Ùˆَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ ÙˆَالصَّÙ„َاةِ ÙˆَØ¥ِÙ†َّÙ‡َا Ù„َÙƒَبِيرَØ©ٌ
Ø¥ِÙ„َّا عَÙ„َÙ‰ الْØ®َاشِعِينَ
“Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 45)
Hari-hari terakhir ini cukup berat bagi saya dan
istri. Semua yang terjadi diluar kuasa kami. Mungkin bagi orang lain ini hal
biasa, namun tidak untuk kami yang baru saja memulai peran menjadi orangtua
yang diamanahi dua orang putri setelah menunggu hampir lima tahun lamanya.
Semua seolah terjadi begitu cepat. Akhir April, dokter
yang menangani kami sejak bulan-bulan pertama sudah menanyakan kapan bayi akan
dilahirkan. Namun kami berdua masih gamang, kapan waktu yang tepat mengingat
ada banyak sekali hal yang menjadi pertimbangan kami berdua.
Selasa 5 Mei 2020, dokter meminta kami menemuinya lagi
untuk mengecek semua kondisi sebelum menentukan apakah akan dioperasi tanggal 6
nya atau ditunda minggu depannya menunggu sampai mencukupi 37 minggu. Soal
berat badan, berdasarkan hasil USG nya, BB Sarah mencapai 2,3 Kg dan Aisha 2,9
Kg. Namun karena ini adalah alat yg tidak sepenuhnya valid, masih ada margin
error sebesar 10-20% (asumsinya bertambah atau berkurang 200 gram). Disini kami
mulai ragu untuk memilih tanggal 6 Mei karena jika errornya ke bawah, maka BB
Sarah akan hanya 2,1 Kg, 100 gram dibawah standar Taiwan. Sebagai informasi,
standar BB bayi baru lahir minimal di Taiwan adalah 2,2 Kg (berbeda dg di
Indonesia yg beberapa masih mensyaratkan minimal 2,5 Kg) sesuai dengan kaidah
ilmiah terbaru yg menjadi rujukan resmi Kementerian Kesehatan Taiwan.
|
Ruang PICU, tempat Sarah dan Aisha dirawat selama 8 hari (Foto : Dok Pribadi)
|
Setelah berdiskusi hampir satu setengah jam dengan
dokter, kami memutuskan untuk dioperasi esok harinya. Malam Pkl. 21.30 kami
memulai prosedur pra operasi secara maraton hingga subuh sebagai prasyarat.
Istri pun mulai di cek NST (Fetal Non
Stress Test) untuk merekam kondisi detak jantung bayi dan kontraksi rahim.
Kemudian istri juga dites darahnya. Beberapa saat setelah hasilnya keluar, tim
perawat yg mengetahui hasil pemeriksaannya buru-buru menelpon dokter kami di
rumahnya dan memintanya datang karena ada hasil yg mengkerenyitkan dahi. Dokter
pun datang tergesa-gesa walau waktu itu sudah tengah malam dan ia sebenarnya
sudah bersiap beranjak tidur.
Dokter menyampaikan bahwa detak jantung Sarah cukup
lemah dan terus melemah. Kami pun cukup kaget, karena selama ini di saat
kontrol rutin, tidak ditemukan masalah. Dokterpun mengatakan bahwa USG tidak
bisa menjadi patokan mengingat ini adalah kehamilan kembar. Selain itu, dokter
menemukan bahwa istri saya terkena anemia yg cukup parah yang lagi-lagi tidak
terdeteksi saat hamil. Hb nya turun hingga 4 level menjadi 8, padahal Hb
manusia normal adalah 12. Apalagi ini akan dioperasi besar, sehingga sangat
berpotensi pendarahan dan sangat beresiko tinggi. Dokter memutuskan untuk
melakukan transfusi darah sebanyak 2 kali. Selain anemia, istri juga terkena
edema yg membuat kakinya bengkak-bengkak. Dan ia juga terkena groin pain di
perut bagian bawah yg praktis membuatnya tidak bisa tidur lelap dalam sebulan
terakhir akibat nyeri yg tak tertahankan. Hasil NST terakhir yang dijelaskan
oleh dokter kepada kami adalah bahwa ternyata rahim istri saya sudah mulai
berkontraksi cukup sering walau istri saya tidak merasakannya sama sekali. Ini
jika tidak diketahui sejak awal bisa membahayakan ketiganya.
Saat subuh, istri kembali dites darahnya dan Hb sudah
naik menjadi 10. Walau masih beresiko, tim dokter menyatakan sudah cukup untuk
kemudian dioperasi 2 jam setelahnya. Rabu 6 Mei jam 8 pagi, kami bergerak menuju
ruang anestesi sebagai transit pertama sebelum memasuki ruang operasi. Disana
sudah menunggu tim dokter anestesi yg dipimpin seorang dokter senior yang
ternyata berkebangsaan Malaysia. Ia seorang keturunan tionghoa Malaysia yg
sudah lebih dari 30 tahun belajar dan bekerja di Taiwan sebagai dokter
anestesi.
Saya diminta menunggu di luar ruangan karena prosedur
disini sangat ketat dengan tidak membolehkan siapapun memasuki ruang operasi,
walaupun suaminya sekalipun. Di luar ruangan, saya diminta bersiap jika ada
hal-hal penting yg memerlukan persetujuan saya.
50 menit pertama, saya terus merapal doa. Ini kali
pertama saya punya pengalaman menunggui keluarga yg harus dioperasi. Di tengah
rapalan doa, perawat meminta saya untuk segera mengikutinya menuju suatu
ruangan. Ia memberitahu, walau dengan bahasa inggris yg terbata-bata namun ia
berusaha menjelaskan selengkap mungkin, bahwa kedua bayi kami telah lahir dan
istri saya masih di ruang operasi untuk proses menjahit luka. Ia memberitahu
bahwa kedua bayi kami mengalami masalah dengan paru-paru dan pernapasannya. Ia
meminta saya menandatangani setumpuk dokumen sebagai prasyarat perawatan khusus
di ruang PICU. Mendengar penjelasan dari perawat, seketika itu juga kaki saya
lemas. Pikiran saya 'blank' sesaat meneropong lorong ruangan PICU yang
berisikan perawat dan dokter yg agak berjalan terburu-buru kesana kemari.
Dengan perasaan lemas setelah mendengar penjelasan mereka, saya pun
menandatangani semua dokumen tanpa menanyakan dokumen apa itu. Dalam pikiran saya,
yg penting kedua anak saya dan ibunya selamat. Setelah sekira 45 menit
menyelesaikan semua dokumen yg diperlukan, saya diizinkan melihat kedua anak
saya.
Deg!
Jantung dan seluruh aliran darah saya seolah berhenti, melihat dua bayi kami
terbaring di kotak inkubator dengan selang ventilator di hidung dan mulutnya,
selang infus di tangannya, dan kabel-kabel di dada dan kakinya untuk memantau
detak jantung mereka. Kaki saya lemas melihat pemandangan ini semua. Tak pernah
terbayangkan sebelumnya jika kedua anak kami di masa ia baru melihat dunia,
sudah harus berjibaku dengan seabreg alat-alat medis untuk membantunya bertahan
melewati masa-masa kritis.
Para perawat yang sebelumnya mengantar saya melihat
mereka, membiarkan saya berdiri menyendiri di samping kedua kotak inkubator yg
di dalamnya berbaring Sarah dan Aisha. Saya berusaha untuk mengontrol emosi
saya. Sebagai manusia, saya memiliki batasan untuk bisa membendung air mata
saya melihat apa yang saya saksikan saat itu. Saya terisak, larut dalam kesedihan.
Sarah, si kakak yg sejak sehari sebelumnya divonis detak jantungnya terus
melemah, nampak bernapas tersengal-sengal.
Di tengah emosi yang bergulung-gulung dan air mata yg terus keluar, saya
berusaha menguasai diri agar tidak larut dalam kesedihan terus menerus.
"Andi, kamu sekarang sudah menjadi Ayah. Ada
istri dan kedua putrimu yg harus kamu pimpin. Mereka butuh melihatmu tegar agar
mereka juga bisa kuat". Samar-samar saya mendengar ucapan ini yg terdengar
seperti orang berbisik. Entah siapa yang membisiki kalimat ini.
Saya pun buru-buru menguatkan agar bisa menguasai
diri. Saya teringat bahwa sebagai orangtua, saya memiliki hal-hal yg harus saya
lakukan untuk kedua putri kami sebagai bagian dari melaksanakan sunnah nabi.
Doa nabi Ibrahim AS dan beberapa doa lain yg
dicontohkan oleh Rasulullah SAW saya rapalkan di samping telinga mereka berdua
yg disekat menggunakan box plastik. Di tengah rapalan doa tersebut, air mata
saya kembali tumpah. Padahal, saya sendiri tidak hafal arti doa tersebut kata
perkatanya. Hanya beberapa kata saja saya tahu artinya karena dulu pernah
sebentar belajar bahasa arab sewaktu S1. Entahlah, mungkin ini yg dinamakan
getaran doa disaat doa diucap dengan kesungguhan, walau tak mengetahui arti
utuhnya, namun karena kesungguhan menjadikan makna bait-bait doanya larut
menjadi getaran yang terus mengetuk pintu 'arsyi sehingga seolah menjadikan
pembacanya mengetahui makna bait per bait dari doa tersebut.
Sebenarnya saya ingin melaksanakan sunnah yang kedua
untuk Sarah dan Aisha, yaitu mentahnik mereka dengan kurma. Namun karena
kondisi yg sangat tidak memungkinkan, saya tidak jadi melaksanakannya. Mungkin
ada yg bertanya, apakah saya mengadzani mereka berdua seperti kebanyakan orang?
|
Kotak Inkubator yang dilengkapi dengan ventilator dan monitor jantung serta paru-paru (Foto : Dok Pribadi) |
Sebagai seorang yg awam dalam masalah agama, saya
mempercayakan urusan agama kepada para ulama yg kompeten membahas dan
memutuskannya. Dan sebagai seorang kader Muhammadiyah, kewajiban saya menaati
putusan ulama Muhammadiyah yg terhimpun dalam Kitab HPT yg salah satunya
membahas tentang sunnah-sunnah untuk bayi yg baru dilahirkan. Saya berharap
bahwa kepatuhan saya pada putusan para ulama Muhammadiyah ini, membawa kebaikan
kepada kami sekeluarga karena keberkahan ilmu dari para ulama yg mengkaji dan
memutuskannya.
Kurang lebih 15 menit perawat membiarkan saya terus
merapal doa di kedua box tersebut, ia lantas memanggil saya untuk diberikan
penjelasan lanjutan. Mereka menjelaskan bahwa Sarah dan Aisha bisa 1-2 minggu
di ruang PICU - NICU, tergantung kondisinya. Mereka meminta persetujuan saya
lagi terkait pemberian susu formula kepada mereka karena jika harus menunggu
ASI dari ibunya, bisa jadi tidak cukup dan perlu waktu. Saya dan istri sejak
awal sudah bersepakat tidak akan menjadi orangtua anti SUFOR. Bukan, bukan karena
kami tinggal di negara Taiwan. Tapi lebih karena kami sadar bahwa sejak awal
kehamilan, kami mengetahui bahwa kehamilan istri saya sangat beresiko tinggi.
Bahkan di bulan pertama kehamilan, istri sempat masuk ICU di rumah sakit saat
tengah malam karena pendarahan. Ini semua menjadikan kami orangtua yang lebih
terbuka dengan segala kemungkinan yg akan terjadi, termasuk soal memakai SUFOR
ketika kedua bayi kami lahir nantinya.
Setelah berhasil menguasai diri sepenuhnya, saya
kembali ke ruangan pemulihan pasca operasi sembari menunggu istri keluar dari
ruangan. Ketika perawat memanggil saya, saya melihat wajah istri saya yang
masih setengah sadar karena pengaruh anestesi selama operasi berlangsung. Ia
pun bertanya soal Sarah dan Aisha karena ia tidak sempat melihat keduanya
ketika baru keluar. Dokter langsung membawanya ke ruang PICU setelah mengetahui
keadaan mereka ketika diambil dari perut ibunya. Dia hanya bisa mendengar suara
tangis mereka berdua dan samar-samar melihat kaki mereka, karena selama operasi,
kacamata istri dilepas oleh perawat.
"Alhamdulillah, Sarah dan Aisha sehat. Fisiknya
sempurna dan lengkap" jawab saya untuk menenangkannya. Saya segera
mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan seputar operasi sembari guyon agar
tidak stress.
Sore harinya, setelah ia sepenuhnya sadar dari obat
bius yang menguasainya, saya mulai ceritakan pelan-pelan soal Sarah dan Aisha.
Ia tidak menangis, namun saya hapal sekali dengan perubahan raut mukanya. 5
tahun cukup untuk membuat saya hapal karakternya. Ia sebenarnya sedih dan ingin
menangis, namun mungkin karena sakit bekas operasi, ia susah mengeluarkan
airmatanya. Saya berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa Sarah dan
Aisha sudah berada di tangan yg tepat. Semua dokter dan perawat berusaha semaksimal
mungkin untuk menyelamatkan mereka. Saya terus yakinkan dengan mengambil contoh
saat saya dioperasi 6 tahun lalu di Taichung. Disini, di Taiwan, keselamatan
akan nyawa manusia menjadi prioritas setinggi-tingginya. Tak perduli si pasien
apakah punya uang atau tidak, muda belia atau tua renta sekalipun, tapi jika
nyawanya terancam karena hal medis, maka prioritasnya adalah menyelamatkan
nyawanya. Soal bisa membayar atau tidak, itu nomor 10 dari 11 prioritas.
Saya terus berusaha tegar dan menenangkannya, walau
saya sendiri emosinya sangat labil. Saya ingin menangis, namun tidak mungkin
saya tunjukkan di depannya.
Di ponsel saya, terus berdatangan ucapan, doa, dan
dukungan dari keluarga serta para sahabat. Mereka terus menawarkan bantuan jika
saya membutuhkannya. Mereka tahu bahwa saya sendirian saja di Rumah Sakit
menunggui dan merawat istri. Bahkan ada yg menawarkan untuk ikut menemani saya
di RS. Namun karena kebijakan RS di tengah wabah saat ini, tidak semua orang
bisa masuk RS. Hanya mereka yg memiliki kartu NHI yg bisa masuk sebagai upaya
tracing jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Disini, cukup satu kartu
untuk semua akses. Selain itu, kebijakan di ruang rawat ibu melahirkan, setiap
penunggu pasien harus terdaftar terlebih dahulu dan hanya diizinkan satu orang
saja. Itupun tiap beberapa jam saya harus dicek suhu tubuhnya.
Beberapa hari di RS, Sarah dan Aisha terus menunjukkan
perkembangan yang sangat baik. Saya percaya bahwa selain karena kecanggihan
alat medis dan tingginya ilmu pengetahuan yang dikembangkan disini, semakin
membaiknya mereka adalah karena doa yang terus diucap oleh ratusan sahabat dan
keluarga kami yang tak putus hari-hari ini. Inilah yang kami yakini sebagai
kekuatan iman, meyakini sesuatu yang tak tampak namun sangat berdampak.
Memasuki hari kelima, ternyata Allah masih memberikan
tanda cintanya untuk menguatkan kami. Istri saya terkena postpartum
hypertension. Tekanan darahnya melonjak menjadi 170/100 dan tidak turun
seharian. Selalu berkisar antara 150-170/90-100. Dokter segera memberikan obat
anti hipertensi. Namun esok harinya, tetap tak kunjung turun. Dokterpun
mengatakan kami harus bersiap untuk memeriksakannya ke dokter kardiovaskular
untuk mencari tahu penyebabnya seminggu lagi sembari melihat efek obat yg ia
berikan. Ia khawatir ini terkait dengan jantung.
Di hari ketujuh, kami sudah diizinkan pulang walau
tekanan darah masih tinggi. Namun Sarah dan Aisha masih harus tinggal beberapa
hari lagi di RS. Dokter masih ingin melihat perkembangan paru-parunya, cara
bernapasnya, memeriksa bilirubinnya (yang sempat tinggi dan alhamdulillah bisa
diturunkan setelah di fototerapi sebanyak 2 kali di hari yang berbeda),
mengecek pendengaran mereka/ear test echo (karena mereka lahir 10 hari sebelum
hari H), mengecek gelombang otaknya/brain echo dan serangkaian tes lainnya
(total mencapai 26 items yg harus diuji). Itu semua adalah protokol Taiwan
untuk bayi lahir prematur demi memastikan mereka sudah siap untuk dikembalikan
ke orangtuanya.
Di hari ke-9, Sarah dan Aisha sudah diizinkan pulang ke rumah. Mereka
sudah bisa berkumpul bersama kami. Walau masih ada kekhawatiran, tapi kami
percaya bahwa Allah akan senantiasa menjaga mereka. Dan bagi kami yang menerima
amanah, kami sudah komitmenkan untuk melakukan yang terbaik dalam menjaga dan
merawat amanah Allah ini.
***
Bagi kami, 9 hari ini bukanlah sebuah cobaan ataupun
hukuman, melainkan tanda cinta dari Allah untuk menguatkan kami berempat. Allah
senantiasa mencintai ciptaan-Nya dengan cara berbeda. Dan kini giliran kami
mendapatkan tanda cinta itu. Mungkin dengan cara ini, Allah ingin menjadikan
Sarah dan Aisha menjadi pribadi-pribadi kuat agar mampu melewati kerasnya hidup
di masa depan. Dan bagi kami orangtuanya, ini adalah bagian dari upaya
'upgrade' keimanan agar terus bisa mentadabburi setiap takdir yang telah Allah
catatkan pada kitab Lauhul Mahfuz. Semoga kita senantiasa berada pada jalur
iman dan Islam dalam kondisi apapun.
Chiayi, 20 Ramadan
1441 H / 13 Mei 2020
BANI
AZHAR
(Andi, Risda, Sarah, Aisha)