Andi Azhar
  • Beranda
  • Essai
    • Khazanah Islam
    • Pendidikan
    • Sosial Politik
    • Persyarikatan
    • #SeloSeloan
    • Perguruan Tinggi
    • Sains Teknologi
    • Financial Teknologi
  • Hikayat
    • Formosa
    • Nusantara
  • Soneta
  • English
    • Education
    • Politic
    • Technology
    • Economic
  • Advertorial
    • Competition
    • Endorsement
    • Komikita
  • Obituari
  • Scholarship
    • MoE Taiwan
    • HES Taiwan
    • ICDF Taiwan
  • Hubungi Kami
Saya masih ingat betu, setiap kali masuk kantor pemerintahan, yang pertama kali menatap kita bukan pegawainya. Bukan juga resepsionisnya. Tapi foto presiden dan wakil presiden yang dipajang gagah di dinding. Kadang ditemani gubernur atau bupati setempat. Rasanya seperti ada yang mengawasi dari atas, meski tak pernah benar-benar menegur kalau kita telat kerja.

Kebiasaan itu sudah berlangsung lama. Dari zaman saya kecil, setiap sekolah selalu punya sudut wajib: papan tulis, lambang Garuda, dan foto presiden serta wakilnya. Ada semacam paket lengkap. Tidak bisa salah satu hilang. Kalau salah satunya tidak ada, seperti rumah tanpa atap. Seperti sayur tanpa garam.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Pertanyaan saya sederhana: untuk apa sebenarnya foto itu? Apakah benar ada hubungannya dengan kinerja? Apakah pegawai jadi lebih rajin kalau tiap hari dipandangi wajah presiden? Atau malah tidak ada bedanya, hanya jadi formalitas belaka. Sekadar dekorasi dinding biar tidak kosong.

Saya pernah iseng bertanya kepada seorang pejabat teras di daerah. Kenapa selalu ada foto bupati di setiap ruangannya? Jawabannya singkat: “Tradisi.” Dia tidak tahu apakah ada dasar hukum yang mewajibkan. Tapi katanya, kalau tidak dipasang, bisa dianggap tidak loyal. Bisa dipertanyakan kesetiaannya pada pimpinan.

Di sisi lain, ada pegawai yang melihat foto itu seperti pengingat. Katanya, setiap kali melihat wajah presiden, ia merasa sedang bekerja untuk negara. Untuk rakyat. Jadi, sedikit banyak ada efek psikologis. Meski, kalau kita jujur, sering kali yang bekerja justru lebih dipengaruhi oleh gaji, tunjangan, dan atasan langsung.

Saya pernah masuk ke sebuah kantor swasta yang besar. Tidak ada foto presiden di sana. Yang ada hanya foto pendiri perusahaan. Bahkan fotonya dibuat lebih besar dari lukisan-lukisan yang lain. Apakah ini salah? Tidak. Bagi mereka, simbol pemersatu bukan presiden, melainkan sang pendiri yang berjasa besar mendirikan perusahaan.

Di negara lain, tradisi ini tidak selalu sama. Di Amerika Serikat, misalnya. Tidak semua kantor pemerintah memasang foto presiden. Yang lebih sering dipasang justru bendera. Bintang-bintang dan garis merah putih itu yang dianggap simbol paling penting. Foto presiden? Tidak wajib. Bahkan di beberapa kantor kecil, tidak pernah ada.

Di Taiwan, tradisi semacam itu hampir tidak ditemukan. Pegawai lebih sibuk menunduk pada pekerjaannya daripada menatap foto pemimpinnya. Bagi mereka, simbol penghormatan ada pada etos kerja. Mereka menunjukkan nasionalisme dengan produktivitas. Bukan dengan foto. Itu sebabnya, kantor mereka sering kosong dari gambar pemimpin.

Lain lagi di Korea Utara. Di sana foto pemimpin bukan sekadar pajangan. Melainkan kewajiban. Bahkan harus dijaga kebersihannya setiap hari. Warga bisa dianggap tidak hormat kalau foto pemimpin berdebu. Ini sudah masuk ke ranah ideologi. Pemimpin menjadi semacam dewa. Beda jauh dengan di sini, meski kadang-kadang kita menirunya dalam versi lebih halus.

Kalau di Indonesia, keberadaan foto presiden seolah jadi aturan tak tertulis. Saya coba telusuri. Ada beberapa surat edaran dari kementerian dalam negeri dan sekretariat negara soal tata cara penggunaan lambang negara. Tapi soal foto presiden? Tidak ada aturan eksplisit yang mengatur. Artinya, ini lebih pada kebiasaan daripada hukum.

Saya teringat pada era Presiden Soeharto. Foto beliau seperti bagian dari paket wajib pembangunan. Di sekolah, kantor, bahkan pos ronda pun kadang ada. Setelah reformasi, kebiasaan itu tetap bertahan. Berganti presiden, berganti foto. Tapi intinya sama: wajah pemimpin tetap harus menatap kita dari dinding.

Pernah juga ada cerita menarik. Ada kantor daerah yang telat mengganti foto presiden baru. Masih terpajang wajah presiden sebelumnya. Lalu datang inspeksi. Pegawai kantor itu ditegur. Katanya, itu dianggap tidak menghormati presiden baru. Padahal mungkin hanya karena lupa atau belum sempat mengganti.

Sebenarnya, apa hubungannya foto dengan nasionalisme? Kalau saya perhatikan, lebih banyak simbolisme daripada substansi. Rasa cinta tanah air tidak otomatis tumbuh hanya dengan menatap foto. Ia tumbuh dari kebijakan yang adil, pelayanan yang baik, dan kesejahteraan yang nyata. Foto hanya hiasan. Nasionalisme butuh isi.

Meski begitu, saya tidak bisa menolak bahwa simbol tetap punya peran. Foto presiden bisa jadi simbol legitimasi. Seperti ingin mengatakan: kantor ini resmi, sah, dan berada di bawah negara. Simbol semacam ini memang penting, apalagi di daerah yang jauh. Kadang foto itu menjadi bukti nyata bahwa negara hadir.

Ada juga yang bilang, memasang foto presiden itu bagian dari budaya timur. Budaya menghormati pemimpin. Di Barat, hubungan rakyat dan pemimpin lebih egaliter. Foto bukan hal penting. Tapi di sini, penghormatan harus ditunjukkan dengan cara-cara simbolis. Termasuk dengan foto yang dipajang di dinding.

Saya ingat pernah masuk ke sebuah kantor desa di satu daerah. Fotonya lusuh, warnanya pudar, bingkainya berkarat. Tapi pegawai bilang, foto itu sakral. Tidak boleh dilepas meski sudah usang. Mereka lebih memilih membiarkannya begitu daripada dianggap kurang hormat. Saya tersenyum. Simbol bisa lebih kuat dari fungsi.

Namun, kadang simbol bisa membingungkan. Ada kantor yang menempel foto presiden dan wakil presiden, tapi lupa bendera merah putih. Ada juga yang menaruh foto presiden lama berdampingan dengan presiden baru. Jadi semacam galeri. Orang luar yang masuk jadi bingung, ini kantor atau museum?

Bagi saya pribadi, melihat foto presiden tidak pernah menambah semangat kerja. Tapi saya tahu, bagi sebagian orang, itu penting. Sama seperti kita menaruh foto keluarga di meja kerja. Tidak semua merasa perlu. Tapi bagi yang merasa perlu, ada energi psikologis yang lahir dari tatapan wajah di foto itu.

Di negara berkembang lain, kebiasaan ini juga ada. Di Filipina, foto presiden sering dipajang di kantor pemerintah. Di India, lebih banyak patung atau gambar tokoh besar. Gandhi, misalnya. Jadi, pola ini bukan hanya milik kita. Tapi setiap negara punya variasinya sendiri.

Kalau ditanya soal dasar hukum, jawabannya: tidak ada aturan khusus. Yang ada hanya surat edaran atau kebiasaan administratif. Jadi, sebenarnya tidak wajib. Kalau ada kantor pemerintah yang tidak memasang foto presiden, itu tidak melanggar hukum. Hanya saja, konsekuensi sosialnya bisa dianggap kurang hormat.

Pernah ada aktivis yang menolak memasang foto presiden di kantornya. Alasannya: presiden bukan simbol negara, melainkan pejabat politik yang bisa berganti. Simbol negara adalah bendera dan Garuda. Argumen ini masuk akal. Tapi tentu saja, di level praktik, orang tetap memilih aman. Lebih baik pasang foto daripada ribut.

Pertanyaannya, sampai kapan kebiasaan ini bertahan? Apakah kelak, di era digital, foto presiden di dinding akan diganti dengan layar elektronik? Yang bisa otomatis berganti saat presidennya berganti. Atau malah hilang sama sekali, diganti dengan QR code yang mengarahkan ke profil resmi presiden di website.

Di balik semua itu, saya tetap melihat ada sisi baik. Foto presiden di dinding memberi pesan: kita punya pemimpin. Entah suka atau tidak suka, itu adalah pemimpin kita. Seperti halnya di keluarga, kadang kita tidak selalu setuju dengan orang tua. Tapi tetap harus mengakui bahwa merekalah yang memimpin rumah tangga.

Sebagian orang mungkin bosan dengan simbol. Mereka lebih ingin melihat kerja nyata. Jalan yang mulus, pelayanan cepat, birokrasi efisien. Foto tidak bisa memperbaiki jalan rusak. Tidak bisa mempercepat izin. Tidak bisa menurunkan harga kebutuhan pokok. Jadi, jangan sampai simbol lebih kuat dari substansi.

Tapi saya juga paham. Dalam politik, simbol itu penting. Kadang lebih penting daripada substansi. Orang rela mengeluarkan uang besar hanya untuk membuat baliho besar. Padahal isinya hanya foto senyum. Tanpa program. Itu karena simbol bisa menciptakan rasa hadir. Bisa menumbuhkan loyalitas. Bisa memberi ilusi kehadiran.

Apakah kita harus terus melestarikan kebiasaan ini? Mungkin iya. Tidak ada salahnya. Selama tidak menganggap foto sebagai sumber segala semangat. Biarlah ia jadi pajangan. Tapi jangan lupa, isi dari kerja lebih penting daripada bingkai di dinding.

Kalau memang ingin menunjukkan loyalitas pada negara, sebaiknya ditunjukkan lewat pelayanan yang baik. Bukan lewat foto. Kalau ingin menunjukkan nasionalisme, lakukan lewat kerja yang bermanfaat bagi rakyat. Foto hanya pelengkap. Kerja nyata adalah inti.

Saya teringat ucapan seorang PNS yang sudah senior. Katanya, ia tidak peduli siapa presidennya. Fotonya boleh berganti. Tapi pekerjaannya tetap sama. Pelayanan pada rakyat. Mungkin inilah kunci sebenarnya. Foto boleh jadi simbol, tapi isi dari kerja tetap yang menentukan.

Kalau begitu, apakah ada gunanya kita memperdebatkan soal foto? Bagi sebagian orang, penting. Bagi sebagian lain, tidak. Tapi saya memilih melihatnya sebagai bagian dari budaya. Budaya menghormati pemimpin. Selama tidak berlebihan, tidak ada yang salah.

Toh, di ruang tamu kita pun sering ada foto keluarga. Itu tidak menjamin keluarga selalu harmonis. Tapi tetap saja kita pasang. Karena simbol itu penting, meski bukan segalanya. Begitu juga dengan foto presiden di kantor. Penting, tapi bukan penentu segalanya.

Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan foto. Yang kita butuhkan adalah kepemimpinan yang nyata. Pemimpin yang hadir lewat kebijakan. Pemimpin yang hadir lewat solusi. Foto hanya memberi wajah. Tapi kepemimpinan memberi arah.

Dan arah itulah yang sesungguhnya kita cari. Di balik semua bingkai di dinding. Di balik semua simbol yang kita jaga. Kita tetap menunggu kerja nyata. Dari siapa pun yang wajahnya sedang kita pandang di dinding itu.
Saya baru saja pesan makanan. Dari warung yang jaraknya tidak sampai 3 kilometer. Mestinya, perjalanan semacam itu tidak lebih dari 15 menit. Tapi pagi ini, pesanan saya baru sampai hampir 40 menit kemudian. Saya lihat di aplikasi, titik merah driver itu seperti menari-nari. Kadang maju, kadang mundur, kadang melipir masuk gang kecil. Saya tahu, bapak driver ini bingung membaca peta di aplikasi. Saya akhirnya chat beliau. Saya arahkan jalannya. “Jangan ikuti map. Lewat jalan besar saja, pak. Nanti gampang.” Dan benar, setelah diarahkan manual, beliau sampai. Agak terlambat, tapi akhirnya datang juga.

Usianya mungkin sekitar 55 tahun. Dari caranya menjelaskan, nampak beliau bukan tinggal di sekitar sini. Saya bisa bayangkan betapa repotnya bagi bapak-bapak seusia itu menghadapi peta elektronik. Dulu, generasi beliau terbiasa dengan peta lipat. Paling banter, mengandalkan petunjuk orang sekitar. Tidak seperti anak-anak sekarang yang dengan gampangnya membaca panah biru dan garis hijau. Saya jadi maklum. Tapi ini bukan kejadian pertama. Saya sudah sering mengalaminya.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)

Pernah juga, driver ojol yang mengantar saya ke sebuah acara, minta saya arahkan jalan lain. “Pak, saya gak familiar jalan yang ditunjukkan aplikasi. Bisa lewat jalan besar saja?” katanya. Saya akhirnya jadi navigator. Padahal harusnya beliau yang mengantar saya. Saya jadi merasa seperti penumpang yang kebagian dua tugas: duduk dan mengarahkan.

Ini sering membuat saya berpikir: kenapa perusahaan aplikasi itu tidak membuat program edukasi untuk para driver? Mereka bisa bikin pelatihan sederhana. Misalnya, bagaimana membaca peta dengan benar. Bagaimana memilih jalur alternatif. Bagaimana memahami simbol-simbol di layar. Tidak semua orang lahir di era digital. Ada banyak driver yang memang sepuh. Tapi mereka tetap harus bekerja. Tetap harus cari nafkah.

Kalau ada pelatihan semacam itu, saya yakin akan membantu banyak. Bukan hanya bagi driver, tapi juga bagi pelanggan. Driver jadi lebih percaya diri. Pelanggan jadi lebih nyaman. Dan perusahaan juga untung. Karena keluhan soal keterlambatan akan berkurang. Tapi sayangnya, sampai hari ini, belum saya dengar ada program edukasi serius soal itu.

Saya tahu, perusahaan aplikasi sudah sering bikin pelatihan. Biasanya tentang etika layanan, keselamatan berkendara, atau cara menjaga rating. Itu semua bagus. Tapi bagaimana dengan literasi digital? Bukankah map itu nyawa dari layanan transportasi online? Kalau mereka tidak bisa membacanya, maka layanan bisa berantakan.

Saya teringat saat dulu pertama kali belajar bahasa inggris saat SMP. Ada kursus kilat “bahasa inggris untuk orang awam”. Itu membantu banyak orang yang tadinya tidak tahu bahasa inggris sama sekali, jadi percaya diri. Kenapa aplikasi ojol tidak membuat kursus semacam itu? Bisa berbentuk online. Bisa juga tatap muka di basecamp. Tinggal dikasih contoh kasus. Nanti mereka diajak latihan membaca peta di layar.

Kalau mau lebih modern, bisa dibuat simulasi. Misalnya, ada aplikasi dummy yang memunculkan titik-titik perjalanan. Driver diminta menemukan jalur tercepat. Dari situ, mereka bisa belajar. Bisa salah, bisa benar. Tapi akan ada pembimbing. Jadi, ketika mereka kembali ke jalan nyata, mereka lebih percaya diri.

Saya kira, biaya program seperti itu tidak besar. Bahkan perusahaan bisa melibatkan kampus-kampus IT. Biar mahasiswa yang membantu memberi pelatihan. Itu bisa jadi proyek sosial yang bermanfaat. Mahasiswa dapat pengalaman, driver dapat ilmu, perusahaan dapat reputasi baik.

Sebab, yang sering terjadi sekarang adalah: driver belajar sendiri. Mereka trial and error di jalanan. Kadang berhasil. Kadang justru membuat pelanggan dongkol. Apalagi kalau pesanannya makanan. Makanan bisa basi di jalan karena muter-muter.

Saya yakin, banyak pelanggan yang akhirnya memberi bintang rendah bukan karena drivernya tidak sopan, tapi karena drivernya salah jalan. Padahal, salah jalan itu bisa dihindari kalau ada edukasi. Itu bukan soal kemampuan bawaan. Itu soal dilatih atau tidak.

Kita sering bicara soal revolusi digital. Tapi revolusi macam apa kalau sebagian besar pekerja di sektor digital justru tidak dilatih digital? Kita lupa, transformasi digital bukan hanya soal aplikasi yang canggih. Tapi juga soal manusia yang mengoperasikannya.

Bapak driver 55 tahun itu memberi saya pelajaran. Bahwa teknologi tidak selalu ramah bagi semua orang. Ada kelompok yang tertinggal. Dan kalau tidak dibantu, mereka bisa makin tertinggal. Mereka bisa kehilangan pekerjaan. Padahal, mereka butuh pekerjaan itu.

Saya juga sadar, aplikasi map tidak selalu sempurna. Kadang jalur yang ditunjukkan memang lebih pendek, tapi tidak ramah motor. Bisa jadi tanjakan curam. Bisa jadi jalan sempit. Bisa jadi jalur macet. Peta tidak selalu bisa membaca kenyataan.

Karena itu, literasi membaca peta juga harus diimbangi dengan logika. Driver harus tahu kapan harus percaya aplikasi, kapan harus percaya insting. Itu butuh latihan. Butuh jam terbang. Dan lebih cepat lagi kalau ada bimbingan.

Bayangkan kalau ada satu program sederhana: setiap driver baru wajib ikut “kursus peta” selama sehari. Saya yakin hasilnya akan signifikan. Mereka akan lebih percaya diri. Perjalanan jadi lebih efisien. Pelanggan juga lebih senang.

Saya sering mendengar cerita teman-teman yang sama: pesan makanan, tapi drivernya keliling berkali-kali. Padahal alamat sudah jelas. Kadang sampai harus telepon berkali-kali. Itu menyita waktu. Itu menyita energi. Dan akhirnya menurunkan kualitas layanan.

Kalau perusahaan berpikir jangka panjang, program ini harus masuk agenda. Jangan hanya fokus ke promo diskon. Jangan hanya fokus ke branding. Tapi juga ke hal-hal mendasar. Sebab, layanan tidak hanya ditentukan iklan. Tapi juga pengalaman nyata pelanggan.

Saya tahu, bicara soal edukasi kadang dianggap membosankan. Tapi percayalah, dampaknya sangat nyata. Apalagi di bisnis jasa. Senyum dan sopan santun memang penting. Tapi kalau pesan makanan jadi basi karena drivernya salah jalan, senyum pun tidak ada artinya.

Driver-driver muda mungkin cepat belajar. Tapi tidak semua driver muda. Banyak driver senior. Dan mereka punya semangat kerja yang tinggi. Jangan sampai semangat itu padam hanya karena mereka bingung membaca peta.

Saya membayangkan, kalau perusahaan mau serius, dalam lima tahun ke depan, kualitas layanan bisa jauh lebih baik. Driver tidak lagi bingung di jalan. Pelanggan lebih puas. Dan ekosistem ojol akan lebih sehat.

Tentu, ini semua kembali ke kemauan manajemen. Apakah mereka hanya ingin untung cepat, atau membangun sistem yang berkelanjutan. Saya berharap yang kedua. Sebab, layanan transportasi online sudah jadi bagian penting kehidupan kota.

Banyak orang bergantung pada mereka. Dari mahasiswa yang malas jalan, sampai ibu-ibu yang malas ke pasar. Dari pekerja kantoran, sampai orang yang sedang sakit. Semua mengandalkan layanan ini.

Kalau begitu pentingnya, masa iya perusahaan tidak mau investasi sedikit untuk edukasi? Bukankah itu investasi yang paling menguntungkan?

Saya tidak tahu apakah bapak driver 55 tahun itu masih mau mengambil order di daerah yang dia tidak familiar setelah kejadian itu. Tapi saya berharap beliau tidak menyerah. Beliau hanya butuh sedikit bantuan. Sedikit bimbingan.

Kita sering menganggap literasi itu hanya soal membaca buku. Padahal, literasi digital juga penting. Dan di era ini, membaca peta di layar adalah salah satu bentuk literasi digital.

Saya yakin, kalau perusahaan mau peduli, maka kasus-kasus seperti ini akan berkurang. Tidak akan ada lagi driver yang muter-muter tidak jelas. Tidak akan ada lagi pelanggan yang harus jadi navigator.

Dan yang paling penting, tidak akan ada lagi bapak-bapak 55 tahun yang kehilangan rasa percaya dirinya hanya karena peta elektronik.

Itulah sebabnya, saya menulis ini. Untuk para operator, para provider ojol: tolonglah. Buat program terencana untuk mengedukasi para mitra driver. Ajari mereka membaca peta dengan benar. Ajari mereka kapan harus percaya peta, kapan harus percaya jalan besar.

Kasihan mereka yang awam. Kasihan mereka yang sepuh. Mereka tetap butuh nafkah. Mereka tetap butuh dihargai. Jangan biarkan mereka tersisih hanya karena gaptek.

Saya percaya, perusahaan besar bisa melakukannya. Tinggal apakah mereka mau atau tidak. Kalau mereka mau, semua pihak akan diuntungkan.

Kalau tidak, ya siap-siap saja. Pelanggan akan terus mengeluh. Driver akan terus bingung. Dan reputasi layanan tidak akan pernah naik.

Semoga, tulisan kecil ini sampai ke meja manajemen. Semoga mereka sadar. Bahwa di balik aplikasi yang canggih, ada manusia yang masih butuh dibimbing.
Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan pernyataan soal anggaran program Makan Bergizi Gratis untuk tahun 2026. Anggarannya bikin kaget: 25 triliun rupiah per bulan. Naik drastis dibanding tahun 2025. Kalau ditotal setahun, ya jadi 300 triliun. Angka yang kalau ditulis penuh, nolnya bikin orang biasa langsung sakit kepala.

Hitung-hitungannya sederhana. Kita asumsikan biaya kuliah satu mahasiswa di sebuah kampus di Bengkulu, kalau dihitung lengkap sampai lulus, sekitar 114 juta rupiah. Itu sudah termasuk kos, makan sehari-hari, SPP, KKN, magang, skripsi, yudisium, sampai wisuda. Komplit.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Sekarang kita main kalkulator. Kalau 300 triliun dipakai buat biaya kuliah, hasilnya bisa membiayai 2,6 juta mahasiswa sampai lulus. Bukan cuma satu tahun kuliah, tapi sampai benar-benar diwisuda. Angka segede itu bisa bikin seluruh provinsi punya sarjana baru, bahkan lebih.

Tapi apa yang kita pilih? Kita pakai duit itu buat makan gratis. Efeknya? Ya, kenyang sebentar. Paling lama 5 jam, lalu lapar lagi. Besok ya harus makan lagi. Begitulah perut. Dia nggak pernah puas.

Sementara pendidikan beda. Sekali anak lulus kuliah, efeknya panjang. Dia bisa kerja, bisa buka usaha, bisa jadi guru, dokter, insinyur, atau minimal bisa bayar pajak. Negara balik modalnya lebih jelas. Jadi kalau mau jujur, pilihan menggelontorkan 300 triliun buat makan gratis ini agak aneh.

Tentu, saya paham. Anak sekolah butuh makan. Tapi logikanya, apa iya harus segede itu anggarannya? Apa iya lebih penting daripada memperbaiki guru, dosen, kurikulum, atau fasilitas pendidikan?

Kalau lihat ke luar negeri, program makan sekolah memang ada. Jepang punya, Finlandia punya, bahkan beberapa negara Afrika juga. Bedanya, mereka jalan setelah pendidikan dasarnya rapi. Kurikulumnya bagus, gurunya cukup, sekolahnya layak. Makan gratis di sana jadi tambahan, bukan inti.

Di Indonesia, sekolah masih banyak yang rusak, guru honorer masih menjerit, akses jalan masih banyak yang tidak layak. Tapi tiba-tiba negara langsung loncat ke program 300 triliun makan gratis. Rasanya mirip rumah bocor atapnya, tapi yang dibeli malah sofa baru.

Sekarang kita tarik ke APBN. Kita coba asumsikan saja untuk bandingkan dengan APBN 2024, karena yang 2025 kan belum selesai, masih berjalan. Total belanja negara 2024 sekitar 3.300 triliun. Program makan gratis sendirian makan 300 triliun. Itu hampir 10 persen APBN. Besarnya mirip dengan biaya bayar bunga utang negara. Jadi ini bukan program kecil. Ini program raksasa.

Jangan lupa, masih ada proyek lain. Kereta cepat yang masih terus bikin pusing, Ibu Kota baru yang butuh duit besar, dan cicilan utang yang bunganya makin mahal. Kalau semua dipaksakan jalan bareng, ya ujung-ujungnya ruang fiskal makin sempit.

Politik sih gampang. Program makan gratis itu manis. Anak sekolah bisa difoto lagi makan di kantin, gampang dijual ke publik. Sementara program beasiswa atau perbaikan kurikulum, hasilnya baru terlihat 5 sampai 10 tahun ke depan. Mana ada politisi yang sabar nunggu selama itu.

Saya jadi teringat kampus tadi. Kalau dapat jatah 300 triliun, kampus itu bisa kuliahkan mahasiswa sampai 1.300 angkatan jika per angkatannya ada 2000 mahasiswa baru. Laboratorium bisa diperbaiki, dosen bisa riset, mahasiswa bisa tenang kuliah tanpa mikir biaya. Efeknya bukan cuma lokal, tapi juga nasional.

Sayangnya, politik lebih suka program yang kelihatan cepat. Biar bisa bilang: lihat, ini hasil kerja saya. Padahal kalau dipikir panjang, yang lebih penting adalah anak-anak muda punya bekal pendidikan yang serius.

Saya bukan anti makan gratis. Saya tahu banyak anak sekolah yang perutnya kosong. Tapi apa harus dengan model segede itu? Kenapa tidak mulai dulu dengan daerah rawan stunting, target kecil, baru diperbesar kalau berhasil?

Kalau dipaksakan serentak, resikonya besar. Bisa bocor di pengadaan, bisa salah sasaran, bisa jadi lahan proyek. Ujung-ujungnya, rakyat cuma dapat remah, sementara anggaran sudah telanjur habis.

Indonesia ini punya masalah klasik. Suka bikin program gede tanpa pilot project yang matang. Begitu jalan, baru kelihatan ribetnya. Tapi karena sudah diumumkan besar-besaran, malu untuk berhenti. Akhirnya diteruskan meski ngos-ngosan.

Coba saja ingat proyek lain. Kereta cepat yang dulu katanya nggak pakai APBN, akhirnya pakai juga. IKN yang katanya swasta siap biayai, ujungnya tetap negara yang keluar duit. Nah, apa jangan-jangan nasib MBG bakal mirip?

Kalau sudah begitu, publik cuma bisa geleng-geleng. Yang kenyang siapa, yang nombok siapa. Yang kenyang mungkin kontraktor, yang nombok ya APBN.

Saya jadi ingin menutup dengan kalimat sederhana: perut kenyang itu penting, tapi kepala cerdas jauh lebih penting. Kalau negara memilih lebih banyak memberi makan daripada memberi ilmu, ya jangan kaget kalau kita selalu kenyang sebentar, tapi lapar panjang.
Saya pernah nyeletuk di tulisan sebelumnya soal rumah anggota DPR yang katanya kena penjarahan akhir Agustus lalu, kok rak bukunya kosong melompong. Orang-orang di medsos pun langsung jadi Sherlock Holmes, bikin teori konspirasi, “Ah, DPR ini memang nggak suka baca.” Padahal saya coba kasih praduga positif, jangan-jangan mereka udah shifting ke E-Book. Lha wong di era serba digital begini, rak buku fisik itu lebih cocok buat backdrop konten YouTube ketimbang jadi rak serius.

Tapi kemudian, beberapa hari ini, praduga saya yang agak absurd itu mulai menemukan bukti lapangan. Ada kabar yang bikin jidat saya makin berkerut. Seorang pemuda ditangkap karena diduga jadi aktor kerusuhan akhir Agustus kemarin. Yang bikin heboh bukan cuma penangkapannya, tapi juga barang bukti yang disita aparat: buku. Iya, buku.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Bukan senjata tajam, bukan bom molotov, bukan catatan strategi makar dengan tinta merah kayak di film-film konspirasi. Tapi buku berjudul Pemikiran Karl Marx karya Frans Magnis Suseno. Sebuah buku yang kalau di FISIP, levelnya udah kayak kitab suci. Banyak mahasiswa yang rela puasa, demi bisa beli buku itu. Dan sekarang, buku itu malah dijadikan barang bukti.

Bayangkan betapa ironisnya. Buku yang mestinya jadi bahan diskusi di kelas filsafat politik malah diperlakukan kayak benda terlarang. Kalau begini, jangan-jangan kelak kamus Bahasa Indonesia juga bisa disita, karena di dalamnya ada kata “revolusi.” Kan bahaya, katanya. Bisa menjerumuskan.

Padahal kalau diteliti lebih dalam, yang paling sering bikin orang jadi tukang rusuh itu bukan buku. Tapi pergaulan. Teman nongkrong yang ngajak demo, grup WhatsApp yang isinya provokasi, atau timeline Twitter/X/TikTok/Facebook yang tiap menit memanaskan suasana. Buku paling cuma menyumbang dua persen. Itu pun kalau bukunya dibaca beneran, bukan cuma buat pajangan biar keliatan intelek.

Coba deh disurvei. Berapa banyak kriminal kelas kakap yang lahir gara-gara membaca buku? Pablo Escobar misalnya, apa iya dia jadi gembong narkoba karena kebanyakan baca teori ekonomi hitam? Atau John Wick jadi tukang bunuh karena baca buku “Seribu Cara Membasmi Musuh dalam 60 Detik”? Kan nggak. Semua karena lingkaran pergaulan dan pilihan hidup.

Saya jadi kepikiran, mungkin aparat kita masih trauma sama slogan “bacalah” di cover buku pelajaran agama. Soalnya, begitu orang kebanyakan membaca, bisa jadi kritis, bisa jadi cerewet, bisa juga jadi tukang protes. Dan itu bikin pusing aparat. Mending rakyat dibiarkan sibuk main "Medsos aliran Salam Interaksi" daripada sibuk baca buku Karl Marx.

Kalau gitu, ya wajar kalau literasi Indonesia rendah. Wong baru baca dikit aja udah bisa dianggap makar. Bayangkan kalau ada anak muda lagi ngeteh di warung sambil baca Das Kapital. Bisa-bisa langsung dipelototin bapak-bapak sebelah yang lagi ngisep rokok kretek.

Lebih lucu lagi kalau saya pikirkan. Apa kabar mahasiswa filsafat, ilmu politik, atau sosiologi? Mereka kan hampir pasti bersentuhan dengan karya-karya Marx, Engels, Lenin, bahkan Mao. Apa setiap kali mereka bikin catatan kuliah, harus sembunyi-sembunyi kayak lagi nulis surat cinta?

Di sinilah ironi itu makin kental. Negara kita masih terjebak pada ketakutan simbolik. Simbol bintang lima di kaos bisa bikin orang dituduh PKI. Buku dengan judul mengandung kata “Marx” langsung dianggap pemicu kerusuhan. Padahal, kalau mau jujur, jumlah orang yang benar-benar paham isi buku itu bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan pembaca malah ngantuk di bab dua.

Saya ingat betul ketika kuliah, banyak teman yang bawa buku Marx cuma buat gaya. Isinya nggak dibaca, cuma untuk berat-beratin tas saja biar nampak kayak anak kuliahan serius. Tapi coba bayangkan kalau buku itu disita aparat. Bisa heboh se-RT.

Kadang saya merasa, perlakuan aparat terhadap buku itu sama kayak mantan yang belum move on. Dikit-dikit curiga. Dikit-dikit takut. Padahal kenyataannya, buku itu nggak lebih berbahaya daripada micin. Yang bikin anak muda rusuh justru lebih banyak karena micin politik.

Tapi jangan salah. Di balik semua keganjilan ini, ada pelajaran yang bisa dipetik. Kita bisa ngerti kenapa anggota DPR itu rumahnya kosong dari buku fisik. Bukan karena mereka males baca, tapi karena buku fisik di negeri ini rawan dijadikan alat bukti. Bayangkan kalau koleksi bukunya terlalu kiri, bisa runyam. Terlalu kanan, bisa juga dicurigai radikal. Jadi mending nggak usah punya buku sama sekali.

Mereka pun mungkin memilih cara aman: beli E-Book, simpan di Kindle, atau download PDF di ponsel. Kalau ada razia, tinggal bilang, “Ini cuma aplikasi komik digital, Pak.” Aman. Selesai.

Bahkan, jangan-jangan ada yang lebih canggih lagi. Mereka simpan buku-buku filsafat itu di cloud storage. Jadi kalau ada penggeledahan, nggak ada bukti fisik. Yang ada cuma akun Google Drive.

Nah, dari situ kita bisa paham. Literasi bangsa ini memang rumit. Di satu sisi kita pengen generasi muda rajin baca, biar pinter, biar kritis. Di sisi lain, kita juga gampang curiga kalau ada orang rajin baca. Apalagi kalau bacaannya berat-berat.

Kalau begini terus, jangan heran kalau indeks literasi kita mentok di angka rendah. Wong membaca saja sudah bikin jantung berdebar, apalagi kalau bacaan itu ada embel-embel ideologi. Mending nonton sinetron, jelas lebih aman.

Saya jadi mikir, jangan-jangan ke depan bakal ada aturan baru: buku-buku filsafat politik harus pakai stiker 18+. Sama kayak rokok. Ada peringatan: “Membaca buku ini dapat menyebabkan Anda dituduh makar.”

Kalau sudah begitu, saya kasihan sama penerbit. Bayangkan bikin katalog buku harus mikir dua kali. Buku motivasi boleh, buku cinta boleh, buku resep kue boleh. Tapi begitu judulnya agak-agak kritis, langsung ditolak. Padahal siapa tahu buku itu cuma teori doang, nggak bisa dipraktikkan juga di dunia nyata.

Akhirnya, yang rugi ya kita-kita juga. Masyarakat jadi makin takut berinteraksi dengan bacaan. Padahal membaca itu mestinya jadi kebiasaan sehat, kayak olahraga otak. Tapi karena dianggap rawan, orang lebih milih olahraga jari lewat scroll TikTok.

Entah kenapa saya jadi ingat pepatah, “Buku adalah jendela dunia.” Tapi di negeri ini, jendela itu kayaknya udah dipasangin jeruji besi. Biar nggak sembarangan orang bisa buka.

Kalau begini, jangan kaget kalau rumah anggota DPR kosong dari buku. Bisa jadi itu bukan tanda kebodohan, tapi tanda kehati-hatian. Mereka tahu, buku lebih berbahaya daripada panci di dapur.

Dan kita, rakyat jelata, ya cuma bisa ketawa getir. Mau beli buku filsafat takut dituduh radikal. Mau baca buku agama takut dituduh intoleran. Akhirnya kita lebih aman baca chat WA keluarga. Itu pun masih bisa berujung cekcok kalau salah paham.

Jadi, apakah masih wajar literasi kita rendah? Tentu wajar sekali. Wong kondisi sosial-politiknya bikin orang lebih takut baca daripada takut utang pinjol.

Maka, kalau ada anggota DPR yang rumahnya kosong dari buku, jangan langsung suudzon. Bisa jadi mereka jauh lebih bijak daripada kita. Mereka tahu, menyimpan buku fisik sama aja kayak nyimpan bom waktu.
Dulu, hidup di Indonesia itu asik. Semua serba sederhana, apa-apa gampang, dan kalaupun ada aturan, ya masih bisa ditawar. Tapi sekarang, kok ya rasanya hidup jadi lebih ribet. Salah satunya karena soal musik. Bayangkan, sekarang mau muter lagu di warung kopi aja bisa bikin orang deg-degan, takut ada yang tiba-tiba datang narik royalti. Saya jadi ingat, kata orang dulu “musik itu bahasa universal”, sekarang kayaknya musik itu sudah berubah jadi “bahasa invoice”.

Kalau kita ingat, musik dulu jadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Pengamen di bus kota, odong-odong yang lewat gang-gang, sampai kaset bajakan di terminal, semua jadi warna kehidupan. Kita tidak pernah mikir soal hak cipta atau royalti. Semua berjalan apa adanya. Sekarang? Bus kota sudah jarang, odong-odong jadi barang langka, dan kaset bajakan sudah punah ditelan Spotify. Tapi yang lebih sedih, musik yang dulu menemani keseharian kita, sekarang malah jadi sumber ketakutan.
Ilustrasi Odong-Odong di stop oleh Petugas Penarik Royalti (Gambar : AI Generated)
Coba bayangkan odong-odong. Dulu, anak-anak bisa joget dengan bahagia ditemani suara lagu anak-anak yang diputar kencang dari speaker mini di gerobak warna-warni. Sekarang, bapaknya malah bingung: kalau muter lagu ciptaan A atau B, apa harus setor royalti dulu? Lah, bagaimana mungkin orang yang modal cat semprot sama boneka Mickey Mouse bekas masih harus mikirin pembayaran royalti? Boro-boro, kadang bensin odong-odongnya aja masih nyicil.

Situasi jadi tambah aneh ketika kita masuk ke kafe-kafe. Dulu, kafe itu identik dengan musik. Entah musik jazz, pop akustik, atau minimal suara penyanyi indie yang bikin suasana syahdu. Tapi sekarang, coba mampir ke beberapa kafe, kok suasananya malah sunyi senyap, kayak perpustakaan. Katanya, si pemilik kafe takut dipalak lembaga pengumpul royalti. Lah, gimana mau betah nongkrong kalau yang terdengar cuma suara sedotan minum dan notifikasi Shopee dari HP tetangga meja?

Bahkan lebih lucu lagi, ada cerita bahwa muter suara burung pun bisa dianggap melanggar hak cipta. Jadi kalau kafe mau bikin suasana natural dengan suara ciutan burung, itu pun katanya harus bayar. Lha ini gimana ceritanya? Burungnya siapa, suaranya siapa, yang pungut siapa. Kalau sudah begini, saya jadi curiga, jangan-jangan nanti ada yang menagih royalti kalau kita lagi siulan di kamar mandi.

Yang lebih gila lagi, konon pengamen pun bisa kena masalah. Bayangkan ada pengamen, modalnya cuma gitar satu senar atau kadang cuma tepuk-tepuk tangan sambil nyanyi. Eh, dia disuruh mikirin royalti juga. Lah wong dia nyanyi untuk nyari makan kok. Kalau begini, lama-lama pengamen bisa kena pasal juga. Bisa-bisa kita lihat headline berita: “Seorang pengamen divonis bersalah karena tidak membayar royalti saat menyanyikan lagu Peterpan.” Kan absurd sekali.

Indonesia memang punya aturan soal hak cipta, dan itu penting, supaya pencipta lagu dapat apresiasi yang layak. Tapi masalahnya, praktik di lapangan malah kebablasan. Jadi bukannya bikin adil, malah bikin hidup jadi kaku. Semua jadi serba salah. Orang kecil yang seharusnya bisa hidup dengan musik, malah ketakutan. Yang tadinya musik itu bikin cair suasana, sekarang malah bikin suasana jadi tegang.

Kalau dibandingkan dengan negara lain, ternyata ada cara yang lebih masuk akal. Di Amerika misalnya, ada lembaga khusus seperti ASCAP atau BMI yang ngurusin lisensi musik. Tapi yang ditarik bukan odong-odong, bukan warung kopi, apalagi pengamen. Mereka fokusnya ke bisnis besar, seperti radio, televisi, atau tempat hiburan yang memang skala ekonominya besar. Jadi yang bayar royalti adalah pihak yang benar-benar mendapat keuntungan komersial besar dari musik, bukan orang kecil yang cuma nyambung hidup.

Di Inggris pun sama. Ada PRS (Performing Rights Society) yang mengatur soal hak cipta. Tapi peraturannya jelas, tarifnya juga transparan, dan ada kategori tertentu yang dibebaskan. Jadi kalau kamu nyanyi di pesta pernikahan kampung, ya nggak perlu takut. Lha kalau di sini, pesta pernikahan pun kadang ditagih. Bayangkan, ada orang nikahan, sudah keluar biaya gedung, catering, make up, eh masih ditagih lagi karena muter lagu. Bisa-bisa nanti tukang rias pengantin ikut menambahkan biaya “royalti make up”.

Di Jepang, mereka punya JASRAC (Japanese Society for Rights of Authors, Composers and Publishers). Tapi mereka juga punya mekanisme khusus supaya tidak memberatkan pelaku kecil. Bahkan ada paket lisensi murah untuk kafe kecil atau toko buku. Jadi, tidak ada cerita kafe jadi sunyi senyap kayak kuburan hanya karena takut royalti. Orang Jepang saja, yang konon aturannya ribet, masih bisa lebih fleksibel daripada kita.

Kita sebenarnya paham, pencipta lagu itu perlu dihargai. Mereka sudah bikin karya, masa tidak dapat apa-apa. Tapi masalahnya, implementasi di sini kayak main tangkap jaring. Semua disapu rata. Tidak peduli siapa yang muter, untuk apa, dan seberapa besar dampaknya. Pokoknya asal muter lagu, ya bayar. Logika sederhananya: kalau kamu muter lagu satu menit di warung, itu sama saja kayak kamu punya stasiun TV. Lah, aneh to.

Yang bikin tambah rumit, ternyata lembaga pengumpul royaltinya juga banyak. Ada beberapa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang semuanya merasa punya hak untuk nagih. Jadi, kadang pemilik kafe bingung, ini saya harus bayar ke siapa? Kalau bayar ke LMK A, nanti LMK B protes. Kalau bayar ke B, nanti yang C ngamuk. Jadi bukannya tenang, malah pusing tujuh keliling. Serasa bayar utang ke rentenir, sudah bayar satu, masih ada yang nagih lagi.

Kisruh soal royalti ini bahkan sudah sampai ke Mahkamah Konstitusi. Bayangkan, masalah musik bisa masuk ke level pengadilan tertinggi. Sungguh tidak terbayangkan oleh kita yang dulu tahunya musik itu sekadar hiburan. Kalau dulu kita lihat pengadilan biasanya membahas korupsi, politik, atau sengketa tanah. Sekarang, bisa juga membahas soal lagu “Kemarin” yang dinyanyikan di kafe tanpa izin. Rasanya kayak hidup di negara sinetron.

Dan jangan lupa, di balik semua ini, ada politisi yang juga ikut nimbrung. Ada yang pura-pura bela pencipta lagu, ada juga yang pura-pura bela rakyat kecil. Padahal, ujung-ujungnya, ya ada kepentingan. Seolah-olah musik yang tadinya netral dan penuh perasaan, sekarang jadi panggung politik juga. Jadi makin runyam, makin ribet, makin jauh dari esensi awalnya.

Hidup di Indonesia jadi terasa kurang asik karena hal-hal seperti ini. Dulu kita bisa santai nongkrong sambil dengerin musik, sekarang malah was-was. Dulu kita bisa senyum lihat odong-odong lewat, sekarang jadi mikir “waduh, apa bapaknya udah bayar royalti?”. Dulu kita bisa ketawa denger pengamen nyanyi fals, sekarang malah mikir “jangan-jangan nanti ditangkap polisi.” Semua jadi absurd.

Musik seharusnya mendekatkan orang. Tapi sekarang malah menjauhkan. Orang jadi males pasang musik di kafe. Pengamen jadi takut. Orang bikin pesta jadi ribet. Padahal, musik itu semestinya seperti udara: mengalir, gratis, dan dinikmati semua orang. Tapi di sini, musik sudah berubah jadi seperti oksigen tabung: kalau mau pakai, ya harus bayar.
Beberapa waktu yang lalu saya membaca berita tentang demo akhir Agustus kemarin yang berakhir dengan penjarahan di beberapa rumah anggota DPR RI. Saya tidak tahu siapa yang memulai, tapi endingnya selalu sama: massa marah, polisi panik, anggota DPR lenyap entah ke mana. Nah, yang bikin ramai di media sosial justru bukan soal televisi yang hilang atau sofa yang digondol, melainkan soal ketiadaan buku di rumah para anggota DPR. Orang-orang ramai berspekulasi, “Oh pantas DPR kita ngawur, lha wong rumahnya saja tidak ada buku bacaan!”

Komentar itu tentu bikin saya tertawa kecil. Saya tertawa bukan karena setuju, tapi karena mengingatkan saya pada kosan teman saya dulu. Kosan itu kecil, isinya cuma kasur tipis, kipas angin, dan beberapa kardus Indomie kosong. Buku? Jangan harap. Tapi apakah itu berarti teman saya tidak membaca? Belum tentu juga. Waktu itu teman saya rajin pinjam buku di perpus kampus. Jadi, ya bisa jadi rumah tanpa buku, tapi otak tetap berisi.
Ilustrasi rumah mewah dan gawai untuk membaca E-Book (Gambar : AI Generated)
Jangan-jangan kasusnya juga sama dengan anggota DPR. Bisa jadi mereka rajin baca, tapi bukan di rumah. Mungkin di kantor. Atau mungkin di ruang VIP lounge bandara. Atau mungkin sambil rebahan di hotel berbintang. Bukan tidak mungkin pula mereka sudah naik level, meninggalkan buku fisik, dan beralih ke Kindle. Kita saja yang masih kagok membaca di HP sambil takut kuotanya habis.

Lagipula, zaman sekarang siapa sih yang masih pamer rak buku tinggi menjulang sampai ke atap? Itu kan gaya lama. Generasi lama bangga kalau rumahnya punya rak penuh buku ensiklopedia, meskipun sebenarnya tidak pernah dibaca. Generasi sekarang lebih suka buku digital. Nggak makan tempat, nggak berdebu, dan kalau dijual di Shopee, ongkirnya gratis.

Saya jadi ingat, dulu ada istilah: “Orang pintar itu bisa dilihat dari rak bukunya.” Nah, coba bayangkan kalau konsep itu masih dipakai di 2025. Saya yakin, banyak orang seperti teman saya langsung auto miskin ilmu, padahal koleksi PDF-nya di cloud bisa bikin Perpusnas minder. Bedanya cuma satu: PDF teman saya kebanyakan bajakan, sementara Perpusnas asli.

Jadi, jangan buru-buru menuduh DPR tidak suka baca hanya karena rumahnya tidak ada buku. Siapa tahu mereka punya ribuan e-book. Bisa jadi mereka lebih rajin download buku daripada kita. Kita baru baca tiga halaman sudah ngantuk, sementara mereka kuat sampai lima bab. Kalau itu benar, berarti sebenarnya yang lebih malas justru kita, rakyat jelata yang hobi menghakimi.

Meski begitu, tetap ada pertanyaan: kalau memang anggota DPR ini rajin baca e-book, kenapa kualitas keputusannya masih amburadul? Apakah Kindle mereka isinya cuma novel Wattpad? Atau jangan-jangan koleksi PDF mereka isinya resep tongseng dan brosur properti? Itu yang kita belum tahu.

Saya pribadi sih agak ragu. Karena saya tahu betul, membaca itu satu hal, memahami itu hal lain. Banyak orang rajin baca, tapi tidak paham isi bacaan. Misalnya saya, sering baca buku filsafat. Tapi ujung-ujungnya yang saya ingat hanya nama penulisnya. Isinya entah kemana. Kalau anggota DPR begitu juga, ya wajar kalau kinerjanya tidak seberapa.

Apalagi, mereka kan sibuk rapat, sibuk kunjungan kerja, sibuk menghadiri pernikahan anak pejabat. Kapan waktunya baca? Kalau pun sempat, paling banter baca papan nama restoran tempat reses. Jadi meskipun ada Kindle, jangan-jangan yang sering dibuka bukan e-book, tapi e-wallet.

Namun, harus jujur saya bilang, kadang kita terlalu cepat menyimpulkan. Demo kemarin, begitu rumah digeledah dan tidak ada buku, langsung dicap “bodoh”. Padahal, kita sendiri pun kalau rumahnya diobrak-abrik, belum tentu ditemukan buku juga. Paling banter ditemukan struk belanja Indomaret dan sisa cicilan paylater.

Fenomena ini mengingatkan saya pada kultur pamer rak buku di media sosial. Ada orang yang dengan bangga selfie di depan rak tinggi penuh buku. Captionnya panjang, kutipannya puitis. Padahal bisa jadi, buku yang paling sering disentuh cuma kamus bahasa Inggris—dan itu pun dipakai buat ganjel pintu. Sementara orang lain yang koleksi bukunya di Kindle, malah diam-diam sudah khatam ratusan judul.

Nah, kalau kita mau adil, harusnya begitu juga menilai DPR. Tidak ada buku fisik di rumah mereka bukan berarti otaknya kosong. Bisa jadi justru sebaliknya, mereka sudah terlalu maju meninggalkan dunia fisik, sementara kita masih terjebak romantisme bau kertas.

Tapi, tentu tidak semua bisa ditutupi dengan alasan e-book. Kalau memang benar rajin membaca, harusnya terlihat dari sikap dan kebijakan. Sayangnya, kualitas kebijakan DPR kita sering bikin rakyat mengelus dada. Misalnya soal pasal-pasal aneh yang tiba-tiba muncul di RUU. Saya jadi curiga, jangan-jangan mereka salah download. Mau download e-book hukum, yang keunduh malah novel Korea.

Skeptis itu wajar. Karena bagaimanapun, bukti paling nyata dari orang yang suka membaca adalah cara berpikirnya. Kalau hasil kebijakannya masih sekelas diskusi warung kopi jam dua pagi, berarti ada yang salah. Entah salah di bacaan, atau salah di otak.

Di sisi lain, saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa rumah tanpa buku itu memang cerminan aslinya. Bahwa anggota DPR memang tidak suka membaca, titik. Kalau itu benar, berarti ya sudah, misteri terpecahkan. Mereka tidak suka buku, dan kita tidak boleh berharap banyak.

Namun, ada satu hal yang lebih menggelitik. Kenapa dalam penjarahan itu, rakyat kita justru kepo pada ada-tidaknya buku, bukan pada ada-tidaknya emas batangan atau sertifikat tanah? Apakah karena kita sudah putus asa berharap harta, sehingga yang kita cari hanyalah tanda intelektualitas? Ini pertanyaan filosofis yang mungkin lebih berat daripada skripsi.

Saya juga geli membayangkan, seandainya benar ada buku di rumah DPR, lalu bukunya ketahuan cuma kumpulan pantun atau majalah infotainment. Apa komentar warganet? Mungkin malah lebih kacau. Karena yang dicari publik bukan sekadar ada buku, tapi buku yang “bermutu”.

Kita seolah ingin DPR kita punya rumah yang penuh buku tebal karya ilmuwan besar. Tapi apakah kita sendiri sanggup membaca buku setebal itu? Belum tentu. Bisa jadi, yang paling kita sanggupi hanya membaca sinopsisnya di Goodreads. Jadi, jangan sok-sokan juga menuntut mereka terlalu tinggi.

Saya akhirnya sampai pada kesimpulan sementara: rumah tanpa buku bukan masalah. Rumah tanpa wifi mungkin lebih gawat. Karena tanpa wifi, koleksi e-book pun jadi mubazir. Dan mungkin, justru itu yang dialami DPR. Koleksi PDF segunung, tapi wifi mati karena lupa bayar.

Toh, kalau dipikir-pikir, kita juga tidak pernah menanyakan isi HP mereka. Bisa jadi, folder mereka penuh dengan buku digital. Atau bisa juga, penuh dengan folder bernama “kerja” yang isinya hanya foto-foto rapat. Kita tidak tahu.

Yang jelas, tuduhan bahwa DPR tidak suka baca hanya karena rumahnya kosong dari buku fisik, agak terburu-buru. Bisa benar, bisa salah. Sama halnya dengan tuduhan bahwa semua rakyat malas baca. Padahal mungkin kita hanya malas membeli. Kalau gratisan, semua semangat.

Lucunya, kasus ini membuat saya membayangkan satu adegan absurd: anggota DPR yang sedang duduk di ruang rapat, tiba-tiba asyik membuka Kindle. Bukan untuk membaca RUU, tapi membaca novel romantis. Dari jauh, kelihatannya serius, padahal yang dibaca adegan cinta-cintaan.

Apa pun itu, kisah rumah DPR tanpa buku tetap jadi bahan sindiran yang segar. Sindiran bahwa wakil rakyat harusnya jadi teladan, bukan malah jadi bahan olok-olok. Apalagi di tengah kondisi negeri yang sudah ruwet begini, jangan sampai wakil rakyat kita menambah luka dengan kebodohan yang bisa dihindari.

Kalau mereka benar-benar rajin membaca, maka semestinya kita melihat buahnya. Bukan hanya dari pidato yang tertata, tapi juga dari kebijakan yang logis. Kalau itu belum terlihat, berarti memang ada yang salah. Entah salah di bacaan, entah salah di penggunanya.

Namun, meski begitu, saya tetap mencoba positif. Saya anggap saja, rumah tanpa buku itu bukan tanda kebodohan, tapi tanda efisiensi. Mereka tidak mau rumahnya penuh debu. Mereka memilih cara modern. Mereka memilih Kindle. Kita saja yang belum sanggup beli Kindle, jadi iri.

Dan pada akhirnya, cerita ini hanya menambah daftar panjang keanehan negeri kita. Demo, penjarahan, rumah tanpa buku, dan rakyat yang malah sibuk berdebat soal perpustakaan pribadi anggota DPR. Lucu sekali, tapi juga menyedihkan.

Buku memang penting, tapi jangan lupa: lebih penting lagi adalah akal sehat. Dan sayangnya, akal sehat tidak bisa diunduh lewat Kindle.
Beberapa waktu yang lalu, entah mengapa, saya terpaku pada sebuah unggahan di media sosial. Isinya adalah potongan tulisan dari seorang rektor kampus swasta besar, kampus yang umurnya hampir setua republik. Rektor ini bercerita soal pendiriannya yang sudah ia simpan dan suarakan sejak belasan tahun lalu: ia tidak setuju dengan model pemeringkatan kampus yang digagas lembaga-lembaga asing. Bukan sekali dua kali ia mengucapkan itu. Bahkan ia mengumpulkan opini-opininya di berbagai media massa, menjadikannya semacam jejak perjuangan panjang. Rasanya seperti membaca arsip seorang pejuang yang sejak lama berdiri di garis depan melawan arus besar.

Saya membacanya sambil bertanya-tanya, dari mana sebenarnya perdebatan ini bermula? Kampus swasta, dalam sejarahnya, lahir bukan dari ambisi untuk bersaing soal ranking, melainkan sebagai respon atas kebutuhan yang tidak seluruhnya mampu dipenuhi negara. Di masa awal republik, pendidikan tinggi adalah barang mewah. Pemerintah punya beban berat, membangun negara, membentuk birokrasi, memperbaiki infrastruktur, dan pada saat yang sama, mendidik rakyat. Dalam situasi seperti itu, kampus swasta menjadi penolong yang menambal kekurangan kapasitas negara.
Ilustrasi (Gambar : AI Generated)
Bagi mereka yang hidup di era itu, suasananya mungkin terasa heroik. Ada idealisme yang tebal. Pendiri kampus swasta membuka pintu bagi anak-anak bangsa yang tak terjangkau kampus negeri. Tak peduli gedungnya sederhana, fasilitasnya seadanya, dan dosennya bekerja ganda, tujuan mereka jelas yaitu mengangkat derajat bangsa lewat pendidikan tinggi. Saya suka membayangkan semangat masa itu seperti menyalakan lilin di tengah gelap. Nyala kecil, tapi berarti.

Namun zaman bergeser. Sekitar dua dekade terakhir, lanskap pendidikan tinggi berubah drastis. Negara yang dulu membutuhkan bantuan kampus swasta, kini memiliki kapasitas lebih besar. Kampus negeri menjamur, bahkan di kota-kota kecil yang dulu tak terbayangkan punya universitas. Bagi sebagian orang, ini kabar baik, akses pendidikan semakin merata. Tapi bagi kampus swasta, ini berarti medan persaingan berubah total. Mereka yang dulunya mitra, kini harus berhadap-hadapan sebagai pesaing.

Kondisi ini mirip dua saudara yang dulu saling menopang, lalu tiba-tiba dipaksa berebut sumber daya yang sama. Mahasiswa adalah sumber daya itu. Kalau dulu kampus swasta relatif santai menerima pendaftar, kini mereka harus berstrategi habis-habisan. Tidak ada lagi "kursi selalu penuh" seperti era 90-an. Jumlah lulusan SMA mungkin stabil, tapi pilihan mereka semakin banyak, dan tentu saja, mereka ingin yang terbaik.

Perubahan ini memunculkan satu kesadaran baru, branding kampus menjadi urusan hidup mati. Branding ini tidak hanya soal baliho besar di perempatan atau iklan digital yang muncul di layar ponsel. Branding kampus, di mata generasi sekarang, sangat dipengaruhi oleh dua indikator yang dianggap “objektif”, akreditasi dan peringkat. Dua hal yang di mata publik tampak sebagai bukti kualitas, meski kita semua tahu, realitasnya bisa jauh lebih rumit.

Akreditasi memang awalnya dimaksudkan sebagai jaminan mutu. Ia seperti sertifikat kesehatan yang memastikan rumah makan Anda bersih dan aman. Tapi dalam dunia kampus swasta, sertifikat ini punya peran tambahan yaitu sebagai senjata pemasaran. Calon mahasiswa (dan terutama orang tuanya) seringkali menjadikan nilai akreditasi sebagai penentu akhir pilihan. Tidak peduli betapa ramahnya staf administrasi atau betapa hijau pepohonan di kampus itu, jika akreditasi rendah, rasanya seperti membeli mobil tanpa rem.

Lalu ada perangkingan. Ini lebih baru, dan lebih membingungkan. Pemeringkatan kampus yang digagas lembaga-lembaga asing sering menggunakan metrik-metrik yang, kalau kita jujur, tidak selalu relevan dengan realitas kampus di daerah. Tapi angka ranking itu punya daya magis di brosur dan laman resmi kampus. “Top 500 Asia” atau “Peringkat 10 Nasional” terdengar lebih seksi daripada kalimat “Gedungnya adem, dosennya ramah”.

Maka wajar jika banyak kampus swasta memandang akreditasi dan ranking sebagai prioritas. Mereka bukan sekadar mengejar gengsi. Ini soal memastikan arus mahasiswa baru tidak terhenti. Tanpa mahasiswa, kampus swasta akan layu, bukan dalam hitungan dekade, tapi dalam hitungan tahun.

Saya teringat satu cerita dari awal 2010-an. Ada satu sistem perangkingan yang berbasis website. Salah satu indikatornya adalah jumlah backlink dan dokumen yang bisa dirayapi mesin pencari. Hasilnya? Banyak kampus swasta lalu “beternak” subdomain. Mahasiswa diberi blog pribadi di bawah domain kampus. Setiap jurusan membuat portal dokumen, dari skripsi sampai tugas kuliah, semuanya diunggah. Bagi sebagian orang, ini terlihat seperti trik murahan. Tapi bagi kampus, ini strategi bertahan hidup.

Kita bisa mencibir, tentu saja. Kita bisa bilang itu menurunkan martabat akademik. Tapi kita juga harus jujur, di pasar pendidikan tinggi yang kompetitif, bertahan kadang membutuhkan keluwesan yang tidak selalu elegan. Bagi kampus swasta, ini bukan lomba estetik. Ini maraton untuk bertahan hidup, dengan sepatu yang mungkin sudah bolong di ujungnya.

Yang menarik, di balik semua ini, ada semacam paradoks. Publik ingin pendidikan tinggi berkualitas, tapi juga menuntut biaya yang terjangkau. Kampus swasta yang berinvestasi besar untuk menaikkan akreditasi dan ranking harus mencari cara menutup biaya itu, biasanya lewat uang kuliah. Tapi jika biaya naik, mahasiswa bisa kabur ke kampus negeri yang disubsidi. Lingkaran setan ini membuat banyak kampus swasta berada di posisi sulit.

Sementara itu, lembaga pemeringkat terus mengubah indikatornya. Kadang, perubahan ini membuat kampus yang tadinya di posisi menengah tiba-tiba jatuh, bukan karena kualitasnya menurun, tapi karena rumusnya berubah. Di sisi lain, kampus yang lihai membaca tren indikator bisa naik peringkat tanpa benar-benar mengubah kualitas pembelajaran. Dunia pemeringkatan ini, kalau boleh saya bilang, separuh ilmu, separuh seni, separuh trik. Ya, saya tahu itu tiga separuh.

Kenyataan pahitnya, mahasiswa baru tidak akan membaca catatan kaki metodologi perangkingan. Mereka akan melihat angka besar di brosur. Angka itu akan masuk ke kepala orang tua mereka, mempengaruhi keputusan, dan akhirnya mempengaruhi keberlangsungan kampus. Sederhana, tapi menentukan.

Di sinilah akreditasi dan perangkingan berubah dari instrumen penjaminan mutu menjadi instrumen marketing. Di tengah persaingan yang kian ketat, dua hal ini menjadi wajah depan kampus swasta. Mungkin tidak selalu mencerminkan isi rumahnya, tapi cukup untuk membuat tamu masuk ke pintu.

Bagi kampus besar yang sudah mapan, mungkin ada kemewahan untuk mengabaikan permainan ini. Mereka punya reputasi yang dibangun puluhan tahun, jaringan alumni kuat, dan sumber daya finansial yang stabil. Tapi bagi kampus swasta menengah dan kecil, mengabaikan ranking berarti membuka pintu ke penurunan jumlah mahasiswa yang bisa berujung pada penutupan program studi, bahkan kampus.

Dan begitulah, setiap awal tahun ajaran, rapat pimpinan kampus swasta sering berubah menjadi ajang diskusi strategi menaikkan akreditasi dan ranking. Kadang terasa seperti tim sepak bola yang membicarakan strategi promosi liga, bukan pembahasan murni akademik. Tapi begitulah tuntutan zaman.

Masalahnya, publik jarang melihat sisi ini. Mereka mengira ranking hanyalah soal gengsi. Padahal di balik angka itu ada gaji dosen, beasiswa mahasiswa, listrik laboratorium, dan biaya perawatan gedung. Semua bergantung pada satu hal, apakah cukup banyak mahasiswa baru mendaftar.

Saya pikir, di sinilah letak tragisnya. Kampus swasta yang dulu lahir untuk membantu negara kini harus bersaing mati-matian dengannya. Tidak ada ruang nostalgia di pasar yang kian keras ini. Anda hanya sebaik ranking dan akreditasi terakhir Anda.

Maka saya tidak heran jika ada kampus yang rela melakukan hal-hal kreatif, kadang nekat, untuk menaikkan posisi. Ada yang membangun tim khusus SEO, ada yang mengundang dosen tamu internasional demi publikasi, ada yang menggelar lomba-lomba agar namanya sering disebut media. Semuanya diarahkan untuk menambah poin di mata lembaga pemeringkat.

Kita mungkin bertanya: apa ini tidak menggeser tujuan mulia pendidikan tinggi? Mungkin iya. Tapi itu pertanyaan yang sama seperti “apakah rumah makan yang memajang foto artis di dindingnya sedang menggeser tujuan memberi makan?” Jawabannya adalah mungkin. Tapi jika itu membuat pelanggan datang, rumah makan itu tetap bisa hidup.

Di titik ini, saya melihat akreditasi dan perangkingan sebagai semacam bahasa pasar. Ia tidak selalu adil, tidak selalu akurat, tapi selama pembeli (mahasiswa) memakainya untuk memilih, penjual (kampus) harus menguasainya. Tidak mengerti bahasa pasar sama saja dengan menutup toko di jam ramai.

Kadang, saya membayangkan: bagaimana jika sistem ini dirombak total? Jika akreditasi benar-benar hanya mengukur mutu akademik dan tidak dipublikasikan sebagai alat marketing? Jawabannya mungkin indah secara teori, tapi sulit secara praktik. Dunia nyata punya logika sendiri.

Yang pasti, kampus swasta tidak punya kemewahan untuk mengabaikannya. Mereka tidak bisa hidup hanya dari idealisme. Idealismenya harus diberi bensin, dan bensinnya datang dari mahasiswa yang mendaftar.

Dan begitu kita menyadari ini, kita akan mengerti mengapa sebuah ranking di laman resmi kampus bisa membuat rapat pimpinan bersorak atau murung. Ranking itu bukan sekadar angka. Ia adalah detak jantung kampus swasta.

Kalau kampus negeri punya infus dari negara, kampus swasta punya pompa air yang mereka putar sendiri. Setiap tetes air, setiap mahasiswa, harus mereka dapatkan dengan keringat sendiri. Dalam kondisi seperti itu, akreditasi dan perangkingan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan pokok.

Saya rasa, inilah yang membuat unggahan sang rektor itu terasa getir. Ia melihat bagaimana sesuatu yang dulu ia tolak, kini menjadi bagian tak terpisahkan dari permainan. Seperti veteran yang menolak perang, tapi tahu anak-anaknya harus ikut jika ingin bertahan.

Mungkin di masa depan, akan ada cara lain untuk mengukur kualitas kampus yang lebih adil dan relevan. Tapi untuk saat ini, realitasnya jelas, di dunia kampus swasta, ranking dan akreditasi adalah tiket untuk bertahan hidup. Dan tiket itu mahal.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TENTANG PENULIS


Ayah penuh waktu. Penyuka kue lupis dan tempe goreng. Bekerja sebagai penulis partikelir semi-amatir. Kadang-kadang juga jadi tukang dongeng

ACADEMIC LEARNING ACCESS

ACADEMIC LEARNING ACCESS



Ikuti Kami di Media Sosial

KOMIKITA

Memuat komik...

Artikel Populer

  • KALAU MAU KAYA, JANGAN JADI DOSEN
  • KAMUS BESAR BAHASA MELAYU-INDONESIA
  • SOLO, SOPIR GRAB, DAN REFORMASI YANG TERSISA DI INGATAN
  • BANTAHAN TERHADAP ARTIKEL TENTANG UMY DAN UAD DI WEBLOG JOGJASTUDENT
  • KAMUS [SERAPAN] BAHASA SANSKERTA - BAHASA INDONESIA

Ramadhan Bercerita

TULISAN DI MEDIA MASSA

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 1

ADVERTORIAL 2

ADVERTORIAL 2
DMCA.com Protection Status

BUKU KAMI YANG TELAH TERBIT

Copyright © 2013-2024 Andi Azhar. Oleh Andi Azhar