Aku belajar menelan sepi ini seperti menelan nasi sehari-hari—dikunyah, dirasakan, lalu dibiarkan mengendap di perut, menjadi tenaga untuk melangkah lagi.  

Sebab, mungkin, di balik semua ini, kesepian adalah cara bumi berbisik: bahwa kita, pada akhirnya, hanya bisa benar-benar bersama ketika berani jujur pada sunyi yang kita bawa.  

*(Titik. Tapi sepi tak pernah benar-benar berakhir.)*

Ada yang menggelitik dari cara kepala daerah di Indonesia berpakaian belakangan ini. Dari yang semula sederhana, kini semakin banyak yang tampil dengan seragam kebesaran penuh atribut—bordiran nama jabatan di dada, brevet berjejer, pin mengilap, bahkan tak jarang tongkat komando ikut serta. Kalau tak hati-hati, sekilas mirip parade perwira militer, bukan pejabat sipil yang seharusnya mewakili keramahan birokrasi.  

Memang, tak ada yang melarang seorang gubernur atau bupati mengenakan seragam resmi. Tapi ketika atribut itu menumpuk seperti medali di dada jenderal, pertanyaannya menjadi lain: apa sebenarnya yang ingin mereka tunjukkan? Kewibawaan? Atau justru hasrat terselubung untuk tampil bak panglima di tengah rakyatnya?  

Ilustrasi Pejabat Sipil Dengan Atribut Seperti di Militer (Gambar : GenerateAI)

Yang menarik, fenomena ini kian mencolok di kalangan kepala daerah yang berlatar belakang militer atau polisi. Meski sudah pensiun, bintang di kerah tetap dipakai, wing di dada masih lengkap, seakan jabatan sipil yang diembannya hanyalah kelanjutan dari karier kemiliteran. Padahal, memimpin daerah bukanlah memimpin pasukan. Rakyat bukanlah anak buah yang harus digertak dengan simbol-simbol.  

Di negara demokrasi, seharusnya tak ada ruang untuk glorifikasi atribut militeristik dalam kepemimpinan sipil. Tapi realitanya, kita justru melihat semakin banyak pejabat daerah yang—entah sadar atau tidak—mengadopsi gaya seragam militer sebagai bagian dari citra diri. Apakah ini bentuk ketidakpercayaan diri, sehingga mereka merasa perlu "berdandan" seperti tentara agar dianggap berwibawa?  

Presiden Soekarno pernah punya penjelasan menarik soal ini. Dalam autobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno mengaku bahwa rakyat Indonesia—secara tidak sadar—merindukan figur "Raja". Itulah mengapa ia kerap tampil dengan seragam kebesaran militer, lengkap dengan tongkat komando dan berbagai atribut yang membuatnya terlihat seperti penguasa. Tapi itu era 60-an. Apakah logika yang sama masih berlaku hari ini?  

Yang pasti, demokrasi seharusnya mengikis mentalitas feodal semacam itu. Kepala daerah bukanlah raja, bukan pula jenderal. Mereka adalah pelayan publik yang dipilih untuk mengurus urusan warganya, bukan untuk pamer medali atau bintang jabatan. Tapi ketika seragam dan atribut menjadi lebih penting daripada substansi kerja, kita patut bertanya: apakah ini pertanda bahwa budaya politik kita masih terjebak dalam simbolisme kekuasaan ala Orde Baru?  

Coba bandingkan dengan gaya kepemimpinan kepala daerah di era awal reformasi. Dulu, pejabat lebih sering tampil dengan kemeja batik atau safari sederhana. Atribut yang mencolok justru dianggap tidak perlu, bahkan bisa dilihat sebagai upaya menggiring opini bahwa kekuasaan harus terlihat "angker". Sekarang, kita malah menyaksikan tren sebaliknya: semakin banyak bupati atau gubernur yang seragamnya lebih mirip perwira aktif ketimbang birokrat sipil.  

