Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Ketika pancaroba politik mengepung hari demi hari menuju puncak pemilihan umum serentak di Nusantara, tak sekadar gaung kampanye yang gencar mengudara tetapi serapah kegelisahan atas integritas pesta demokrasi pun mengemuka. Saksi, sekerdil namanya, serupa benteng penjaga yang senantiasa waspada di garis terdepan, memainkan peran sentral dalam menjaga suara rakyat supaya terhitung adil dan sah. Neraca ini, bukan tanpa guratan paradoks, berayun antara urgensi dan kenyataan yang berlaku di tempat pemungutan suara (TPS).

Hamparan Indonesia dengan seribu suara dan ratusan etnik, diiringi desain politik multipartai yang merefleksikan pluralitas, telah melahirkan 19 partai politik yang turut serta dalam kontestasi pemilu, ditambah lautan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang memperjuangkan kursi kepemimpinan. Secara logika matematis, setiap TPS idealnya diawasi oleh tidak kurang dari 29 saksi yang berasal dari setiap entitas politik yang bersaing. Namun, realitas lapangan sering kali menyajikan narasi berbeda—bahwa banyak TPS yang hanya diisi 1 hingga 2 saksi.

Ilustrasi Saksi (Gambar : Istimewa/Nandai Bengkulu)

Biaya yang mesti dikeluarkan untuk merekrut, melatih, mendistribusikan, dan membiayai saksi dari setiap partai dan calon DPD adalah astronomis—sering kali mencapai miliaran rupiah. Sebelum step ini, biaya kampanye yang menguras kocek telah lebih dahulu merampok keuangan partai dan kandidat, menjadikan aliran dana untuk saksi layaknya sungai di musim kemarau—kering kerontang. Pemilu yang didesain sebagai perayaan demokrasi terhambat oleh realita ekonomi yang mencengkeram para pemain politik, membuat pengawasan di TPS tak jarang menjadi korban dari hierarki kebutuhan.

Namun, pemilu tanpa pengawasan saksi serupa masakan tanpa garam—tawar dan berpotensi kehilangan esensinya. Saksi menyediakan mata dan telinga di lapangan, verifikasi faktual, dan menantang setiap kejanggalan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara. Tanpa keberadaannya, pintu untuk manipulasi dan pelanggaran terbuka lebar, yang dapat mencoreng kancah demokrasi dengan noda penipuan dan kecurangan.

Adalah benar jika para pemangku kepentingan mengadu argumentasi terkait pembengkakan biaya saksi yang kelihatannya berlebihan. Akan tetapi, kita tidak bisa mengukur efisiensi dalam demokrasi dengan uang yang keluar dari kas saja. Apa yang dianggap "merugikan secara finansial" dalam jangka pendek, bisa jadi investasi jangka panjang untuk kestabilan dan kredibilitas sistem demokrasi. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah yang terhampar luas di depan kita adalah mengkaji ulang struktur anggaran penyiapan saksi yang berkeadilan, mekanisme sederhana yang tidak mengikis tugas asasi mereka, serta memetakan kembali prioritas pengeluaran partai dan kandidat dalam kancah pemilu.

Dibutuhkan pula inovasi dan adaptasi teknologi untuk mengatasi limitasi fisik dan finansial dalam penempatan saksi. Mari kita merenungkan, apakah mungkin untuk menyederhanakan proses pengawasan dengan adanya sistem digital yang dapat diakses oleh saksi dari lokasi terpusat? Apakah kita dapat menyelaraskan kembali semangat luhur pemilu dengan melakukan pengawasan kolektif, di mana warga negara menjadi bagian dari proses pengawasan itu sendiri, menerapkan "crowd sourcing" sepasang mata di setiap sudut TPS.

Keakuratan dan kejujuran pencatatan suara di TPS adalah esensi dari pemilu yang merdeka dan bertanggung jawab. Tanpa ini, kita hanya akan memutar roda demokrasi tanpa benar-benar bergerak maju. Kesadaran kolektif ini harus difokuskan kembali pada prinsip-prinsip dasar demokrasi, yang mana setiap suara itu bernilai dan harus dihitung dengan benar.

Kita tidak bisa mengabaikan paradoks efisiensi ini. Mengurus tatanan demokrasi ibarat merajut kemajuan dengan ribuan benang warna-warni. Saksi di TPS bukan sekadar formalitas atau simbolik; mereka adalah representasi dari pengawasan rakyat, dari kebulatan suara yang harus tercatat dengan integritas tinggi. Untuk itu, mari kita berupaya keras mencari benteng pertahanan dalam men-reformasi sistem saksi yang ada, membalik dilema menjadi momentum reformasi dan memastikan bahwa kekuatan demokrasi berakar pada keadilan prosedural yang tak terbantahkan. 

Keadaan ini harus segera dicarikan solusi yang tidak hanya pragmatis, tetapi juga filosofis, yang berangkat dari pertanyaan mendasar: Apakah tujuan pemilu semata-mata menjadi ritual demokrasi tanpa substansi, ataulah kita mencari kemurnian proses yang reflektif atas suara hati rakyat yang dinamis dan autentik? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi kunci dalam membuka lembaran baru praktik demokrasi di Indonesia yang lebih beradab, berintegritas, dan dihormati oleh seluruh warganya.

Perkembangan pesat dunia pendidikan di era global saat ini telah mengubah banyak aspek sosial budaya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Dalam konteks pemuka agama Islam dari kalangan tradisionalis di negeri ini, terjadi penyesuaian yang menarik pada pengakuan dan penggunaan gelar akademik. Kondisi ini menciptakan paradoks unik dalam penegasan identitas dan otoritas keilmuan di kalangan mereka. Pengakademisan dalam tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai simbol status intelektual tetapi juga sebagai medium yang merapatkan gap antara tradisi dan modernitas yang seringkali dilihat sebagai dua dunia yang terpisah.

Kyai Mojo dalam rupa pewayangan (Ilustrasi : Istimewa/Teronggosong)

Kajian terhadap fenomena pengakademisan di kalangan pemuka agama Islam di Indonesia ini menjadi perhatian karena berpotensi menginformasikan dinamika keilmuan, praktik keagamaan, dan juga identitas keulamaan. Ada ironi yang tercipta, di mana tradisi yang semula berdiri di atas fundamen empiris dan pengalaman spiritual kini melangkah ke kancah akademis, di mana pengesahan pengetahuan seringkali diukur melalui metodologi ilmiah dan kredensial formal. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hubungan antara gelar akademik dengan otoritas keagamaan tradisional serta implikasinya terhadap praktek keagamaan dan pendidikan Islam di Indonesia.

Di sisi lain, fenomena ini juga mencerminkan upaya integrasi dan harmonisasi antara warisan keilmuan tradisional dengan sistem pendidikan modern. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kesadaran dan usaha dari pemuka agama untuk memperluas cakrawala pengetahuan mereka dengan mengadopsi perspektif-perspektif baru yang diberikan oleh pendidikan akademis. Penyandingan gelar tradisional dengan gelar akademik menciptakan narasi baru tentang pergeseran paradigma dalam komunitas keagamaan, di mana keilmuan tidak lagi monolitik tetapi justru semakin pluralistik dan inklusif.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa fenomena ini juga memunculkan pertanyaan kritis terkait dengan substansi dan autentisitas keilmuan yang dimiliki oleh para pemuka agama yang menyandang gelar akademik honoris causa tersebut. Muncul kekhawatiran akan kualitas pendidikan dan ketatnya persaingan dalam komunitas akademis, apakah penyerahan gelar secara honoris causa ini telah mengikuti standar yang sesuai atau sekadar bentuk simbolis belaka. Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong diskusi tentang standar pendidikan tinggi dan legitimasi pengakuan akademis dalam konteks keilmuan agama.

Akhirnya, paradoks yang muncul dari fenomena “Akademisasi Tradisi” ini tak terlepas dari tantangan dan kesempatan di era globalisasi. Di satu sisi, pemuka agama tradisional yang mengambil peran tersebut mungkin dihadapkan pada ekspektasi baru dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam yang tidak hanya berwibawa secara spiritual tetapi juga relevan secara intelektual. Di sisi lain, fenomena ini membuka ruang dialog yang lebih luas antara institusi pendidikan tinggi dan lembaga-lembaga keagamaan tradisional untuk sama-sama mencari formula terbaik dalam menyiapkan generasi ulama yang mampu bersikap adaptif dan responsif terhadap perubahan zaman. Oleh karena itu, pengkajian mendalam tentang interaksi antara tradisi dan akademisasi dalam konteks pemuka agama Islam di Indonesia menjadi semakin relevan dan mendesak untuk dilakukan.

Ruang Lingkup Tradisi dan Akademisasi

Untuk memahami fenomena akademisasi dalam tradisi, kita harus melihat kembali ke masa lalu. Tradisi-tradisi seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan PERSIS (Persatuan Islam) berasal dari periode di mana gelar keagamaan seperti 'Kiai' atau 'Haji' merupakan indikator posisi sosial yang tidak hanya menandai ketaatan spiritual tapi juga wawasan keilmuan. Gelar-gelar ini bukan semata-mata simbol formal, melainkan pengakuan atas kepemimpinan komunitas sekaligus wewenang keilmuan dalam menerapkan dan menafsirkan ajaran agama.

Di sisi lain, Muhammadiyah sebagai gerakan pembaru dalam Islam di Indonesia menekankan perlunya reformasi melalui pendekatan edukasi formal. Mereka mendorong umat Islam untuk mendapatkan gelar akademis yang dikaitkan dengan kompetensi profesional dan pendidikan formal sebagai bukti dari keilmuan yang objektif dan universal. Gelar akademis dijadikan standar untuk ukuran kesuksesan dan kemajuan individu.

Di era globalisasi dan peningkatan akses terhadap pendidikan tinggi, gelar akademis telah menjadi lebih signifikan sebagai sarana mobilitas sosial. Hal ini memberi pengaruh pada struktur komunitas tradisionalis yang mulai mengadopsi gelar-gelar akademis guna menunjukkan kepatutan dalam diskursus intelektual modern. Tradisionalis memandang penambahan gelar akademis sebagai strategi dalam melestarikan relevansi dan kompetensi mereka di masa kini.

Gelar akademis berfungsi sebagai simbol prestise yang serupa dengan gelar tradisional dalam memberikan otoritas kepada pemegangnya. Dalam masyarakat di mana pendidikan tinggi sangat dihargai, gelar ini mampu meningkatkan status sosial seseorang dan diakui sebagai sumber otoritas intelektual. Sang Kiai atau Haji dengan gelar akademis mencerminkan campuran antara keilmuan religius tradisional dan pendekatan akademis yang rasional.

Menghadapi perubahan sosial dan ekspektasi baru, tradisionalis menggunakan gelar akademis sebagai cara untuk mengadaptasi dan memperkuat posisi mereka. Ini adalah bentuk dari usaha yang dilakukan untuk tetap relevan dan mengukuhkan peran mereka sebagai pemimpin dan penjaga ajaran agama dalam masyarakat yang semakin kompleks.

Penyerbukan silang yang mencolok antara gelar tradisionalis dan modernis menjadi indikasi dari interaksi yang semakin erat antara tradisi dan modernitas. Ini tidak hanya terlihat dalam pengadopsian gelar, tapi juga dalam praktik keagamaan di mana ada usaha untuk menyeimbangkan antara nilai-nilai agama dengan perkembangan zaman.

Proses akademisasi pada gelar keagamaan bisa juga dipahami sebagai bagian dari pergeseran identitas dalam komunitas agama. Kiai dan Haji yang memperoleh gelar akademik sering kali dilihat sebagai figur yang memadukan tradisi ilmu pengetahuan keagamaan dengan metodologi pendidikan modern, menjadikan kepemimpinan mereka lebih inklusif dan mungkin lebih dinamis.

Faktor sosiologis seperti urbanisasi, globalisasi, dan peningkatan akses pendidikan telah mempengaruhi cara masyarakat melihat gelar dan status. Ini membawa dampak pada pembauran gelar dalam komunitas agama di mana peran tradisional dan modern mulai tumpang tindih.

Edukasi formal telah memberikan wawasan baru kepada tradisionalis tentang pentingnya gelar akademis. Ini telah menyebabkan banyak pemimpin tradisionalisme mengejar studi tinggi sebagai strategi untuk menambah dan memperkuat otoritas mereka dalam lingkungan sosial yang terus berubah.

Pertimbangan kedepannya, komunitas agama - baik tradisionalis maupun modernis - harus menyelaraskan peranan gelar dan pengetahuan akademik dengan nilai-nilai dan etos kerohanian, sehingga menciptakan harmonisasi antara kebutuhan akan kemajuan pengetahuan dan pemeliharaan identitas spiritual dan tradisional.

Dinamika Pendidikan dan Peran Pemuka Agama

Pemberian gelar akademik honoris causa kepada pemuka agama tradisionalis bukan sekadar pemberian penghargaan rutin. Ini adalah refleksi dari pengakuan masyarakat dan lembaga pendidikan tinggi terhadap praktik ilmu yang terwujud dalam tradisi dan pengalaman, yang mungkin tidak tercatat secara formal namun memiliki pengaruh mendalam terhadap struktur sosial dan dinamika keagamaan di masyarakat. Dengan mengakui keahlian yang diwariskan melalui generasi dan pengalaman nyata dalam menyatu dengan kebutuhan komunal, lembaga pendidikan tinggi menunjukkan kesediaan untuk membuka diri terhadap berbagai modalitas pengetahuan, terlepas dari bagaimana cara pengetahuan itu diperoleh.

Di sisi lain, fenomena ini turut mencerminkan bagaimana ilmu pengetahuan, yang mungkin selama ini dianggap eksklusif dan formal, sebenarnya adalah sebuah spektrum yang dinamis dan dapat didefinisikan ulang. Ketika pemuka agama tradisionalis dianugerahi gelar akademik, terjadi perluasan definisi keilmuan yang mengapresiasi bentuk pengetahuan lainnya yang bergantung pada intuisi, kearifan lokal, dan pemahaman mendalam tentang nilai serta adat istiadat masyarakat. Ini menandai pengakuan atas kompleksitas dan keberagaman pendekatan terhadap pendidikan dan pengetahuan, yang tidak hanya terbatas dalam kerangka kerja pendidikan formal.

Penyertaan pemuka agama tradisionalis ke dalam komunitas akademik melalui gelar honoris causa juga memperkuat jembatan pengertian antara dunia pendidikan dengan kehidupan beragama yang nyata di tengah masyarakat. Menganugerahkan gelar tersebut bukan hanya sekedar bentuk apresiasi, namun juga sebuah pernyataan bahwa keilmuan tidak semata terpaut pada institusi namun juga pada kapasitas individu untuk memberikan kontribusi signifikan bagi kemanusiaan melalui nilai dan kebijakan sosial kemasyarakatan yang dikembangkan dan dilaksanakan.

Sementara itu, dalam konteks praktik keagamaan yang lebih modern dan terstruktur seperti di Muhammadiyah, pengadopsian gelar keagamaan oleh tokohnya mencerminkan strategi adaptasi dan pengakuan terhadap nilai-nilai tradisional. Ini tidak semata-mata upaya untuk memperluas pengaruh, tetapi juga mencari titik temu antara kebaruan dan tradisi. Dengan cara ini, tokoh Muhammadiyah menginkorporasi unsur-unsur keagamaan tradisional ke dalam narasi dan praktik keagamaan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya dialog yang lebih inklusif antara berbagai lapisan umat beragama.

Proses inkulturasi keagamaan ini menandai upaya yang sadar dari tokoh agama untuk menjaga relevansi dan resonansi dalam konteks sosial yang terus berubah. Mereka mengintergrasikan aspek-aspek keagamaan dari tradisi yang sudah ada dengan pemikiran dan praktik barunya. Inilah yang menciptakan mosaik keagamaan yang lebih kaya dan lebih dibutuhkan dalam konteks masyarakat yang plural. Ini juga mengakui bahwa agama dan kepercayaan tidak statis, tetapi selalu beradaptasi dengan kondisi dan kebutuhan masa kini.

Fenomena tersebut membuka pintu bagi pemikiran bahwa legitimasi dalam ranah keagamaan tidak selamanya berasal dari otoritas formal atau hierarki yang ketat. Pengakuan terhadap pemuka agama tradisionalis dan guyuran gelar keagamaan ke tokoh modern menunjukkan bahwa otoritas keagamaan bisa bersifat polisentris dan multidimensi. Di era saat ini, di mana batasan-batasan sosial dan kultural semakin cair, gelar honoris causa dapat menjadi simbol dari upaya untuk menciptakan harmoni dan memperkaya wacana dalam keberagaman praktik keagamaan.

***

Kemunculan fenomena "Akademisasi Tradisi" dan "Tradisionalisasi Akademisme" menjadi penanda betapa pendidikan formal dan keilmuan tradisional tidak lagi berjalan secara terpisah. Kedua elemen ini berkesinambungan dan saling melengkapi. Mereka membuka ruang dialog yang mendalam antara nilai-nilai kuno dengan metode modern. Akan tetapi, dinamika ini bukan tanpa tantangan. Keduanya menghadapi tekanan untuk mempertahankan esensi masing-masing sambil mencari cara agar tetap relevan dan dihormati di era yang berubah dengan cepat.

Perluasan domain keilmuan dan pendidikan ke dalam aspek keagamaan tidak hanya menjanjikan penciptaan lingkungan intelektual yang lebih inklusif, tapi juga mendorong inovasi dalam praktik keagamaan. Menyadari pentingnya memadukan wawasan keagamaan dengan pendekatan ilmiah, para pemuka agama dan institusi keagamaan kini berusaha memperkuat basis keilmuan mereka. Otoritas keilmuan yang dulu seringkali terbatas pada ranah akademik, kini mulai menyatu dengan kewibawaan spiritual, menghasilkan pemimpin-pemimpin agama yang tidak hanya pencinta kebijaksanaan tetapi juga pemikir yang kritis.

Tentu saja, proses "Akademisasi Tradisi" ini menyentuh berbagai aspek. Salah satunya adalah bagaimana tradisi turun-temurun mendapatkan legitimasi melalui sertifikasi akademis. Ini bisa berupaya meningkatkan status sosial para pemuka agama dan praktik keagamaan yang selama ini mungkin kurang dihargai dalam masyarakat modern yang serba cepat. Namun, pergulatan ide antara penjagaan tradisi dan inovasi keilmuan menjadi medan tempur intelektual yang akan terus berlanjut.

Sementara itu, "Tradisionalisasi Akademisme" mengajak kita merenungkan hingga sejauh mana pendidikan formal dapat dipengaruhi oleh nilai dan praktik tradisional. Pertukaran ini seakan-akan menyuguhkan sebuah paradoks: di satu sisi, akademisi berusaha menjaga rigor ilmiah, sementara di sisi lain, mereka juga harus mengakui dan menghargai pengetahuan yang bersumber dari tradisi. Ketika dua dunia ini bertemu, muncul penyegaran dalam metodologi dan perspektif dalam dunia yang serba dinamis.

Debat mengenai dampak dan relevansi "Akademisasi Tradisi" tidak boleh dianggap remeh. Di tengah perdebatan ini, harus ada upaya untuk memahami bagaimana tradisi dapat membentuk dan diberikan bentuk oleh struktur akademik yang formal. Kita tidak boleh melihat fenomena ini sebagai kemenangan satu pihak dan kekalahan pihak lainnya, melainkan sebagai metamorfosis yang memberikan ruang bagi evolusi spiritualitas dan intelektualitas.

Dengan mempertimbangkan aspek ini, kita harus memperhatikan bagaimana institusi pendidikan dan keagamaan beradaptasi dengan kebutuhan baru di tengah masyarakat. Inisiatif untuk mendekatkan praktik keagamaan dengan pengetahuan akademik mungkin saja mendobrak batasan yang sudah lama ada, namun juga membuka potensi konflik dan polarisasi. Penting bagi pemangku kepentingan di kedua sektor ini untuk bekerja sama, menegosiasikan, dan terkadang berkompromi dalam menentukan peran mereka di masa depan.

Sebagai penutup, fenomena "Akademisasi Tradisi" dan "Tradisionalisasi Akademisme" secara kuat menyoroti perlunya pendidikan yang bertransformasi dan kebhinekaan yang dihayati. Kedepannya, akan sangat menarik untuk melihat bagaimana wajah pendidikan dan kehidupan keagamaan di Indonesia akan berubah. Perubahan tersebut tak hanya akan memberi kita pemahaman yang lebih dalam tentang konteks sosial dan budaya yang kita miliki, tetapi juga memberi pelajaran berharga dalam menciptakan harmoni antara apa yang kita warisi dengan apa yang kita inovasi. Masa depan ini, yang kaya dengan potensi dan konflik, memerlukan dialog yang terus-menerus dan pembelajaran bersama untuk menjaga keseimbangan dinamis antara tradisi dan modernitas.

Pesta demokrasi Indonesia yang digelar setiap beberapa tahun sekali, tak hanya merupakan perayaan kebebasan berpendapat dan hak pilih, tapi juga memperlihatkan sebuah fenomena yang telah menjadi bagian dari ritme konstelasi politik di negara ini. Antrean warga di TPS yang bergelombang, menunggu giliran dengan segenggam harapan, mencerminkan partisipasi yang kuat. Namun, berdampingan dengan antusiasme tersebut, ada pula praktik distribusi kaos dan sembako yang telah merekat kuat dengan momen pemilihan. Praktik-praktik ini menggambarkan sebuah potret kontras antara aspirasi demokratis dan realitas politik transaksional.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Di mana seharusnya politik gagasan berdiri, acapkali lenyap ditelan praktik pragmatis—politik yang berlandaskan pada kepentingan langsung tanpa memikirkan ideologi atau dasar pemikiran jangka panjang. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara ide demokrasi sebagai wadah aspirasi rakyat dengan realitas di mana politik kebendaan mendominasi. Masyarakat, pada beberapa kesempatan, cenderung melupakan pentingnya sebuah gagasan untuk masa depan yang lebih baik, dan menarik garis lurus menuju pada apa yang bisa dilihat dan dipegang hari itu juga.

Pencitraan telah menjadi alat kuasa yang tak terpisahkan dari kampanye politik. Para politisi berlomba-lomba membangun imej yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Di satu sisi, ini adalah sebuah evolusi alamiah dalam politik modern dimana media massa dan sosial menjadi penghubung antara pemimpin dengan rakyat. Akan tetapi, ketika pencitraan mengambil alih esensi debat politik, terdapat risiko bahwa yang tersampaikan hanyalah janji-janji tanpa landasan konseptual yang kuat dan realistis. Politik pragmatis melakukan sedikit untuk mengajak rakyat merenung lebih dalam tentang masa depan yang mereka cita-citakan.

Sebaliknya, politik gagasan seyogianya menjadi bekal dalam perjalanan berdemokrasi. Konsep-konsep matang mengenai pemerintahan, penegakan hukum, pengelolaan sumber daya alam, serta pembangunan sosial ekonomi harusnya menjadi fokus debat publik. Politik tidak seharusnya hanya sekadar tentang pertunjukan yang memukau di permukaan, namun juga harus kaya akan diskusi mengenai framework kebijakan yang terukur dan berkelanjutan. Namun apa daya, wacana substantif ini seringkali kalah gemerlap dibandingkan dengan praktik pragmatis yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh pemilih.

Dilema antara politik pragmatis dan politik ideologi ini menimbulkan pertanyaan yang krusial: bagaimana kita sebagai bangsa dapat melangkah ke depan jika fondasi politik kita masih goyah dan rentan terhadap imbalan jangka pendek? Wajah demokrasi Indonesia akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kita dapat mengintegrasikan politik gagasan ke dalam praktik politik sehari-hari. Mesti ada usaha lebih dari semua pihak, baik pemilih maupun yang dipilih, untuk mengedepankan substansi dan visi yang tergerak oleh kepentingan bersama, bukan hanya untuk memenangkan pertarungan elektoral sementara.

Kaos, nasi, dan sembako yang dibagikan bukanlah sekadar objek benda, melainkan simbolik dari kebutuhan dasar yang masih belumlah terpenuhi secara merata di berbagai daerah. Dalam skenario politik saat ini, mudah untuk melihat cara tersebut sebagai bentuk real dari solusi permasalahan: langsung, nyata, dan dapat dipegang.

Namun demikian, kita patut bertanya, apakah dapat benar-benar menyelesaikan masalah jangka panjang masyarakat kita? Jawabannya, sayangnya, negatif.

Pandangan ini mengakar pada dua faktor utama. Pertama, lemahnya edukasi politik di kalangan pemilih, yang berakibat pada ketidaksadaran tentang betapa kritisnya politik ide dan gagasan untuk perkembangan bangsa. Kedua, adanya preferensi instan pada solusi jangka pendek daripada pemikiran ke depan yang matang dan berkelanjutan.

Swing Voters dan Politik Singkat

Di antara voters demokrasi kita, ada kelompok yang disebut sebagai "swing voters", pemilih tidak tetap yang keputusannya bisa menentukan arah hasil pemilu. Swing voters dengan latar belakang pendidikan menengah ke bawah sering kali memilih kandidat yang dapat memberikan kepastian dalam bentuk konkret, seperti kaos dan nasi kotak. Di sini, politik dibenturkan pada realitas yang pragmatis: pemilih membutuhkan jawaban atas krisis hariannya, bukan janji manis untuk masa depan yang belum tentu datang.

Ini mencerminkan suatu fenomena yang lebih dalam—kurangnya kepercayaan atau minat terhadap politik gagasan. Ketiadaan pengetahuan politik yang komprehensif merefleksikan kondisi sosial dimana gagasan tidak teralihkan menjadi perubahan yang nyata dalam kehidupan mereka. 

Politik tingkat tinggi yang seharusnya bergulir di bidang ide dan strategi, dengan berani mengutamakan program kerja yang inovatif dan realistis, malah mengalami pengkerdilan. Praktik ini, yang seharusnya menjadi panggung bagi diskusi ide-ide besar yang akan membentuk masa depan bangsa, nyatanya tereduksi menjadi transaksi jangka pendek antara calon dan pemilih.

Politik Bermartabat: Sebuah Harapan

Jika ini keadaanya, apa yang sebenarnya bisa kita lakukan? Bagaimana kita membawa politik kembali ke esensinya yang lebih mulia: sebuah usaha bersama untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bersama?

Pertama, perbaikan harus dimulai dari pendidikan politik. Pemilih perlu disadarkan bahwa politik adalah lebih dari sekadar transaksi; itu adalah proses memilih wakil yang akan mengambil keputusan penting atas nama mereka.

Pendidikan politik yang efektif haruslah inklusif, yang tidak hanya mencakup mereka yang telah terjangkau oleh fasilitas pendidikan formal, tapi juga masyarakat yang berada di pinggiran kebijakan publik. Ini berarti harus ada usaha berkelanjutan dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga kelompok aktivis untuk memberikan penyuluhan politik hingga ke desa terpencil.

Kedua, kampenye politik harus diwajibkan untuk transparan dan berorientasi pada gagasan serta program kerja, bukan berdasarkan hibah sosial semata. Hal ini berarti undang-undang pemilu perlu diperkuat untuk membatasi praktik politisasi sembako dan memperkenalkan sanksi yang memadai bagi yang melanggar.

Ketiga, perlu ada fasilitasi debat publik yang memberi kesempatan bagi calon pemimpin untuk mempresentasikan dan membahas gagasan mereka di hadapan publik. Media massa harus ikut serta dalam menciptakan ruang bagi para kandidat untuk berkontribusi pada diskursus publik, bukan hanya dijadikan alat kampanye.

Menuju Demokrasi yang Substansial

Akhirnya, masyarakat perlu diajak untuk berpikir dan bertindak melampaui siklus pemilu. Kita harus membangun kultur politik yang mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari pilihan politik kita. Demokrasi seharusnya bukan sekedar tentang memilih pemimpin, melainkan tentang pembangunan masa depan bersama, di mana setiap suara tidak hanya dihitung, tetapi juga diperhitungkan.

Membangun politik yang bermartabat dan esensial adalah tugas kita bersama. Ini tidak hanya akan mengubah cara kita memilih, tetapi juga cara kita memandang tanggung jawab kita sebagai warganegara. Ketika kita semua—pemilih, politisi, penyelenggara pemilu, dan aktivis—bersatu padu dalam ruang wacana yang mengedepankan kejujuran, integritas, dan visi yang jauh ke depan, hanya saat itulah kita akan bisa menyaksikan kemajuan nyata dalam praktik demokrasi kita. 

Kesadaran kolektif kita sebagai bangsa harus berkembang, membentuk warga negara yang tidak hanya pasif menerima janji-janji manis di panggung politik, tetapi juga aktif berpartisipasi dalam proses penciptaan kebijakan yang adil dan berkelanjutan. Selayaknya jam pasir yang terus berputar, saatnya kita membalikkan paradigma politik kita; daripada menjadi pembeli suara yang pasif, haruslah kita menjadi pelaku perubahan yang aktif. Pemimpin yang kita dambakan haruslah menjadi inspirator dan fasilitator bagi masyarakat untuk mencapai aspirasi kolektif yang lebih tinggi, membimbing arah perubahan dengan visi yang jelas dan etika yang tak tergoyahkan, yang pada akhirnya akan membawa kita ke politik yang lebih matang dan produktif.

Pemilih pun memegang peranan yang sama pentingnya dalam mendorong politik yang berorientasi pada inovasi dan perkembangan. Tidak cukup hanya dengan menggunakan hak pilih setiap beberapa tahun sekali; kewajiban moral kita adalah untuk tetap terinformasi, terlibat, dan kritis terhadap proses politik antar pemilihan. Setiap warga harus memandang diri sebagai penjaga demokrasi, yang terus-menerus mengingatkan para pemimpin tentang tanggung jawab yang melekat pada jabatan publik mereka. Dengan ketajaman pikiran dan keberanian moral untuk bertanya serta menuntut lebih, pemilih dapat mengubah narasi dari yang seringkali sinis menjadi konstruktif, membuka jalan bagi politik yang bertumpu pada prinsip dan substansi, bukan sekadar retorika atau kepentingan sesaat.

Perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten. Transformasi dari sistem politik transaksional ke transformasional bukanlah perjalanan yang singkat atau mudah. Namun, komitmen kolektif kita untuk memperjuangkan esensi demokrasi yang sejati—penghargaan terhadap ide, integritas dalam tindakan, dan keterlibatan aktif dari masyarakat—akan menjadi cikal bakal lahirnya era politik yang baru. Hal ini menegaskan kembali bahwa dalam dunia demokrasi, kekuatan sejati terletak pada tangan rakyat yang berdaulat. Dengan senantiasa memupuk nilai-nilai ini, kita tidak hanya meninggalkan warisan politik yang lebih sehat bagi generasi mendatang, tetapi juga mengambil peran dalam skala sejarah, menciptakan masyarakat yang lebih beradab, adil, dan sejahtera bagi semua.

Pemberian gelar honoris causa telah lama menjadi tradisi di banyak universitas di dunia sebagai bentuk penghargaan kepada individu yang telah memberikan kontribusi signifikan pada suatu bidang atau masyarakat secara umum. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, tradisi ini mulai menuai kontroversi, khususnya ketika gelar-gelar tersebut diberikan kepada politikus yang sumbangsihnya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi seringkali dipertanyakan. Kritik yang muncul bukan tanpa alasan; gelar tersebut seharusnya bukan menjadi alat pemuasan ego atau sekadar ajang pencitraan, melainkan sebuah simbol pengakuan terhadap dedikasi dan kerja keras di bidang akademis atau sosial.

Ilustrasi (Gambar : Teknokra/Istimewa)

Fenomena yang berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini mencerminkan pergeseran nilai dari apa yang seharusnya merupakan suatu prestasi akademik menjadi lebih serupa dengan instrumen politis. Sejumlah lembaga pendidikan tinggi tampaknya telah melonggarkan kriteria dan proses pemberian gelar ini, yang pada gilirannya memunculkan pertanyaan tentang standar akademis dan integritas mereka. Pemberian gelar honoris causa menjadi semacam 'transaksi' yang mengorbankan etika akademik karena tidak lagi murni didasarkan pada pencapaian akademis atau kontribusi nyata. 

Pandangan skeptis dari masyarakat ilmiah dan publik terhadap 'obral' gelar honoris causa ini bukanlah tanpa dasar. Di satu sisi, penghargaan tersebut bisa jadi salah satu cara untuk memperkuat hubungan antara universitas dan berbagai elemen masyarakat, termasuk politik. Di sisi lain, kenyataan bahwa beberapa penerima gelar hanya terlibat secara minimal atau tidak memiliki karya substansial di bidang terkait, menimbulkan keraguan terhadap legitimasi pemberian gelar tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya transparansi proses seleksi yang diterapkan oleh beberapa universitas, merusak citra akademis yang seharusnya dijunjung tinggi.

Kritikan tajam juga datang dari alumni dan mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan tingginya dengan usaha keras dan penelitian mendalam. Bagi mereka, melihat individu di luar komunitas akademik menerima penghargaan yang sama tanpa proses yang setara dirasa sebagai pengurangan nilai dari prestasi dan usaha yang telah mereka curahkan. Dampak psikologis dari fenomena ini tidak bisa diabaikan, dimana bisa melahirkan persepsi bahwa pencapaian akademik bisa didapatkan melalui jalur 'pintas', sehingga mengurangi motivasi dalam mengejar keunggulan akademis yang sesungguhnya.

Kritik akan 'obral' gelar honoris causa di Indonesia ini semestinya menjadi perhatian serius bagi pengelola pendidikan tinggi. Penting untuk kembali ke prinsip dasar dimana gelar akademis diberikan berdasarkan merit akademik dan kontribusi yang nyata. Lembaga pendidikan tinggi harus secara ketat menilai setiap calon, memastikan bahwa mereka benar-benar layak dan telah memberikan sumbangsih yang berarti, sebelum memutuskan untuk menganugerahkan gelar tersebut. Mengevaluasi ulang prosedur dan memperkuat integritas proses seleksi bisa menjadi langkah awal dalam mengembalikan esensi dan prestise gelar honoris causa yang sesungguhnya.

Kritik Terhadap Gelar Honoris Causa

Gelar honoris causa, yang dalam bahasa Latin berarti "sebab kehormatan," merupakan penghargaan yang bersejarah dan berprestise yang diberikan oleh universitas kepada seseorang yang dianggap telah memberikan kontribusi nyata dan signifikan kepada masyarakat dan ilmu pengetahuan. Ironisnya, dalam praktiknya di Indonesia, gelar ini sering kali diberikan kepada politikus yang kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan sering kali tidak jelas atau kurang substansial.

Problematika yang Muncul

Kondisi ini menimbulkan beberapa masalah utama. Pertama, inflasi gelar honoris causa yang tidak sebanding dengan kontribusi penerima dapat mengurangi prestasi akademik dan merendahkan nilai ilmu pengetahuan. Kedua, menghilangnya batas yang jelas antara kepentingan akademis dan politik dapat menurunkan kredibilitas universitas. Ketiga, praktik semacam ini dapat meningkatkan persepsi masyarakat bahwa gelar akademik bisa diperoleh melalui jalur non-akademik, yakni melalui jaringan dan pengaruh politis.

Kasus Pemberian Gelar Honoris Causa kepada Politikus

Tidak jarang kita mendengar berita tentang politikus yang menerima gelar honoris causa dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia. Langkah ini kerap menjadi bahan perdebatan karena tidak selalu diikuti dengan bukti kontribusi ilmiah yang jelas dari penerima gelar. Sebagian pihak berargumen bahwa ini dilakukan lebih karena pertimbangan politik atau untuk membangun hubungan yang baik antara universitas dengan pemerintah atau lembaga tertentu.

Dampak Terhadap Marwah Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi seharusnya menjadi pilar utama penegakan martabat ilmu pengetahuan. Ketika gelar Honoris Causa dilempar begitu saja tanpa pertimbangan yang matang, secara tidak langsung dia telah merobek marwah pendidikan. Hal ini dapat menimbulkan keraguan dalam komunitas akademik dan masyarakat luas tentang integritas lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita.

Urgensi Peran Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi berperan penting dalam menciptakan inovasi dan pengetahuan baru. Namun, lembaga ini harus didukung oleh sistem penilaian yang obyektif dan merdeka dari intervensi politik, dimana keputusan-keputusan akademik harus berdasar pada prestasi dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan.

Menuju Reformasi Pemberian Gelar

Agar universitas dapat kembali ke jalurnya dalam memperkuat fondasi ilmu dan teknologi, terdapat beberapa langkah yang harus dipertimbangkan:

  1. Ketatkan Kriteria Pemilihan: Universitas harus memperketat kriteria pemilihan penerima gelar Honoris Causa. Harus ada prasyarat yang jelas dan detail mengenai kontribusi sains, sosial, atau kemanusian.
  2. Proses Seleksi yang Transparan: Proses seleksi penerima gelar harus dijalankan dengan transparansi dan tanggung jawab, menghindarkan dari intervensi eksternal manapun.
  3. Pertimbangan Akademis Sejati: Pemberian gelar harus berbasis pada pertimbangan akademik yang autentik, bukan karena kekuatan politik atau kepentingan pribadi.
  4. Pendidikan Publik tentang Standar Akademis: Harus ada upaya untuk mendidik publik tentang standar akademik dan pentingnya pemberian gelar atas dasar merit.
  5. Penghargaan bagi Ilmuwan dan Peneliti: Prioritaskan pemberian penghargaan kepada ilmuwan dan peneliti yang sumbangsihnya kepada ilmu pengetahuan sangat jelas.

***

Obral gelar Honoris Causa kepada kalangan politikus tanpa pertimbangan yang matang bukan hanya merendahkan nilai ilmu pengetahuan, tetapi juga melemahkan fondasi pendidikan tinggi kita. Marwah pendidikan tinggi harus dipertahankan dengan menegakkan kembali integritas akademik dan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah. Hanya dengan demikian, universitas dapat kembali menjadi benteng pengetahuan yang otentik yang mampu memberikan sumbangsih nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.

Dalam dunia akademis dan profesional, gelar dan titel memiliki arti yang mendalam dan menunjukkan pencapaian tertentu. Dua gelar yang sering menjadi bahan diskusi adalah Ph.D. (Doctor of Philosophy) dan Dr. (Doktor). Meskipun keduanya terlihat mirip, terdapat perbedaan yang signifikan antar keduanya.

Persamaan dan Perbedaan Antara Ph.D. dan Dr.

Gelar Ph.D. merujuk pada tingkat pendidikan tertinggi yang dapat diperoleh dalam berbagai bidang studi di tingkat universitas. Seorang penerima Ph.D. telah menyelesaikan penelitian ekstensif dan disertasinya yang biasanya menghasilkan sumbangan baru bagi pengetahuan di bidang spesifik tersebut. Gelar ini menegaskan kepakaran intelektual dan kapasitas untuk melakukan penelitian independen di tingkat yang sangat tinggi.

Ilustrasi (Gambar : Dunia Dosen)

Di sisi lain, Dr. adalah sebuah titel yang digunakan oleh mereka yang telah memperoleh gelar doktor, baik itu gelar profesional, seperti M.D. (Doctor of Medicine) atau J.D. (Juris Doctor), maupun gelar akademis seperti Ph.D. Dalam banyak tradisi, "Dr." sebagai sebuah titel tidak eksklusif untuk gelar Ph.D. saja tapi juga digunakan oleh siapa saja yang memegang jenis gelar doktoral, mengakui kemampuan mereka sebagai ahli di bidang tertentu.

Ketika berbicara tentang persamaan, baik Ph.D. maupun Dr. mencerminkan tingkat kompetensi yang tinggi di bidang masing-masing. Penerima gelar Ph.D. sering kali menggunakan "Dr." sebagai bentuk pengakuan atas upaya keras dan keahlian akademis mereka.

Namun, perbedaannya terletak pada konteks dan aplikasinya. Ph.D. adalah spesifik untuk gelar akademis yang diberikan setelah serangkaian penelitian ilmiah yang ketat, umumnya dengan tujuan untuk mengejar karier dalam akademia atau penelitian. Sebaliknya, Dr. bisa merujuk pada beragam gelar doktoral, termasuk mereka yang berada di luar dunia akademis.

Penggunaan Gelar Dr. dalam Konteks Internasional

Di banyak negara di luar negeri, terutama di Eropa dan Amerika, terdapat kecenderungan untuk menggunakan "Dr." tidak hanya bagi mereka yang mempunyai gelar Ph.D. tetapi juga untuk orang-orang dengan gelar doktor profesional. Ada beberapa alasan mengapa praktek ini terjadi.

Pertama, tradisi. Di beberapa negara, seperti Jerman, "Dr." secara historis dan secara budaya telah dianugerahkan kepada mereka yang telah menyelesaikan disertasi doktor dan lulus ujian doktor. Hal ini juga sering terjadi di negara-negara lain yang terpengaruh oleh tradisi akademis Eropa.

Kedua, praktisitas dalam penggunaan sehari-hari. "Dr." merupakan titel singkat yang mudah dikenali dan umumnya dipahami sebagai simbol keahlian, tanpa memerlukan penjelasan tambahan mengenai jenis gelar doktoral yang spesifik. Penggunaannya dalam undangan atau dokumen resmi adalah bentuk pengakuan akan status profesional seseorang.

Ketiga, keinginan untuk menstandarisasi praktik pemberian gelar. Penggunaan "Dr." yang seragam di banyak negara dapat mengurangi kebingungan yang mungkin timbul karena adanya variasi penamaan dan hierarki gelar akademis yang berbeda.

Implikasi Penggunaan Gelar Dr.

Secara umum, praktik penggunaan gelar "Dr." ini tidak menimbulkan banyak masalah. Namun, terkadang dapat menimbulkan kebingungan atau salah paham, terutama ketika disalahartikan sebagai indikator dari jenis gelar tertentu. Contohnya, seorang dengan gelar M.D. yang berpraktek sebagai dokter mungkin akan dinilai lain oleh masyarakat jika dibandingkan dengan seseorang yang memiliki Ph.D. di bidang kesusastraan, misalnya, namun keduanya menggunakan gelar "Dr."

Selain itu, penggunaan gelar "Dr." bagi penerima Ph.D. melintasi batas-batas internasional juga mencerminkan universalitas standar pendidikan tinggi dan penelitian. Ini menunjukkan bahwa di setiap negara, seorang individu dengan gelar Ph.D. memiliki kemampuan dan kompetensi di bidangnya yang diakui secara global.

***

Sektor pendidikan dan profesional secara global telah menyetarakan titel "Dr." sebagai sebuah tanda penghormatan atas capaian akademis dan profesional. Walaupun terdapat variasi dalam penggunaannya, titel ini telah menjadi sebuah simbol universal dari pencapaian keilmuan yang tinggi. Menyadari perbedaan dan nuansa antara penggunaan Ph.D. dan Dr. adalah penting untuk memahami perjalanan akademis, hak profesional, dan konteks sosial dari individu yang berwenang. 

Dengan meningkatnya interaksi global, pemahaman yang mendalam tentang konvensi dan pemakaian gelar ini penting untuk melakukan komunikasi yang tepat dan menghormati kemajemukan praktik akademis dan profesional di seluruh dunia. Saat kita merayakan prestasi akademis, penting juga untuk mengenali dan mempromosikan kejelasan dan pemahaman dalam komunikasi kita, menghormati kerja keras dan dedikasi yang diwakili oleh setiap gelar.

Di tengah perbedaan dan kesamaan yang ada, mari kita ingat bahwa setiap gelar membawa dengan dirinya tanggung jawab untuk berkontribusi pada masyarakat dan untuk terus memajukan batas-batas pengetahuan. Jadi, apakah itu Ph.D. atau Dr., mari kita gunakan gelar-gelar ini bukan hanya sebagai simbol prestasi individu, tetapi juga sebagai alat untuk membimbing dan mencerahkan orang lain di dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung ini.

Perhelatan debat calon presiden (capres) sering kali dianggap sebagai salah satu puncak dari perayaan demokrasi, di mana rakyat dapat menyaksikan langsung para calon yang berkompetisi untuk memimpin negara, menyampaikan visi, misi, dan argumen mereka. Namun, apakah nyatanya debat ini benar-benar mewakili esensi demokrasi atau hanya sekedar pertunjukan yang menyisakan tanya tentang pretensi demokrasi yang sebenarnya?

Ilustrasi (Gambar : Kompas.com)

Pseudo-demokrasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah sistem yang memiliki tampak luar demokratis namun dalam prakteknya terdapat kekurangan serius dalam hal keterwakilan, transparansi, dan proses demokratis yang substantif. Pertanyaannya, apakah debat capres saat ini telah terjebak dalam pseudo-demokrasi?

1. Hanya Sebuah Pertunjukan?

Debat capres sering kali dirancang sedemikian rupa sehingga lebih mirip dengan sebuah acara hiburan daripada forum serius untuk membedah visi dan kebijakan. Panggung yang mewah, format yang ketat, serta segmen yang lebih mirip pertarungan karakter daripada diskusi substansi kebijakan, semua menciptakan suasana yang lebih teatrikal daripada edukatif.

Penonton yang hadir atau menonton dari rumah dihadapkan pada sekuel narasi yang seputar siapa yang memiliki one-liner terbaik, siapa yang tampak lebih karismatik, atau siapa yang dapat menghindari kegaduhan. Perlombaan ini menjauhkan kita dari masalah nyata yang dihadapi negara: ekonomi, ketidaksetaraan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

2. Keterwakilan yang Terbatas

Debat capres cenderung membicarakan topik-topik yang telah dijadwalkan dan terkontrol, sering kali menghindari isu-isu penting yang mungkin kurang menguntungkan bagi para kandidat namun sangat relevan bagi masyarakat. Pemilihan pertanyaan yang diatur oleh panel atau tim debat kerap kali tidak mencerminkan urgensi dan kompleksitas masalah yang dirasakan oleh rakyat.

Lebih lanjut, kandidat yang diizinkan ikut serta dalam debat terkadang hanya mereka yang memiliki sumber daya dan dukungan politik yang signifikan, sementara suara-suara alternatif dan minoritas bertahan di pinggir. Hal ini menciptakan ilusi keterwakilan, namun pada kenyataannya hanya mengokohkan status quo politik.

3. Debat yang Tidak Mendalam

Karena formatnya yang sering kali mengutamakan waktu yang singkat untuk setiap pertanyaan dan respons, debat tidak memungkinkan eksplorasi topik dengan mendalam. Kompleksitas isu-isu kebijakan menjadi reduksi karena keterbatasan waktu dan kebutuhan untuk memberikan jawaban yang cetar dan mudah dicerna.

Ini menciptakan masalah serius karena warga negara menerima potongan informasi tanpa konteks yang lebih luas, tanpa nuansa kebijakan, dan tanpa pemahaman tentang dampak jangka panjang dari keputusan politik yang dijelaskan secara dangkal.

4. Efek Ekokamara dan Penghakiman Instan

Debat capres terkadang menjadi resonansi bagi pendukung yang sudah yakin akan pilihannya. Mereka menghadiri atau menonton debat bukan untuk informasi atau pertimbangan baru, melainkan untuk mendapatkan konfirmasi bias yang sudah ada. Ekokamara ini mendorong polarisasi opini dan menghambat dialog substantif antar pendukung dari kandidat yang berbeda.

Di sisi lain, media sosial dan platform digital berperan sebagai palagan bagi penghakiman instan. Satu kesalahan ucapan, satu momen yang tidak nyaman, dapat menjadi sorotan dan meme yang mengaburkan isu-isu penting yang seharusnya menjadi fokus perbincangan.

5. Apakah Ada Harapan?

Membalikkan tren dari debat yang adalah pseudo-demokrasi bukanlah tugas yang mustahil. Kuncinya adalah dalam membangun format dan aturan debat yang lebih mengutamakan substansi daripada gaya. Waktu respons harus cukup panjang untuk memberikan kesempatan kepada kandidat menyampaikan pikiran dan kebijakan mereka secara rinci.

Harus ada ruang untuk dialog sebenarnya antarkandidat, memungkinkan mereka untuk menantang satu sama lain secara langsung atas fakta dan angka, bukan sekedar perang kata. Dan penting untuk melebarkan partisipasi melampaui mereka yang sudah berkuasa, memberi kesempatan kepada suara-suara baru untuk didengar.

Selain itu, pers dan moderator harus mengambil peran aktif dalam mengecek fakta secara real time, menantang klaim yang tidak akurat, dan mendorong transparansi dalam debat. Dan tentu saja, kebutuhan untuk pendidikan kewarganegaraan yang kuat agar masyarakat lebih siap untuk berpartisipasi dalam proses demokratis, termasuk penyaksian debat capres dengan mata kritisi.

***

Debat capres memiliki potensi untuk menjadi sebuah sarana demokrasi yang kuat, memberi wawasan langsung ke dalam pikiran dan rencana para individu yang paling ingin memimpin negara kita. Namun, agar tidak menjadi pseudo-demokrasi, kita harus melampaui pertunjukan dan teatrikalitas, dan bergerak menuju substansi, kejelasan, dan keterbukaan.

Kita perlu debat yang memungkinkan rakyat menggali lebih dalam, memahami lebih jelas, dan memilih lebih bijak. Debat haruslah menjadi cermin dari visi demokrasi kita: inklusif, mendalam, dan nyata. Saat para kandidat berdiri di panggung, kita berhak melihat lebih dari sekedar pertunjukan. Kita berhak melihat inti dari demokrasi beraksi – diskusi terbuka, debat yang jujur, dan pilihan yang didasarkan pada informasi, bukan impresi. Hanya dengan cara itu, kita dapat memastikan bahwa debat capres kita adalah manifestasi nyata dari kehendak rakyat, bukan semata penyajian ilusi demokratis yang dangkal.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • 1 JAM YANG MENENTUKAN ; SEBUAH DIALOG TENTANG NARASI KEHIDUPAN
  • MUSIM KE-5 #SARAHAISHA
  • MUHAMMADIYAH, SANAD ILMU, DAN OTORITAS KEILMUAN
  • AMAL USAHA MUHAMMADIYAH BIDANG POLITIK ; PERLUKAH?

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar