Sepi. Itulah kesan pertama yang menyergap ketika saya menginjakkan kaki di kampung halaman saya di sebuah desa di Lampung Tengah. Jalan-jalan yang biasanya riuh oleh deru motor pemudik kini sunyi. Warung-warung di sepanjang jalan provinsi yang biasa buka hingga larut menjelang Lebaran justru menutup tirai lebih awal. Sebuah pemandangan yang tak pernah terbayangkan sepuluh tahun silam.
Ekonomi memang sedang tidak bersahabat. Namun yang terjadi tahun ini bukan sekadar perlambatan biasa, melainkan sebuah pergeseran struktural yang mengubah wajah tradisi Lebaran secara permanen. Jika dulu mudik adalah kebutuhan sosial yang tak tergoyahkan, kini ia berubah menjadi variabel ekonomi yang bisa dikompromikan.
Ilustrasi Penjual Parsel yang Sepi Pembeli (Gambar : GenerateAI)
Di balik sepinya jalanan kampung tersembunyi sebuah tragedi ekonomi yang lebih besar. Daya beli masyarakat yang terus tergerus inflasi telah memaksa mereka membuat skala prioritas baru. Ketika biaya hidup harian saja sudah menyulitkan, pulang kampung berubah dari kewajiban budaya menjadi kemewahan yang tak terjangkau.
Pasar tradisional, yang biasanya menjadi episentrum keramaian pra-Lebaran, kini lebih mirip museum yang sepi pengunjung. Beberapa pedagang masih bertahan, tetapi sorot mata mereka sudah kehilangan cahaya harapan.
Yang menarik adalah perubahan pola konsumsi masyarakat. Jika dulu orang berlomba membeli baju baru dan perlengkapan Lebaran, kini mereka lebih memilih memakai barang-barang tahun sebelumnya. Bukan karena kesadaran hemat yang tiba-tiba muncul, melainkan karena terpaksa oleh keadaan.
Toko-toko ritel modern memang masih ramai, tetapi itu hanya ilusi dari konsumsi yang terkonsentrasi. Masyarakat berbelanja lebih sedikit, lebih hemat, dan hanya untuk kebutuhan pokok. Silaturahmi yang dulu dirayakan dengan berbagai hidangan kini disederhanakan. Sebuah bentuk rasionalisasi di tengah ketidakpastian.
PHK massal di berbagai sektor telah menciptakan efek domino yang mengerikan. Para pekerja yang kehilangan penghasilan tak hanya mengurangi konsumsi mereka sendiri, tetapi juga memengaruhi penghasilan pedagang kecil di kampung halaman mereka. Ekosistem ekonomi tradisional yang selama ini mengandalkan siklus tahunan seperti Lebaran mulai kehilangan ritme.
Dampak sosialnya lebih dalam dari yang bisa dibayangkan. Tradisi mudik bukan sekadar tentang pulang kampung, melainkan sebuah mekanisme redistribusi ekonomi alami. Uang yang dibawa perantau mengalir ke pedagang kecil, tukang ojek, dan usaha mikro di desa. Ketika siklus ini terputus, seluruh rantai ekonomi lokal ikut mati suri.
Generasi muda perkotaan mungkin tak merasakan dampak besar dari perubahan ini. Bagi mereka, silaturahmi virtual melalui layar gadget sudah cukup. Namun di desa-desa, kehadiran fisik adalah segalanya. Tatap mata langsung, pelukan, dan canda di teras rumah adalah mata uang sosial yang tak tergantikan.
Pemerintah mungkin bisa membanggakan pertumbuhan ekonomi makro yang tetap positif, tetapi angka-angka itu menjadi tak berarti ketika di lapangan pasar-pasar tradisional mati perlahan. Kebijakan bantuan sosial mungkin bisa meredam gejolak, tetapi tidak menyelesaikan akar masalah yang sesungguhnya.
Yang terjadi sekarang adalah sebuah disrupsi sosial-budaya yang dipicu oleh tekanan ekonomi. Masyarakat tidak lagi kehilangan kemampuan finansial untuk mudik, tetapi juga mulai kehilangan motivasi budaya. Ketika tahun demi tahun Lebaran terasa semakin hambar, pada titik tertentu tradisi ini akan punah dengan sendirinya.
Ironisnya, justru di era di mana teknologi seharusnya memudahkan mobilitas, orang semakin enggan bepergian. Bukan karena tidak ada transportasi, melainkan karena tidak ada lagi yang bisa dibawa pulang selain rasa khawatir akan masa depan.
Pergeseran ini juga mengubah lanskap usaha di pedesaan. Warung makan yang biasa buka 24 jam selama Lebaran kini memilih tutup lebih awal. Penginapan-penginapan darurat yang setiap tahun bermunculan di pinggir jalan bahkan tidak dibangun sama sekali.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah efek jangka panjang pada struktur sosial masyarakat. Mudik selama ini berfungsi sebagai perekat hubungan antar generasi. Anak kota kembali mengenal sanak saudara di desa, mendengarkan nasihat orang tua, dan merasakan akar budaya mereka. Tanpa itu, identitas kolektif perlahan akan terkikis.
Di tingkat makro, ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi ekonomi kita. Ketika sebuah tradisi sekuat mudik Lebaran bisa ambruk oleh tekanan ekonomi, artinya ketahanan masyarakat kita berada di ambang yang mengkhawatirkan.
Pola konsumsi yang berubah juga mencerminkan sebuah transformasi nilai. Lebaran yang dulu tentang berbagi dan kebersamaan, kini tereduksi menjadi sekadar ritual wajib yang dilakukan seperlunya. Semangat berbagi tak lagi datang dari kelapangan hati, melainkan dari kewajiban sosial yang dibebani rasa sungkan.
Bahkan tradisi bagi-bagi THR mulai kehilangan makna. Jika dulu THR adalah bentuk syukur dan kebanggaan bisa berbagi, kini ia lebih sering dibicarakan sebagai beban yang harus dipenuhi. Perubahan narasi ini menunjukkan pergeseran nilai yang fundamental dalam masyarakat kita.
Pertanyaannya sekarang: apakah ini hanya sebuah fase sementara, atau awal dari sebuah perubahan permanen? Jawabannya mungkin terletak pada kemampuan kita membaca tanda-tanda zaman.
Jika kita cermati, apa yang terjadi sekarang adalah percepatan dari tren yang sebenarnya sudah dimulai sebelum krisis. Masyarakat perkotaan generasi baru memang semakin terpisah dari kampung halamannya secara emosional. Tekanan ekonomi hanya mempercepat proses yang sudah berjalan.
Solusinya tidak bisa sekadar stimulus ekonomi temporer. Diperlukan pendekatan holistik yang memulihkan baik daya beli maupun ikatan sosial. Pasar tradisional butuh bukan sekadar bantuan modal, tetapi juga transformasi model bisnis yang bisa bersaing di era modern.
Di tingkat kebijakan, perlu ada pengakuan bahwa masalahnya bukan sekadar siklus ekonomi, melainkan pergeseran peradaban. Ketika orang memilih tidak mudik, mereka tidak hanya merespon kondisi keuangan, tetapi juga mempertanyakan relevansi tradisi itu sendiri.
Mungkin inilah saatnya kita memikirkan kembali makna Lebaran di era baru. Bukan dengan menyerah pada perubahan, tetapi dengan menemukan bentuk-bentuk baru yang tetap mempertahankan esensinya.
Karena pada akhirnya, Lebaran bukan tentang keramaian pasar atau kemacetan jalan. Ia tentang manusia yang mengingat asal-usulnya, tentang masyarakat yang menjaga ikatan-ikatan dasarnya. Jika kita kehilangan itu, maka yang tersisa hanyalah tanggal di kalender tanpa makna.
Tahun depan, mungkin jalanan akan kembali ramai. Tapi apakah keramaian itu akan sama seperti dulu? Ataukah ia hanya menjadi bayangan dari sebuah tradisi yang perlahan memudar? Jawabannya ada pada kita semua.
Yang pasti, Lebaran 2025 telah memberikan pelajaran berharga: bahwa tradisi sekuat apapun bisa runtuh ketika fondasi ekonomi dan sosial yang menyangganya mulai retak. Dan sekali runtuh, membangunnya kembali akan membutuhkan lebih dari sekadar kebijakan ekonomi - tetapi sebuah komitmen kolektif untuk mempertahankan apa yang membuat kita tetap menjadi manusia.