Lalu, apa fungsi sebenarnya dari seabreg pin, brevet, atau bordiran nama jabatan itu? Jika tujuannya sekadar identifikasi, name tag sederhana sudah cukup. Tapi ketika atribut itu dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai seragam dinas kepolisian atau TNI, kesannya jadi berbeda. Seolah ada hasrat untuk mencitrakan diri sebagai sosok yang "harus dihormati", bukan karena kinerja, melainkan karena simbol yang menempel di bajunya.  

Tidak ada yang salah dengan seragam, selama proporsional. Tapi ketika seorang bupati—yang sehari-hari berurusan dengan petani dan pedagang kecil—tampil dengan seragam penuh atribut bak komandan lapangan, bukankah itu justru menciptakan jarak? Alih-alih mendekatkan diri pada konstituen, gaya berpakaian seperti itu malah bisa terkesan arogan, seakan ingin menegaskan, "Saya berbeda, saya berwewenang."  

Mungkin sebagian akan berargumen bahwa seragam dan atribut itu bagian dari "branding" politik. Tapi jika branding yang dimaksud adalah mencitrakan diri sebagai sosok otoriter ala militer, apakah itu yang dibutuhkan dalam tata kelola pemerintahan yang partisipatif? Kepemimpinan yang baik semestinya dibangun melalui kerja nyata, bukan lewat gemerlap pin di dada.  

Yang lebih mengkhawatirkan, tren ini bisa jadi cermin dari cara berpikir yang belum sepenuhnya lepas dari mentalitas feodal. Dalam budaya politik kita, sering kali "wibawa" diidentikkan dengan ketegasan ala militer, bukan dengan kemampuan merangkul dan mendengarkan. Akibatnya, banyak kepala daerah yang—mungkin tanpa sadar—terjebak dalam gaya kepemimpinan "top-down", karena menganggap itulah yang diharapkan rakyat.  

Padahal, jika kita telusuri lebih dalam, rakyat sebenarnya lebih menghargai pemimpin yang rendah hati dan mudah diakses. Lihat saja bagaimana figur seperti Jokowi—yang sejak jadi walikota hingga presiden tetap memilih gaya berpakaian sederhana—justru lebih diterima karena dinilai dekat dengan rakyat. Tapi sayang, tidak semua kepala daerah menangkap sinyal ini.  

Mungkin inilah yang disebut sebagai "glamorisasi kekuasaan". Ketika seseorang menduduki jabatan politik, ada godaan besar untuk mempercantik diri dengan berbagai atribut yang membuatnya terlihat penting. Dan dalam konteks Indonesia—yang secara historis pernah lama berada di bawah bayang-bayang militer—simbol-simbol kemiliteran sering kali dipandang sebagai cara tercepat untuk mendapatkan pengakuan.  

Tapi apakah efektif? Belum tentu. Justru di era media sosial sekarang, gaya kepemimpinan yang terlalu militaristik mudah menjadi bahan kritik. Rakyat kini lebih kritis dan tidak mudah terkesan dengan gemerlap atribut. Mereka lebih peduli pada kebijakan yang menyentuh kebutuhan sehari-hari ketimbang berapa banyak pin yang menempel di dada pemimpinnya.  

Lalu, bagaimana seharusnya kepala daerah bersikap? Idealnya, mereka bisa menemukan keseimbangan antara kesan resmi dan keramahan. Seragam dinas boleh ada, tapi tidak perlu berlebihan. Atribut jabatan bisa dipakai, asal tidak sampai menimbulkan kesan ingin "bermain peran" sebagai perwira. Lagipula, kewibawaan tidak lahir dari bintang di kerah, melainkan dari integritas dan kerja keras.  

Jika kita konsisten sebagai negara demokrasi yang menjunjung supremasi sipil, sudah saatnya budaya seragam dan atribut berlebihan ini dikikis. Birokrasi sipil harusnya humanis, tidak perlu dibebani dengan simbol-simbol yang justru mengingatkan pada era otoritarian. Kepala daerah bukanlah komandan, dan rakyat bukanlah pasukan yang harus selalu dihadapkan dengan simbol-simbol kekuasaan.  

Atau jangan-jangan, ini semua adalah bentuk ketakutan? Ketakutan bahwa tanpa atribut dan seragam kebesaran, wibawa mereka akan luntur. Jika benar begitu, itu justru menunjukkan kerapuhan. Sebab, pemimpin sejati tidak membutuhkan bintang atau brevet untuk dihormati.  

Mungkin sudah waktunya kita mengingatkan para kepala daerah: wibawa tidak dijual di toko seragam. Ia dibangun melalui pelayanan, kejujuran, dan kedekatan dengan rakyat. Daripada sibuk menghias diri dengan berbagai pin, lebih baik fokus pada hal-hal yang benar-benar dibutuhkan masyarakat.  

Kita bukan negara militer. Kita adalah negara demokrasi, di mana pemimpin harusnya menjadi pelayan, bukan raja. Dan pelayan sejati tidak perlu berlagak seperti jenderal.

Sepi. Itulah kesan pertama yang menyergap ketika saya menginjakkan kaki di kampung halaman saya di sebuah desa di Lampung Tengah. Jalan-jalan yang biasanya riuh oleh deru motor pemudik kini sunyi. Warung-warung di sepanjang jalan provinsi yang biasa buka hingga larut menjelang Lebaran justru menutup tirai lebih awal. Sebuah pemandangan yang tak pernah terbayangkan sepuluh tahun silam.  

Ekonomi memang sedang tidak bersahabat. Namun yang terjadi tahun ini bukan sekadar perlambatan biasa, melainkan sebuah pergeseran struktural yang mengubah wajah tradisi Lebaran secara permanen. Jika dulu mudik adalah kebutuhan sosial yang tak tergoyahkan, kini ia berubah menjadi variabel ekonomi yang bisa dikompromikan.

Ilustrasi Penjual Parsel yang Sepi Pembeli (Gambar : GenerateAI)

Di balik sepinya jalanan kampung tersembunyi sebuah tragedi ekonomi yang lebih besar. Daya beli masyarakat yang terus tergerus inflasi telah memaksa mereka membuat skala prioritas baru. Ketika biaya hidup harian saja sudah menyulitkan, pulang kampung berubah dari kewajiban budaya menjadi kemewahan yang tak terjangkau.  

Pasar tradisional, yang biasanya menjadi episentrum keramaian pra-Lebaran, kini lebih mirip museum yang sepi pengunjung. Beberapa pedagang masih bertahan, tetapi sorot mata mereka sudah kehilangan cahaya harapan.

Yang menarik adalah perubahan pola konsumsi masyarakat. Jika dulu orang berlomba membeli baju baru dan perlengkapan Lebaran, kini mereka lebih memilih memakai barang-barang tahun sebelumnya. Bukan karena kesadaran hemat yang tiba-tiba muncul, melainkan karena terpaksa oleh keadaan.  

Toko-toko ritel modern memang masih ramai, tetapi itu hanya ilusi dari konsumsi yang terkonsentrasi. Masyarakat berbelanja lebih sedikit, lebih hemat, dan hanya untuk kebutuhan pokok. Silaturahmi yang dulu dirayakan dengan berbagai hidangan kini disederhanakan. Sebuah bentuk rasionalisasi di tengah ketidakpastian.  

PHK massal di berbagai sektor telah menciptakan efek domino yang mengerikan. Para pekerja yang kehilangan penghasilan tak hanya mengurangi konsumsi mereka sendiri, tetapi juga memengaruhi penghasilan pedagang kecil di kampung halaman mereka. Ekosistem ekonomi tradisional yang selama ini mengandalkan siklus tahunan seperti Lebaran mulai kehilangan ritme.  

Dampak sosialnya lebih dalam dari yang bisa dibayangkan. Tradisi mudik bukan sekadar tentang pulang kampung, melainkan sebuah mekanisme redistribusi ekonomi alami. Uang yang dibawa perantau mengalir ke pedagang kecil, tukang ojek, dan usaha mikro di desa. Ketika siklus ini terputus, seluruh rantai ekonomi lokal ikut mati suri.  

Generasi muda perkotaan mungkin tak merasakan dampak besar dari perubahan ini. Bagi mereka, silaturahmi virtual melalui layar gadget sudah cukup. Namun di desa-desa, kehadiran fisik adalah segalanya. Tatap mata langsung, pelukan, dan canda di teras rumah adalah mata uang sosial yang tak tergantikan.  

Pemerintah mungkin bisa membanggakan pertumbuhan ekonomi makro yang tetap positif, tetapi angka-angka itu menjadi tak berarti ketika di lapangan pasar-pasar tradisional mati perlahan. Kebijakan bantuan sosial mungkin bisa meredam gejolak, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah yang sesungguhnya.  

Yang terjadi sekarang adalah sebuah disrupsi sosial-budaya yang dipicu oleh tekanan ekonomi. Masyarakat tidak lagi kehilangan kemampuan finansial untuk mudik, tetapi juga mulai kehilangan motivasi budaya. Ketika tahun demi tahun Lebaran terasa semakin hambar, pada titik tertentu tradisi ini akan punah dengan sendirinya.  

Ironisnya, justru di era di mana teknologi seharusnya memudahkan mobilitas, orang semakin enggan bepergian. Bukan karena tidak ada transportasi, melainkan karena tidak ada lagi yang bisa dibawa pulang selain rasa khawatir akan masa depan.  

Pergeseran ini juga mengubah lanskap usaha di pedesaan. Warung makan yang biasa buka 24 jam selama Lebaran kini memilih tutup lebih awal. Penginapan-penginapan darurat yang setiap tahun bermunculan di pinggir jalan bahkan tidak dibangun sama sekali.  

Yang lebih mengkhawatirkan adalah efek jangka panjang pada struktur sosial masyarakat. Mudik selama ini berfungsi sebagai perekat hubungan antar generasi. Anak kota kembali mengenal sanak saudara di desa, mendengarkan nasihat orang tua, dan merasakan akar budaya mereka. Tanpa itu, identitas kolektif perlahan akan terkikis.  

Di tingkat makro, ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi ekonomi kita. Ketika sebuah tradisi sekuat mudik Lebaran bisa ambruk oleh tekanan ekonomi, artinya ketahanan masyarakat kita berada di ambang yang mengkhawatirkan.  

Pola konsumsi yang berubah juga mencerminkan sebuah transformasi nilai. Lebaran yang dulu tentang berbagi dan kebersamaan, kini tereduksi menjadi sekadar ritual wajib yang dilakukan seperlunya. Semangat berbagi tak lagi datang dari kelapangan hati, melainkan dari kewajiban sosial yang dibebani rasa sungkan.  

Bahkan tradisi bagi-bagi THR mulai kehilangan makna. Jika dulu THR adalah bentuk syukur dan kebanggaan bisa berbagi, kini ia lebih sering dibicarakan sebagai beban yang harus dipenuhi. Perubahan narasi ini menunjukkan pergeseran nilai yang fundamental dalam masyarakat kita.  

Pertanyaannya sekarang: apakah ini hanya sebuah fase sementara, atau awal dari sebuah perubahan permanen? Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan kita membaca tanda-tanda zaman.  

Jika kita cermati, apa yang terjadi sekarang adalah percepatan dari tren yang sebenarnya sudah dimulai sebelum krisis. Masyarakat perkotaan generasi baru memang semakin terpisah dari kampung halamannya secara emosional. Tekanan ekonomi hanya mempercepat proses yang sudah berjalan.  

Solusinya tidak bisa sekadar stimulus ekonomi temporer. Diperlukan pendekatan holistik yang memulihkan baik daya beli maupun ikatan sosial. Pasar tradisional butuh bukan sekadar bantuan modal, tetapi juga transformasi model bisnis yang bisa bersaing di era modern.  

Di tingkat kebijakan, perlu ada pengakuan bahwa masalahnya bukan sekadar siklus ekonomi, melainkan pergeseran peradaban. Ketika orang memilih tidak mudik, mereka tidak hanya merespon kondisi keuangan, tetapi juga mempertanyakan relevansi tradisi itu sendiri.  

Mungkin inilah saatnya kita memikirkan kembali makna Lebaran di era baru. Bukan dengan menyerah pada perubahan, tetapi dengan menemukan bentuk-bentuk baru yang tetap mempertahankan esensinya.  

Karena pada akhirnya, Lebaran bukan tentang keramaian pasar atau kemacetan jalan. Ia tentang manusia yang mengingat asal-usulnya, tentang masyarakat yang menjaga ikatan-ikatan dasarnya. Jika kita kehilangan itu, maka yang tersisa hanyalah tanggal di kalender tanpa makna.  

Tahun depan, mungkin jalanan akan kembali ramai. Tapi apakah keramaian itu akan sama seperti dulu? Ataukah ia hanya menjadi bayangan dari sebuah tradisi yang perlahan memudar? Jawabannya ada pada kita semua.  

Yang pasti, Lebaran 2025 telah memberikan pelajaran berharga: bahwa tradisi sekuat apapun bisa runtuh ketika fondasi ekonomi dan sosial yang menyangganya mulai retak. Dan sekali runtuh, membangunnya kembali akan membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan ekonomi - tetapi sebuah komitmen kolektif untuk mempertahankan apa yang membuat kita tetap menjadi manusia.

Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, ada satu fenomena yang kian menggeliat: obsesi pejabat terhadap gelar akademik. Mereka berlomba meraih doktor, bahkan mendadak mengejar titel profesor, seolah-olah itu adalah medali yang harus dikalungkan di dada. Padahal, tak sedikit dari mereka yang tak pernah sekalipun menginjak ruang kuliah sebagai pengajar.  

Ini bukan soal larangan bagi pejabat untuk menempuh pendidikan tinggi. Justru, idealnya, semakin terdidik seorang pemimpin, semakin baik kapasitasnya dalam memimpin. Tapi, pertanyaannya: apakah gelar-gelar itu benar-benar dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya, atau sekadar jadi aksesori kekuasaan?  
Obral Honoris Causa (Ilustrasi/Ghraito Arip H.)

Lihatlah realitasnya. Banyak kepala daerah yang hanya bermodalkan ijazah SMA—bahkan ada yang lewat jalur kesetaraan—bisa menduduki kursi pemerintahan. Ironisnya, ketika mereka sudah berkuasa, tiba-tiba muncul hasrat untuk mengejar gelar doktor atau profesor. Seolah-olah gelar itu bisa menutupi minimnya kompetensi.  

Padahal, dalam dunia kerja biasa, syarat S1 sudah menjadi standar minimal. Bagaimana mungkin seseorang yang hanya lulus SMA bisa memimpin sebuah daerah, sementara rakyatnya sendiri dipaksa memenuhi kualifikasi pendidikan tinggi sekadar untuk jadi pegawai honorer?  

Persoalannya bukan sekadar gelar, melainkan relevansi. Jika seorang bupati atau gubernur ingin melanjutkan pendidikan, seharusnya ia memilih bidang yang memperkuat kapasitas kepemimpinannya—misalnya administrasi publik, kebijakan sosial, atau ekonomi pembangunan. Tapi yang terjadi? Ada yang mengambil doktor di bidang pendidikan agama Islam, padahal ia tak pernah sekalipun mengajar di madrasah.  

Apa gunanya? Apakah gelar itu akan membantunya merumuskan kebijakan tata kota, mengentaskan kemiskinan, atau meningkatkan pelayanan kesehatan? Atau jangan-jangan, ini hanya soal gengsi—sebuah upaya untuk mempercantik CV politik?  

Yang lebih memprihatinkan adalah gelincirnya etika akademik. Gelar profesor sejatinya adalah penghargaan bagi para dosen yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mengajar dan meneliti. Bukan sekadar titel yang bisa dibeli atau diraih lewat koneksi. Tapi kini, jabatan akademik tertinggi itu diincar oleh pejabat yang tak pernah sekalipun memegang kapur tulis.  

Bagaimana mungkin seseorang bisa disebut profesor jika ia tak pernah membimbing mahasiswa, tak pernah meneliti dengan rigor, dan tak pernah berkontribusi pada perkembangan ilmu pengetahuan?

Yang terjadi adalah komersialisasi gelar. Beberapa kampus, demi kepentingan politis atau finansial, rela membuka pintu lebar-lebar bagi pejabat yang ingin "instan" bergelar doktor atau profesor. Prosesnya dipersingkat, persyaratan dilonggarkan, dan tiba-tiba sang pejabat sudah bisa menyandang gelar mentereng tanpa pernah merasakan jerih payah akademik yang sesungguhnya.  

Ini bukan hanya merusak integritas pendidikan tinggi, tapi juga menciptakan preseden buruk. Jika gelar bisa dibeli dengan kekuasaan atau uang, lalu apa arti sebuah keahlian? Apa bedanya seorang profesor sejati yang menghabiskan puluhan tahun untuk riset, dengan pejabat yang tiba-tiba menyandang gelar serupa hanya karena ia punya akses?  

Dampaknya sudah terlihat. Publik mulai memandang sinis gelar akademik pejabat. Setiap kali ada menteri atau kepala daerah yang mengumumkan gelar barunya, yang muncul bukan apresiasi, melainkan kecurigaan: "Dapatnya dari mana?"  

Ini adalah krisis legitimasi. Gelar seharusnya menjadi penanda kompetensi, bukan sekadar hiasan nama. Ketika seorang pejabat lebih sibuk menumpuk gelar daripada membenahi kinerjanya, yang terjadi adalah disorientasi kepemimpinan.  

Lihatlah negara-negara dengan pemerintahan yang efektif. Para pemimpinnya tak perlu berkoar-koar tentang gelar doktor atau profesor. Mereka diukur dari kebijakan yang dibuat, dari dampak nyata yang dirasakan rakyat. Di Indonesia? Kita justru terjebak dalam fetisisme gelar - seolah olah deretan huruf di depan nama bisa menutupi kegagalan mengurus rakyat.  

Jika memang niatnya menuntut ilmu, mengapa tidak dilakukan sebelum menjabat? Kenapa harus menunggu sampai berkuasa baru tiba-tiba kuliah? Jangan-jangan, ini memang strategi pencitraan—sebuah upaya untuk memberi kesan "intelek" di mata publik.  

Dan celakanya, media sering terjebak dalam narasi ini. Setiap kali ada pejabat yang meraih gelar baru, pemberitaan seolah-olah mengukuhkannya sebagai sosok yang pantas dipuji. Padahal, pertanyaan kritisnya adalah: apa kontribusinya bagi ilmu pengetahuan? Apa relevansinya bagi jabatan yang diemban?  

Waktu dan energi yang seharusnya dipakai untuk menjalankan amanah rakyat, justru terkuras untuk mengejar gelar. Sementara masalah di daerah—kemiskinan, pengangguran, infrastruktur yang amburadul—terus menumpuk.  

Ini bukan hanya persoalan individual, melainkan sistemik. Ada mekanisme yang memungkinkan pejabat dengan mudah mendapatkan gelar tanpa melalui proses akademik yang ketat. Dan selama sistem ini dibiarkan, selama itu pula gelar akan menjadi komoditas, bukan penanda keahlian.  

Lalu, apa solusinya? Pertama, dunia akademik harus berani menolak praktik jual-beli gelar. Kampus bukanlah toko yang bisa memenuhi pesanan titel bagi siapa pun yang punya uang atau kuasa. Kedua, publik harus lebih kritis—tidak mudah terkesima oleh deretan gelar, tapi menuntut bukti nyata dari pemimpinnya.  

Terakhir, pejabat sendiri harus sadar. Gelar tidak otomatis membuatmu lebih kompeten. Jika ingin diakui sebagai pemimpin yang berkualitas, tunjukkan melalui kerja nyata, bukan melalui huruf-huruf di depan dan belakang nama.  

Kita tidak butuh pejabat yang bergelar mentereng tapi kebingungan saat dimintai solusi atau memberikan solusi yang tidak rasional seperti ide untuk memanfaatkan AI guna mengatasi banjir dan macet di kala lebaran. Kita butuh pemimpin yang mungkin sederhana ijazah dan gelarnya, tapi paham betul bagaimana mengurus rakyat.  

Gelar akademik seharusnya menjadi alat untuk memperkuat kapasitas, bukan topeng untuk menutupi ketidakmampuan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi bagian dari teater kekuasaan—sebuah sandiwara yang diperagakan para pejabat untuk menipu rakyatnya sendiri.

Di antara gemuruh mesin kendaraan dan riuh rendah terminal, terpancar sebuah kerinduan yang tak terbendung – kerinduan akan tanah kelahiran. Inilah esensi mudik yang sesungguhnya, sebuah perjalanan jiwa sebelum kaki melangkah pulang.  

Bukan kebetulan bila tradisi ini tetap lestari meski zaman terus bergulir. Ada semacam kekuatan magis dalam mudik yang mampu menyatukan kembali apa yang tercerai-berai oleh rutinitas modern. Sebuah magnet sosial yang tak tergantikan.  

Pemudik Motor Bersiap Meninggalkan Kapal di Pelabuhan Bakauheni (Foto : FB Lampung Eksis)

Sosiolog mungkin akan menyebut ini sebagai mekanisme pertahanan budaya. Ketika globalisasi menggerus identitas lokal, mudik justru menjadi penjaga gawang yang menghalau serbuan nilai-nilai asing.  

Lihatlah bagaimana para pemudik rela berdesakan di angkutan umum selama berjam-jam. Bukan sekadar transportasi yang mereka cari, melainkan pengalaman bersama yang mengingatkan pada rasa kebersamaan.  

Pernahkah kita bertanya mengapa tradisi serupa tidak ditemukan di negara maju? Jawabannya mungkin terletak pada cara kita memaknai hubungan kekerabatan yang jauh lebih dalam daripada sekadar ikatan darah.  

Di balik bingkisan yang dibawa pulang, tersimpan cerita-cerita heroik tentang perjuangan di perantauan. Setiap dusun memiliki versinya sendiri tentang "anak yang merantau dan pulang membawa keberhasilan".  

Tapi mudik juga kerap menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi ia mempertahankan tradisi, di sisi lain ia memperlihatkan jurang antara kehidupan urban dan pedesaan. Sebuah cermin sosial yang kadang menyakitkan untuk dilihat.  

Generasi milenial mulai mempertanyakan ritual ini. Bagi mereka, apakah masih relevan menghabiskan waktu dan biaya besar hanya untuk memenuhi kewajiban sosial yang mungkin sudah usang?  

Namun data menunjukkan sesuatu yang menarik. Justru di era digital ini, minat mudik malah meningkat. Seolah ada kebutuhan psikologis yang tak terpenuhi oleh pertemuan virtual.  

Psikolog budaya menjelaskan fenomena ini sebagai kebutuhan akan "grounding" – menyentuh kembali akar-akar identitas di tengah kehidupan perkotaan yang serba mengambang.  

Coba amati interaksi di warung kopi kampung saat lebaran. Di sanalah terjadi transfer pengetahuan lintas generasi yang tak ternilai harganya. Sebuah ruang pembelajaran organik yang tak bisa digantikan sekolah manapun.  

Ekonom melihat mudik sebagai fenomena unik. Uang yang mengalir ke desa-desa selama musim mudik sering kali melebihi anggaran pembangunan daerah setempat. Tapi apakah ini pembangunan yang berkelanjutan?  

Mungkin kita perlu belajar dari filosofi di balik tradisi ini. Bukan soal jumlah uang yang dibawa pulang, melainkan tentang bagaimana kita memaknai pulang itu sendiri.  

Desa-desa sebenarnya menyimpan harapan besar setiap kali musim mudik tiba. Bukan hanya harapan akan bantuan materi, tapi lebih pada harapan akan kembalinya putra-putri terbaiknya untuk membangun tanah kelahiran.  

Sayangnya, seringkali yang terjadi justru sebaliknya. Mudik menjadi ajang pamer kesuksesan semu, di mana orang berlomba menunjukkan kemewahan yang kadang dibeli dengan hutang.  

Pernahkah terpikir bahwa sebenarnya mudik adalah bentuk protes halus terhadap kehidupan urban? Sebuah cara mengatakan bahwa di balik gedung-gedung pencakar langit, kita tetap merindukan kesederhanaan kampung halaman.  

Anak-anak kota yang diajak mudik sebenarnya sedang menjalani proses pendidikan multikultural yang paling autentik. Mereka belajar bahwa Indonesia tidak hanya tentang mall dan apartemen mewah.  

Tapi tradisi ini juga menyimpan keprihatinan. Betapa banyak orang tua di desa yang hanya bertemu anaknya setahun sekali. Sebuah ironi di era yang diklaim semakin terhubung ini.  

Mungkin inilah saatnya kita memikirkan mudik yang lebih bermakna. Bukan sekadar pulang, tapi bagaimana membuat pulang itu memberi dampak nyata bagi kampung halaman.  

Bayangkan jika setiap pemudik tidak hanya membawa bingkisan, tapi juga membawa pulang keterampilan, ide-ide segar, dan komitmen untuk membangun daerah asalnya.  

Sebenarnya, pemerintah sudah mencoba memanfaatkan momen ini dengan berbagai program. Tapi tanpa kesadaran dari bawah, upaya tersebut hanya akan menjadi proyek sesaat belaka.  

Kita perlu bertanya: masih relevankah model mudik massal seperti sekarang? Atau sudah saatnya kita memikirkan pola distribusi yang lebih merata sepanjang tahun?  

Yang tak boleh dilupakan, mudik pada hakikatnya adalah tentang nilai-nilai kemanusiaan. Tentang bagaimana kita tetap mempertahankan empati di tengah kerasnya kehidupan modern.  

Di terminal-terminal, kita bisa menyaksikan solidaritas sesama pemudik yang mungkin tak akan terjadi di kehidupan sehari-hari. Sebuah pelajaran tentang kemanusiaan yang terjadi secara organik.  

Mudik seharusnya mengajarkan kita tentang arti kesederhanaan. Tapi justru belakangan ini, tradisi ini sering dikapitalisasi menjadi ajang konsumerisme baru.  

Pemikir sosial melihat mudik sebagai bentuk resistensi terhadap individualisme. Di saat masyarakat modern semakin teratomisasi, mudik justru menyatukan kembali apa yang tercerai-berai.  

Tapi resistensi saja tidak cukup. Kita perlu mentransformasi nilai-nilai mudik menjadi energi positif untuk membangun negeri.  

Pernah terpikir mengapa banyak pengusaha sukses justru menemukan inspirasi bisnisnya saat mudik? Karena di sanalah mereka melihat potensi riil yang sering terlewatkan di kota.  

Mudik seharusnya menjadi laboratorium sosial tempat kita belajar tentang realitas bangsa yang sebenarnya. Bukan hanya tentang kemacetan dan kelelahan.  

Di balik semua romantisme mudik, tersimpan pertanyaan kritis: sampai kapan tradisi ini bisa bertahan? Apakah generasi digital native masih akan mempertahankannya?  

Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan kita untuk merevitalisasi makna mudik. Bukan sebagai kewajiban, tapi sebagai kebutuhan jiwa yang dalam.  

Kita perlu menciptakan ekosistem dimana mudik tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai investasi sosial budaya yang bernilai tinggi.  

Pada akhirnya, mudik mengajarkan kita satu hal penting: sejauh apapun kita merantau, ada bagian dari diri yang selalu ingin pulang.  

Dan mungkin, di situlah letak kekuatan bangsa ini – dalam kesadaran kolektif bahwa kita selalu memiliki tempat untuk kembali. Sebuah nilai sosial yang tak ternilai harganya.  

Maka, mari kita jaga tradisi ini bukan sebagai rutinitas tahunan, melainkan sebagai living tradition yang terus berevolusi mengikuti zaman.  

Sebab mudik yang sesungguhnya bukan hanya tentang pulang ke kampung halaman, tapi tentang menemukan kembali jati diri kita sebagai bangsa yang santun dan bersaudara.  

Di tengah gempuran budaya global, mudik tetap menjadi benteng terakhir yang mengingatkan kita pada nilai-nilai luhur Nusantara.  

Dan itulah mengapa, meski berat, kita tetap akan terus mudik – karena di sanalah hati kita sebenarnya tak pernah benar-benar pergi.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI
  • NEGERI PARA [ORMAS] PREMAN
  • MUSIM KE-5 #SARAHAISHA
  • RINDU TANPA NAMA

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar