Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Di dunia yang semakin kompleks ini, kejahatan dan korupsi telah bertransformasi menjadi gurita raksasa dengan tentakel yang mencengkeram berbagai sendi kehidupan. Tak jarang, para pelaku kejahatan berkerah putih ini beroperasi lintas negara, berlindung di balik perusahaan cangkang, dan memanfaatkan celah hukum untuk mengeruk keuntungan haram. Namun, di tengah kegelapan tersebut, seberkas cahaya kebenaran tetap bersinar terang. Cahaya itu bernama OCCRP, singkatan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project.

OCCRP adalah konsorsium global yang terdiri dari jurnalis investigasi, pusat riset nirlaba, dan media independen dari berbagai belahan dunia. Layaknya pasukan elite pemberantas kejahatan, mereka bersatu padu, menembus batas geografis, dan mengungkap praktik-praktik kotor yang selama ini tersembunyi di balik tirai kekuasaan. Dengan tekad baja dan dedikasi tinggi, mereka menyelami lautan informasi, menganalisis data, dan merangkai potongan-potongan puzzle untuk menguak tabir kejahatan yang rumit.

Ilustrasi rilis OCCRP (Gambar : Istimewa)

OCCRP bukanlah organisasi biasa. Mereka adalah pelopor jurnalisme investigasi global, yang menghasilkan laporan mendalam dan berkualitas tinggi. Investigasi mereka menjangkau berbagai isu, mulai dari pencucian uang, perdagangan manusia, penjarahan sumber daya alam, hingga korupsi politik tingkat tinggi. Berkat kerja keras dan keberanian mereka, banyak kasus besar yang sebelumnya terkubur rapat, akhirnya terungkap ke publik.

Mengungkap Jaringan Kejahatan Lintas Negara

Salah satu kekuatan utama OCCRP adalah kemampuannya dalam mengungkap jaringan kejahatan lintas negara. Para jurnalis investigasi yang tergabung dalam OCCRP bagaikan detektif global yang berburu para penjahat di berbagai belahan dunia. Mereka menelusuri jejak uang haram, membongkar skema penipuan yang canggih, dan mengungkap keterlibatan aktor-aktor penting di balik jaringan kejahatan tersebut.

Salah satu contoh investigasi OCCRP yang menggemparkan dunia adalah "Panama Papers". Pada tahun 2016, OCCRP bersama International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) menerbitkan laporan berdasarkan bocoran 11,5 juta dokumen dari firma hukum Mossack Fonseca di Panama.  

Dokumen-dokumen tersebut mengungkap bagaimana para orang kaya dan berkuasa di dunia, termasuk politisi, pejabat pemerintah, dan selebriti, menyembunyikan kekayaan mereka di surga pajak lepas pantai.

Panama Papers menimbulkan gempa politik dan hukum di berbagai negara. Sejumlah politisi terpaksa mundur dari jabatannya, perusahaan-perusahaan multinasional diinvestigasi, dan aturan perpajakan internasional diperketat. Investigasi ini juga membuktikan kemampuan OCCRP dalam mengolah data dalam jumlah besar dan menjalin kerjasama dengan jurnalis di seluruh dunia.

Selain Panama Papers, OCCRP juga telah mengungkap berbagai kasus kejahatan lintas negara lainnya, seperti:

  • The Azerbaijani Laundromat: Skema pencucian uang senilai 2,9 miliar dolar AS yang melibatkan pejabat tinggi Azerbaijan.
  • Troika Laundromat: Jaringan perusahaan cangkang yang digunakan untuk memindahkan miliaran dolar keluar dari Rusia.
  • The Russian Laundromat: Skema pencucian uang senilai 20 miliar dolar AS yang melibatkan bank-bank Rusia dan Moldova.

Investigasi-investigasi tersebut menunjukkan bahwa OCCRP adalah lawan tangguh bagi para penjahat kelas kakap. Mereka tidak gentar menghadapi ancaman dan intimidasi, dan tetap berkomitmen untuk mengungkap kebenaran, sekalipun harus berhadapan dengan kekuatan yang besar dan berpengaruh.

Memberdayakan Jurnalis dan Media Independen

OCCRP tidak hanya fokus pada investigasi, tetapi juga aktif dalam memberdayakan jurnalis dan media independen di seluruh dunia. Mereka menyediakan pelatihan, mentoring, dan dukungan kepada jurnalis yang ingin mempelajari teknik jurnalisme investigasi. OCCRP juga membantu media independen untuk meningkatkan kapasitas dan memperluas jaringan.

Program-program pelatihan OCCRP mencakup berbagai topik, seperti teknik wawancara, analisis data, keamanan digital, dan etika jurnalistik. Pelatihan ini dirancang untuk meningkatkan keterampilan jurnalis dalam menghasilkan laporan investigasi yang akurat, mendalam, dan berdampak.

OCCRP juga memiliki program beasiswa bagi jurnalis investigasi yang ingin mengembangkan proyek investigasi mereka. Program beasiswa ini memberikan dukungan finansial, mentoring, dan akses ke jaringan OCCRP. Dengan adanya program ini, OCCRP berharap dapat menumbuhkan generasi baru jurnalis investigasi yang berkompeten dan berintegritas.

Selain pelatihan dan beasiswa, OCCRP juga mengembangkan berbagai alat dan sumber daya yang dapat digunakan oleh jurnalis di seluruh dunia. Salah satu contohnya adalah ALEPH, platform pencarian data yang dikembangkan oleh OCCRP. ALEPH memungkinkan jurnalis untuk mencari dan menganalisis data dari berbagai sumber, seperti dokumen perusahaan, laporan keuangan, dan database pemerintah.

Dengan memberdayakan jurnalis dan media independen, OCCRP berkontribusi pada peningkatan kualitas jurnalisme investigasi di seluruh dunia. Hal ini penting untuk memastikan bahwa praktik-praktik kejahatan dan korupsi dapat terungkap dan dipertanggungjawabkan.

Menginspirasi Perubahan dan Membangun Masyarakat yang Lebih Baik

OCCRP tidak hanya mengungkap kejahatan dan korupsi, tetapi juga berusaha untuk menginspirasi perubahan dan membangun masyarakat yang lebih baik. Laporan-laporan investigasi OCCRP seringkali menimbulkan perdebatan publik, mendorong reformasi kebijakan, dan memperkuat penegakan hukum.

OCCRP aktif berkampanye melawan kejahatan dan korupsi melalui berbagai platform, seperti media sosial, acara publik, dan kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil. Mereka juga mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam melawan kejahatan dan korupsi, misalnya dengan melaporkan kecurigaan adanya tindakan korupsi kepada pihak berwenang.

OCCRP percaya bahwa jurnalisme investigasi memiliki peran penting dalam memperkuat demokrasi dan menegakkan keadilan. Dengan mengungkap kebenaran dan mempromosikan transparansi, OCCRP berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih adil, bersih, dan sejahtera.

Contoh kasus di Indonesia yang pernah diliput OCCRP adalah kasus "Panama Papers" yang menyeret nama beberapa pengusaha dan politisi Indonesia. OCCRP juga pernah menulis tentang kasus korupsi di sektor pertambangan dan kehutanan di Indonesia. Liputan-liputan tersebut telah membantu meningkatkan kesadaran publik tentang masalah korupsi di Indonesia dan mendorong upaya pemberantasan korupsi.

OCCRP adalah contoh nyata bagaimana jurnalisme investigasi dapat menjadi kekuatan untuk perubahan positif. Dengan dedikasi, keberanian, dan profesionalisme, mereka telah membuktikan bahwa pena lebih tajam daripada pedang. OCCRP adalah inspirasi bagi kita semua untuk terus berjuang melawan kejahatan dan korupsi, demi mewujudkan masyarakat yang lebih baik.

Gagasan mengajarkan coding kepada siswa sekolah dasar memang membangkitkan antusiasme. Di era digital yang terus melaju, kemampuan mengolah bahasa komputer menjadi semacam kunci memasuki dunia masa depan. Keahlian ini digadang-gadang akan membuka pintu bagi generasi muda untuk berinovasi, menciptakan solusi, dan memimpin di berbagai bidang. Namun, di balik semangat membara itu, ada realitas yang tak bisa kita abaikan: kesenjangan akses, infrastruktur yang terbatas, dan kesiapan guru yang masih menjadi tanda tanya besar.

Kita semua menyaksikan bagaimana pandemi COVID-19 menelanjangi ketimpangan digital di negeri ini. Ketika sekolah-sekolah terpaksa menutup pintu dan beralih ke pembelajaran online, jutaan anak terpinggirkan karena tidak memiliki akses internet dan perangkat yang memadai. Guru-guru pun tergagap-gagap beradaptasi dengan teknologi baru. Pembelajaran jarak jauh menjadi mimpi buruk bagi banyak siswa, khususnya mereka yang tinggal di daerah terpencil dan keluarga prasejahtera. Akankah kita mengulangi kesalahan yang sama dengan terburu-buru menerapkan coding di SD tanpa memperhatikan fondasi yang kokoh?

Memahami Coding dan Tantangannya

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami esensi coding. Coding bukanlah sekadar menulis baris-baris kode yang rumit dan abstrak. Coding adalah cara berpikir logis, memecahkan masalah secara sistematis, dan menyalurkan kreativitas. Coding melatih anak untuk berpikir terstruktur, menganalisis informasi, dan merancang solusi dengan langkah-langkah yang terukur. Namun, kemampuan itu tidak muncul begitu saja. Ia perlu dipupuk melalui proses pembelajaran yang terstruktur, dengan bimbingan guru yang kompeten dan dukungan fasilitas yang memadai.

Bayangkan seorang guru SD di pelosok desa, yang mungkin baru mengenal internet beberapa tahun terakhir. Minimnya pelatihan dan akses terhadap perkembangan teknologi menjadikannya tertinggal. Bagaimana ia bisa mengajarkan coding kepada murid-muridnya jika ia sendiri masih kesulitan menggunakan komputer? Bagaimana ia bisa membimbing anak-anak mengeksplorasi dunia digital jika sekolahnya hanya memiliki beberapa unit komputer tua yang sering rusak? Keterbatasan infrastruktur ini menjadi jurang pemisah yang menghambat pemerataan pendidikan.

Jangan sampai program coding di SD hanya menjadi hiasan di atas kertas, atau lebih parah lagi, menjadi proyek mercusuar yang menghabiskan anggaran tanpa hasil yang nyata. Kita perlu belajar dari pengalaman masa lalu, di mana banyak program pendidikan gagal karena tidak disiapkan dengan matang.

Ingatlah implementasi Kurikulum 2013 yang terburu-buru dan penuh kontroversi. Guru-guru dipaksa beradaptasi dengan metode pembelajaran baru tanpa pelatihan yang memadai. Buku-buku teks terlambat didistribusikan. Akibatnya, banyak guru yang kebingungan dan siswa yang tertekan. Kurikulum yang seharusnya menjadi panduan justru menjadi beban.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)
Jangan biarkan sejarah berulang. Sebelum menerapkan coding di SD, pastikan semua infrastruktur pendukung sudah tersedia. Pastikan akses internet merata hingga ke pelosok negeri. Pastikan setiap sekolah memiliki laboratorium komputer yang lengkap dan terawat dengan baik, dilengkapi dengan perangkat lunak yang dibutuhkan. Kesiapan infrastruktur ini merupakan investasi jangka panjang untuk membangun generasi digital yang kompeten.

Yang tak kalah penting, investasikan pada peningkatan kompetensi guru. Berikan pelatihan yang intensif dan berkelanjutan agar mereka mampu mengajarkan coding dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami anak-anak. Guru harus menjadi garda terdepan dalam penerapan program ini, bukan korban dari kebijakan yang kurang matang.

Pentingnya Pengembangan Holistik

Di tengah gegap gempita coding, jangan sampai kita melupakan hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Coding memang penting, tetapi bukan satu-satunya keterampilan yang dibutuhkan anak-anak di era digital. Jangan lupakan pentingnya mengembangkan kemampuan literasi, numerasi, dan keterampilan sosial emosional. Pendidikan harus holistik, mencakup semua aspek perkembangan anak.

Kita tidak ingin menciptakan generasi yang mahir coding tetapi miskin empati, kreatif dalam dunia digital tetapi gagap dalam interaksi sosial. Anak-anak perlu dibekali dengan keterampilan yang utuh agar mereka bisa menavigasi kompleksitas dunia modern dengan bijak. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan emosional dan spiritual.

Penerapan coding di SD harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Mulailah dari sekolah-sekolah yang sudah memiliki infrastruktur dan guru yang siap. Lakukan uji coba dan evaluasi secara berkala untuk mengukur efektivitas program dan mengidentifikasi kendala yang muncul. Jangan tergesa-gesa, jangan terjebak pada euforia sesaat. Pikirkan baik-baik dampak jangka panjang dari kebijakan yang kita ambil. Ingat, kita bertanggung jawab atas masa depan generasi penerus bangsa.

Peran Krusial Guru

Dalam implementasi program coding di SD, guru memegang peran yang sangat krusial. Guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi fasilitator yang membimbing siswa mengeksplorasi dunia coding dengan cara yang menyenangkan dan bermakna. Guru harus mampu menumbuhkan rasa ingin tahu, merangsang kreativitas, dan membangun kepercayaan diri siswa dalam belajar coding.

Guru perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan pedagogis yang relevan dengan dunia digital. Mereka harus mampu mengintegrasikan coding ke dalam berbagai mata pelajaran, sehingga siswa dapat melihat relevansi coding dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam pelajaran matematika, siswa dapat belajar membuat program sederhana untuk menghitung luas bangun datar. Dalam pelajaran IPA, mereka dapat membuat simulasi pergerakan planet atau pertumbuhan tanaman.

Dengan cara ini, coding bukan lagi mata pelajaran yang asing dan menakutkan, tetapi menjadi alat yang menarik untuk mempelajari konsep-konsep lain. Guru pun menjadi lebih percaya diri dalam mengajarkan coding karena mereka melihat dampak positifnya pada proses pembelajaran.

Namun, meningkatkan kompetensi guru tidaklah mudah. Dibutuhkan komitmen dan investasi yang besar dari pemerintah. Program pelatihan guru harus dirancang dengan baik, melibatkan para ahli di bidang teknologi dan pendidikan. Pelatihan tidak boleh hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga pada aspek pedagogis. Guru perlu diajari bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi siswa, dan menangani keragaman kemampuan belajar.

Menjamin Akses dan Kesetaraan

Tantangan lain dalam menerapkan coding di SD adalah menjamin akses dan kesetaraan bagi semua siswa. Kita hidup di negara kepulauan dengan kondisi geografis yang beragam. Tidak semua daerah memiliki akses internet yang memadai. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang lengkap. Kesenjangan ini akan semakin melebar jika tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menjembatani.

Oleh karena itu, pemerintah perlu merancang strategi khusus untuk menjangkau daerah-daerah tertinggal. Program pemerataan akses internet dan pengadaan fasilitas sekolah harus diprioritaskan. Jangan sampai program coding ini hanya dinikmati oleh segelintir anak di kota besar, sementara anak-anak di daerah terpencil semakin tertinggal.

Selain itu, pemerintah perlu menyediakan program bantuan bagi siswa dari keluarga kurang mampu agar mereka dapat memiliki perangkat yang dibutuhkan untuk belajar coding. Program beasiswa dan subsidi juga perlu diperluas agar semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali.

Di era disrupsi yang penuh ketidakpastian ini, kita tidak bisa lagi menerapkan pola pikir lama. Kita perlu berani berinovasi, mencari solusi baru untuk mengatasi permasalahan yang semakin kompleks. Coding adalah salah satu kunci untuk membuka pintu masa depan. Namun, jangan sampai kita terjebak pada euforia teknologi semata. Ingatlah bahwa tujuan akhir pendidikan adalah menciptakan manusia yang utuh, berkarakter, dan bermanfaat bagi sesama.

Mari kita siapkan generasi penerus bangsa dengan bekal keterampilan yang relevan dengan zamannya, tetapi juga dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Hanya dengan cara itu, kita bisa menghadapi masa depan dengan optimisme dan kepercayaan diri.

Akhirnya, semua kembali kepada kita. Apakah kita akan membiarkan coding di SD menjadi program yang gagal lagi? Atau akankah kita belajar dari pengalaman masa lalu dan menyiapkan segalanya dengan matang? Pilihan ada di tangan kita.


Era disrupsi menuntut adaptasi dan inovasi. Dunia dituntut untuk selalu berubah, beradaptasi, dan menciptakan hal baru. Namun, ironisnya, dunia akademik di Indonesia justru terbelenggu oleh regulasi yang kaku dan birokratis. Salah satunya adalah aturan ISBN (International Standard Book Number) yang semakin ketat pasca pandemi Covid-19. Perpustakaan Nasional (Perpusnas), dengan alasan mencegah penyalahgunaan ISBN, membatasi penerbitannya hanya untuk kategori buku tertentu. Akibatnya, banyak dosen, khususnya yang menerbitkan buku di luar jalur penerbit mayor, kesulitan mendapatkan ISBN. Padahal, ISBN merupakan salah satu syarat utama bagi Ditjen Dikti untuk mengakui sebuah buku sebagai karya ilmiah yang dapat meningkatkan angka kredit dosen.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Dosen, sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan tinggi, dituntut untuk terus mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya inovatif. Menulis buku merupakan salah satu cara bagi dosen untuk menuangkan ide, gagasan, dan hasil penelitian mereka, sekaligus berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, semangat dan kreativitas dosen dalam menulis buku terhambat oleh aturan ISBN yang semakin ketat.

Perpusnas beralasan bahwa pengetatan ISBN dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan. Banyak oknum yang memanfaatkan ISBN untuk kepentingan pribadi, menerbitkan buku fiktif yang tidak pernah dicetak dan diedarkan secara publik. Kebijakan ini memang dapat dipahami sebagai upaya menjaga kredibilitas ISBN sebagai identitas resmi sebuah buku. Namun, di sisi lain, kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru bagi para dosen yang ingin menerbitkan buku sebagai bagian dari pengembangan diri dan karir akademik mereka.

Kategori buku yang diprioritaskan untuk mendapatkan ISBN pun semakin dipersempit. Buku ajar, monograf, dan buku referensi yang diterbitkan oleh penerbit mayor dengan reputasi baik masih relatif mudah mendapatkan ISBN. Namun, buku-buku yang ditulis oleh mahasiswa, dosen, atau peneliti independen, khususnya yang diterbitkan oleh penerbit indie atau self-publishing, seringkali ditolak pengajuan ISBN-nya. Alasannya beragam, mulai dari tema yang dianggap tidak relevan, jumlah halaman yang terlalu sedikit, hingga format penulisan yang tidak sesuai standar.

Ironisnya, di saat yang sama, Ditjen Dikti mensyaratkan ISBN sebagai salah satu prasyarat pengakuan karya tulis ilmiah bagi dosen. Buku ber-ISBN memiliki nilai angka kredit yang lebih tinggi dibandingkan karya tulis lain seperti artikel jurnal atau makalah seminar. Akibatnya, banyak dosen yang merasa frustrasi karena karya mereka, meskipun berkualitas dan bermanfaat, tidak diakui secara optimal oleh Ditjen Dikti hanya karena terkendala ISBN.

Situasi ini menciptakan dilema bagi dosen. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menghasilkan karya tulis berupa buku untuk meningkatkan angka kredit dan karir akademik mereka. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada aturan ISBN yang semakin ketat dan membatasi ruang gerak mereka dalam berkreasi dan berinovasi.

Kebijakan Perpusnas yang memperketat ISBN sebenarnya dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga kualitas dan kredibilitas ISBN sebagai identitas resmi sebuah buku. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini justru menimbulkan dampak negatif bagi dunia akademik, khususnya bagi para dosen yang ingin menerbitkan buku.

Salah satu dampak negatif yang paling terasa adalah menurunnya motivasi dan produktivitas dosen dalam menulis buku. Banyak dosen yang merasa enggan untuk menulis buku karena dihadapkan pada proses yang rumit dan berbelit-belit dalam mendapatkan ISBN. Mereka lebih memilih untuk menulis artikel jurnal atau makalah seminar yang proses publikasinya lebih mudah dan cepat.

Selain itu, kebijakan ini juga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Buku merupakan salah satu media penting untuk menyebarkan dan melestarikan ilmu pengetahuan. Dengan semakin sulitnya dosen untuk menerbitkan buku, maka penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan pun menjadi terhambat.

Di era disrupsi yang menuntut adaptasi dan inovasi, kebijakan yang kaku dan birokratis justru menjadi batu sandungan bagi kemajuan dunia akademik di Indonesia. Perlu ada penyesuaian dan fleksibilitas dalam aturan ISBN agar tidak menghambat kreativitas dan produktivitas dosen dalam menulis buku.

Pemerintah, dalam hal ini Perpusnas dan Ditjen Dikti, perlu mencari solusi yang lebih bijak dalam mengatasi masalah penyalahgunaan ISBN tanpa harus mengorbankan kepentingan para dosen yang ingin menerbitkan buku. Salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan sistem identifikasi buku yang lebih modern, efisien, dan mudah diakses, seperti QRCBN (Quick Response Code Book Number).

QRCBN adalah sistem identifikasi buku berbasis kode QR yang dikembangkan oleh beberapa organisasi di Indonesia. Layaknya ISBN, QRCBN memberikan identitas unik pada setiap buku, memudahkan pelacakan, dan membantu pengendalian distribusi. Kelebihan QRCBN dibandingkan ISBN adalah prosesnya yang lebih cepat, mudah, dan murah. QRCBN juga lebih fleksibel dan inklusif, dapat digunakan untuk semua jenis buku, termasuk buku yang diterbitkan secara mandiri atau oleh penerbit indie.

Dengan menggunakan QRCBN, para dosen dapat lebih mudah menerbitkan buku tanpa harus melewati proses birokrasi yang rumit dan berbelit-belit. Hal ini akan mendorong peningkatan produktivitas dan kreativitas dosen dalam menulis buku, sekaligus mempercepat penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Selain itu, QRCBN juga sejalan dengan semangat transformasi digital yang sedang digencarkan pemerintah. Sebagai sistem identifikasi buku berbasis kode QR, QRCBN memudahkan akses dan penyebaran informasi tentang buku secara digital. Hal ini tentu saja akan mempermudah proses pencarian, pelacakan, dan verifikasi data buku.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Perpusnas dan Ditjen Dikti, untuk mengakui dan menerapkan QRCBN sebagai salah satu sistem identifikasi buku yang sah di Indonesia. Dengan demikian, para dosen dapat memiliki lebih banyak pilihan dalam menerbitkan buku, baik melalui ISBN maupun QRCBN, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka.

