Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami

Ilustrasi (Foto : Istimewa)

Mudik itu bukan sekadar soal berpindah tempat, dari kota yang bising ke kampung halaman yang sunyi. Lebih dari itu, mudik adalah tentang menemukan kembali diri sendiri. Kita pulang bukan hanya untuk melepas rindu, tapi juga untuk mengisi ulang baterai jiwa yang mulai redup.

Bayangkan saja, setahun penuh kita bergelut dengan rutinitas yang kadang bikin kepala mau pecah. Deadline, macet, bos yang entah kenapa selalu benar. Mudik adalah jeda, ruang untuk bernapas lega.

Dan yang paling penting, mudik adalah soal bakti pada orang tua. Ada aroma masakan ibu yang selalu bikin air mata mau tumpah. Ada senyum bapak yang menyimpan sejuta cerita. Momen-momen seperti ini yang bikin kita sadar, harta paling berharga di dunia ini adalah keluarga.

Buat para lelaki, mudik itu bukan sekadar soal hati dan rindu. Ada surga yang menanti di balik senyum ibu. Jangan pernah tunda untuk pulang, jangan biarkan kesibukan merampas kesempatan untuk membahagiakan mereka.


Rindu ibu itu candu. Sekali merasakan pelukannya, kita akan selalu ingin kembali. Ada hangat yang tidak bisa digantikan oleh apa pun di dunia ini. Bahkan oleh secangkir kopi robusta kesukaanmu.

Mudik itu soal pulang ke rumah, bukan cuma bangunan, tapi juga hati. Pulang ke pelukan orang-orang yang selalu menanti kita dengan cinta tanpa syarat.

Ada cerita-cerita lama yang kembali bersemi di ruang tamu. Ada tawa yang pecah saat kita mengenang masa kecil yang penuh kenakalan. Momen-momen seperti ini yang bikin kita merasa utuh.

Di kampung halaman, waktu seolah berjalan lebih lambat. Kita bisa duduk berjam-jam di teras, menikmati teh hangat sambil mendengarkan suara jangkrik bernyanyi. Tidak ada deadline, tidak ada notifikasi email yang mengganggu.

Mudik itu soal menemukan kembali identitas kita. Kita pulang bukan hanya sebagai anak rantau yang sukses, tapi juga sebagai anak kampung yang bangga dengan asal-usulnya.

Ada pelajaran hidup yang tidak bisa kita dapatkan di bangku kuliah atau dari buku-buku motivasi. Pelajaran tentang kesederhanaan, keikhlasan, dan cinta tanpa batas.

Mudik itu soal memberi dan menerima. Kita memberi waktu dan perhatian, dan kita menerima cinta dan doa dari orang-orang terkasih. Sebuah pertukaran yang sederhana, tapi sangat berharga.

Jangan pernah remehkan kekuatan mudik. Pulanglah, bukan hanya untuk melepas rindu, tapi juga untuk mengisi ulang energi positif yang akan kita butuhkan untuk menghadapi kerasnya hidup di kota.

Mudik itu investasi. Investasi kebahagiaan, investasi cinta, dan investasi surga. Jangan ragu untuk menghabiskan cuti tahunanmu untuk pulang kampung.

Pulanglah.......... 

Jalan syurgamu menunggumu pulang

Ramadan 2025 menjadi bulan yang istimewa bagi Anies Baswedan. Meski tidak lagi menjabat sebagai gubernur, apalagi berkandidat dalam kontestasi politik, namanya tetap menjadi buah bibir di kalangan intelektual muda. Fenomena ini terlihat jelas ketika Anies diundang sebagai pembicara di masjid-masjid kampus besar seperti UGM dan ITB. Kehadirannya selalu membludak, berbeda dengan pembicara lain yang mengisi acara serupa di hari-hari sebelumnya atau sesudahnya. Apa yang membuat Anies begitu istimewa? Mengapa ia masih menjadi magnet bagi anak-anak muda terdidik, bahkan di tengah ketiadaan jabatan politik?

Pertama, Anies memiliki kemampuan komunikasi yang luar biasa. Ia bukan sekadar orator ulung, melainkan juga seorang pendidik yang mampu menyampaikan gagasan kompleks dengan bahasa yang mudah dicerna. Di masjid kampus UGM, misalnya, Anies menyoroti bahwa pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga harus dimulai dari lingkungan keluarga. Pola asuh yang baik akan membentuk individu yang lebih bertanggung jawab dan memiliki nilai moral yang kuat. Sebagai pesan penutup, Anies mengajak para mahasiswa untuk menjadikan pendidikan sebagai gerakan yang berdampak luas. Ia menekankan pentingnya berbagi pengalaman dan inspirasi kepada saudara-saudara di daerah yang memiliki keterbatasan akses terhadap pendidikan. Pesan ini menyentuh hati banyak mahasiswa, karena tidak hanya berbicara tentang teori, tetapi juga mengajak mereka untuk bertindak nyata.

Anies di Masjid UGM (Foto : Tiktok)

Kedua, Anies memiliki kemampuan untuk menyentuh hati dan nalar sekaligus. Di ITB, ia menyampaikan tentang sejarah demokrasi, yang sudah tercatat dalam peradaban Islam, seharusnya menjadi pedoman dalam menghadapi tantangan zaman. Demokrasi bukan sekadar soal sistem pemerintahan, tetapi lebih kepada ekosistem yang harus terjaga dengan masyarakat yang cerdas, kritis, dan peduli. Mengutip contoh pemerintahan Rasulullah Muhammad SAW di Madinah, yang menggunakan musyawarah sebagai metode pengambilan keputusan, Anies mengajak umat memahami bahwa demokrasi di Indonesia harus didorong oleh partisipasi aktif dari setiap lapisan masyarakat.

Beliau pun menyampaikan bahwa untuk menjaga ekosistem demokrasi yang sehat, masyarakat harus lebih peduli dan aktif dalam pengambilan keputusan. Jika apatis dan enggan berpikir kritis, demokrasi dapat kehilangan arah. Anies mengingatkan, berpikir kritis bukan berarti selalu menolak atau mencurigai, tetapi lebih kepada kemampuan untuk memahami secara mendalam dan mengambil keputusan yang tepat.

Ketiga, Anies memiliki aura yang sulit ditiru oleh tokoh-tokoh lain. Bandingkan, misalnya, dengan ceramah yang disampaikan oleh tokoh-tokoh lain yang juga diundang ke masjid kampus UGM dan ITB. Meski mereka memiliki pengalaman dan wawasan yang luas, gaya penyampaian mereka seringkali terasa kaku atau terlalu formal. Anies, sebaliknya, mampu menciptakan suasana yang hangat dan interaktif. Ia sering melontarkan humor segar yang tidak mengurangi kedalaman materi yang disampaikan. Di UGM, misalnya, ia bercanda tentang bagaimana dirinya sering disalahpahami sebagai "calon presiden abadi", yang langsung memecah tawa hadirin. Humor seperti ini membuatnya terlihat lebih manusiawi dan dekat dengan audiens.

Keempat, Anies memiliki kemampuan untuk merespons tantangan zaman dengan gagasan-gagasan segar. Di era di mana banyak anak muda merasa kehilangan arah dan identitas, Anies hadir dengan narasi yang menyejukkan sekaligus mencerahkan. Ia tidak hanya berbicara tentang masalah-masalah keagamaan, tetapi juga isu-isu sosial, politik, dan lingkungan. Misalnya, dalam ceramahnya di ITB, ia menyoroti pentingnya generasi muda untuk terlibat dalam pembangunan berkelanjutan. 

Kelima, Anies memiliki integritas yang diakui banyak kalangan. Meski tidak lagi menjabat, ia tetap konsisten dengan nilai-nilai yang diperjuangkannya. Ia tidak terlihat tergesa-gesa untuk kembali ke panggung politik, melainkan fokus pada kegiatan-kegiatan yang ia yakini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. Sikap ini membuatnya dipandang sebagai figur yang tulus, bukan sekadar pencari kekuasaan. Hal ini kontras dengan beberapa tokoh lain yang, meski masih aktif, justru kehilangan kredibilitas karena dinilai terlalu pragmatis.

Lalu, bagaimana dengan tokoh-tokoh lain yang juga diundang untuk mengisi kuliah Ramadan di masjid kampus UGM dan ITB? Misalnya, seorang menteri yang dikenal sebagai akademisi ternama atau seorang tokoh agama yang memiliki basis massa yang kuat. Meski mereka memiliki kapasitas dan pengalaman yang mumpuni, respons audiens tidak sefenomenal saat Anies yang mengisi. Acara yang dihadiri Anies selalu dipadati oleh mahasiswa dan anak muda, sementara tokoh-tokoh lain hanya menarik segelintir audiens. Ini menunjukkan bahwa Anies memiliki daya tarik yang unik, yang tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh lain.

Salah satu faktor yang membuat Anies begitu populer di kalangan anak muda terdidik adalah kemampuannya untuk merangkul generasi muda dengan cara yang autentik. Ia tidak hanya berbicara tentang teori-teori besar, tetapi juga memberikan contoh-contoh praktis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam ceramahnya di UGM, ia menceritakan bagaimana ia dan timnya berhasil mengubah sistem transportasi di Jakarta dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Cerita-cerita seperti ini membuat audiens merasa bahwa apa yang ia sampaikan bukan sekadar wacana, melainkan sesuatu yang bisa diwujudkan.

Di sisi lain, ada tokoh-tokoh yang seharusnya memiliki kapasitas untuk menarik perhatian anak muda, tetapi justru absen dari forum-forum intelektual dan akademis. Misalnya, Wakil Presiden yang hingga saat ini belum pernah sekalipun hadir berdiskusi di kampus-kampus besar. Padahal, forum-forum seperti ini adalah kesempatan emas untuk berinteraksi langsung dengan generasi muda dan mendengarkan aspirasi mereka. Bahkan, pada saat Muhammadiyah mengundang semua capres dan cawapres untuk berdiskusi di forum akademis, hanya dia yang tidak hadir. Padahal, forum tersebut bukanlah debat kusir, melainkan diskusi yang bersifat intelektual dan akademis. Ketidakhadirannya ini menimbulkan pertanyaan: mengapa tokoh-tokoh seperti ini tidak memanfaatkan kesempatan untuk berinteraksi dengan anak muda, sementara Anies justru menjadi magnet yang selalu dinantikan?

Fenomena Anies di Ramadan 2025 ini juga menunjukkan betapa pentingnya peran tokoh-tokoh sipil dalam membangun narasi kebangsaan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi politik, figur seperti Anies menjadi semacam oase yang memberikan harapan. Ia tidak hanya berbicara tentang masalah-masalah keagamaan, tetapi juga isu-isu kebangsaan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini membuatnya tidak hanya digemari oleh kalangan religius, tetapi juga oleh mereka yang peduli dengan masa depan bangsa.

Pada akhirnya, fenomena Anies Baswedan di Ramadan 2025 adalah bukti bahwa popularitas tidak selalu identik dengan kekuasaan. Anies menunjukkan bahwa dengan integritas, kecerdasan, dan kemampuan komunikasi yang baik, seorang tokoh tetap bisa menjadi magnet yang menarik perhatian banyak orang. Ia tidak hanya menjadi pengingat akan pentingnya nilai-nilai keagamaan, tetapi juga tentang bagaimana nilai-nilai itu dapat diwujudkan dalam tindakan nyata untuk kemajuan bangsa. Dan di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, sosok seperti Anies adalah penyejuk yang langka dan sangat dibutuhkan.

Penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mencapai lebih dari 5% hari ini bukanlah fenomena yang terjadi dalam ruang hampa. Kejadian ini harus dilihat sebagai cerminan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi Indonesia yang semakin semrawut sejak awal tahun. Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai isu telah muncul, mulai dari efisiensi anggaran yang "ugal-ugalan", kembalinya militer ke jabatan publik, hingga ketidakpastian politik yang mengganggu stabilitas nasional. Semua faktor ini berkontribusi pada melemahnya kepercayaan investor, baik domestik maupun asing, terhadap prospek ekonomi Indonesia.

Tangkapan layar IHSG pada Selasa, 18 Maret 2025 (Foto : Istimewa)

Pertama, mari kita bahas soal efisiensi anggaran yang "ugal-ugalan". Sejak awal tahun, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan penghematan anggaran yang dianggap tidak terencana dengan baik. Alih-alih menciptakan efisiensi, kebijakan ini justru menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku bisnis dan investor. Pemotongan anggaran di sektor-sektor strategis seperti infrastruktur dan pendidikan dinilai akan menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Investor, yang selalu mencari kepastian dan stabilitas, menjadi enggan menanamkan modalnya di Indonesia karena khawatir kebijakan ini akan berdampak negatif pada iklim investasi.

Kedua, kembalinya militer ke jabatan publik juga menjadi isu yang mengganggu stabilitas politik Indonesia. Sejak awal tahun, semakin banyak perwira militer yang ditempatkan di posisi-posisi strategis di pemerintahan. Meskipun hal ini dijustifikasi dengan alasan profesionalisme dan keahlian, langkah ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan investor internasional. Kembalinya militer ke ranah publik dianggap sebagai langkah mundur dari proses demokratisasi yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade. Investor asing, yang sangat sensitif terhadap isu-isu politik, mulai mempertimbangkan untuk menarik dananya dari Indonesia karena kekhawatiran akan meningkatnya ketidakpastian politik.

Ketiga, kondisi sosial politik Indonesia yang semakin semrawut juga menjadi faktor penting dalam penurunan IHSG. Sejak awal tahun, berbagai konflik sosial dan politik telah muncul ke permukaan. Demonstrasi besar-besaran, ketegangan antar kelompok masyarakat, dan konflik elit politik telah menciptakan ketidakstabilan yang mengganggu aktivitas ekonomi. Investor, baik domestik maupun asing, cenderung menghindari pasar yang penuh dengan ketidakpastian seperti ini. Mereka lebih memilih untuk menempatkan dananya di negara-negara dengan stabilitas politik yang lebih baik.

Selain itu, ketidakpastian ekonomi global juga memperburuk situasi. Krisis ekonomi di beberapa negara besar, fluktuasi harga komoditas, dan ketegangan geopolitik telah menciptakan tekanan pada pasar keuangan global. Sebagai negara yang ekonominya terbuka, Indonesia tidak bisa lepas dari dampak ini. Investor asing, yang selama ini menjadi penyokong utama pasar saham Indonesia, mulai menarik dananya karena risiko yang dirasakan semakin tinggi.

Lalu, apa yang bisa kita harapkan ke depan jika situasi ini terus berlanjut? Jika penurunan IHSG tidak segera diatasi, dampaknya bisa sangat serius bagi perekonomian Indonesia. Pertama, penurunan harga saham akan mengurangi kekayaan investor, baik institusi maupun ritel. Hal ini bisa mengurangi daya beli masyarakat dan akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kedua, penurunan IHSG juga bisa membuat perusahaan-perusahaan kesulitan mendapatkan pendanaan melalui pasar modal. Ini akan menghambat ekspansi bisnis dan investasi, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, penurunan IHSG yang terus-menerus bisa memicu pelarian modal asing. Investor asing yang selama ini menanamkan dananya di pasar saham Indonesia mungkin akan mencari tempat yang lebih aman untuk berinvestasi. Jika ini terjadi, nilai tukar rupiah bisa tertekan, yang akan menambah beban bagi perekonomian Indonesia. Depresiasi rupiah akan membuat impor lebih mahal, yang bisa memicu inflasi. Inflasi yang tinggi akan mengurangi daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Dalam situasi seperti ini, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan otoritas terkait? Pertama, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kepercayaan investor. Salah satunya adalah dengan mempercepat implementasi reformasi struktural yang selama ini dijanjikan. Reformasi di sektor keuangan, perpajakan, dan birokrasi bisa menjadi kunci untuk menarik kembali minat investor.

Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga perlu memainkan peran penting dalam menstabilkan pasar. BI bisa mempertimbangkan untuk menurunkan suku bunga acuan jika inflasi terkendali. Suku bunga yang lebih rendah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan membuat kredit lebih murah bagi perusahaan dan konsumen. Namun, BI juga harus berhati-hati agar kebijakan ini tidak memicu pelarian modal asing.

Di sisi lain, BEI juga perlu meningkatkan edukasi kepada investor ritel. Investor ritel seringkali tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang risiko investasi di pasar saham. Dengan meningkatkan edukasi, diharapkan investor ritel bisa lebih tenang dalam menghadapi fluktuasi pasar dan tidak mudah panik ketika terjadi penurunan.

Selain itu, perusahaan-perusahaan yang terdaftar di BEI juga perlu mengambil langkah proaktif. Mereka bisa meningkatkan transparansi dan komunikasi dengan investor. Dengan memberikan informasi yang jelas dan akurat tentang kinerja perusahaan, diharapkan bisa mengurangi ketidakpastian di kalangan investor.

Dalam jangka panjang, Indonesia perlu memperkuat fundamental ekonominya. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan harus menjadi prioritas. Pemerintah perlu fokus pada pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penguatan sektor-sektor strategis seperti manufaktur dan teknologi.

Selain itu, diversifikasi ekonomi juga penting. Selama ini, perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada sektor komoditas. Dengan diversifikasi ekonomi, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada sektor tertentu dan membuat perekonomian lebih tahan terhadap guncangan eksternal.

Di tengah ketidakpastian global, kerja sama antara pemerintah, otoritas moneter, dan pelaku pasar menjadi kunci. Tanpa koordinasi yang baik, sulit untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pasar saham Indonesia. Semua pihak perlu bekerja sama untuk menciptakan stabilitas dan kepercayaan di pasar.

Terakhir, investor juga perlu mengambil langkah bijak. Dalam situasi seperti ini, penting untuk tidak terpancing emosi dan melakukan aksi jual secara gegabah. Sebaliknya, investor sebaiknya mempertimbangkan untuk mengambil posisi jangka panjang dan memanfaatkan penurunan harga saham sebagai kesempatan untuk membeli saham-saham berkualitas dengan harga yang lebih murah.

Penurunan IHSG hari ini adalah pengingat bahwa pasar saham selalu penuh dengan ketidakpastian. Namun, dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia bisa melewati masa sulit ini dan kembali ke jalur pertumbuhan yang stabil. Semua pihak, mulai dari pemerintah, otoritas moneter, perusahaan, hingga investor, perlu bekerja sama untuk menciptakan pasar saham yang lebih resilien dan berkelanjutan.

Tunjangan Hari Raya (THR) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya kerja di Indonesia. Setiap tahun, menjelang hari raya keagamaan seperti Idul Fitri, jutaan karyawan di Indonesia menantikan THR sebagai bentuk apresiasi dari perusahaan. Namun, tradisi serupa ternyata juga ada di berbagai negara lain, meskipun dengan nama dan bentuk yang berbeda. 

Di Indonesia, THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 6 Tahun 2016. Kebijakan ini mewajibkan perusahaan untuk memberikan tunjangan kepada karyawan tetap maupun kontrak, setidaknya seminggu sebelum hari raya keagamaan. Besaran THR bervariasi, mulai dari satu bulan gaji untuk karyawan dengan masa kerja lebih dari setahun, hingga proporsional bagi yang bekerja kurang dari itu. THR tidak hanya menjadi hak finansial, tetapi juga simbol penghargaan terhadap dedikasi karyawan. Tradisi ini memiliki makna sosial yang mendalam, membantu karyawan memenuhi kebutuhan selama hari raya, sekaligus memperkuat hubungan antara perusahaan dan karyawan.

Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki tradisi serupa. Di Jepang, misalnya, karyawan menerima bonus tahunan yang dikenal sebagai "Nenmatsu Chūsha" (bonus akhir tahun) dan "Nenchū Kyūyo" (bonus pertengahan tahun). Bonus ini biasanya diberikan dua kali setahun, pada musim panas dan musim dingin. Besarannya bervariasi, tetapi rata-rata mencapai 1-3 bulan gaji. Meskipun tidak diatur oleh undang-undang, pemberian bonus ini telah menjadi bagian dari budaya perusahaan Jepang yang sangat menghargai loyalitas dan dedikasi karyawan. Bonus ini tidak hanya membantu karyawan memenuhi kebutuhan finansial, tetapi juga menjadi simbol apresiasi atas kerja keras mereka sepanjang tahun.

Ilustrasi THR dalam Mata Uang Dolar Amerika (Gambar : Istimewa)

Sementara itu, di Amerika Serikat, bonus akhir tahun (year-end bonus) sering diberikan oleh perusahaan sebagai bentuk apresiasi terhadap kinerja karyawan. Meskipun tidak diwajibkan secara hukum, banyak perusahaan memberikan bonus ini sebagai insentif tambahan. Besarannya bervariasi, tergantung pada kinerja perusahaan dan individu. Bonus ini sering kali diberikan menjelang liburan Natal dan Tahun Baru, membantu karyawan mempersiapkan perayaan bersama keluarga. Praktik ini menunjukkan bahwa perusahaan yang peduli terhadap kesejahteraan karyawan cenderung memiliki tingkat kepuasan dan produktivitas yang lebih tinggi.

Di Uni Emirat Arab (UEA), karyawan berhak menerima "gratifikasi liburan" (end-of-service gratuity) setelah menyelesaikan masa kerja tertentu. Meskipun tidak persis seperti THR, gratifikasi ini diberikan sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi karyawan. Besarannya dihitung berdasarkan gaji dan lama kerja. Praktik ini mencerminkan nilai-nilai kesejahteraan yang dijunjung tinggi di negara-negara Timur Tengah, di mana perusahaan turut berkontribusi dalam meringankan beban finansial karyawan.

Filipina memiliki kebijakan serupa THR yang disebut "13th Month Pay". Kebijakan ini diwajibkan oleh hukum dan diberikan kepada semua karyawan, terlepas dari status kepegawaian mereka. Bonus ini setara dengan satu bulan gaji dan biasanya diberikan sebelum Natal. Tujuannya adalah membantu karyawan memenuhi kebutuhan selama musim liburan. Praktik ini menunjukkan bahwa pemerintah dan perusahaan di Filipina sangat peduli terhadap kesejahteraan karyawan, terutama dalam menghadapi masa-masa penting seperti liburan.

Di Brazil, karyawan berhak menerima "Décimo Terceiro Salário" atau gaji ke-13, yang dibayarkan dalam dua tahap: setengah pada November dan setengah lagi pada Desember. Bonus ini diwajibkan oleh hukum dan bertujuan untuk membantu karyawan mempersiapkan perayaan Natal dan Tahun Baru. Praktik ini mencerminkan nilai-nilai solidaritas sosial, di mana perusahaan turut berkontribusi dalam meringankan beban finansial karyawan selama masa-masa penting.

Tidak hanya di negara-negara tersebut, tradisi serupa THR juga dapat ditemui di China, terutama menjelang perayaan Imlek. Di China, tradisi pemberian "angpao" atau amplop merah sangat populer. Angpao biasanya berisi uang dan diberikan kepada keluarga, teman, atau karyawan sebagai simbol keberuntungan dan harapan baik di tahun baru. Meskipun angpao lebih sering diberikan secara personal, beberapa perusahaan juga memberikan bonus tahunan kepada karyawan menjelang Imlek. Bonus ini tidak hanya menjadi hak finansial, tetapi juga simbol penghargaan terhadap dedikasi karyawan.

Angpao sendiri memiliki makna budaya yang mendalam dalam tradisi China. Warna merah melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan, sementara uang di dalamnya melambangkan harapan untuk kemakmuran di tahun baru. Tradisi ini tidak hanya berlaku di China, tetapi juga di negara-negara dengan populasi Tionghoa yang besar, seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Di beberapa perusahaan, pemberian angpao atau bonus tahunan menjelang Imlek telah menjadi bagian dari budaya kerja yang menghargai keberagaman dan kesejahteraan karyawan.

Praktik pemberian THR atau bonus serupa di berbagai negara menunjukkan bahwa esensi dari kebijakan ini adalah memberikan apresiasi dan kesejahteraan kepada karyawan. THR tidak hanya menjadi hak finansial, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai budaya dan sosial yang dianut oleh suatu masyarakat. Di Indonesia, THR menjadi momentum untuk memperkuat hubungan sosial antara perusahaan dan karyawan. Di Jepang, bonus tahunan mencerminkan budaya kerja yang menghargai loyalitas dan dedikasi. Sementara di Amerika Serikat, bonus akhir tahun sering kali dikaitkan dengan kinerja individu dan perusahaan.

Praktik ini juga menunjukkan bahwa perusahaan yang peduli terhadap kesejahteraan karyawan cenderung memiliki tingkat kepuasan dan produktivitas yang lebih tinggi. Dengan memberikan THR atau bonus serupa, perusahaan tidak hanya memenuhi kewajiban finansial, tetapi juga membangun ikatan emosional dengan karyawan. Hal ini menjadi penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif.

Bagi karyawan, THR adalah pengingat bahwa kerja keras dan dedikasi mereka dihargai. Bagi perusahaan, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepedulian terhadap kesejahteraan karyawan. Dalam skala yang lebih luas, THR juga mencerminkan solidaritas sosial, di mana perusahaan turut berkontribusi dalam meringankan beban finansial karyawan selama masa-masa penting seperti hari raya atau liburan.

Dengan memahami makna THR yang lebih dalam, kita dapat melihat bahwa praktik ini bukan sekadar tradisi, tetapi juga sarana untuk membangun hubungan yang lebih baik antara perusahaan dan karyawan. Inilah pesan moral yang dapat kita ambil: kesejahteraan dan penghargaan adalah kunci menuju harmoni dan keberlanjutan dalam dunia kerja.

Pendidikan dasar dan menengah, fondasi bagi pembangunan manusia Indonesia, kini dihadapkan pada sebuah ironisme. Di satu sisi, negara mengumandangkan wajib belajar 9 tahun, menjamin akses pendidikan bagi seluruh rakyatnya. Di sisi lain, akreditasi PAUD dan Dikdasmen masih menjadi momok yang menghantui satuan pendidikan.

Pertanyaan mendasar pun mengemuka: sejauh mana relevansi akreditasi di tengah wajib belajar yang meniscayakan pemerataan kualitas pendidikan? Bukankah seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas terpenuhinya standar nasional pendidikan di setiap sudut negeri, alih-alih melemparkan tanggung jawab tersebut melalui mekanisme akreditasi?

Akreditasi: Instrumen Peningkatan Mutu atau Beban Birokrasi?

Akreditasi, dalam konsep idealnya, merupakan instrumen penting untuk menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah yang terakreditasi diharapkan mampu menyediakan layanan pendidikan berkualitas yang sesuai dengan standar nasional. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan akreditasi seringkali jauh panggang dari api.

Alih-alih menjadi pemicu peningkatan mutu, akreditasi justru kerap dipandang sebagai beban birokrasi oleh satuan pendidikan. Berbagai persyaratan administratif dan teknis yang harus dipenuhi menimbulkan tekanan tersendiri bagi sekolah. Energi dan sumber daya yang seharusnya difokuskan untuk meningkatkan mutu pembelajaran justru terkuras untuk mengurus akreditasi.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Survei yang dilakukan oleh Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 70% guru merasa terbebani dengan proses akreditasi. Mereka mengeluhkan banyaknya dokumen yang harus disiapkan dan prosedur yang berbelit-belit. Hal ini tentu saja mempengaruhi fokus dan konsentrasi guru dalam melaksanakan tugas utamanya, yakni mengajar.

Selain itu, akreditasi juga rawan dipolitisasi dan dikomersialisasi. Tidak sedikit oknum yang mencoba mencari keuntungan pribadi di balik proses akreditasi. Praktik suap, gratifikasi, dan manipulasi data kerap terjadi demi memperoleh status akreditasi tinggi. Hal ini tentu saja merusak citra akreditasi sebagai instrumen peningkatan mutu pendidikan.

Instrumen akreditasi yang ada saat ini juga dirasa belum mampu menangkap esensi kualitas pendidikan secara komprehensif. Fokus penilaian masih terlalu banyak pada aspek input dan proses, sementara aspek output dan outcome relatif terabaikan. Padahal, tujuan akhir pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang berkompeten dan berkarakter, bukan sekedar memenuhi persyaratan administratif.

Akreditasi seharusnya tidak hanya menilai kelengkapan dokumen dan sarana prasarana sekolah, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap kualitas pendidikan, seperti kualitas guru, iklim pembelajaran, dan partisipasi masyarakat.

Data dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022 menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain dalam hal literasi, numerasi, dan sains. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem pendidikan kita belum mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas internasional. Akreditasi seharusnya mampu mendorong sekolah untuk terus berbenah diri dan meningkatkan mutu layanan pendidikan, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berdaya saing global.

Wajib Belajar: Tanggung Jawab Siapa?

Amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah sangat jelas: wajib belajar 9 tahun, meliputi pendidikan dasar dan menengah. Artinya, setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu sesuai standar nasional tanpa terkecuali. Pertanyaannya kini, siapa yang seharusnya bertanggung jawab menjamin terpenuhinya standar nasional pendidikan tersebut?

Dalam konteks wajib belajar, tanggung jawab utama ada di pundak pemerintah. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menyediakan akses pendidikan yang berkualitas bagi seluruh rakyatnya. Ini bukan sekedar menyediakan sekolah dan guru, tetapi juga menjamin bahwa setiap sekolah memiliki sumber daya yang memadai untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas.

Pemerintah wajib menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, mulai dari gedung sekolah yang layak, perpustakaan yang lengkap, laboratorium yang memenuhi standar, hingga akses internet dan teknologi informasi yang mendukung proses pembelajaran. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan fondasi bagi terselenggaranya pendidikan berkualitas.

Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab menyediakan tenaga kependidikan yang kompeten dan berkualitas. Guru merupakan ujung tombak pendidikan. Kualitas guru sangat menentukan kualitas lulusan. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap sekolah memiliki guru yang cukup jumlahnya, berkualifikasi, dan mendapatkan pengembangan profesional yang berkelanjutan.

Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2022 menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan guru sebanyak 1,3 juta orang di seluruh Indonesia. Distribusi guru juga belum merata, dengan konsentrasi guru yang lebih banyak di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Hal ini tentu saja mempengaruhi kualitas pendidikan di daerah terpencil.

Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan dana pendidikan yang cukup dan merata bagi semua sekolah. Dana pendidikan digunakan untuk membiayai operasional sekolah, pengadaan sarana dan prasarana, pengembangan profesional guru, serta berbagai program peningkatan mutu pendidikan. Ketersediaan dana yang cukup merupakan syarat mutlak bagi terselenggaranya pendidikan berkualitas.

Anggaran pendidikan Indonesia saat ini sudah mencapai 20% dari APBN, sesuai dengan amanat konstitusi. Namun, efektivitas penggunaan anggaran tersebut masih perlu ditingkatkan. Banyak dana pendidikan yang tidak terserap dengan baik atau dialokasikan untuk kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan peningkatan mutu pembelajaran.

Melemparkan tanggung jawab pemenuhan standar nasional pendidikan kepada sekolah melalui mekanisme akreditasi justru menunjukkan ketidakhadiran negara dalam menjalankan kewajibannya. Sekolah dipaksa berjuang sendiri untuk memenuhi standar akreditasi, sementara pemerintah terkesan lepas tangan.

Akreditasi seharusnya bukan menjadi syarat mutlak bagi sekolah untuk mendapatkan dukungan pemerintah. Semua sekolah, baik yang terakreditasi maupun belum terakreditasi, berhak mendapatkan dukungan yang memadai dari pemerintah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Reorientasi Akreditasi: Menuju Pendidikan Berkualitas

Semangat peningkatan mutu melalui akreditasi seringkali terdistorsi oleh berbagai praktik yang justru menjauhkan akreditasi dari tujuan mulianya. Alih-alih menjadi proses berkelanjutan yang terintegrasi dalam sistem manajemen sekolah, akreditasi justru sering dipersiapkan secara dadakan, seolah hanya untuk memenuhi tuntutan administratif dan memperoleh status terakreditasi.

Budaya mutu belum tertanam kuat dalam jiwa sebagian besar satuan pendidikan. Akreditasi dipandang sebagai sebuah "proyek" yang harus diselesaikan dalam waktu singkat, bukan sebagai sebuah proses pembelajaran dan perbaikan yang berkelanjutan. Sekolah cenderung fokus pada pemenuhan persyaratan administratif dan teknis, sementara esensi peningkatan mutu seringkali terabaikan.

Fenomena "dadakan" dalam menghadapi akreditasi ini menunjukkan bahwa akreditasi belum benar-benar dimaknai sebagai sebuah instrumen peningkatan mutu. Sekolah masih terjebak dalam pola pikir "seremonial" dan "formalitas", di mana akreditasi dipandang sebagai sebuah kegiatan yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntutan birokrasi, bukan untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan.

Kondisi ini tentu saja memprihatinkan. Akreditasi yang seharusnya menjadi momentum bagi sekolah untuk berbenah diri dan meningkatkan mutu justru terjebak dalam rutinitas yang tidak bermakna. Sekolah cenderung mencari jalan pintas untuk memperoleh status terakreditasi, tanpa benar-benar berkomitmen untuk melakukan perbaikan yang substansial.

Oleh karena itu, diperlukan reorientasi mendasar dalam pelaksanaan akreditasi. Akreditasi harus dimaknai sebagai sebuah proses pembelajaran dan perbaikan yang berkelanjutan, bukan sekedar kegiatan seremonial yang dilakukan secara periodik. Sekolah harus didorong untuk mengintegrasikan akreditasi dalam sistem manajemen sekolah dan menjadikan akreditasi sebagai budaya mutu.

Wacana mengenai urgensi akreditasi di tingkat PAUD dan Dikdasmen juga perlu diangkat ke permukaan. Dalam konteks wajib belajar, di mana setiap warga negara berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu tanpa terkecuali, kehadiran akreditasi justru dipertanyakan. Akreditasi cenderung menciptakan kastanisasi di antara satuan pendidikan dan bertentangan dengan semangat pemerataan kualitas yang diamanatkan dalam wajib belajar.

Jika semua sekolah wajib memenuhi standar nasional pendidikan, lalu apa fungsi akreditasi? Bukankah seharusnya pemerintah menjamin bahwa setiap satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta, telah memenuhi standar tersebut sebelum diizinkan beroperasi? Akreditasi seharusnya tidak dijadikan alat untuk mengukur kelayakan sekolah dalam mendapatkan dukungan pemerintah. Semua sekolah berhak mendapatkan dukungan yang sama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.

Membangun Sistem Pendidikan yang Berkeadilan

Membangun sistem pendidikan yang berkeadilan menjadi tujuan luhur yang melandasi setiap upaya reformasi pendidikan di Indonesia. Keadilan dalam konteks ini berarti menjamin hak setiap warga negara, tanpa terkecuali, untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini tentu saja menuntut kesetaraan akses dan kualitas pendidikan di seluruh pelosok negeri, terlepas dari latar belakang sosial, ekonomi, geografis, maupun kondisi lainnya.

Dalam kerangka mewujudkan keadilan pendidikan tersebut, diskursus mengenai akreditasi PAUD dan Dikdasmen perlu terus dilakukan secara mendalam dan komprehensif. Pertanyaan krusial mengenai penting tidaknya akreditasi di tingkat pendidikan dasar harus dikaji secara cermat dengan mempertimbangkan berbagai perspektif, sebelum kita sampai pada sebuah kesimpulan yang tepat dan bijaksana.

Akreditasi, di satu sisi, dipandang sebagai instrumen penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu pendidikan. Melalui serangkaian proses penilaian yang sistematis dan terstandarisasi, akreditasi diharapkan mampu memberikan jaminan kualitas layanan pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu satuan pendidikan. Akreditasi juga dapat berfungsi sebagai pendorong bagi sekolah untuk terus berbenah diri, melakukan evaluasi diri, dan meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara berkelanjutan.

Di sisi lain, keberadaan akreditasi di tingkat PAUD dan Dikdasmen juga menuai berbagai kritik dan pertanyaan. Dalam konteks wajib belajar 9 tahun, di mana negara menjamin penyediaan layanan pendidikan dasar yang bermutu bagi seluruh warga negara, akreditasi justru dipandang berpotensi menciptakan disparitas antar sekolah. Sekolah yang terakreditasi A cenderung dianggap lebih baik daripada sekolah yang terakreditasi B atau C, sehingga memicu persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas.

Selain itu, proses akreditasi yang seringkali dianggap rumit, berbelit-belit, dan menuntut banyak persyaratan administratif juga menjadi sorotan. Alih-alih fokus pada peningkatan mutu pembelajaran, sekolah justru disibukkan dengan pengurusan akreditasi yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan biaya. Hal ini tentu saja tidak efisien dan dapat menghambat upaya peningkatan mutu pendidikan yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, diskursus mengenai penting tidaknya akreditasi di tingkat PAUD dan Dikdasmen harus terus dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, akademisi, praktisi pendidikan, hingga masyarakat. Kajian yang mendalam dan komprehensif perlu dilakukan untuk mengidentifikasi manfaat dan mudarat akreditasi, menganalisis dampaknya terhadap kualitas dan kesetaraan pendidikan, serta merumuskan alternatif solusi yang lebih efektif dan berkeadilan.

Kesimpulan mengenai perlu tidaknya akreditasi di tingkat PAUD dan Dikdasmen harus didasarkan pada kajian yang objektif dan komprehensif tersebut. Jika akreditasi dipandang masih relevan dan bermanfaat dalam meningkatkan mutu pendidikan, maka perlu dilakukan reformasi mendasar dalam sistem dan pelaksanaannya agar lebih efisien, efektif, dan berkeadilan. Namun, jika akreditasi dipandang lebih banyak menimbulkan mudarat dan ketidakadilan, maka perlu dipertimbangkan alternatif lain yang lebih tepat dalam menjamin kualitas dan kesetaraan pendidikan di tingkat dasar.

Dengan terus mengkaji dan mendiskusikan persoalan akreditasi secara terbuka dan kritis, diharapkan kita dapat menemukan solusi terbaik demi mewujudkan sistem pendidikan yang berkeadilan dan berkualitas bagi seluruh anak bangsa.

Di dunia yang semakin kompleks ini, kejahatan dan korupsi telah bertransformasi menjadi gurita raksasa dengan tentakel yang mencengkeram berbagai sendi kehidupan. Tak jarang, para pelaku kejahatan berkerah putih ini beroperasi lintas negara, berlindung di balik perusahaan cangkang, dan memanfaatkan celah hukum untuk mengeruk keuntungan haram. Namun, di tengah kegelapan tersebut, seberkas cahaya kebenaran tetap bersinar terang. Cahaya itu bernama OCCRP, singkatan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project.

OCCRP adalah konsorsium global yang terdiri dari jurnalis investigasi, pusat riset nirlaba, dan media independen dari berbagai belahan dunia. Layaknya pasukan elite pemberantas kejahatan, mereka bersatu padu, menembus batas geografis, dan mengungkap praktik-praktik kotor yang selama ini tersembunyi di balik tirai kekuasaan. Dengan tekad baja dan dedikasi tinggi, mereka menyelami lautan informasi, menganalisis data, dan merangkai potongan-potongan puzzle untuk menguak tabir kejahatan yang rumit.

Ilustrasi rilis OCCRP (Gambar : Istimewa)

OCCRP bukanlah organisasi biasa. Mereka adalah pelopor jurnalisme investigasi global, yang menghasilkan laporan mendalam dan berkualitas tinggi. Investigasi mereka menjangkau berbagai isu, mulai dari pencucian uang, perdagangan manusia, penjarahan sumber daya alam, hingga korupsi politik tingkat tinggi. Berkat kerja keras dan keberanian mereka, banyak kasus besar yang sebelumnya terkubur rapat, akhirnya terungkap ke publik.

Mengungkap Jaringan Kejahatan Lintas Negara

Salah satu kekuatan utama OCCRP adalah kemampuannya dalam mengungkap jaringan kejahatan lintas negara. Para jurnalis investigasi yang tergabung dalam OCCRP bagaikan detektif global yang berburu para penjahat di berbagai belahan dunia. Mereka menelusuri jejak uang haram, membongkar skema penipuan yang canggih, dan mengungkap keterlibatan aktor-aktor penting di balik jaringan kejahatan tersebut.

Salah satu contoh investigasi OCCRP yang menggemparkan dunia adalah "Panama Papers". Pada tahun 2016, OCCRP bersama International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) menerbitkan laporan berdasarkan bocoran 11,5 juta dokumen dari firma hukum Mossack Fonseca di Panama.  

Dokumen-dokumen tersebut mengungkap bagaimana para orang kaya dan berkuasa di dunia, termasuk politisi, pejabat pemerintah, dan selebriti, menyembunyikan kekayaan mereka di surga pajak lepas pantai.

Panama Papers menimbulkan gempa politik dan hukum di berbagai negara. Sejumlah politisi terpaksa mundur dari jabatannya, perusahaan-perusahaan multinasional diinvestigasi, dan aturan perpajakan internasional diperketat. Investigasi ini juga membuktikan kemampuan OCCRP dalam mengolah data dalam jumlah besar dan menjalin kerjasama dengan jurnalis di seluruh dunia.

Selain Panama Papers, OCCRP juga telah mengungkap berbagai kasus kejahatan lintas negara lainnya, seperti:

  • The Azerbaijani Laundromat: Skema pencucian uang senilai 2,9 miliar dolar AS yang melibatkan pejabat tinggi Azerbaijan.
  • Troika Laundromat: Jaringan perusahaan cangkang yang digunakan untuk memindahkan miliaran dolar keluar dari Rusia.
  • The Russian Laundromat: Skema pencucian uang senilai 20 miliar dolar AS yang melibatkan bank-bank Rusia dan Moldova.

Investigasi-investigasi tersebut menunjukkan bahwa OCCRP adalah lawan tangguh bagi para penjahat kelas kakap. Mereka tidak gentar menghadapi ancaman dan intimidasi, dan tetap berkomitmen untuk mengungkap kebenaran, sekalipun harus berhadapan dengan kekuatan yang besar dan berpengaruh.

Memberdayakan Jurnalis dan Media Independen

OCCRP tidak hanya fokus pada investigasi, tetapi juga aktif dalam memberdayakan jurnalis dan media independen di seluruh dunia. Mereka menyediakan pelatihan, mentoring, dan dukungan kepada jurnalis yang ingin mempelajari teknik jurnalisme investigasi. OCCRP juga membantu media independen untuk meningkatkan kapasitas dan memperluas jaringan.

Program-program pelatihan OCCRP mencakup berbagai topik, seperti teknik wawancara, analisis data, keamanan digital, dan etika jurnalistik. Pelatihan ini dirancang untuk meningkatkan keterampilan jurnalis dalam menghasilkan laporan investigasi yang akurat, mendalam, dan berdampak.

OCCRP juga memiliki program beasiswa bagi jurnalis investigasi yang ingin mengembangkan proyek investigasi mereka. Program beasiswa ini memberikan dukungan finansial, mentoring, dan akses ke jaringan OCCRP. Dengan adanya program ini, OCCRP berharap dapat menumbuhkan generasi baru jurnalis investigasi yang berkompeten dan berintegritas.

Selain pelatihan dan beasiswa, OCCRP juga mengembangkan berbagai alat dan sumber daya yang dapat digunakan oleh jurnalis di seluruh dunia. Salah satu contohnya adalah ALEPH, platform pencarian data yang dikembangkan oleh OCCRP. ALEPH memungkinkan jurnalis untuk mencari dan menganalisis data dari berbagai sumber, seperti dokumen perusahaan, laporan keuangan, dan database pemerintah.

Dengan memberdayakan jurnalis dan media independen, OCCRP berkontribusi pada peningkatan kualitas jurnalisme investigasi di seluruh dunia. Hal ini penting untuk memastikan bahwa praktik-praktik kejahatan dan korupsi dapat terungkap dan dipertanggungjawabkan.

Menginspirasi Perubahan dan Membangun Masyarakat yang Lebih Baik

OCCRP tidak hanya mengungkap kejahatan dan korupsi, tetapi juga berusaha untuk menginspirasi perubahan dan membangun masyarakat yang lebih baik. Laporan-laporan investigasi OCCRP seringkali menimbulkan perdebatan publik, mendorong reformasi kebijakan, dan memperkuat penegakan hukum.

OCCRP aktif berkampanye melawan kejahatan dan korupsi melalui berbagai platform, seperti media sosial, acara publik, dan kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil. Mereka juga mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam melawan kejahatan dan korupsi, misalnya dengan melaporkan kecurigaan adanya tindakan korupsi kepada pihak berwenang.

OCCRP percaya bahwa jurnalisme investigasi memiliki peran penting dalam memperkuat demokrasi dan menegakkan keadilan. Dengan mengungkap kebenaran dan mempromosikan transparansi, OCCRP berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang lebih adil, bersih, dan sejahtera.

Contoh kasus di Indonesia yang pernah diliput OCCRP adalah kasus "Panama Papers" yang menyeret nama beberapa pengusaha dan politisi Indonesia. OCCRP juga pernah menulis tentang kasus korupsi di sektor pertambangan dan kehutanan di Indonesia. Liputan-liputan tersebut telah membantu meningkatkan kesadaran publik tentang masalah korupsi di Indonesia dan mendorong upaya pemberantasan korupsi.

OCCRP adalah contoh nyata bagaimana jurnalisme investigasi dapat menjadi kekuatan untuk perubahan positif. Dengan dedikasi, keberanian, dan profesionalisme, mereka telah membuktikan bahwa pena lebih tajam daripada pedang. OCCRP adalah inspirasi bagi kita semua untuk terus berjuang melawan kejahatan dan korupsi, demi mewujudkan masyarakat yang lebih baik.

Gagasan mengajarkan coding kepada siswa sekolah dasar memang membangkitkan antusiasme. Di era digital yang terus melaju, kemampuan mengolah bahasa komputer menjadi semacam kunci memasuki dunia masa depan. Keahlian ini digadang-gadang akan membuka pintu bagi generasi muda untuk berinovasi, menciptakan solusi, dan memimpin di berbagai bidang. Namun, di balik semangat membara itu, ada realitas yang tak bisa kita abaikan: kesenjangan akses, infrastruktur yang terbatas, dan kesiapan guru yang masih menjadi tanda tanya besar.

Kita semua menyaksikan bagaimana pandemi COVID-19 menelanjangi ketimpangan digital di negeri ini. Ketika sekolah-sekolah terpaksa menutup pintu dan beralih ke pembelajaran online, jutaan anak terpinggirkan karena tidak memiliki akses internet dan perangkat yang memadai. Guru-guru pun tergagap-gagap beradaptasi dengan teknologi baru. Pembelajaran jarak jauh menjadi mimpi buruk bagi banyak siswa, khususnya mereka yang tinggal di daerah terpencil dan keluarga prasejahtera. Akankah kita mengulangi kesalahan yang sama dengan terburu-buru menerapkan coding di SD tanpa memperhatikan fondasi yang kokoh?

Memahami Coding dan Tantangannya

Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk memahami esensi coding. Coding bukanlah sekadar menulis baris-baris kode yang rumit dan abstrak. Coding adalah cara berpikir logis, memecahkan masalah secara sistematis, dan menyalurkan kreativitas. Coding melatih anak untuk berpikir terstruktur, menganalisis informasi, dan merancang solusi dengan langkah-langkah yang terukur. Namun, kemampuan itu tidak muncul begitu saja. Ia perlu dipupuk melalui proses pembelajaran yang terstruktur, dengan bimbingan guru yang kompeten dan dukungan fasilitas yang memadai.

Bayangkan seorang guru SD di pelosok desa, yang mungkin baru mengenal internet beberapa tahun terakhir. Minimnya pelatihan dan akses terhadap perkembangan teknologi menjadikannya tertinggal. Bagaimana ia bisa mengajarkan coding kepada murid-muridnya jika ia sendiri masih kesulitan menggunakan komputer? Bagaimana ia bisa membimbing anak-anak mengeksplorasi dunia digital jika sekolahnya hanya memiliki beberapa unit komputer tua yang sering rusak? Keterbatasan infrastruktur ini menjadi jurang pemisah yang menghambat pemerataan pendidikan.

Jangan sampai program coding di SD hanya menjadi hiasan di atas kertas, atau lebih parah lagi, menjadi proyek mercusuar yang menghabiskan anggaran tanpa hasil yang nyata. Kita perlu belajar dari pengalaman masa lalu, di mana banyak program pendidikan gagal karena tidak disiapkan dengan matang.

Ingatlah implementasi Kurikulum 2013 yang terburu-buru dan penuh kontroversi. Guru-guru dipaksa beradaptasi dengan metode pembelajaran baru tanpa pelatihan yang memadai. Buku-buku teks terlambat didistribusikan. Akibatnya, banyak guru yang kebingungan dan siswa yang tertekan. Kurikulum yang seharusnya menjadi panduan justru menjadi beban.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)
Jangan biarkan sejarah berulang. Sebelum menerapkan coding di SD, pastikan semua infrastruktur pendukung sudah tersedia. Pastikan akses internet merata hingga ke pelosok negeri. Pastikan setiap sekolah memiliki laboratorium komputer yang lengkap dan terawat dengan baik, dilengkapi dengan perangkat lunak yang dibutuhkan. Kesiapan infrastruktur ini merupakan investasi jangka panjang untuk membangun generasi digital yang kompeten.

Yang tak kalah penting, investasikan pada peningkatan kompetensi guru. Berikan pelatihan yang intensif dan berkelanjutan agar mereka mampu mengajarkan coding dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami anak-anak. Guru harus menjadi garda terdepan dalam penerapan program ini, bukan korban dari kebijakan yang kurang matang.

Pentingnya Pengembangan Holistik

Di tengah gegap gempita coding, jangan sampai kita melupakan hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Coding memang penting, tetapi bukan satu-satunya keterampilan yang dibutuhkan anak-anak di era digital. Jangan lupakan pentingnya mengembangkan kemampuan literasi, numerasi, dan keterampilan sosial emosional. Pendidikan harus holistik, mencakup semua aspek perkembangan anak.

Kita tidak ingin menciptakan generasi yang mahir coding tetapi miskin empati, kreatif dalam dunia digital tetapi gagap dalam interaksi sosial. Anak-anak perlu dibekali dengan keterampilan yang utuh agar mereka bisa menavigasi kompleksitas dunia modern dengan bijak. Kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan emosional dan spiritual.

Penerapan coding di SD harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Mulailah dari sekolah-sekolah yang sudah memiliki infrastruktur dan guru yang siap. Lakukan uji coba dan evaluasi secara berkala untuk mengukur efektivitas program dan mengidentifikasi kendala yang muncul. Jangan tergesa-gesa, jangan terjebak pada euforia sesaat. Pikirkan baik-baik dampak jangka panjang dari kebijakan yang kita ambil. Ingat, kita bertanggung jawab atas masa depan generasi penerus bangsa.

Peran Krusial Guru

Dalam implementasi program coding di SD, guru memegang peran yang sangat krusial. Guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi fasilitator yang membimbing siswa mengeksplorasi dunia coding dengan cara yang menyenangkan dan bermakna. Guru harus mampu menumbuhkan rasa ingin tahu, merangsang kreativitas, dan membangun kepercayaan diri siswa dalam belajar coding.

Guru perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan pedagogis yang relevan dengan dunia digital. Mereka harus mampu mengintegrasikan coding ke dalam berbagai mata pelajaran, sehingga siswa dapat melihat relevansi coding dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam pelajaran matematika, siswa dapat belajar membuat program sederhana untuk menghitung luas bangun datar. Dalam pelajaran IPA, mereka dapat membuat simulasi pergerakan planet atau pertumbuhan tanaman.

Dengan cara ini, coding bukan lagi mata pelajaran yang asing dan menakutkan, tetapi menjadi alat yang menarik untuk mempelajari konsep-konsep lain. Guru pun menjadi lebih percaya diri dalam mengajarkan coding karena mereka melihat dampak positifnya pada proses pembelajaran.

Namun, meningkatkan kompetensi guru tidaklah mudah. Dibutuhkan komitmen dan investasi yang besar dari pemerintah. Program pelatihan guru harus dirancang dengan baik, melibatkan para ahli di bidang teknologi dan pendidikan. Pelatihan tidak boleh hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga pada aspek pedagogis. Guru perlu diajari bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi siswa, dan menangani keragaman kemampuan belajar.

Menjamin Akses dan Kesetaraan

Tantangan lain dalam menerapkan coding di SD adalah menjamin akses dan kesetaraan bagi semua siswa. Kita hidup di negara kepulauan dengan kondisi geografis yang beragam. Tidak semua daerah memiliki akses internet yang memadai. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas yang lengkap. Kesenjangan ini akan semakin melebar jika tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk menjembatani.

Oleh karena itu, pemerintah perlu merancang strategi khusus untuk menjangkau daerah-daerah tertinggal. Program pemerataan akses internet dan pengadaan fasilitas sekolah harus diprioritaskan. Jangan sampai program coding ini hanya dinikmati oleh segelintir anak di kota besar, sementara anak-anak di daerah terpencil semakin tertinggal.

Selain itu, pemerintah perlu menyediakan program bantuan bagi siswa dari keluarga kurang mampu agar mereka dapat memiliki perangkat yang dibutuhkan untuk belajar coding. Program beasiswa dan subsidi juga perlu diperluas agar semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi diri. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali.

Di era disrupsi yang penuh ketidakpastian ini, kita tidak bisa lagi menerapkan pola pikir lama. Kita perlu berani berinovasi, mencari solusi baru untuk mengatasi permasalahan yang semakin kompleks. Coding adalah salah satu kunci untuk membuka pintu masa depan. Namun, jangan sampai kita terjebak pada euforia teknologi semata. Ingatlah bahwa tujuan akhir pendidikan adalah menciptakan manusia yang utuh, berkarakter, dan bermanfaat bagi sesama.

Mari kita siapkan generasi penerus bangsa dengan bekal keterampilan yang relevan dengan zamannya, tetapi juga dengan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Hanya dengan cara itu, kita bisa menghadapi masa depan dengan optimisme dan kepercayaan diri.

Akhirnya, semua kembali kepada kita. Apakah kita akan membiarkan coding di SD menjadi program yang gagal lagi? Atau akankah kita belajar dari pengalaman masa lalu dan menyiapkan segalanya dengan matang? Pilihan ada di tangan kita.


Era disrupsi menuntut adaptasi dan inovasi. Dunia dituntut untuk selalu berubah, beradaptasi, dan menciptakan hal baru. Namun, ironisnya, dunia akademik di Indonesia justru terbelenggu oleh regulasi yang kaku dan birokratis. Salah satunya adalah aturan ISBN (International Standard Book Number) yang semakin ketat pasca pandemi Covid-19. Perpustakaan Nasional (Perpusnas), dengan alasan mencegah penyalahgunaan ISBN, membatasi penerbitannya hanya untuk kategori buku tertentu. Akibatnya, banyak dosen, khususnya yang menerbitkan buku di luar jalur penerbit mayor, kesulitan mendapatkan ISBN. Padahal, ISBN merupakan salah satu syarat utama bagi Ditjen Dikti untuk mengakui sebuah buku sebagai karya ilmiah yang dapat meningkatkan angka kredit dosen.

Ilustrasi (Gambar : Istimewa)

Dosen, sebagai garda terdepan dalam dunia pendidikan tinggi, dituntut untuk terus mengembangkan diri dan menghasilkan karya-karya inovatif. Menulis buku merupakan salah satu cara bagi dosen untuk menuangkan ide, gagasan, dan hasil penelitian mereka, sekaligus berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, semangat dan kreativitas dosen dalam menulis buku terhambat oleh aturan ISBN yang semakin ketat.

Perpusnas beralasan bahwa pengetatan ISBN dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan. Banyak oknum yang memanfaatkan ISBN untuk kepentingan pribadi, menerbitkan buku fiktif yang tidak pernah dicetak dan diedarkan secara publik. Kebijakan ini memang dapat dipahami sebagai upaya menjaga kredibilitas ISBN sebagai identitas resmi sebuah buku. Namun, di sisi lain, kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru bagi para dosen yang ingin menerbitkan buku sebagai bagian dari pengembangan diri dan karir akademik mereka.

Kategori buku yang diprioritaskan untuk mendapatkan ISBN pun semakin dipersempit. Buku ajar, monograf, dan buku referensi yang diterbitkan oleh penerbit mayor dengan reputasi baik masih relatif mudah mendapatkan ISBN. Namun, buku-buku yang ditulis oleh mahasiswa, dosen, atau peneliti independen, khususnya yang diterbitkan oleh penerbit indie atau self-publishing, seringkali ditolak pengajuan ISBN-nya. Alasannya beragam, mulai dari tema yang dianggap tidak relevan, jumlah halaman yang terlalu sedikit, hingga format penulisan yang tidak sesuai standar.

Ironisnya, di saat yang sama, Ditjen Dikti mensyaratkan ISBN sebagai salah satu prasyarat pengakuan karya tulis ilmiah bagi dosen. Buku ber-ISBN memiliki nilai angka kredit yang lebih tinggi dibandingkan karya tulis lain seperti artikel jurnal atau makalah seminar. Akibatnya, banyak dosen yang merasa frustrasi karena karya mereka, meskipun berkualitas dan bermanfaat, tidak diakui secara optimal oleh Ditjen Dikti hanya karena terkendala ISBN.

Situasi ini menciptakan dilema bagi dosen. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menghasilkan karya tulis berupa buku untuk meningkatkan angka kredit dan karir akademik mereka. Di sisi lain, mereka dihadapkan pada aturan ISBN yang semakin ketat dan membatasi ruang gerak mereka dalam berkreasi dan berinovasi.

Kebijakan Perpusnas yang memperketat ISBN sebenarnya dapat dipahami sebagai upaya untuk menjaga kualitas dan kredibilitas ISBN sebagai identitas resmi sebuah buku. Namun, dalam implementasinya, kebijakan ini justru menimbulkan dampak negatif bagi dunia akademik, khususnya bagi para dosen yang ingin menerbitkan buku.

Salah satu dampak negatif yang paling terasa adalah menurunnya motivasi dan produktivitas dosen dalam menulis buku. Banyak dosen yang merasa enggan untuk menulis buku karena dihadapkan pada proses yang rumit dan berbelit-belit dalam mendapatkan ISBN. Mereka lebih memilih untuk menulis artikel jurnal atau makalah seminar yang proses publikasinya lebih mudah dan cepat.

Selain itu, kebijakan ini juga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Buku merupakan salah satu media penting untuk menyebarkan dan melestarikan ilmu pengetahuan. Dengan semakin sulitnya dosen untuk menerbitkan buku, maka penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan pun menjadi terhambat.

Di era disrupsi yang menuntut adaptasi dan inovasi, kebijakan yang kaku dan birokratis justru menjadi batu sandungan bagi kemajuan dunia akademik di Indonesia. Perlu ada penyesuaian dan fleksibilitas dalam aturan ISBN agar tidak menghambat kreativitas dan produktivitas dosen dalam menulis buku.

Pemerintah, dalam hal ini Perpusnas dan Ditjen Dikti, perlu mencari solusi yang lebih bijak dalam mengatasi masalah penyalahgunaan ISBN tanpa harus mengorbankan kepentingan para dosen yang ingin menerbitkan buku. Salah satu solusinya adalah dengan mengembangkan sistem identifikasi buku yang lebih modern, efisien, dan mudah diakses, seperti QRCBN (Quick Response Code Book Number).

QRCBN adalah sistem identifikasi buku berbasis kode QR yang dikembangkan oleh beberapa organisasi di Indonesia. Layaknya ISBN, QRCBN memberikan identitas unik pada setiap buku, memudahkan pelacakan, dan membantu pengendalian distribusi. Kelebihan QRCBN dibandingkan ISBN adalah prosesnya yang lebih cepat, mudah, dan murah. QRCBN juga lebih fleksibel dan inklusif, dapat digunakan untuk semua jenis buku, termasuk buku yang diterbitkan secara mandiri atau oleh penerbit indie.

Dengan menggunakan QRCBN, para dosen dapat lebih mudah menerbitkan buku tanpa harus melewati proses birokrasi yang rumit dan berbelit-belit. Hal ini akan mendorong peningkatan produktivitas dan kreativitas dosen dalam menulis buku, sekaligus mempercepat penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Selain itu, QRCBN juga sejalan dengan semangat transformasi digital yang sedang digencarkan pemerintah. Sebagai sistem identifikasi buku berbasis kode QR, QRCBN memudahkan akses dan penyebaran informasi tentang buku secara digital. Hal ini tentu saja akan mempermudah proses pencarian, pelacakan, dan verifikasi data buku.

Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Perpusnas dan Ditjen Dikti, untuk mengakui dan menerapkan QRCBN sebagai salah satu sistem identifikasi buku yang sah di Indonesia. Dengan demikian, para dosen dapat memiliki lebih banyak pilihan dalam menerbitkan buku, baik melalui ISBN maupun QRCBN, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi mereka.

Pengakuan dan penerapan QRCBN juga merupakan bentuk dukungan pemerintah terhadap perkembangan dunia akademik di Indonesia. Dengan memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi para dosen dalam menerbitkan buku, pemerintah berkontribusi dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi buku, sekaligus mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.

QRCBN: Solusi Inklusif dan Adaptif bagi Dosen Penulis

Di tengah perdebatan seputar ISBN dan tantangan yang dihadapi dosen dalam menerbitkan buku, QRCBN hadir sebagai alternatif yang menjanjikan. QRCBN adalah sistem identifikasi buku berbasis kode QR yang dikembangkan oleh beberapa organisasi di Indonesia. Lebih mudah, cepat, dan murah, QRCBN dapat digunakan untuk semua jenis buku, termasuk yang diterbitkan secara mandiri atau oleh penerbit indie.

QRCBN lahir dari kebutuhan untuk menciptakan sistem identifikasi buku yang lebih adaptif, responsif, dan inklusif. Di era digital yang serba cepat dan dinamis, ISBN dirasa sudah tidak lagi relevan dan cukup memberatkan, terutama bagi dosen dan penulis indie yang ingin menerbitkan buku secara mandiri.

Kelebihan QRCBN dibandingkan ISBN cukup signifikan. Pertama, proses penerbitan QRCBN jauh lebih cepat dan mudah. Dosen tidak perlu melewati proses birokrasi yang rumit dan berbelit-belit seperti halnya ISBN. Cukup dengan mendaftarkan buku mereka ke lembaga penerbit QRCBN, maka kode QR unik akan segera diterbitkan.

Kedua, QRCBN lebih murah dibandingkan ISBN. Bahkan, ada beberapa lembaga penerbit QRCBN yang menawarkan jasa mereka secara gratis. Hal ini tentu saja sangat membantu dosen yang memiliki keterbatasan dana dalam menerbitkan buku.

Ketiga, QRCBN lebih fleksibel dan inklusif. QRCBN dapat digunakan untuk semua jenis buku, tanpa terkecuali. Tidak ada pembatasan kategori atau jenis buku seperti halnya ISBN. Hal ini sangat menguntungkan bagi dosen yang ingin menerbitkan buku dengan tema atau format yang tidak biasa.

Keempat, QRCBN lebih mudah diakses dan disebarluaskan. Kode QR dapat dicetak di buku fisik maupun ditampilkan di buku digital. Pembaca cukup memindai kode QR tersebut dengan smartphone untuk mendapatkan informasi lengkap tentang buku, termasuk judul, penulis, penerbit, tahun terbit, dan sinopsis.

Dengan segala kelebihannya, QRCBN memiliki potensi besar untuk mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produksi buku di Indonesia. QRCBN memudahkan siapa saja, termasuk dosen, mahasiswa, dan masyarakat umum, untuk menerbitkan buku dan berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Namun, potensi QRCBN ini belum dapat dimaksimalkan secara optimal karena belum adanya pengakuan resmi dari pemerintah, khususnya Ditjen Dikti. Saat ini, buku ber-QRCBN belum diakui sebagai karya ilmiah yang dapat meningkatkan angka kredit dosen. Hal ini tentu saja sangat disayangkan.

Sudah saatnya Ditjen Dikti mengakui QRCBN sebagai identitas resmi buku dan memberikan angka kredit yang setimpal bagi dosen yang menerbitkan buku ber-QRCBN. Pengakuan ini penting untuk memberikan apresiasi dan motivasi bagi dosen yang telah berkarya dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Selain itu, pengakuan QRCBN oleh Ditjen Dikti juga sejalan dengan semangat transformasi digital yang sedang digencarkan pemerintah. QRCBN merupakan sistem identifikasi buku yang modern, efisien, dan mudah diakses. Dengan menggunakan kode QR, informasi tentang buku dapat diakses secara instan melalui smartphone atau perangkat digital lainnya. Hal ini tentu saja akan mempermudah proses pencarian, pelacakan, dan verifikasi data buku.

Lebih jauh lagi, pengakuan QRCBN oleh Ditjen Dikti dapat mendorong terciptanya ekosistem literasi yang lebih inklusif. QRCBN memberikan kesempatan bagi semua orang, tanpa terkecuali, untuk menerbitkan buku dan berbagi pengetahuan. Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan minat baca dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Oleh karena itu, sudah saatnya Ditjen Dikti menghilangkan ego sektoral dan berpikir lebih terbuka dalam menyikapi perkembangan teknologi dan inovasi di bidang literasi. Pengakuan QRCBN bukanlah sebuah ancaman, melainkan sebuah peluang untuk memajukan dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Jangan biarkan para dosen yang bersemangat menulis terhambat oleh regulasi yang kaku dan tidak relevan. Berikan mereka ruang dan apresiasi yang layak, agar mereka dapat terus berkarya dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. QRCBN adalah solusi yang menjanjikan untuk mewujudkan hal tersebut.

Dengan mengakui QRCBN, Ditjen Dikti tidak hanya memberikan keadilan bagi dosen, tetapi juga mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produksi buku di Indonesia. Lebih jauh lagi, pengakuan terhadap QRCBN akan mempercepat transformasi digital di dunia pendidikan tinggi dan membangun ekosistem literasi yang lebih inklusif.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • NEGERI PARA [ORMAS] PREMAN
  • KALAU MAU KAYA, JANGAN JADI DOSEN
  • RINDU TANPA NAMA
  • MENGUNGKAP NOVELTY DALAM KARYA ILMIAH: SKRIPSI, TESIS, DAN DISERTASI

Ramadhan Bercerita

PARIWARA

PARIWARA

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar