Tiga bulan belakangan ini, lini masa media sosial lagi ramai membahas soal dugaan ijazah palsu mantan presiden. Kasusnya bukan main-main, saking panasnya sampai menyeret kampus almamaternya dan juga mantan dosen pembimbingnya ke permukaan. Orang-orang yang dulu kerjaannya cuma jadi pengamat politik dadakan, sekarang jadi pengamat akademik dadakan. Semua ikut komentar. Dan seperti biasa, grup WhatsApp keluarga pun tak ketinggalan. Dari yang cuma ngerti ijazah SD sampai profesor beneran, semua ikut nimbrung.
Yang bikin heboh bukan cuma dugaan ijazah palsunya, tapi juga pernyataan dari sang dosen pembimbing yang bilang kalau dia tuh sebenarnya nggak pernah lihat ijazah si mahasiswa itu. Lah, kok bisa? Ternyata setelah ditelisik lebih dalam, oh, rupanya beliau bukan dosen pembimbing skripsi, tapi dosen pembimbing akademik. Wah, ini mah beda fungsi. Beda jalur.
![]() |
Ilustrasi jenis-jenis dosen pembimbing di kampus (Gambar : AI Generated) |
Nah, dari sini saya jadi kepikiran. Banyak orang di luar dunia kampus tuh sering salah paham. Kirain dosen pembimbing itu ya cuma satu: dosen pembimbing skripsi. Padahal kalau kita gali lebih dalam, jenis-jenis dosen pembimbing itu banyak, Bung! Kayak menu warteg, ada macam-macam. Dan tiap jenis punya fungsi dan gaya masing-masing.
Mari kita mulai dari dosen pembimbing akademik. Ini adalah dosen yang biasanya kita dapat di awal semester kuliah. Tugasnya sebenarnya simpel: mendampingi mahasiswa secara akademik. Tapi realitanya? Kadang cuma ketemu pas awal semester buat tanda tangan KRS, habis itu raib seperti mantan yang mendadak nggak bisa dihubungi. Tapi jangan salah, dosen jenis ini sangat penting. Kalau kamu punya masalah akademik, seperti bingung milih mata kuliah, IP turun drastis, atau mau cuti kuliah, ya ke beliau inilah kamu seharusnya datang.
Walau begitu, banyak mahasiswa yang bahkan nggak tahu siapa dosen pembimbing akademiknya. Bukan karena lupa, tapi karena saking jarangnya komunikasi. Bahkan kadang dosennya sendiri juga nggak tahu siapa saja mahasiswa bimbingannya. Ini hubungan akademik yang misterius. Ada, tapi seperti tidak ada.
Jenis kedua adalah dosen pembimbing PKM alias Program Kreativitas Mahasiswa. Nah, ini biasanya muncul di pertengahan masa kuliah. Ketika mahasiswa mulai tertarik ikut kompetisi dan ingin nambah poin buat sertifikat. Dosen pembimbing PKM ini biasanya harus sabar. Karena mahasiswa kadang bikin proposalnya mepet deadline, minta tanda tangan pas udah tengah malam, dan suka berubah-ubah topik. Tapi kalau tim PKM-nya menang, yang senang juga dosennya. Dosen langsung auto bangga seolah-olah itu ide dia.
Dosen pembimbing PKM ini kadang jadi semacam penasehat bisnis. Mahasiswa bikin produk minuman dari kulit pisang, atau bikin aplikasi pencari jodoh berbasis syariah, dan dosennya harus kasih masukan seolah-olah ini produk masa depan. Padahal dalam hati mungkin dosennya mikir, "Lah ini kok rasanya kayak MLM ya..."
Lanjut ke dosen pembimbing KKN alias Kuliah Kerja Nyata. Ini adalah dosen yang mendampingi mahasiswa saat mereka turun ke lapangan, hidup di desa, dan pura-pura jadi agen perubahan. Dosen KKN ini biasanya keliling dari satu lokasi ke lokasi lain buat sidak. Tapi ada juga yang cukup lewat Zoom, tanya kabar, terus bilang, "Yang penting jaga nama baik kampus ya, Nak."
Menjadi dosen pembimbing KKN itu kadang mengharukan. Mereka melihat mahasiswa yang awalnya nggak bisa bangun pagi, tiba-tiba jadi rajin ikut gotong royong. Mahasiswa yang biasanya cuma bisa ngopi di burjo, sekarang bisa jadi pemateri pelatihan ibu-ibu PKK. Momen ini kadang bikin dosennya terharu, walau tetap waswas takut tiba-tiba ada laporan keributan gara-gara rebutan sinyal WiFi desa.
Yang nggak kalah seru adalah dosen pembimbing magang. Ini adalah dosen yang tugasnya mendampingi mahasiswa yang sedang praktik kerja di perusahaan, kantor pemerintahan, atau lembaga lainnya. Biasanya dosen ini akan jadi penghubung antara kampus dan tempat magang. Tapi, kadang juga jadi pelampiasan curhat mahasiswa yang stres gara-gara disuruh fotokopi seharian.
Dosen pembimbing magang ini punya tugas yang rumit. Mereka harus memastikan mahasiswa mendapatkan pengalaman yang bermanfaat, tapi juga harus tahan dengar laporan mahasiswa yang bilang, "Bu, saya merasa magangnya nggak sesuai jurusan." Belum lagi kalau mahasiswa-nya magang di luar kota, dosennya kadang cuma bisa berharap laporan magangnya beneran ditulis sendiri, bukan hasil copas dari kakak tingkat.
Nah, ini dia jenis dosen yang paling legendaris: dosen pembimbing skripsi. Dosen inilah yang paling menentukan nasib mahasiswa di akhir masa studinya. Baik buruknya hubungan mahasiswa dengan dosen ini bisa jadi penentu apakah mahasiswa lulus tepat waktu atau jadi warga kampus abadi. Hubungan ini seperti pacaran jangka panjang. Ada suka, ada duka, ada ghosting juga.
Dosen pembimbing skripsi itu ada macam-macam gayanya. Ada yang teliti banget sampai typo koma saja dikoreksi. Ada juga yang santai, yang penting kamu submit aja dulu. Ada yang susah ditemui karena sibuk seminar, dan ada yang gampang ditemui tapi jawabannya suka bikin emosi, "Coba kamu pikirkan lagi ya," tanpa penjelasan tambahan.
Namun, ada juga dosen pembimbing yang levelnya di atas semua itu. Dosen pembimbing spiritual sekaligus motivator. Biasanya dosen seperti ini akan bilang hal-hal yang menyentuh hati, kayak, "Kamu jangan menyerah. Semua orang punya waktunya sendiri." Atau, "Ingat Nak, skripsi itu bukan soal pintar, tapi soal niat dan konsistensi." Dosen model begini bikin mahasiswa merasa didukung dan dihargai. Seolah-olah mereka punya coach pribadi dalam hidup.
Dosen motivator ini biasanya juga jadi tempat curhat. Mahasiswa cerita soal pacar, soal keluarga, bahkan soal hidup yang terasa berat. Dan hebatnya, dosen ini bisa menanggapi dengan sabar. Bahkan kadang kasih nasihat sambil nyeduh teh. Mahasiswa pulang dari bimbingan bukan cuma dapat revisi, tapi juga semangat baru.
Di sisi lain, tidak sedikit juga dosen pembimbing yang jadi momok. Yang kalau ketemu rasanya kayak diinterogasi KPK. Mahasiswa jadi gugup, ngomong terbata-bata, dan pulang bimbingan dengan mental koyak. Tapi ya, di balik kerasnya itu, kadang niatnya baik. Cuma ekspresinya saja yang kelihatan seperti baru kehilangan saham.
Kalau dipikir-pikir, semua jenis dosen pembimbing itu punya peran masing-masing. Ada yang tugasnya administratif, ada yang akademik, ada yang sosial, dan ada yang emosional. Masing-masing punya caranya sendiri dalam mendampingi mahasiswa. Dan semua sama pentingnya. Tanpa mereka, mahasiswa bisa tersesat seperti guling hilang di kosan berantakan.
Yang sering jadi masalah adalah ketika mahasiswa sendiri nggak tahu harus ke dosen yang mana untuk urusan tertentu. Ujung-ujungnya semua dilempar ke dosen pembimbing skripsi, padahal belum tentu itu wewenangnya. Maka dari itu, edukasi soal fungsi masing-masing dosen pembimbing ini penting. Biar nggak salah sasaran.
Tentu, idealnya semua dosen pembimbing punya waktu dan energi untuk membimbing mahasiswa dengan sepenuh hati. Tapi kita juga harus ingat, dosen juga manusia. Mereka punya urusan, punya beban kerja, bahkan punya masalah hidup. Jadi kadang, kalau balas email atau WhatsApp mahasiswa agak lama, ya mohon dimaklumi.
Hubungan antara mahasiswa dan dosen pembimbing itu unik. Kadang seperti anak dan orang tua, kadang seperti bos dan anak buah, kadang juga seperti teman seperjuangan. Tapi apapun bentuknya, kalau dijalani dengan saling pengertian, hasilnya pasti baik. Walaupun skripsi tetap direvisi tiga kali.
Di tengah ramainya kabar soal dugaan ijazah palsu dan dosen pembimbing yang merasa tidak pernah membimbing, kita jadi diingatkan bahwa peran dosen itu tidak bisa digeneralisasi. Ada banyak jenis, banyak bentuk, dan banyak cara. Tidak bisa disamaratakan.
Jadi, kalau kamu mahasiswa dan belum tahu siapa dosen pembimbingmu, coba deh cari tahu. Jangan-jangan dia udah nunggu kamu dari semester lalu. Dan kalau kamu dosen, semoga sabar dan kuat mendampingi mahasiswa yang kadang suka hilang lalu muncul pas akhir semester bawa revisi dadakan.
Karena di kampus, hubungan paling krusial bukan cuma dengan pacar. Tapi juga dengan dosen pembimbing. Mereka lah yang akan menentukan, apakah kamu lulus dengan senyum, atau lulus dengan drama dan air mata.
Begitulah hidup. Bahkan untuk urusan akademik pun, kita tetap butuh pembimbing. Karena sejatinya, manusia memang tidak ditakdirkan berjalan sendiri.