Pengakuan dan penerapan QRCBN juga merupakan bentuk dukungan pemerintah terhadap perkembangan dunia akademik di Indonesia. Dengan memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi para dosen dalam menerbitkan buku, pemerintah berkontribusi dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi buku, sekaligus mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.

QRCBN: Solusi Inklusif dan Adaptif bagi Dosen Penulis

Di tengah perdebatan seputar ISBN dan tantangan yang dihadapi dosen dalam menerbitkan buku, QRCBN hadir sebagai alternatif yang menjanjikan. QRCBN adalah sistem identifikasi buku berbasis kode QR yang dikembangkan oleh beberapa organisasi di Indonesia. Lebih mudah, cepat, dan murah, QRCBN dapat digunakan untuk semua jenis buku, termasuk yang diterbitkan secara mandiri atau oleh penerbit indie.

QRCBN lahir dari kebutuhan untuk menciptakan sistem identifikasi buku yang lebih adaptif, responsif, dan inklusif. Di era digital yang serba cepat dan dinamis, ISBN dirasa sudah tidak lagi relevan dan cukup memberatkan, terutama bagi dosen dan penulis indie yang ingin menerbitkan buku secara mandiri.

Kelebihan QRCBN dibandingkan ISBN cukup signifikan. Pertama, proses penerbitan QRCBN jauh lebih cepat dan mudah. Dosen tidak perlu melewati proses birokrasi yang rumit dan berbelit-belit seperti halnya ISBN. Cukup dengan mendaftarkan buku mereka ke lembaga penerbit QRCBN, maka kode QR unik akan segera diterbitkan.

Kedua, QRCBN lebih murah dibandingkan ISBN. Bahkan, ada beberapa lembaga penerbit QRCBN yang menawarkan jasa mereka secara gratis. Hal ini tentu saja sangat membantu dosen yang memiliki keterbatasan dana dalam menerbitkan buku.

Ketiga, QRCBN lebih fleksibel dan inklusif. QRCBN dapat digunakan untuk semua jenis buku, tanpa terkecuali. Tidak ada pembatasan kategori atau jenis buku seperti halnya ISBN. Hal ini sangat menguntungkan bagi dosen yang ingin menerbitkan buku dengan tema atau format yang tidak biasa.

Keempat, QRCBN lebih mudah diakses dan disebarluaskan. Kode QR dapat dicetak di buku fisik maupun ditampilkan di buku digital. Pembaca cukup memindai kode QR tersebut dengan smartphone untuk mendapatkan informasi lengkap tentang buku, termasuk judul, penulis, penerbit, tahun terbit, dan sinopsis.

Dengan segala kelebihannya, QRCBN memiliki potensi besar untuk mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produksi buku di Indonesia. QRCBN memudahkan siapa saja, termasuk dosen, mahasiswa, dan masyarakat umum, untuk menerbitkan buku dan berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Namun, potensi QRCBN ini belum dapat dimaksimalkan secara optimal karena belum adanya pengakuan resmi dari pemerintah, khususnya Ditjen Dikti. Saat ini, buku ber-QRCBN belum diakui sebagai karya ilmiah yang dapat meningkatkan angka kredit dosen. Hal ini tentu saja sangat disayangkan.

Sudah saatnya Ditjen Dikti mengakui QRCBN sebagai identitas resmi buku dan memberikan angka kredit yang setimpal bagi dosen yang menerbitkan buku ber-QRCBN. Pengakuan ini penting untuk memberikan apresiasi dan motivasi bagi dosen yang telah berkarya dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Selain itu, pengakuan QRCBN oleh Ditjen Dikti juga sejalan dengan semangat transformasi digital yang sedang digencarkan pemerintah. QRCBN merupakan sistem identifikasi buku yang modern, efisien, dan mudah diakses. Dengan menggunakan kode QR, informasi tentang buku dapat diakses secara instan melalui smartphone atau perangkat digital lainnya. Hal ini tentu saja akan mempermudah proses pencarian, pelacakan, dan verifikasi data buku.

Lebih jauh lagi, pengakuan QRCBN oleh Ditjen Dikti dapat mendorong terciptanya ekosistem literasi yang lebih inklusif. QRCBN memberikan kesempatan bagi semua orang, tanpa terkecuali, untuk menerbitkan buku dan berbagi pengetahuan. Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan minat baca dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Oleh karena itu, sudah saatnya Ditjen Dikti menghilangkan ego sektoral dan berpikir lebih terbuka dalam menyikapi perkembangan teknologi dan inovasi di bidang literasi. Pengakuan QRCBN bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah peluang untuk memajukan dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Jangan biarkan para dosen yang bersemangat menulis terhambat oleh regulasi yang kaku dan tidak relevan. Berikan mereka ruang dan apresiasi yang layak, agar mereka dapat terus berkarya dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. QRCBN adalah solusi yang menjanjikan untuk mewujudkan hal tersebut.

Dengan mengakui QRCBN, Ditjen Dikti tidak hanya memberikan keadilan bagi dosen, tetapi juga mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produksi buku di Indonesia. Lebih jauh lagi, pengakuan terhadap QRCBN akan mempercepat transformasi digital di dunia pendidikan tinggi dan membangun ekosistem literasi yang lebih inklusif.

Kala senja menyapa Yogyakarta di penghujung abad ke-19, K.H. Ahmad Dahlan, sosok yang kelak menjadi pelita Muhammadiyah, termenung di Langgar Kidul. Sepulang menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama di tanah suci, hatinya gelisah. Ada yang mengganjal dalam pelaksanaan ibadah umat Islam di kampung halamannya. Arah kiblat, yang seharusnya mengarah tepat ke Ka'bah di Mekkah, terasa melenceng. Kegelisahan ini bukan tanpa dasar. Selama di Mekkah, Kiai Dahlan tekun mempelajari ilmu falak, ilmu tentang pergerakan benda-benda langit. Pengetahuannya ini memberinya keyakinan bahwa arah kiblat di Masjid Gedhe Kauman dan masjid-masjid lain di Yogyakarta perlu diluruskan.

Tekad Kiai Dahlan membuncah. Ia ingin meluruskan arah kiblat, bukan hanya secara fisik, tetapi juga sebagai simbol pemurnian ibadah umat. Namun, jalan yang terbentang tidaklah mudah. Pemikirannya yang progresif, yang mendasarkan penentuan arah kiblat pada ilmu falak, berbenturan dengan tradisi yang telah mengakar kuat. Para ulama dan masyarakat awam kala itu masih berpegang pada metode tradisional yang diwariskan turun-temurun.

Ilustrasi Arah Kiblat (Gambar : pngtree)

Kiai Dahlan mencoba mengajak dialog, menjelaskan dengan sabar berdasarkan ilmu yang dipelajarinya. Ia menunjukkan perhitungan dan bukti-bukti bahwa arah kiblat yang selama ini digunakan memang kurang tepat. Namun, respons yang diterimanya jauh dari dukungan. Sebagian besar ulama menolak gagasannya, bahkan menudingnya menyebarkan ajaran sesat yang dapat menimbulkan kekacauan.

Di tengah penolakan dan cemoohan, Kiai Dahlan tidak gentar. Ia meyakini kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan. Keyakinan itulah yang mendorongnya untuk tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Ia mulai menerapkan arah kiblat yang diyakininya benar di Langgar Kidul, tempat ia mengajar dan membimbing para santrinya.

Langkah Kiai Dahlan ini semakin memantik kontroversi. Masyarakat terpecah, ada yang mendukung, namun lebih banyak yang menentangnya. Puncaknya, ketika para murid Kiai Dahlan membuat tanda shaf baru di Masjid Gedhe Kauman sesuai dengan arah kiblat yang telah diluruskan. Peristiwa ini membuat Kanjeng Penghulu Keraton, yang merupakan otoritas keagamaan tertinggi kala itu, murka. Langgar Kidul dibongkar, dan Kiai Dahlan mendapat tekanan hebat untuk menghentikan "bid'ah"-nya.

Semangat Pembaruan di Tengah Badai Penolakan

Kiai Dahlan dihadapkan pada pilihan sulit: menyerah pada tekanan atau tetap berjuang demi keyakinannya. Ia hampir saja putus asa, ingin meninggalkan Kauman, bahkan Yogyakarta. Namun, berkat dukungan dan nasehat dari orang-orang terdekatnya, ia kembali tegar. Kiai Dahlan menyadari bahwa perjuangan meluruskan arah kiblat bukanlah sekedar persoalan fisik, melainkan bagian dari upaya membangun masyarakat Islam yang berkemajuan, yang berlandaskan pada al-Qur'an dan sunnah, serta terbuka terhadap ilmu pengetahuan.

Perlahan namun pasti, usaha Kiai Dahlan mulai membuahkan hasil. Semakin banyak orang yang memahami maksud dan tujuannya. Mereka tergerak oleh keteguhan dan keikhlasan Kiai Dahlan dalam menyampaikan kebenaran. Dukungan pun mulai berdatangan, tidak hanya dari kalangan awam, tetapi juga dari sebagian ulama yang berpikiran terbuka.

Kiai Dahlan tidak hanya berjuang meluruskan arah kiblat. Ia juga mengajarkan pentingnya menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Ia mendorong umat Islam untuk tidak takut pada kemajuan zaman, melainkan harus aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perjuangan Kiai Dahlan ini menjadi cikal bakal berdirinya Muhammadiyah pada tahun 1912. Organisasi ini lahir dengan semangat pembaruan, menyerukan kembali pada ajaran Islam yang murni, serta menganjurkan umat Islam untuk memajukan diri dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial kemasyarakatan.

Meluruskan Arah Kiblat: Metafora Gerakan Muhammadiyah

Kisah K.H. Ahmad Dahlan meluruskan arah kiblat di Yogyakarta menjelang abad ke-20, mengandung makna filosofis mendalam bagi gerakan Muhammadiyah. Peristiwa ini bukanlah sekedar koreksi arah bangunan fisik, melainkan sebuah perumpamaan tentang semangat pembaruan yang menjadi roh perjuangan Muhammadiyah. Meluruskan arah kiblat sejatinya merupakan upaya pemurnian aqidah, penajaman orientasi hidup, dan peneguhan komitmen umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya.

Ibarat pedoman yang menunjukkan arah, kiblat menjadi penentu dalam menjalankan ibadah shalat. Arah yang benar akan mengantarkan pada sasaran yang tepat, sementara arah yang melenceng akan menyebabkan kesesatan. Demikian pula dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, umat Islam harus memiliki orientasi yang jelas dan lurus, yaitu mencapai ridha Allah SWT dan kemaslahatan bersama.

Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan meluruskan arah kiblat mengajarkan kita untuk senantiasa berpegang teguh pada kebenaran, meskipun harus berhadapan dengan rintangan dan tantangan. Beliau menunjukkan bahwa kebenaran harus diperjuangkan, meskipun harus berkorban dan menanggung resiko. Sikap teguh pendirian dan keberanian beliau dalam menyuarakan kebenaran patut diteladani oleh setiap generasi Muhammadiyah.

Meluruskan arah kiblat juga merupakan simbol dari semangat ijtihad dan pembaruan dalam beragama. K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan kita untuk tidak taklid buta terhadap tradisi dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Umat Islam harus berani menggunakan akal dan pikirannya untuk memahami agama secara mendalam dan mencari solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi.

Semangat meluruskan arah kiblat juga relevan dengan upaya Muhammadiyah dalam mencerahkan umat dan memajukan bangsa. Muhammadiyah harus terus berperan aktif dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Muhammadiyah juga harus menjadi pelopor dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat meluruskan arah kiblat dapat dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas dari korupsi. Muhammadiyah harus aktif dalam mengawal jalannya pemerintahan agar senantiasa berpihak pada kepentingan rakyat.

Meluruskan arah kiblat juga bermakna menjaga ukhuwah islamiyah dan kerukunan antarumat beragama. Muhammadiyah harus terus mempromosikan dialog dan kerjasama antarumat beragama guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa.

Di era globalisasi ini, semangat meluruskan arah kiblat juga berarti menjaga identitas dan jati diri bangsa di tengah arus budaya global. Muhammadiyah harus mampu menyaring berbagai pengaruh budaya asing yang masuk ke Indonesia, sehingga umat Islam tidak terjerumus pada hedonisme, materialisme, dan sekularisme.

Dengan demikian, semangat meluruskan arah kiblat merupakan spirit yang terus menyala dalam gerakan Muhammadiyah. Semangat ini mendorong Muhammadiyah untuk terus berbenah diri, memperbaiki kualitas ibadah, menuntut ilmu, dan berkontribusi positif bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan.

Semangat meluruskan arah kiblat bukanlah sebuah slogan kosong, melainkan sebuah aksi nyata yang harus diwujudkan dalam setiap langkah dan gerakan Muhammadiyah. Setiap warga Muhammadiyah harus menjadi pelopor pembaruan, agen perubahan, dan inspirator kemajuan bagi lingkungan sekitarnya.

Melalui semangat meluruskan arah kiblat, Muhammadiyah akan terus berkiprah dalam mencerahkan umat, memajukan bangsa, dan mewujudkan peradaban yang berkemajuan. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk-Nya kepada kita semua dalam menjalankan amanah ini.

Relevansi di Era Modern

Di era modern yang diwarnai arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, semangat "meluruskan arah kiblat" yang diwariskan K.H. Ahmad Dahlan tetap menjadi kompas bagi gerakan Muhammadiyah. Semangat ini bukan hanya tentang arah fisik dalam shalat, melainkan sebuah metafora untuk terus menerus memurnikan niat, mencari kebenaran sejati, dan beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri.

Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam yang lahir dari semangat pembaruan, memikul tanggung jawab untuk menjawab tantangan zaman. Permasalahan kemiskinan, kebodohan, kesenjangan sosial, dan degradasi moral menuntut langkah nyata dan solutif. Diperlukan ijtihad dan terobosan baru agar Muhammadiyah tetap relevan dan bermanfaat bagi umat dan bangsa.

Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah dituntut untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikannya, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Kurikulum harus dikembangkan agar mampu menghasilkan lulusan yang berintelektualitas tinggi, berakhlak mulia, dan memiliki daya saing global. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran juga harus dioptimalkan.

Di bidang kesehatan, Muhammadiyah harus terus meningkatkan pelayanan kesehatan melalui jaringan rumah sakit dan klinik yang dimilikinya. Akses pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas harus dijamin bagi seluruh lapisan masyarakat. Pengembangan riset dan inovasi di bidang kesehatan juga perlu didorong agar Muhammadiyah dapat berkontribusi dalam meningkatkan derajat kesehatan bangsa.

Di bidang ekonomi, Muhammadiyah perlu menguatkan peran lembaga keuangan mikro dan usaha kecil menengah yang dimilikinya. Pemberdayaan ekonomi umat melalui pengembangan kewirausahaan dan koperasi harus terus ditingkatkan. Muhammadiyah juga harus aktif dalam menciptakan lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran.

Di bidang sosial kemasyarakatan, Muhammadiyah harus terus berperan aktif dalam mengatasi berbagai persoalan sosial, seperti kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Program-program pemberdayaan masyarakat harus ditingkatkan efektivitasnya agar mampu menciptakan masyarakat yang mandiri dan sejahtera.

Dalam menyikapi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, Muhammadiyah harus bijak dan cermat. Di satu sisi, teknologi informasi dan komunikasi dapat menjadi sarana dakwah yang efektif dan menjangkau masyarakat luas. Namun di sisi lain, teknologi informasi dan komunikasi juga memiliki potensi negatif, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan pornografi. Oleh karena itu, literasi digital harus ditingkatkan agar warga Muhammadiyah dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara bijak dan bertanggung jawab.

Muhammadiyah juga harus tetap waspada terhadap berbagai ideologi dan paham yang bertentangan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin. Ekstremisme, radikalisme, dan terorisme harus diberantas karena merusak citra Islam dan mengancam keutuhan bangsa. Muhammadiyah harus aktif dalam mempromosikan Islam yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam menjalankan perannya di era modern ini, Muhammadiyah harus terus memperkuat soliditas dan konsolidasi organisasi. Kerjasama antar berbagai unsur di dalam Muhammadiyah, mulai dari pimpinan pusat hingga ranting, harus terus ditingkatkan. Partisipasi aktif dari seluruh warga Muhammadiyah juga sangat diperlukan agar Muhammadiyah dapat terus berkembang dan berkontribusi bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan.

***

Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan meluruskan arah kiblat merupakan tonggak penting dalam sejarah Muhammadiyah. Perjuangan ini mengajarkan kita tentang pentingnya berpegang teguh pada kebenaran, berani menyuarakan kebenaran, dan terus berusaha untuk memperbaiki diri dan masyarakat.

Semoga semangat meluruskan arah kiblat ini terus menginspirasi kita semua untuk menjadi muslim yang berkemajuan, yang senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas ibadah, menuntut ilmu, dan berkontribusi positif bagi umat dan bangsa. 

Jogja, kota pelajar, kota budaya, kota gudeg, kota kenangan. Julukan itu melekat erat, mencerminkan pesona Jogja yang khas, memikat hati siapa saja yang singgah. Tak heran banyak orang datang untuk menuntut ilmu, mencari pengalaman, mencicipi manisnya kehidupan. Jogja merangkul mereka semua, menawarkan kehangatan, kenyamanan, dan kesempatan.

Namun, ada fenomena unik terjadi di Jogja. Fenomena yang tak selalu tertangkap mata, tersembunyi di balik hiruk pikuk kehidupan kota. Jogja, dengan segala daya tariknya, mampu mengubah jalan hidup seseorang, mengubah impian, mengubah identitas. Kisah ini bermula dari seorang pemuda, datang dari jauh, berbekal semangat membara, ingin meraih gelar sarjana di salah satu kampus keagamaan ternama. Ia bermimpi menjadi intelektual muslim, menyebarkan ilmu pengetahuan, menebar manfaat bagi umat.

Ilustrasi (Gambar : Pngtree)

Namun takdir berkata lain. Jalannya tak semulus yang dibayangkan. Tantangan datang silih berganti, godaan dunia menghampiri, membuatnya goyah, ragu akan pilihannya. Ia terlena, terpikat gemerlap dunia, lupa akan tujuan awal. Studinya terbengkalai, gelar sarjana yang diimpikan tak kunjung diraih. Namun, ia tak ingin pulang, tak ingin meninggalkan Jogja. Ia telah jatuh cinta pada kota ini, pada suasana nyaman, pada keramahan penduduknya, pada budaya yang kaya. Ia memutuskan untuk menetap, mencari jalan hidup baru, mengukir takdirnya sendiri.

Di tengah pencarian jati diri, ia menemukan peluang tak terduga. Ia melihat celah, memanfaatkan situasi, menciptakan persona baru. Ia bertransformasi, menjadi sosok yang berbeda, sosok yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia menjadi seorang penceramah, menyampaikan ceramah agama, menghibur jamaah dengan gaya bicaranya yang khas. Ia mulai dikenal, diundang ke berbagai acara, namanya semakin populer.

Seiring berjalannya waktu, ia semakin percaya diri, semakin berani, semakin kontroversial. Ia melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, menghina orang lain, merendahkan profesi tertentu. Ia lupa diri, terbuai popularitas, terlena pujian. Hingga suatu hari, perbuatannya menuai kecaman, videonya viral, namanya menjadi trending topic. Publik geram, menuntut pertanggungjawaban, mengungkap identitas aslinya. Terkuaklah fakta mengejutkan, ia bukanlah seorang sarjana, bukan pula anak kyai. Gelar "Gus" yang ia sandang hanyalah tempelan, topeng untuk menutupi masa lalunya.

Kisah ini menjadi pelajaran berharga, refleksi bagi kita semua. Jogja, dengan segala keindahannya, memang memiliki daya magis, mampu mengubah hidup seseorang. Namun, perubahan itu bisa berujung positif, bisa pula negatif. Semua tergantung pada diri kita sendiri, pada pilihan yang kita buat, pada jalan yang kita tempuh. Jogja menawarkan kesempatan, tetapi tidak menjamin kesuksesan. Jogja memberikan kebebasan, tetapi tidak membebaskan dari tanggung jawab.

Jogja, kota istimewa, kota yang tak pernah berhenti memberi kejutan. Tak hanya gelar sarjana, master, atau doktor, Jogja kini juga menawarkan gelar baru, gelar "Gus" bagi mereka yang pandai memanfaatkan peluang. Bahkan, bagi mereka yang ingin lebih dekat dengan budaya Jawa, Jogja membuka kesempatan menjadi abdi dalem keraton, meski bukan warga asli Jogja.

Jogja, kota inklusif, merangkul semua orang, dari berbagai latar belakang, dari berbagai daerah. Jogja, rumah kedua bagi siapa saja yang ingin merasakan kehangatan, kedamaian, dan kebahagiaan. Jogja, kota yang selalu dirindukan, kota yang tak pernah terlupakan.

Dunia maya kembali dihebohkan dengan aksi seorang penceramah agama bergelar "Gus" yang menggoblok-goblokkan penjual es teh. Ucapannya yang kasar dan merendahkan memicu amarah netizen. Sang Gus, dengan entengnya, berdalih hanya bercanda. Netizen semakin geram. Bercanda boleh, tapi menghina orang lain jelas melewati batas.

Insiden ini memantik pertanyaan menarik: Bagaimana sebenarnya sejarah dan makna gelar "Gus" dalam konteks keagamaan di Indonesia? Gelar "Gus" umumnya disematkan kepada anak laki-laki seorang kyai, pemimpin pesantren. Gelar ini merupakan bentuk penghormatan atas garis keturunan dan keilmuan agama yang diharapkan mengalir dalam diri mereka. Gus diasosiasikan dengan sosok yang santun, berilmu, dan berwibawa.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Namun, seiring berjalannya waktu, penggunaan gelar "Gus" mengalami pergeseran makna. Kini, banyak penceramah agama yang menyandang gelar "Gus" meskipun bukan anak kyai. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan tentang standar dan kualifikasi seseorang untuk menyandang gelar tersebut.

Lalu, bagaimana dengan Muhammadiyah? Apakah ada "Gus" di Muhammadiyah? Jawabannya, tidak ada. Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam modernis, tidak mengenal sistem gelar kebangsawanan seperti "Gus" atau "Ning". Satu-satunya "Gus" yang real ada di Muhammadiyah adalah Agus. Lengkapnya Agus Taufiqurrahman, salah seorang Ketua Majelis di Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Berbicara tentang "Gus" dan guyonan sampah, menarik untuk mengamati gaya ceramah di Muhammadiyah. Para penceramah Muhammadiyah umumnya menyampaikan materi dengan bahasa yang lugas, sistematis, dan berfokus pada dalil Al-Quran dan Hadis. Gaya bercanda yang "nyeleneh" atau merendahkan jarang ditemukan.

Mengapa demikian? Muhammadiyah memiliki tradisi intelektual yang kuat. Pendirinya, KH. Ahmad Dahlan, menekankan pentingnya pendidikan dan pemikiran kritis. Para penceramah Muhammadiyah dituntut untuk menyampaikan materi yang berbobot dan berlandaskan dalil yang kuat.

Selain itu, Muhammadiyah juga menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan etika dalam berkomunikasi. Menghina atau merendahkan orang lain jelas bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.

Lantas, apakah penceramah Muhammadiyah tidak pernah bercanda? Tentu saja pernah. Namun, candaan mereka umumnya bersifat ringan, menyegarkan, dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Bahkan, banyak penceramah Muhammadiyah yang justru dikenal karena gaya ceramahnya yang serius dan mendalam [sebagian orang bahkan melabeli "mboseni" karena saking seriusnya dalam berceramah].

Boro-boro bercanda sampah, bercanda garing saja banyak yang tidak bisa. Ini bukan berarti penceramah Muhammadiyah kaku dan tidak humoris. Mereka hanya lebih memilih untuk menyampaikan materi dengan cara yang efektif dan bermartabat.

Fenomena "Gus" dan guyonan sampah mengingatkan kita akan pentingnya menjaga etika dan kesopanan dalam berkomunikasi, terutama ketika menyampaikan pesan-pesan agama. Gelar keagamaan seharusnya tidak dijadikan alat untuk meninggikan diri atau merendahkan orang lain.

Candaan boleh saja, asalkan tidak menyakiti hati orang lain. Mari kita jadikan agama sebagai sumber inspirasi dan motivasi untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Muhammadiyah, dengan tradisi intelektual dan etika komunikasinya, menunjukkan bahwa dakwah dapat disampaikan dengan cara yang cerdas, santun, dan bermartabat. 

Fenomena kampus-kampus yang berlomba-lomba memamerkan penghargaan internasional belakangan ini menjadi sorotan tajam. Deretan gelar dan sertifikat berbingkai indah menghiasi dinding-dinding kampus, seakan menjadi bukti tak terbantahkan atas kualitas dan reputasi institusi. Namun, di balik gemerlapnya pengakuan global itu, tersimpan sebuah realitas yang patut diwaspadai: jebakan "pseudo academic award".

Ibarat fatamorgana di padang pasir, penghargaan-penghargaan ini tampak meyakinkan dari kejauhan, namun menghilang tak berbekas saat didekati. Lembaga-lembaga pemberi penghargaan, yang seringkali berkedok organisasi internasional bergengsi, tak lebih dari sekadar mesin pencetak sertifikat. Kredibilitas mereka dipertanyakan, metodologi penilaian mereka tak jelas, dan seringkali, penghargaan diberikan kepada siapapun yang bersedia membayar.
Ilustrasi Piala Penghargaan (Gambar : Istimewa)

Praktik "pseudo academic award" ini merupakan bentuk penipuan yang merugikan banyak pihak. Kampus-kampus terjebak dalam permainan citra dan pemborosan anggaran, sementara masyarakat dibingungkan oleh informasi yang menyesatkan. Lebih parah lagi, hal ini mencederai nilai-nilai akademik dan merendahkan arti sebuah penghargaan yang sesungguhnya.

Jebakan “Pseudo Academic Award”: Mengapa Kampus Tergiur?

Maraknya fenomena "pseudo academic award" tak lepas dari tekanan yang dihadapi perguruan tinggi di era digital. Persaingan antar kampus semakin ketat, menuntut mereka untuk terus meningkatkan citra dan daya saing. Di sisi lain, masyarakat semakin kritis dalam memilih lembaga pendidikan, menjadikan penghargaan dan pengakuan eksternal sebagai salah satu faktor pertimbangan utama.

Dalam situasi seperti ini, "pseudo academic award" menjadi jalan pintas yang menggiurkan. Dengan membayar sejumlah uang, kampus bisa memperoleh pengakuan internasional secara instan, tanpa harus melalui proses evaluasi yang ketat dan berkelanjutan. Penghargaan tersebut kemudian dijadikan alat promosi untuk menarik mahasiswa baru dan meningkatkan "branding" kampus.

Sayangnya, banyak kampus yang terjebak dalam permainan ini tanpa melakukan uji tuntas terhadap lembaga pemberi penghargaan. Mereka terbuai oleh iming-iming pengakuan internasional dan terlena oleh sertifikat berdesain menarik yang seolah-olah menunjukkan prestasi gemilang. Padahal, di balik itu semua, terdapat praktik bisnis yang meragukan dan menyesatkan.

Fenomena ini juga diperparah oleh kurangnya pemahaman tentang standar penghargaan internasional yang sesungguhnya. Banyak kampus yang belum familiar dengan lembaga-lembaga akreditasi dan pemeringkatan internasional yang memiliki reputasi dan metodologi yang teruji. Akibatnya, mereka mudah tertipu oleh lembaga-lembaga abal-abal yang menawarkan penghargaan instan dengan harga murah.

Dampak Negatif "Pseudo Academic Award"

Praktik "pseudo academic award" memiliki dampak negatif yang cukup luas, baik bagi kampus, mahasiswa, maupun sistem pendidikan secara keseluruhan.

Bagi kampus, "pseudo academic award" dapat menimbulkan pemborosan anggaran. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk peningkatan kualitas pendidikan justru terbuang percuma untuk membeli penghargaan yang tidak memiliki nilai akademik. Selain itu, jika kebohongan terbongkar, reputasi kampus justru akan tercoreng dan kepercayaan masyarakat akan menurun.

Mahasiswa juga menjadi korban dari praktik ini. Mereka dijanjikan pendidikan berkualitas internasional, namun kenyataannya tidak sesuai dengan ekspektasi. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan dan merugikan masa depan mereka.

Lebih jauh lagi, "pseudo academic award" mencederai nilai-nilai akademik dan merendahkan arti sebuah penghargaan yang sesungguhnya. Penghargaan akademik seharusnya diberikan berdasarkan prestasi dan kualitas yang teruji, bukan diperjualbelikan sebagai komoditas. Jika praktik ini dibiarkan terus berlanjut, maka kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan akan semakin merosot.

Menghindari Jebakan "Pseudo Academic Award"

Untuk menghindari jebakan "pseudo academic award", diperlukan kewaspadaan dan kebijaksanaan dari semua pihak, terutama kampus sebagai institusi pendidikan.

Pertama, kampus perlu meningkatkan literasi informasi dan pemahaman tentang standar penghargaan internasional. Mereka harus mampu membedakan lembaga pemberi penghargaan yang kredibel dengan yang tidak. Jangan mudah tergiur dengan penghargaan instan yang ditawarkan dengan harga murah.

Kedua, kampus harus fokus pada peningkatan kualitas pendidikan dan penelitian secara berkelanjutan. Prestasi akademik yang sesungguhnya akan tercermin dari kualitas lulusan, publikasi ilmiah, dan kontribusi nyata bagi masyarakat.

Ketiga, pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap lembaga-lembaga pemberi penghargaan internasional yang beroperasi di Indonesia. Lembaga-lembaga yang terbukti melakukan praktik penipuan harus ditindak tegas.

Keempat, masyarakat juga perlu berperan aktif dalam memerangi "pseudo academic award". Jangan mudah percaya dengan klaim-klaim penghargaan internasional yang tidak jelas sumbernya. Lakukan penelusuran dan verifikasi informasi sebelum mengambil keputusan penting, seperti memilih kampus.

Dengan upaya bersama dari semua pihak, diharapkan praktik "pseudo academic award" dapat diberantas. Mari kita jaga marwah pendidikan Indonesia dan wujudkan sistem pendidikan yang berintegritas dan berkualitas.

Ingat, penghargaan sejati bukanlah sesuatu yang dibeli, melainkan diraih melalui kerja keras, dedikasi, dan kontribusi nyata bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Di tengah gejolak politik menjelang pemilihan kepala daerah, banyak calon terlihat lebih memilih untuk menawarkan kedekatan atau punya "beking" dengan elite politik di pusat, daripada merumuskan program-program inovatif yang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Strategi ini merupakan taktik yang sudah lazim dan menjadi salah satu cara untuk memperoleh dukungan politik dan finansial yang cukup signifikan.

Para calon tersebut seringkali mendeklarasikan bahwa mereka memiliki kerjasama erat dengan berbagai tokoh politik di tingkat nasional. Mereka bangga menyampaikan bahwa mereka dinaungi oleh figur-figur politik yang memiliki pengaruh kuat di legislatif maupun eksekutif pusat. Namun, pertanyaannya adalah, seberapa relevan dan bermanfaat hubungan tersebut bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di tingkat lokal?

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Dalam dinamika politik yang semakin terkoneksi di era digital ini, masyarakat cenderung lebih kritis dan cerdas dalam menyikapi narasi-narasi politik yang disuguhkan oleh para calon kepala daerah. Seharusnya, program-program yang diusung oleh calon haruslah mampu memberikan solusi konkret atas permasalahan yang dihadapi masyarakat setempat, bukan sekadar bahan pencitraan politik semata.

Ketika para calon kepala daerah lebih memilih untuk bersandar pada "beking" yang dimilikinya di tingkat pusat, ini memunculkan kekhawatiran bahwa kepentingan politik akan mendominasi atas kepentingan masyarakat. Sejatinya, sebuah pemimpin haruslah mampu mandiri dan bekerja secara independen, tanpa selalu mengandalkan bantuan atau koneksi politik dari pihak lain.

Menawarkan punya "beking" di pusat seakan menjadi alat untuk menarik simpati dan dukungan suara dari masyarakat. Namun, apakah hal tersebut benar-benar mencerminkan kapabilitas dan kompetensi dari seorang calon kepala daerah? Bukankah yang seharusnya menjadi fokus utama adalah visi, program kerja, dan integritas sang calon dalam menjalankan tugasnya?

Tidak dapat dipungkiri bahwa dukungan politik dari pusat dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi seorang calon kepala daerah. Namun, hal tersebut seharusnya tidak menjadi satu-satunya alasan bagi masyarakat untuk memilihnya. Penting bagi kita sebagai pemilih untuk lebih jeli melihat substansi dan daya saing dari setiap calon, daripada terpancing dengan isu-isu politik yang kurang relevan dengan kebutuhan riil masyarakat.

Masyarakat sebagai pemilih memiliki peran penting dalam mengawasi dan menentukan arah politik di daerahnya. Ketika kita memilih calon kepala daerah hanya karena alasan "beking" di pusat, maka sebenarnya kita turut serta dalam memperpetuat politik yang transaksional dan kurang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi sejati.

Pemilihan kepala daerah bukanlah ajang untuk memperebutkan kursi kekuasaan semata, tetapi seharusnya menjadi momen untuk memberikan mandat kepada pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat. Oleh karena itu, kita sebagai pemilih harus memilih dengan cerdas dan tidak terjebak dalam politik identitas atau isu yang cenderung mengaburkan visi dan misi seorang calon.

Kualitas kepemimpinan seharusnya dinilai berdasarkan rekam jejak, kapabilitas, dan komitmen seorang calon dalam menjalankan amanah rakyat. Menurut sejumlah pakar politik, terlalu bergantung pada "beking" di pusat justru dapat mengaburkan pandangan kita dalam menilai calon secara obyektif.

Para calon kepala daerah seharusnya mampu menyampaikan visi dan program kerja yang jelas dan terukur, bukan sekadar merujuk pada koneksi politik yang dimilikinya. Kedewasaan politik suatu daerah seharusnya tidak diukur dari seberapa besar dukungan elit politik di pusat yang dimiliki, melainkan dari komitmen nyata untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan persatuan di tengah-tengah masyarakat.

Mengabaikan aspek substansial dalam pemilihan kepala daerah dapat berdampak negatif bagi pembangunan di daerah tersebut. Kita sebagai pemilih harusnya lebih memperhatikan agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan oleh calon, bukan semata terpukau oleh listrik-lawang elit politik yang menyertainya.

Dengan memilih calon kepala daerah bukan atas dasar rekam jejak dan kinerja, melainkan hanya karena punya "beking" di pusat, kita sebenarnya telah merusak demokrasi dan memperlemah mekanisme akuntabilitas publik. Sebagai warga negara yang cerdas, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan suara kepada pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen terhadap kepentingan rakyat, bukan hanya sekadar kepentingan politik sempit.

Dalam memilih calon kepala daerah, mari bijak dan rasional dalam mengedepankan kepentingan rakyat di atas segalanya. Bersikap kritis terhadap narasi-narasi politik yang disuguhkan oleh para calon serta buka mata dan telinga terhadap realitas yang terjadi di masyarakat sehari-hari.

Pemilihan kepala daerah adalah hak dan kewajiban setiap warga negara yang harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Jangan biarkan politik identitas atau koneksi politik mengaburkan pandangan kita dalam menentukan pilihan terbaik untuk masa depan daerah.

Marilah kita menjadi pemilih yang cerdas, yang mampu membedakan antara narasi politik yang kosong dengan program kerja yang substansial. Pilihlah calon kepala daerah berdasarkan visi, kompetensi, dan integritasnya dalam melayani masyarakat, bukan hanya karena janji-janji manis yang terucap dari mulutnya.

Dari sinilah peran penting media massa, LSM, dan masyarakat sipil dalam mengedukasi dan mengkampanyekan pentingnya memilih pemimpin berdasarkan substansi dan integritas. Jangan biarkan politik "beking" di pusat mengaburkan fokus kita dalam memberikan mandat kepada calon kepala daerah yang mampu membawa perubahan yang nyata bagi masyarakat.

Bijaklah dalam menentukan pilihan politik kita. Jangan terjebak dalam narasi manipulatif para calon yang lebih mementingkan kepentingan politik pribadi daripada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Pemilihan kepala daerah adalah momentum untuk menunjukkan kedewasaan politik kita sebagai warga negara yang cerdas dan bertanggung jawab.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • NEGERI PARA [ORMAS] PREMAN
  • KALAU MAU KAYA, JANGAN JADI DOSEN
  • RINDU TANPA NAMA
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar