Andi Azhar
  • Beranda
  • Mimbar
    • Khazanah Islam
    • Kolak Pisang
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
    • Bengkulu
    • Bisnis
  • Lakon
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • Interlokal
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Pariwara
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Jejak
  • Sangu
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Empat hari terakhir, media sosial di Bengkulu terasa lebih ramai dari biasanya. Bukan karena isu politik, bukan pula karena peristiwa kriminal. Ramainya kali ini karena bunga. Ya, bunga yang selama ini dianggap ikon Bengkulu: Rafflesia Arnoldi. Tiba-tiba saja, muncul suara-suara yang menggugat nama itu. Mereka ingin nama bunga langka itu dikembalikan pada nama aslinya: bungo sekedei. Nama yang jauh lebih tua dibanding nama yang disematkan oleh orang asing.

Bagi masyarakat Bengkulu, bungo sekedei bukan sekadar bunga. Ia bagian dari cerita turun-temurun. Nama itu muncul dari generasi ke generasi, jauh sebelum Thomas Stamford Raffles dan Joseph Arnold menjejakkan kaki di tanah Bengkulu. Di kampung-kampung, orang tua dulu sering menyebutnya dengan penuh hormat. Sebab ukurannya yang besar, baunya yang khas, dan kemunculannya yang langka selalu dianggap misteri. Tapi, dunia mengenalnya justru dengan nama dua orang asing itu.
Ilustrasi (AI Generated)

Sejarahnya, memang Raffles dan Arnold lah yang pertama kali memperkenalkan bunga ini ke mata dunia ilmiah. Tahun 1818, mereka melihatnya di hutan Bengkulu. Arnold, seorang dokter dan naturalis, sangat terpesona. Ia menuliskan deskripsinya. Lalu, seperti tradisi ilmiah pada masa itu, nama bunga itu diabadikan dengan nama mereka. Rafflesia Arnoldi. Dari situ, nama itu masuk jurnal, buku, lalu ensiklopedia. Sampai akhirnya menjadi rujukan global.

Di dunia botani, ada aturan tak tertulis yang sudah jadi kesepakatan: siapa yang pertama kali mendeskripsikan secara ilmiah, dia yang punya hak memberi nama. Maka tidak heran jika kemudian nama Rafflesia Arnoldi bertahan lebih dari dua abad. Ia sudah tercatat di International Code of Nomenclature for algae, fungi, and plants. Sebuah “kitab suci” bagi para ahli biologi. Mengubah nama itu sama rumitnya dengan mengubah pasal di konstitusi.

Namun, masyarakat Bengkulu merasa ada yang janggal. Kenapa bunga yang lahir di tanah mereka, yang sudah diberi nama lokal sejak lama, justru dipopulerkan dengan nama orang asing? Bukankah itu bentuk penghapusan jejak budaya lokal? Pertanyaan ini sah-sah saja. Apalagi di era ketika kesadaran atas identitas lokal makin kuat. Orang ingin sejarahnya dikembalikan. Orang ingin nama lokalnya dihargai. Orang ingin bunga itu disebut sebagaimana orang tua mereka menyebutnya: bungo sekedei.

Apakah bisa nama itu digugat? Secara hukum internasional, ini memang pelik. Nama ilmiah bukan sekadar label. Ia bagian dari sistem klasifikasi global. Mengubah nama ilmiah butuh alasan yang sangat kuat. Biasanya karena ada kesalahan identifikasi, atau karena ada temuan baru yang lebih sahih. Gugatan masyarakat lokal, meski secara moral punya kekuatan, tidak serta merta bisa mengubah nomenklatur. Dunia sains bekerja dengan tata tertib yang ketat.

Namun bukan berarti jalan itu buntu. Dalam praktiknya, banyak spesies punya dua nama: nama ilmiah dan nama lokal. Contohnya, Durio zibethinus tetap dikenal masyarakat luas sebagai durian. Pandanus tectorius tetap disebut pandan. Orang bisa saja menghidupkan kembali nama bungo sekedei, tanpa harus membatalkan nama Rafflesia Arnoldi. Justru dua-duanya bisa hidup berdampingan. Satu untuk keperluan ilmiah, satu lagi untuk kebanggaan lokal.

Saya teringat pada kasus di India. Ada tanaman obat yang oleh masyarakat lokal sudah ratusan tahun dipakai, tetapi nama ilmiahnya tetap mengikuti aturan Latin. Pemerintah India kemudian mengajukan daftar nama lokal itu dalam dokumen resmi agar diakui dalam dunia farmasi internasional. Dengan cara itu, nama lokal tidak hilang, dan masyarakat tetap merasa punya hak. Mungkin Bengkulu bisa meniru langkah itu.

Kalau mau lebih jauh, bisa juga dilakukan gugatan class action. Tapi bukan ke pengadilan sains. Melainkan ke ranah kebijakan. Pemerintah daerah bisa mengajukan usulan resmi agar nama bungo sekedei dipakai di semua dokumen pariwisata, pendidikan, dan promosi budaya. Dengan begitu, perlahan nama itu bisa sejajar dengan nama ilmiahnya. Dunia boleh tetap menyebut Rafflesia Arnoldi, tapi di Bengkulu orang akan lebih akrab dengan bungo sekedei.

Persoalan ini sebenarnya bukan hanya soal nama. Ini soal bagaimana masyarakat ingin dilihat. Apakah mereka mau terus “mengabdi” pada sejarah kolonial, atau berani menegaskan identitas lokalnya. Nama adalah simbol. Dan simbol punya kekuatan besar dalam membentuk imajinasi. Ketika orang menyebut bungo sekedei, ia sedang menghidupkan kembali cerita lama. Cerita sebelum ada kolonialisme. Cerita tentang kebanggaan lokal.

Saya melihat, semangat ini sama seperti yang terjadi di banyak daerah lain. Di Yogyakarta, orang lebih suka menyebut malioboro dengan logat mereka sendiri. Di Jawa Timur, banyak desa yang ingin mengembalikan nama asli kampungnya setelah puluhan tahun dipakai nama administrasi kolonial. Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas itu penting. Ia tidak bisa diputus begitu saja hanya karena ada aturan ilmiah.

Apakah itu salah? Tidak. Ilmu pengetahuan memang punya logikanya sendiri. Tapi masyarakat juga punya hak atas warisan budayanya. Kalau dua logika itu bisa berjalan berdampingan, kenapa harus saling meniadakan? Saya kira itu yang harus dipikirkan. Jangan sampai karena nama ilmiah terlalu dominan, nama lokal hilang begitu saja. Padahal di situlah akar sejarahnya.

Ada cara sederhana untuk memperkuat nama lokal. Misalnya dengan festival. Buat festival Bungo Sekedei setiap tahun. Libatkan anak-anak sekolah, mahasiswa, budayawan. Ceritakan sejarahnya. Bangun narasi bahwa bunga itu memang milik Bengkulu. Dengan begitu, lama-lama dunia juga akan mengenalnya. Siapa tahu, dalam 50 tahun ke depan, orang menyebut bunga itu dengan dua nama sekaligus: Rafflesia Arnoldi alias Bungo Sekedei.

Saya kira penting juga ada penelitian akademik yang mendukung. Kampus-kampus di Bengkulu juga bisa membuat kajian tentang sejarah nama bungo sekedei. Dokumentasikan cerita-cerita lisan masyarakat. Buat jurnal internasional tentang itu. Kalau sudah begitu, dunia sains pun mau tidak mau harus membaca. Nama lokal bisa mendapat ruang terhormat, meski nama ilmiah tetap tidak berubah.

Pemerintah daerah juga bisa bikin regulasi kecil. Misalnya, setiap papan informasi di objek wisata wajib mencantumkan dua nama: nama ilmiah dan nama lokal. Itu bukan hal sulit. Justru akan membuat orang makin penasaran. Turis mancanegara akan bertanya: apa itu bungo sekedei? Dari situlah cerita mengalir. Identitas lokal pun terangkat.

Saya membayangkan, kelak anak-anak Bengkulu akan lebih bangga menyebut bunga itu dengan nama bungo sekedei. Mereka tidak lagi merasa asing dengan istilah Latin yang panjang. Mereka tahu, ini bunga mereka. Ini bagian dari budaya mereka. Dan mereka tahu, dunia pun akhirnya mengakui bahwa nama itu sama berharganya.

Bagi saya pribadi, pertarungan nama ini adalah pertarungan simbol. Sama seperti ketika kita memperjuangkan batik agar diakui UNESCO. Sama seperti ketika kopi Gayo didaftarkan sebagai indikasi geografis. Semua itu bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal harga diri. Dan harga diri adalah hal yang tak bisa ditawar.

Apakah masyarakat Bengkulu bisa berhasil? Bisa. Tapi butuh waktu. Butuh konsistensi. Butuh strategi. Tidak bisa hanya dengan ribut di media sosial. Harus ada langkah nyata. Harus ada kerja panjang. Harus ada kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat.

Jadi, mungkin pertanyaan yang lebih tepat bukan “bisakah mengganti nama Rafflesia Arnoldi menjadi bungo sekedei”. Tapi bagaimana cara agar bungo sekedei tidak hilang di tengah dominasi nama Latin itu. Bagaimana agar dua nama itu sama-sama hidup. Bagaimana agar dunia tahu, bunga itu lahir di tanah Bengkulu, dan punya cerita panjang di sana.

Saya melihat ini bukan sekadar polemik kecil. Ini bagian dari gerakan lebih besar: mengembalikan identitas lokal di tengah globalisasi. Setiap nama yang kita sebut, setiap simbol yang kita pertahankan, adalah bentuk perlawanan terhadap lupa. Dan melawan lupa adalah pekerjaan paling mulia.
Empat hari terakhir ini saya tidak masuk kelas. Semua mata kuliah yang saya ajar, saya liburkan. Mahasiswa tentu senang. Mereka mengira dosennya sedang malas. Padahal sebaliknya. Saya sedang serius belajar. Bukan belajar akademik, tapi belajar hidup. Belajar tentang standar. Belajar tentang kompetensi. Saya ikut pelatihan calon asesor.

Hari pertama, saya bertemu dengan pemateri berstatus calon master asesor. Sebenarnya beliau sudah sangat pro, tapi karena soal waktu saja, beliau belum sepenuhnya menjadi master. Bulan depan ujian kompetensinya. Setelahnya beliau resmi bergelar master. Materinya tidak main-main. Langsung mengenai jantung prodi. Saya pun undang para kaprodi. Saya ingin mereka juga merasakan. Supaya teman-teman paham. Bahwa kurikulum bukan hanya soal SKS dan RPS. Tapi juga soal standar kompetensi.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Hari kedua sampai kelima, suasana semakin menarik. Dua master asesor datang dari Jakarta. Mereka bukan orang biasa. Yang satu pakar SDM dan otomotif. Yang satu lagi, legenda kopi Indonesia. Ya, kopi. Minuman yang sering dianggap sepele. Padahal di baliknya, ada dunia yang luas. Ada profesi. Ada standar.

Saya tidak ingin cerita banyak tentang pelatihannya. Itu bisa kapan-kapan. Yang ingin saya ceritakan sekarang adalah kopi. Kenapa? Karena kopi ternyata tidak sekadar minuman. Kopi punya dunia sendiri. Dan saya dipertemukan dengan tokoh yang menjadikan kata “barista” dikenal di Indonesia. Beliau pencipta istilah itu.

Nama beliau sudah lama malang melintang di dunia kopi. Ia menulis tujuh buku. Semua tentang kopi. Ia keliling Indonesia. Dari Aceh sampai Papua. Hanya untuk satu hal: menstandarkan kompetensi orang-orang yang hidup dari kopi. Supaya mereka punya pengakuan. Supaya profesi barista diakui sejajar dengan profesi lain.

Kenapa harus distandarkan? Pertanyaan itu juga pernah muncul di benak saya. Apa salahnya orang bikin kopi sesuai seleranya? Ternyata salah. Profesi itu harus punya dasar. Harus ada ukuran. Barista tidak boleh seenaknya. Sama seperti dokter. Sama seperti pilot. Kesalahan kecil bisa fatal.

Semalam, kami ajak beliau ke sebuah kafe di kota saya. Pemiliknya senang sekali. Masih muda dan suami istri. Jarang-jarang ada legenda kopi singgah. Kami duduk berjam-jam. Ngobrol. Sambil menyeruput kopi buatan anak-anak muda kota ini. Waktu berjalan cepat. Dua jam terasa seperti sebentar. Saya banyak belajar.

Saya bukan maniak kopi. Pernah. Tapi berhenti. Dulu saya kecanduan kopi hitam. Tanpa gula. Pahit adalah sahabat. Tapi perut saya protes. Asam lambung saya tidak bersahabat. Maka saya kurangi. Kadang masih minum. Tapi tidak setiap hari. Jadi saya tidak bisa disebut pecandu.

Namun, saya bisa melihat bagaimana legenda itu memperlakukan kopi. Ia bisa tahu jenis kopi hanya dari uapnya. Ia tahu takaran hanya dari aroma. Lidahnya peka. Hidungnya tajam. Matanya awas. Seolah semua indranya dipersembahkan untuk kopi. Tidak berlebihan kalau saya menyebutnya sebagai legenda hidup kopi Indonesia.

Beliau bahkan mendirikan lembaga yg mensertifikasikan kompetensi khusus kopi. Mungkin satu-satunya di Indonesia. Itu bukan main. Karena mendirikan lembaga semacam ini tidak gampang. Harus ada standar. Harus ada perangkat. Harus ada asesor. Tapi ia lakukan itu. Demi satu hal: supaya profesi barista punya martabat.

Barista tidak boleh dipandang rendah. Ia bukan sekadar tukang bikin kopi. Ia adalah profesi. Dengan keterampilan. Dengan standar. Dengan sertifikasi. Sama seperti pilot. Sama seperti dokter. Sama seperti insinyur. Itulah pesan yang terus ia bawa.

Saya tahu betul betapa berat membuat standar. Tidak semua orang suka. Banyak yang menganggap itu membatasi. Padahal sebaliknya. Standar bukan membatasi. Standar melindungi. Standar menjaga mutu. Standar memberi kepastian.

Kopi adalah contoh yang menarik. Lihat bagaimana dunia internasional memperlakukan kopi. Ada kompetisi barista. Ada sertifikasi internasional. Ada standar mesin. Ada ukuran biji. Semuanya diatur. Dan itu membuat industri kopi dunia maju. Tidak asal-asalan.

Di Indonesia, jalan itu baru dimulai. Masih banyak kafe yang bikin kopi tanpa ukuran. Takaran suka-suka. Penyajian asal jadi. Konsumen pun tidak tahu harus menuntut apa. Inilah yang ingin diperbaiki oleh beliau itu. Ia ingin kopi Indonesia punya standar.

Saya bisa melihat semangat itu sama dengan semangat kami di kampus. Saya juga ingin mahasiswa punya standar. Bukan sekadar lulus kuliah. Tapi lulus dengan kompetensi. Dengan sertifikat. Dengan bukti bahwa ia bisa bekerja sesuai standar. Tidak asal pintar teori.

Maka malam tadi, obrolan kami melebar. Dari kopi ke pendidikan. Dari barista ke dosen. Dari kafe ke kampus. Ternyata sama saja. Intinya: standar. Tidak ada profesi yang bisa besar tanpa standar. Tidak ada karya yang bisa dihargai tanpa ukuran.

Di kampus, banyak mahasiswa yang merasa pintar. Banyak yang yakin bisa kerja. Tapi tanpa standar, semua itu rapuh. Hanya ilusi. Sama seperti kopi tanpa takaran. Rasanya bisa enak hari ini. Besok bisa aneh. Tidak konsisten.

Saya suka semangat beliau. Ia tidak hanya menulis buku. Ia membangun sistem. Ia turun langsung ke daerah. Ia ketemu petani. Ia latih anak muda. Ia bangun lembaga. Ia lakukan apa yang orang lain hanya bicarakan.

Itulah yang membedakan orang besar. Ia tidak berhenti di kata. Ia wujudkan dalam kerja. Ia sabar. Ia konsisten. Ia tetap berjalan. Karena ia tahu, standar akan membuat profesi ini dihormati.

Saya melihat wajah-wajah anak muda di kafe malam itu. Mereka terkesima. Mereka baru tahu ada standar di balik kopi. Selama ini mereka pikir bikin kopi hanya soal rasa. Ternyata ada ilmu. Ada teknik. Ada sertifikasi. Ada kompetensi.

Mata mereka berbinar. Barangkali mereka akan lebih serius belajar. Barangkali mereka ingin sertifikasi juga. Barangkali mereka ingin jadi barista sejati. Bukan sekadar pekerja kafe. Itu harapan yang tumbuh malam itu yang bisa saya tangkap sebelum beranjak pulang.

Saya pun merasa, pertemuan itu bukan kebetulan. Saya jadi belajar banyak. Tentang kopi. Tentang standar. Tentang profesi. Tentang perjuangan. Tentang idealisme. Dan tentang arti sebuah kompetensi.

Maka, saya ingin katakan: barista dan pilot tidak ada bedanya. Sama-sama profesi. Sama-sama harus terstandar. Sama-sama butuh sertifikasi. Sama-sama butuh tanggung jawab. Hanya medianya yang berbeda.

Kopi mengajarkan saya banyak hal. Bahwa hidup ini harus punya ukuran. Bahwa kerja harus punya standar. Bahwa kompetensi harus diakui. Dan bahwa idealisme kadang harus melawan arus.

Saya pulang malam tadi dengan perasaan lain. Ada kagum. Ada hormat. Ada juga tekad. Tekad untuk membawa semangat standar itu ke kampus. Tekad untuk menjadikan mahasiswa bukan sekadar lulusan. Tapi profesional.

Hari-hari saya mungkin kembali sibuk. Kelas akan kembali jalan. Mahasiswa akan kembali ramai. Tapi pengalaman empat hari ini, dan obrolan dua jam malam itu, akan saya simpan lama. Itu pelajaran hidup.

Saya percaya, standar bukan untuk membatasi. Standar justru membebaskan. Membebaskan dari ketidakpastian. Membebaskan dari kesalahan. Membebaskan dari keraguan. Dan itu berlaku di kopi. Berlaku di kampus. Berlaku di hidup.

Dan akhirnya, saya semakin yakin. Bahwa apa yang kami lakukan di kampus melalui lembaga sertifikasi bukan formalitas. Itu perjuangan. Itu bagian dari membangun negeri. Dari barista hingga insinyur. Dari kafe hingga kampus. Semuanya butuh standar.

Karena tanpa standar, semua hanya kebetulan. Dengan standar, profesi jadi mulia. Dengan standar, kompetensi jadi nyata. Dengan standar, hidup punya arah. Dan barista pun bisa sejajar dengan pilot.
Saya masih ingat betu, setiap kali masuk kantor pemerintahan, yang pertama kali menatap kita bukan pegawainya. Bukan juga resepsionisnya. Tapi foto presiden dan wakil presiden yang dipajang gagah di dinding. Kadang ditemani gubernur atau bupati setempat. Rasanya seperti ada yang mengawasi dari atas, meski tak pernah benar-benar menegur kalau kita telat kerja.

Kebiasaan itu sudah berlangsung lama. Dari zaman saya kecil, setiap sekolah selalu punya sudut wajib: papan tulis, lambang Garuda, dan foto presiden serta wakilnya. Ada semacam paket lengkap. Tidak bisa salah satu hilang. Kalau salah satunya tidak ada, seperti rumah tanpa atap. Seperti sayur tanpa garam.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Pertanyaan saya sederhana: untuk apa sebenarnya foto itu? Apakah benar ada hubungannya dengan kinerja? Apakah pegawai jadi lebih rajin kalau tiap hari dipandangi wajah presiden? Atau malah tidak ada bedanya, hanya jadi formalitas belaka. Sekadar dekorasi dinding biar tidak kosong.

Saya pernah iseng bertanya kepada seorang pejabat teras di daerah. Kenapa selalu ada foto bupati di setiap ruangannya? Jawabannya singkat: “Tradisi.” Dia tidak tahu apakah ada dasar hukum yang mewajibkan. Tapi katanya, kalau tidak dipasang, bisa dianggap tidak loyal. Bisa dipertanyakan kesetiaannya pada pimpinan.

Di sisi lain, ada pegawai yang melihat foto itu seperti pengingat. Katanya, setiap kali melihat wajah presiden, ia merasa sedang bekerja untuk negara. Untuk rakyat. Jadi, sedikit banyak ada efek psikologis. Meski, kalau kita jujur, sering kali yang bekerja justru lebih dipengaruhi oleh gaji, tunjangan, dan atasan langsung.

Saya pernah masuk ke sebuah kantor swasta yang besar. Tidak ada foto presiden di sana. Yang ada hanya foto pendiri perusahaan. Bahkan fotonya dibuat lebih besar dari lukisan-lukisan yang lain. Apakah ini salah? Tidak. Bagi mereka, simbol pemersatu bukan presiden, melainkan sang pendiri yang berjasa besar mendirikan perusahaan.

Di negara lain, tradisi ini tidak selalu sama. Di Amerika Serikat, misalnya. Tidak semua kantor pemerintah memasang foto presiden. Yang lebih sering dipasang justru bendera. Bintang-bintang dan garis merah putih itu yang dianggap simbol paling penting. Foto presiden? Tidak wajib. Bahkan di beberapa kantor kecil, tidak pernah ada.

Di Taiwan, tradisi semacam itu hampir tidak ditemukan. Pegawai lebih sibuk menunduk pada pekerjaannya daripada menatap foto pemimpinnya. Bagi mereka, simbol penghormatan ada pada etos kerja. Mereka menunjukkan nasionalisme dengan produktivitas. Bukan dengan foto. Itu sebabnya, kantor mereka sering kosong dari gambar pemimpin.

Lain lagi di Korea Utara. Di sana foto pemimpin bukan sekadar pajangan. Melainkan kewajiban. Bahkan harus dijaga kebersihannya setiap hari. Warga bisa dianggap tidak hormat kalau foto pemimpin berdebu. Ini sudah masuk ke ranah ideologi. Pemimpin menjadi semacam dewa. Beda jauh dengan di sini, meski kadang-kadang kita menirunya dalam versi lebih halus.

Kalau di Indonesia, keberadaan foto presiden seolah jadi aturan tak tertulis. Saya coba telusuri. Ada beberapa surat edaran dari kementerian dalam negeri dan sekretariat negara soal tata cara penggunaan lambang negara. Tapi soal foto presiden? Tidak ada aturan eksplisit yang mengatur. Artinya, ini lebih pada kebiasaan daripada hukum.

Saya teringat pada era Presiden Soeharto. Foto beliau seperti bagian dari paket wajib pembangunan. Di sekolah, kantor, bahkan pos ronda pun kadang ada. Setelah reformasi, kebiasaan itu tetap bertahan. Berganti presiden, berganti foto. Tapi intinya sama: wajah pemimpin tetap harus menatap kita dari dinding.

Pernah juga ada cerita menarik. Ada kantor daerah yang telat mengganti foto presiden baru. Masih terpajang wajah presiden sebelumnya. Lalu datang inspeksi. Pegawai kantor itu ditegur. Katanya, itu dianggap tidak menghormati presiden baru. Padahal mungkin hanya karena lupa atau belum sempat mengganti.

Sebenarnya, apa hubungannya foto dengan nasionalisme? Kalau saya perhatikan, lebih banyak simbolisme daripada substansi. Rasa cinta tanah air tidak otomatis tumbuh hanya dengan menatap foto. Ia tumbuh dari kebijakan yang adil, pelayanan yang baik, dan kesejahteraan yang nyata. Foto hanya hiasan. Nasionalisme butuh isi.

Meski begitu, saya tidak bisa menolak bahwa simbol tetap punya peran. Foto presiden bisa jadi simbol legitimasi. Seperti ingin mengatakan: kantor ini resmi, sah, dan berada di bawah negara. Simbol semacam ini memang penting, apalagi di daerah yang jauh. Kadang foto itu menjadi bukti nyata bahwa negara hadir.

Ada juga yang bilang, memasang foto presiden itu bagian dari budaya timur. Budaya menghormati pemimpin. Di Barat, hubungan rakyat dan pemimpin lebih egaliter. Foto bukan hal penting. Tapi di sini, penghormatan harus ditunjukkan dengan cara-cara simbolis. Termasuk dengan foto yang dipajang di dinding.

Saya ingat pernah masuk ke sebuah kantor desa di satu daerah. Fotonya lusuh, warnanya pudar, bingkainya berkarat. Tapi pegawai bilang, foto itu sakral. Tidak boleh dilepas meski sudah usang. Mereka lebih memilih membiarkannya begitu daripada dianggap kurang hormat. Saya tersenyum. Simbol bisa lebih kuat dari fungsi.

Namun, kadang simbol bisa membingungkan. Ada kantor yang menempel foto presiden dan wakil presiden, tapi lupa bendera merah putih. Ada juga yang menaruh foto presiden lama berdampingan dengan presiden baru. Jadi semacam galeri. Orang luar yang masuk jadi bingung, ini kantor atau museum?

Bagi saya pribadi, melihat foto presiden tidak pernah menambah semangat kerja. Tapi saya tahu, bagi sebagian orang, itu penting. Sama seperti kita menaruh foto keluarga di meja kerja. Tidak semua merasa perlu. Tapi bagi yang merasa perlu, ada energi psikologis yang lahir dari tatapan wajah di foto itu.

Di negara berkembang lain, kebiasaan ini juga ada. Di Filipina, foto presiden sering dipajang di kantor pemerintah. Di India, lebih banyak patung atau gambar tokoh besar. Gandhi, misalnya. Jadi, pola ini bukan hanya milik kita. Tapi setiap negara punya variasinya sendiri.

Kalau ditanya soal dasar hukum, jawabannya: tidak ada aturan khusus. Yang ada hanya surat edaran atau kebiasaan administratif. Jadi, sebenarnya tidak wajib. Kalau ada kantor pemerintah yang tidak memasang foto presiden, itu tidak melanggar hukum. Hanya saja, konsekuensi sosialnya bisa dianggap kurang hormat.

Pernah ada aktivis yang menolak memasang foto presiden di kantornya. Alasannya: presiden bukan simbol negara, melainkan pejabat politik yang bisa berganti. Simbol negara adalah bendera dan Garuda. Argumen ini masuk akal. Tapi tentu saja, di level praktik, orang tetap memilih aman. Lebih baik pasang foto daripada ribut.

Pertanyaannya, sampai kapan kebiasaan ini bertahan? Apakah kelak, di era digital, foto presiden di dinding akan diganti dengan layar elektronik? Yang bisa otomatis berganti saat presidennya berganti. Atau malah hilang sama sekali, diganti dengan QR code yang mengarahkan ke profil resmi presiden di website.

Di balik semua itu, saya tetap melihat ada sisi baik. Foto presiden di dinding memberi pesan: kita punya pemimpin. Entah suka atau tidak suka, itu adalah pemimpin kita. Seperti halnya di keluarga, kadang kita tidak selalu setuju dengan orang tua. Tapi tetap harus mengakui bahwa merekalah yang memimpin rumah tangga.

Sebagian orang mungkin bosan dengan simbol. Mereka lebih ingin melihat kerja nyata. Jalan yang mulus, pelayanan cepat, birokrasi efisien. Foto tidak bisa memperbaiki jalan rusak. Tidak bisa mempercepat izin. Tidak bisa menurunkan harga kebutuhan pokok. Jadi, jangan sampai simbol lebih kuat dari substansi.

Tapi saya juga paham. Dalam politik, simbol itu penting. Kadang lebih penting daripada substansi. Orang rela mengeluarkan uang besar hanya untuk membuat baliho besar. Padahal isinya hanya foto senyum. Tanpa program. Itu karena simbol bisa menciptakan rasa hadir. Bisa menumbuhkan loyalitas. Bisa memberi ilusi kehadiran.

Apakah kita harus terus melestarikan kebiasaan ini? Mungkin iya. Tidak ada salahnya. Selama tidak menganggap foto sebagai sumber segala semangat. Biarlah ia jadi pajangan. Tapi jangan lupa, isi dari kerja lebih penting daripada bingkai di dinding.

Kalau memang ingin menunjukkan loyalitas pada negara, sebaiknya ditunjukkan lewat pelayanan yang baik. Bukan lewat foto. Kalau ingin menunjukkan nasionalisme, lakukan lewat kerja yang bermanfaat bagi rakyat. Foto hanya pelengkap. Kerja nyata adalah inti.

Saya teringat ucapan seorang PNS yang sudah senior. Katanya, ia tidak peduli siapa presidennya. Fotonya boleh berganti. Tapi pekerjaannya tetap sama. Pelayanan pada rakyat. Mungkin inilah kunci sebenarnya. Foto boleh jadi simbol, tapi isi dari kerja tetap yang menentukan.

Kalau begitu, apakah ada gunanya kita memperdebatkan soal foto? Bagi sebagian orang, penting. Bagi sebagian lain, tidak. Tapi saya memilih melihatnya sebagai bagian dari budaya. Budaya menghormati pemimpin. Selama tidak berlebihan, tidak ada yang salah.

Toh, di ruang tamu kita pun sering ada foto keluarga. Itu tidak menjamin keluarga selalu harmonis. Tapi tetap saja kita pasang. Karena simbol itu penting, meski bukan segalanya. Begitu juga dengan foto presiden di kantor. Penting, tapi bukan penentu segalanya.

Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan foto. Yang kita butuhkan adalah kepemimpinan yang nyata. Pemimpin yang hadir lewat kebijakan. Pemimpin yang hadir lewat solusi. Foto hanya memberi wajah. Tapi kepemimpinan memberi arah.

Dan arah itulah yang sesungguhnya kita cari. Di balik semua bingkai di dinding. Di balik semua simbol yang kita jaga. Kita tetap menunggu kerja nyata. Dari siapa pun yang wajahnya sedang kita pandang di dinding itu.
Saya baru saja pesan makanan. Dari warung yang jaraknya tidak sampai 3 kilometer. Mestinya, perjalanan semacam itu tidak lebih dari 15 menit. Tapi pagi ini, pesanan saya baru sampai hampir 40 menit kemudian. Saya lihat di aplikasi, titik merah driver itu seperti menari-nari. Kadang maju, kadang mundur, kadang melipir masuk gang kecil. Saya tahu, bapak driver ini bingung membaca peta di aplikasi. Saya akhirnya chat beliau. Saya arahkan jalannya. “Jangan ikuti map. Lewat jalan besar saja, pak. Nanti gampang.” Dan benar, setelah diarahkan manual, beliau sampai. Agak terlambat, tapi akhirnya datang juga.

Usianya mungkin sekitar 55 tahun. Dari caranya menjelaskan, nampak beliau bukan tinggal di sekitar sini. Saya bisa bayangkan betapa repotnya bagi bapak-bapak seusia itu menghadapi peta elektronik. Dulu, generasi beliau terbiasa dengan peta lipat. Paling banter, mengandalkan petunjuk orang sekitar. Tidak seperti anak-anak sekarang yang dengan gampangnya membaca panah biru dan garis hijau. Saya jadi maklum. Tapi ini bukan kejadian pertama. Saya sudah sering mengalaminya.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Pernah juga, driver ojol yang mengantar saya ke sebuah acara, minta saya arahkan jalan lain. “Pak, saya gak familiar jalan yang ditunjukkan aplikasi. Bisa lewat jalan besar saja?” katanya. Saya akhirnya jadi navigator. Padahal harusnya beliau yang mengantar saya. Saya jadi merasa seperti penumpang yang kebagian dua tugas: duduk dan mengarahkan.

Ini sering membuat saya berpikir: kenapa perusahaan aplikasi itu tidak membuat program edukasi untuk para driver? Mereka bisa bikin pelatihan sederhana. Misalnya, bagaimana membaca peta dengan benar. Bagaimana memilih jalur alternatif. Bagaimana memahami simbol-simbol di layar. Tidak semua orang lahir di era digital. Ada banyak driver yang memang sepuh. Tapi mereka tetap harus bekerja. Tetap harus cari nafkah.

Kalau ada pelatihan semacam itu, saya yakin akan membantu banyak. Bukan hanya bagi driver, tapi juga bagi pelanggan. Driver jadi lebih percaya diri. Pelanggan jadi lebih nyaman. Dan perusahaan juga untung. Karena keluhan soal keterlambatan akan berkurang. Tapi sayangnya, sampai hari ini, belum saya dengar ada program edukasi serius soal itu.

Saya tahu, perusahaan aplikasi sudah sering bikin pelatihan. Biasanya tentang etika layanan, keselamatan berkendara, atau cara menjaga rating. Itu semua bagus. Tapi bagaimana dengan literasi digital? Bukankah map itu nyawa dari layanan transportasi online? Kalau mereka tidak bisa membacanya, maka layanan bisa berantakan.

Saya teringat saat dulu pertama kali belajar bahasa inggris saat SMP. Ada kursus kilat “bahasa inggris untuk orang awam”. Itu membantu banyak orang yang tadinya tidak tahu bahasa inggris sama sekali, jadi percaya diri. Kenapa aplikasi ojol tidak membuat kursus semacam itu? Bisa berbentuk online. Bisa juga tatap muka di basecamp. Tinggal dikasih contoh kasus. Nanti mereka diajak latihan membaca peta di layar.

Kalau mau lebih modern, bisa dibuat simulasi. Misalnya, ada aplikasi dummy yang memunculkan titik-titik perjalanan. Driver diminta menemukan jalur tercepat. Dari situ, mereka bisa belajar. Bisa salah, bisa benar. Tapi akan ada pembimbing. Jadi, ketika mereka kembali ke jalan nyata, mereka lebih percaya diri.

Saya kira, biaya program seperti itu tidak besar. Bahkan perusahaan bisa melibatkan kampus-kampus IT. Biar mahasiswa yang membantu memberi pelatihan. Itu bisa jadi proyek sosial yang bermanfaat. Mahasiswa dapat pengalaman, driver dapat ilmu, perusahaan dapat reputasi baik.

Sebab, yang sering terjadi sekarang adalah: driver belajar sendiri. Mereka trial and error di jalanan. Kadang berhasil. Kadang justru membuat pelanggan dongkol. Apalagi kalau pesanannya makanan. Makanan bisa basi di jalan karena muter-muter.

Saya yakin, banyak pelanggan yang akhirnya memberi bintang rendah bukan karena drivernya tidak sopan, tapi karena drivernya salah jalan. Padahal, salah jalan itu bisa dihindari kalau ada edukasi. Itu bukan soal kemampuan bawaan. Itu soal dilatih atau tidak.

Kita sering bicara soal revolusi digital. Tapi revolusi macam apa kalau sebagian besar pekerja di sektor digital justru tidak dilatih digital? Kita lupa, transformasi digital bukan hanya soal aplikasi yang canggih. Tapi juga soal manusia yang mengoperasikannya.

Bapak driver 55 tahun itu memberi saya pelajaran. Bahwa teknologi tidak selalu ramah bagi semua orang. Ada kelompok yang tertinggal. Dan kalau tidak dibantu, mereka bisa makin tertinggal. Mereka bisa kehilangan pekerjaan. Padahal, mereka butuh pekerjaan itu.

Saya juga sadar, aplikasi map tidak selalu sempurna. Kadang jalur yang ditunjukkan memang lebih pendek, tapi tidak ramah motor. Bisa jadi tanjakan curam. Bisa jadi jalan sempit. Bisa jadi jalur macet. Peta tidak selalu bisa membaca kenyataan.

Karena itu, literasi membaca peta juga harus diimbangi dengan logika. Driver harus tahu kapan harus percaya aplikasi, kapan harus percaya insting. Itu butuh latihan. Butuh jam terbang. Dan lebih cepat lagi kalau ada bimbingan.

Bayangkan kalau ada satu program sederhana: setiap driver baru wajib ikut “kursus peta” selama sehari. Saya yakin hasilnya akan signifikan. Mereka akan lebih percaya diri. Perjalanan jadi lebih efisien. Pelanggan juga lebih senang.

Saya sering mendengar cerita teman-teman yang sama: pesan makanan, tapi drivernya keliling berkali-kali. Padahal alamat sudah jelas. Kadang sampai harus telepon berkali-kali. Itu menyita waktu. Itu menyita energi. Dan akhirnya menurunkan kualitas layanan.

Kalau perusahaan berpikir jangka panjang, program ini harus masuk agenda. Jangan hanya fokus ke promo diskon. Jangan hanya fokus ke branding. Tapi juga ke hal-hal mendasar. Sebab, layanan tidak hanya ditentukan iklan. Tapi juga pengalaman nyata pelanggan.

Saya tahu, bicara soal edukasi kadang dianggap membosankan. Tapi percayalah, dampaknya sangat nyata. Apalagi di bisnis jasa. Senyum dan sopan santun memang penting. Tapi kalau pesan makanan jadi basi karena drivernya salah jalan, senyum pun tidak ada artinya.

Driver-driver muda mungkin cepat belajar. Tapi tidak semua driver muda. Banyak driver senior. Dan mereka punya semangat kerja yang tinggi. Jangan sampai semangat itu padam hanya karena mereka bingung membaca peta.

Saya membayangkan, kalau perusahaan mau serius, dalam lima tahun ke depan, kualitas layanan bisa jauh lebih baik. Driver tidak lagi bingung di jalan. Pelanggan lebih puas. Dan ekosistem ojol akan lebih sehat.

Tentu, ini semua kembali ke kemauan manajemen. Apakah mereka hanya ingin untung cepat, atau membangun sistem yang berkelanjutan. Saya berharap yang kedua. Sebab, layanan transportasi online sudah jadi bagian penting kehidupan kota.

Banyak orang bergantung pada mereka. Dari mahasiswa yang malas jalan, sampai ibu-ibu yang malas ke pasar. Dari pekerja kantoran, sampai orang yang sedang sakit. Semua mengandalkan layanan ini.

Kalau begitu pentingnya, masa iya perusahaan tidak mau investasi sedikit untuk edukasi? Bukankah itu investasi yang paling menguntungkan?

Saya tidak tahu apakah bapak driver 55 tahun itu masih mau mengambil order di daerah yang dia tidak familiar setelah kejadian itu. Tapi saya berharap beliau tidak menyerah. Beliau hanya butuh sedikit bantuan. Sedikit bimbingan.

Kita sering menganggap literasi itu hanya soal membaca buku. Padahal, literasi digital juga penting. Dan di era ini, membaca peta di layar adalah salah satu bentuk literasi digital.

Saya yakin, kalau perusahaan mau peduli, maka kasus-kasus seperti ini akan berkurang. Tidak akan ada lagi driver yang muter-muter tidak jelas. Tidak akan ada lagi pelanggan yang harus jadi navigator.

Dan yang paling penting, tidak akan ada lagi bapak-bapak 55 tahun yang kehilangan rasa percaya dirinya hanya karena peta elektronik.

Itulah sebabnya, saya menulis ini. Untuk para operator, para provider ojol: tolonglah. Buat program terencana untuk mengedukasi para mitra driver. Ajari mereka membaca peta dengan benar. Ajari mereka kapan harus percaya peta, kapan harus percaya jalan besar.

Kasihan mereka yang awam. Kasihan mereka yang sepuh. Mereka tetap butuh nafkah. Mereka tetap butuh dihargai. Jangan biarkan mereka tersisih hanya karena gaptek.

Saya percaya, perusahaan besar bisa melakukannya. Tinggal apakah mereka mau atau tidak. Kalau mereka mau, semua pihak akan diuntungkan.

Kalau tidak, ya siap-siap saja. Pelanggan akan terus mengeluh. Driver akan terus bingung. Dan reputasi layanan tidak akan pernah naik.

Semoga, tulisan kecil ini sampai ke meja manajemen. Semoga mereka sadar. Bahwa di balik aplikasi yang canggih, ada manusia yang masih butuh dibimbing.
Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan pernyataan soal anggaran program Makan Bergizi Gratis untuk tahun 2026. Anggarannya bikin kaget: 25 triliun rupiah per bulan. Naik drastis dibanding tahun 2025. Kalau ditotal setahun, ya jadi 300 triliun. Angka yang kalau ditulis penuh, nolnya bikin orang biasa langsung sakit kepala.

Hitung-hitungannya sederhana. Kita asumsikan biaya kuliah satu mahasiswa di sebuah kampus di Bengkulu, kalau dihitung lengkap sampai lulus, sekitar 114 juta rupiah. Itu sudah termasuk kos, makan sehari-hari, SPP, KKN, magang, skripsi, yudisium, sampai wisuda. Komplit.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Sekarang kita main kalkulator. Kalau 300 triliun dipakai buat biaya kuliah, hasilnya bisa membiayai 2,6 juta mahasiswa sampai lulus. Bukan cuma satu tahun kuliah, tapi sampai benar-benar diwisuda. Angka segede itu bisa bikin seluruh provinsi punya sarjana baru, bahkan lebih.

Tapi apa yang kita pilih? Kita pakai duit itu buat makan gratis. Efeknya? Ya, kenyang sebentar. Paling lama 5 jam, lalu lapar lagi. Besok ya harus makan lagi. Begitulah perut. Dia nggak pernah puas.

Sementara pendidikan beda. Sekali anak lulus kuliah, efeknya panjang. Dia bisa kerja, bisa buka usaha, bisa jadi guru, dokter, insinyur, atau minimal bisa bayar pajak. Negara balik modalnya lebih jelas. Jadi kalau mau jujur, pilihan menggelontorkan 300 triliun buat makan gratis ini agak aneh.

Tentu, saya paham. Anak sekolah butuh makan. Tapi logikanya, apa iya harus segede itu anggarannya? Apa iya lebih penting daripada memperbaiki guru, dosen, kurikulum, atau fasilitas pendidikan?

Kalau lihat ke luar negeri, program makan sekolah memang ada. Jepang punya, Finlandia punya, bahkan beberapa negara Afrika juga. Bedanya, mereka jalan setelah pendidikan dasarnya rapi. Kurikulumnya bagus, gurunya cukup, sekolahnya layak. Makan gratis di sana jadi tambahan, bukan inti.

Di Indonesia, sekolah masih banyak yang rusak, guru honorer masih menjerit, akses jalan masih banyak yang tidak layak. Tapi tiba-tiba negara langsung loncat ke program 300 triliun makan gratis. Rasanya mirip rumah bocor atapnya, tapi yang dibeli malah sofa baru.

Sekarang kita tarik ke APBN. Kita coba asumsikan saja untuk bandingkan dengan APBN 2024, karena yang 2025 kan belum selesai, masih berjalan. Total belanja negara 2024 sekitar 3.300 triliun. Program makan gratis sendirian makan 300 triliun. Itu hampir 10 persen APBN. Besarnya mirip dengan biaya bayar bunga utang negara. Jadi ini bukan program kecil. Ini program raksasa.

Jangan lupa, masih ada proyek lain. Kereta cepat yang masih terus bikin pusing, Ibu Kota baru yang butuh duit besar, dan cicilan utang yang bunganya makin mahal. Kalau semua dipaksakan jalan bareng, ya ujung-ujungnya ruang fiskal makin sempit.

Politik sih gampang. Program makan gratis itu manis. Anak sekolah bisa difoto lagi makan di kantin, gampang dijual ke publik. Sementara program beasiswa atau perbaikan kurikulum, hasilnya baru terlihat 5 sampai 10 tahun ke depan. Mana ada politisi yang sabar nunggu selama itu.

Saya jadi teringat kampus tadi. Kalau dapat jatah 300 triliun, kampus itu bisa kuliahkan mahasiswa sampai 1.300 angkatan jika per angkatannya ada 2000 mahasiswa baru. Laboratorium bisa diperbaiki, dosen bisa riset, mahasiswa bisa tenang kuliah tanpa mikir biaya. Efeknya bukan cuma lokal, tapi juga nasional.

Sayangnya, politik lebih suka program yang kelihatan cepat. Biar bisa bilang: lihat, ini hasil kerja saya. Padahal kalau dipikir panjang, yang lebih penting adalah anak-anak muda punya bekal pendidikan yang serius.

Saya bukan anti makan gratis. Saya tahu banyak anak sekolah yang perutnya kosong. Tapi apa harus dengan model segede itu? Kenapa tidak mulai dulu dengan daerah rawan stunting, target kecil, baru diperbesar kalau berhasil?

Kalau dipaksakan serentak, resikonya besar. Bisa bocor di pengadaan, bisa salah sasaran, bisa jadi lahan proyek. Ujung-ujungnya, rakyat cuma dapat remah, sementara anggaran sudah telanjur habis.

Indonesia ini punya masalah klasik. Suka bikin program gede tanpa pilot project yang matang. Begitu jalan, baru kelihatan ribetnya. Tapi karena sudah diumumkan besar-besaran, malu untuk berhenti. Akhirnya diteruskan meski ngos-ngosan.

Coba saja ingat proyek lain. Kereta cepat yang dulu katanya nggak pakai APBN, akhirnya pakai juga. IKN yang katanya swasta siap biayai, ujungnya tetap negara yang keluar duit. Nah, apa jangan-jangan nasib MBG bakal mirip?

Kalau sudah begitu, publik cuma bisa geleng-geleng. Yang kenyang siapa, yang nombok siapa. Yang kenyang mungkin kontraktor, yang nombok ya APBN.

Saya jadi ingin menutup dengan kalimat sederhana: perut kenyang itu penting, tapi kepala cerdas jauh lebih penting. Kalau negara memilih lebih banyak memberi makan daripada memberi ilmu, ya jangan kaget kalau kita selalu kenyang sebentar, tapi lapar panjang.
Saya pernah nyeletuk di tulisan sebelumnya soal rumah anggota DPR yang katanya kena penjarahan akhir Agustus lalu, kok rak bukunya kosong melompong. Orang-orang di medsos pun langsung jadi Sherlock Holmes, bikin teori konspirasi, “Ah, DPR ini memang nggak suka baca.” Padahal saya coba kasih praduga positif, jangan-jangan mereka udah shifting ke E-Book. Lha wong di era serba digital begini, rak buku fisik itu lebih cocok buat backdrop konten YouTube ketimbang jadi rak serius.

Tapi kemudian, beberapa hari ini, praduga saya yang agak absurd itu mulai menemukan bukti lapangan. Ada kabar yang bikin jidat saya makin berkerut. Seorang pemuda ditangkap karena diduga jadi aktor kerusuhan akhir Agustus kemarin. Yang bikin heboh bukan cuma penangkapannya, tapi juga barang bukti yang disita aparat: buku. Iya, buku.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Bukan senjata tajam, bukan bom molotov, bukan catatan strategi makar dengan tinta merah kayak di film-film konspirasi. Tapi buku berjudul Pemikiran Karl Marx karya Frans Magnis Suseno. Sebuah buku yang kalau di FISIP, levelnya udah kayak kitab suci. Banyak mahasiswa yang rela puasa, demi bisa beli buku itu. Dan sekarang, buku itu malah dijadikan barang bukti.

Bayangkan betapa ironisnya. Buku yang mestinya jadi bahan diskusi di kelas filsafat politik malah diperlakukan kayak benda terlarang. Kalau begini, jangan-jangan kelak kamus Bahasa Indonesia juga bisa disita, karena di dalamnya ada kata “revolusi.” Kan bahaya, katanya. Bisa menjerumuskan.

Padahal kalau diteliti lebih dalam, yang paling sering bikin orang jadi tukang rusuh itu bukan buku. Tapi pergaulan. Teman nongkrong yang ngajak demo, grup WhatsApp yang isinya provokasi, atau timeline Twitter/X/TikTok/Facebook yang tiap menit memanaskan suasana. Buku paling cuma menyumbang dua persen. Itu pun kalau bukunya dibaca beneran, bukan cuma buat pajangan biar keliatan intelek.

Coba deh disurvei. Berapa banyak kriminal kelas kakap yang lahir gara-gara membaca buku? Pablo Escobar misalnya, apa iya dia jadi gembong narkoba karena kebanyakan baca teori ekonomi hitam? Atau John Wick jadi tukang bunuh karena baca buku “Seribu Cara Membasmi Musuh dalam 60 Detik”? Kan nggak. Semua karena lingkaran pergaulan dan pilihan hidup.

Saya jadi kepikiran, mungkin aparat kita masih trauma sama slogan “bacalah” di cover buku pelajaran agama. Soalnya, begitu orang kebanyakan membaca, bisa jadi kritis, bisa jadi cerewet, bisa juga jadi tukang protes. Dan itu bikin pusing aparat. Mending rakyat dibiarkan sibuk main "Medsos aliran Salam Interaksi" daripada sibuk baca buku Karl Marx.

Kalau gitu, ya wajar kalau literasi Indonesia rendah. Wong baru baca dikit aja udah bisa dianggap makar. Bayangkan kalau ada anak muda lagi ngeteh di warung sambil baca Das Kapital. Bisa-bisa langsung dipelototin bapak-bapak sebelah yang lagi ngisep rokok kretek.

Lebih lucu lagi kalau saya pikirkan. Apa kabar mahasiswa filsafat, ilmu politik, atau sosiologi? Mereka kan hampir pasti bersentuhan dengan karya-karya Marx, Engels, Lenin, bahkan Mao. Apa setiap kali mereka bikin catatan kuliah, harus sembunyi-sembunyi kayak lagi nulis surat cinta?

Di sinilah ironi itu makin kental. Negara kita masih terjebak pada ketakutan simbolik. Simbol bintang lima di kaos bisa bikin orang dituduh PKI. Buku dengan judul mengandung kata “Marx” langsung dianggap pemicu kerusuhan. Padahal, kalau mau jujur, jumlah orang yang benar-benar paham isi buku itu bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan pembaca malah ngantuk di bab dua.

Saya ingat betul ketika kuliah, banyak teman yang bawa buku Marx cuma buat gaya. Isinya nggak dibaca, cuma untuk berat-beratin tas saja biar nampak kayak anak kuliahan serius. Tapi coba bayangkan kalau buku itu disita aparat. Bisa heboh se-RT.

Kadang saya merasa, perlakuan aparat terhadap buku itu sama kayak mantan yang belum move on. Dikit-dikit curiga. Dikit-dikit takut. Padahal kenyataannya, buku itu nggak lebih berbahaya daripada micin. Yang bikin anak muda rusuh justru lebih banyak karena micin politik.

Tapi jangan salah. Di balik semua keganjilan ini, ada pelajaran yang bisa dipetik. Kita bisa ngerti kenapa anggota DPR itu rumahnya kosong dari buku fisik. Bukan karena mereka males baca, tapi karena buku fisik di negeri ini rawan dijadikan alat bukti. Bayangkan kalau koleksi bukunya terlalu kiri, bisa runyam. Terlalu kanan, bisa juga dicurigai radikal. Jadi mending nggak usah punya buku sama sekali.

Mereka pun mungkin memilih cara aman: beli E-Book, simpan di Kindle, atau download PDF di ponsel. Kalau ada razia, tinggal bilang, “Ini cuma aplikasi komik digital, Pak.” Aman. Selesai.

Bahkan, jangan-jangan ada yang lebih canggih lagi. Mereka simpan buku-buku filsafat itu di cloud storage. Jadi kalau ada penggeledahan, nggak ada bukti fisik. Yang ada cuma akun Google Drive.

Nah, dari situ kita bisa paham. Literasi bangsa ini memang rumit. Di satu sisi kita pengen generasi muda rajin baca, biar pinter, biar kritis. Di sisi lain, kita juga gampang curiga kalau ada orang rajin baca. Apalagi kalau bacaannya berat-berat.

Kalau begini terus, jangan heran kalau indeks literasi kita mentok di angka rendah. Wong membaca saja sudah bikin jantung berdebar, apalagi kalau bacaan itu ada embel-embel ideologi. Mending nonton sinetron, jelas lebih aman.

Saya jadi mikir, jangan-jangan ke depan bakal ada aturan baru: buku-buku filsafat politik harus pakai stiker 18+. Sama kayak rokok. Ada peringatan: “Membaca buku ini dapat menyebabkan Anda dituduh makar.”

Kalau sudah begitu, saya kasihan sama penerbit. Bayangkan bikin katalog buku harus mikir dua kali. Buku motivasi boleh, buku cinta boleh, buku resep kue boleh. Tapi begitu judulnya agak-agak kritis, langsung ditolak. Padahal siapa tahu buku itu cuma teori doang, nggak bisa dipraktikkan juga di dunia nyata.

Akhirnya, yang rugi ya kita-kita juga. Masyarakat jadi makin takut berinteraksi dengan bacaan. Padahal membaca itu mestinya jadi kebiasaan sehat, kayak olahraga otak. Tapi karena dianggap rawan, orang lebih milih olahraga jari lewat scroll TikTok.

Entah kenapa saya jadi ingat pepatah, “Buku adalah jendela dunia.” Tapi di negeri ini, jendela itu kayaknya udah dipasangin jeruji besi. Biar nggak sembarangan orang bisa buka.

Kalau begini, jangan kaget kalau rumah anggota DPR kosong dari buku. Bisa jadi itu bukan tanda kebodohan, tapi tanda kehati-hatian. Mereka tahu, buku lebih berbahaya daripada panci di dapur.

Dan kita, rakyat jelata, ya cuma bisa ketawa getir. Mau beli buku filsafat takut dituduh radikal. Mau baca buku agama takut dituduh intoleran. Akhirnya kita lebih aman baca chat WA keluarga. Itu pun masih bisa berujung cekcok kalau salah paham.

Jadi, apakah masih wajar literasi kita rendah? Tentu wajar sekali. Wong kondisi sosial-politiknya bikin orang lebih takut baca daripada takut utang pinjol.

Maka, kalau ada anggota DPR yang rumahnya kosong dari buku, jangan langsung suudzon. Bisa jadi mereka jauh lebih bijak daripada kita. Mereka tahu, menyimpan buku fisik sama aja kayak nyimpan bom waktu.
Dulu, hidup di Indonesia itu asik. Semua serba sederhana, apa-apa gampang, dan kalaupun ada aturan, ya masih bisa ditawar. Tapi sekarang, kok ya rasanya hidup jadi lebih ribet. Salah satunya karena soal musik. Bayangkan, sekarang mau muter lagu di warung kopi aja bisa bikin orang deg-degan, takut ada yang tiba-tiba datang narik royalti. Saya jadi ingat, kata orang dulu “musik itu bahasa universal”, sekarang kayaknya musik itu sudah berubah jadi “bahasa invoice”.

Kalau kita ingat, musik dulu jadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Pengamen di bus kota, odong-odong yang lewat gang-gang, sampai kaset bajakan di terminal, semua jadi warna kehidupan. Kita tidak pernah mikir soal hak cipta atau royalti. Semua berjalan apa adanya. Sekarang? Bus kota sudah jarang, odong-odong jadi barang langka, dan kaset bajakan sudah punah ditelan Spotify. Tapi yang lebih sedih, musik yang dulu menemani keseharian kita, sekarang malah jadi sumber ketakutan.
Ilustrasi Odong-Odong di stop oleh Petugas Penarik Royalti (Gambar : AI Generated)
Coba bayangkan odong-odong. Dulu, anak-anak bisa joget dengan bahagia ditemani suara lagu anak-anak yang diputar kencang dari speaker mini di gerobak warna-warni. Sekarang, bapaknya malah bingung: kalau muter lagu ciptaan A atau B, apa harus setor royalti dulu? Lah, bagaimana mungkin orang yang modal cat semprot sama boneka Mickey Mouse bekas masih harus mikirin pembayaran royalti? Boro-boro, kadang bensin odong-odongnya aja masih nyicil.

Situasi jadi tambah aneh ketika kita masuk ke kafe-kafe. Dulu, kafe itu identik dengan musik. Entah musik jazz, pop akustik, atau minimal suara penyanyi indie yang bikin suasana syahdu. Tapi sekarang, coba mampir ke beberapa kafe, kok suasananya malah sunyi senyap, kayak perpustakaan. Katanya, si pemilik kafe takut dipalak lembaga pengumpul royalti. Lah, gimana mau betah nongkrong kalau yang terdengar cuma suara sedotan minum dan notifikasi Shopee dari HP tetangga meja?

Bahkan lebih lucu lagi, ada cerita bahwa muter suara burung pun bisa dianggap melanggar hak cipta. Jadi kalau kafe mau bikin suasana natural dengan suara ciutan burung, itu pun katanya harus bayar. Lha ini gimana ceritanya? Burungnya siapa, suaranya siapa, yang pungut siapa. Kalau sudah begini, saya jadi curiga, jangan-jangan nanti ada yang menagih royalti kalau kita lagi siulan di kamar mandi.

Yang lebih gila lagi, konon pengamen pun bisa kena masalah. Bayangkan ada pengamen, modalnya cuma gitar satu senar atau kadang cuma tepuk-tepuk tangan sambil nyanyi. Eh, dia disuruh mikirin royalti juga. Lah wong dia nyanyi untuk nyari makan kok. Kalau begini, lama-lama pengamen bisa kena pasal juga. Bisa-bisa kita lihat headline berita: “Seorang pengamen divonis bersalah karena tidak membayar royalti saat menyanyikan lagu Peterpan.” Kan absurd sekali.

Indonesia memang punya aturan soal hak cipta, dan itu penting, supaya pencipta lagu dapat apresiasi yang layak. Tapi masalahnya, praktik di lapangan malah kebablasan. Jadi bukannya bikin adil, malah bikin hidup jadi kaku. Semua jadi serba salah. Orang kecil yang seharusnya bisa hidup dengan musik, malah ketakutan. Yang tadinya musik itu bikin cair suasana, sekarang malah bikin suasana jadi tegang.

Kalau dibandingkan dengan negara lain, ternyata ada cara yang lebih masuk akal. Di Amerika misalnya, ada lembaga khusus seperti ASCAP atau BMI yang ngurusin lisensi musik. Tapi yang ditarik bukan odong-odong, bukan warung kopi, apalagi pengamen. Mereka fokusnya ke bisnis besar, seperti radio, televisi, atau tempat hiburan yang memang skala ekonominya besar. Jadi yang bayar royalti adalah pihak yang benar-benar mendapat keuntungan komersial besar dari musik, bukan orang kecil yang cuma nyambung hidup.

Di Inggris pun sama. Ada PRS (Performing Rights Society) yang mengatur soal hak cipta. Tapi peraturannya jelas, tarifnya juga transparan, dan ada kategori tertentu yang dibebaskan. Jadi kalau kamu nyanyi di pesta pernikahan kampung, ya nggak perlu takut. Lha kalau di sini, pesta pernikahan pun kadang ditagih. Bayangkan, ada orang nikahan, sudah keluar biaya gedung, catering, make up, eh masih ditagih lagi karena muter lagu. Bisa-bisa nanti tukang rias pengantin ikut menambahkan biaya “royalti make up”.

Di Jepang, mereka punya JASRAC (Japanese Society for Rights of Authors, Composers and Publishers). Tapi mereka juga punya mekanisme khusus supaya tidak memberatkan pelaku kecil. Bahkan ada paket lisensi murah untuk kafe kecil atau toko buku. Jadi, tidak ada cerita kafe jadi sunyi senyap kayak kuburan hanya karena takut royalti. Orang Jepang saja, yang konon aturannya ribet, masih bisa lebih fleksibel daripada kita.

Kita sebenarnya paham, pencipta lagu itu perlu dihargai. Mereka sudah bikin karya, masa tidak dapat apa-apa. Tapi masalahnya, implementasi di sini kayak main tangkap jaring. Semua disapu rata. Tidak peduli siapa yang muter, untuk apa, dan seberapa besar dampaknya. Pokoknya asal muter lagu, ya bayar. Logika sederhananya: kalau kamu muter lagu satu menit di warung, itu sama saja kayak kamu punya stasiun TV. Lah, aneh to.

Yang bikin tambah rumit, ternyata lembaga pengumpul royaltinya juga banyak. Ada beberapa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang semuanya merasa punya hak untuk nagih. Jadi, kadang pemilik kafe bingung, ini saya harus bayar ke siapa? Kalau bayar ke LMK A, nanti LMK B protes. Kalau bayar ke B, nanti yang C ngamuk. Jadi bukannya tenang, malah pusing tujuh keliling. Serasa bayar utang ke rentenir, sudah bayar satu, masih ada yang nagih lagi.

Kisruh soal royalti ini bahkan sudah sampai ke Mahkamah Konstitusi. Bayangkan, masalah musik bisa masuk ke level pengadilan tertinggi. Sungguh tidak terbayangkan oleh kita yang dulu tahunya musik itu sekadar hiburan. Kalau dulu kita lihat pengadilan biasanya membahas korupsi, politik, atau sengketa tanah. Sekarang, bisa juga membahas soal lagu “Kemarin” yang dinyanyikan di kafe tanpa izin. Rasanya kayak hidup di negara sinetron.

Dan jangan lupa, di balik semua ini, ada politisi yang juga ikut nimbrung. Ada yang pura-pura bela pencipta lagu, ada juga yang pura-pura bela rakyat kecil. Padahal, ujung-ujungnya, ya ada kepentingan. Seolah-olah musik yang tadinya netral dan penuh perasaan, sekarang jadi panggung politik juga. Jadi makin runyam, makin ribet, makin jauh dari esensi awalnya.

Hidup di Indonesia jadi terasa kurang asik karena hal-hal seperti ini. Dulu kita bisa santai nongkrong sambil dengerin musik, sekarang malah was-was. Dulu kita bisa senyum lihat odong-odong lewat, sekarang jadi mikir “waduh, apa bapaknya udah bayar royalti?”. Dulu kita bisa ketawa denger pengamen nyanyi fals, sekarang malah mikir “jangan-jangan nanti ditangkap polisi.” Semua jadi absurd.

Musik seharusnya mendekatkan orang. Tapi sekarang malah menjauhkan. Orang jadi males pasang musik di kafe. Pengamen jadi takut. Orang bikin pesta jadi ribet. Padahal, musik itu semestinya seperti udara: mengalir, gratis, dan dinikmati semua orang. Tapi di sini, musik sudah berubah jadi seperti oksigen tabung: kalau mau pakai, ya harus bayar.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • KALAU MAU KAYA, JANGAN JADI DOSEN
  • WAHYU KEPRABON DI ERA DIGITAL
  • MENGAPA TIDAK ADA HABIB DI MUHAMMADIYAH?
  • PILKADA, MILITER, DAN KEGAGALAN PARPOL

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar